Mila membuka matanya, dia tak tahu sekarang sudah jam berapa. Dia mengubah posisinya menjadi duduk, saat itu juga dia melihat makanan sudah tersedia di meja depan tempat tidurnya. Mila berdecak kesal, lalu turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Mila mencuci mukanya dan melakukan aktifitas lainnya. Setelah selesai, dia keluar dan duduk di sofa. Menatap makanan yang tersaji. Ada, susu, roti sandwich, nasi uduk dan juga air putih beserta buah-buahan. "Aku tidak akan terkesan dengan semua ini wahai bandit tua!" gerutu Mila sambil membuka pembungkus sandwich. Lalu mengigitnya dengan kasar. Karena rasa bosan, Mila mendekati jendela dan membuka kordennya. Menatapke arah luar sana. Dia jadi teringat betapa aman dan nyaman tinggal di rumah Benni. Seandainya saja dirinya bisa lebih bersabar menghadapi sikap Benni yang angin-anginan tidak jelas. "Kalau dia benar-benar mencintaiku, harusnya dia mencariku, kan?" Mila berbicara sendirian. Krek~ Mila menoleh saat mendengar pint
Bab 39 Bu Sari mengajak Shasa untuk berunding di kamar tamu yang terletak di lantai bawah tak jauh dari kamar yang Mila tempati. Bu Sari mengunci pintu kamar. "Gimana ini Sha? Mana gadis itu cantik banget lagi?!" Bu Sari sangat risau jika Pak Broto berhasil menikah kembali. "Aku juga cantik, tapi dulu rasanya kamu tidak terlihat serisau sekarang ini," Shasa menimpali. "Iya, tapi aura Mila terlihat berbeda. Dia bukan hanya cantik, tapi sepertinya juga anak baik. Pasti Mas Broto bakal bertekluk lutut sama dia," ungkap Bu Sari. "Kalau baik, pasti tidak akan mau menikah dengan suami orang atau kalaupun nanti jadi menikah. Tak mungkin menguasai, kan dia tahu suaminya itu juga suami 3 wanita lain," jawab Shasa sambil menunjukkan tiga jarinya. "Tapi pasti Mas Broto bakal lebih sayang sama dia!" ucap Bu Sari dengan wajah kesal. Shasa terdiam, dia teringat jika Benni pernah menyebut nama Mila sebagai pacarnya. Hati Shasa merasa sakit, dia merasa cemburu. Shasa juga mengakui j
Bab 40. Menikah. Benni terbangun saat ada tangan yang memukul kasar pahanya. Mata Benni menyipit memperhatikan siapa orang yang sudah berani membangunkannya. "Mila!" panggilnya dan langsung terduduk. "Dasar sinting!" Benni tersadar saat mendengar suara yang dia sangat kenal, ternyata Harsa yang sudah membangunkannya dengan kasar. "Ada apa?" tanya Benni kesal. "Ada apa katamu?" Harsa balik bertanya pada abangnya itu. "Hari ini kan, kamu menikah!" imbuh Harsa. Benni mengusap kasar wajahnya, dia lupa. Bahkan dia juga tak memiliki persiapan apapun. "Cepatlah mandi, aku sudah membawakan kemeja dan jas untukmu!" titah Harsa. "Kau ini, darimana kamu bisa masuk?!" tanya Benni penasaran. "Aku dapat kunci duplikat rumah ini dari Ibu," jawab Harsa. Benni beranjak dari tempat tidurnya dan dengan lesu menuju kamar mandi. Benni tak bisa berlama-lama berada di dalam kamar mandi, karena Harsa terus saja menggedor pintu kamar mandi tanpa henti. Benni bersiap dengan c
Benni pasrah duduk di kursi, jika orang lain akan bersemangat karena akan melangsungkan pernikahan. Berbeda dengan Benni yang tak punya semangat sedikitpun. Dia tak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya kelak, karena menikahi wanita yang menurutnya tidak dia kenal, bahkan wajahnya saja belum pernah dia lihat. "Mas kita latihan baca ikrar ijab qobulnya dulu ya? Nanti biar lancar," kata Pak Penghulu memberi saran. "Iya," jawab Benni lesu. Benni menjabat tangan Pak Penghulu, Harsa meletakan selembar kertas bertuliskan nama mempelai wanita. Tapi Benni langsung tak melihatnya. "Ananda Benni Asmoro bin Subroto Asmoro, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan ananda Karmila binti Hasyim yang mana walinya telah mewakilkan kepada saya untuk menikahkannya dengan Anda, dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan uang sebesar seratus lima puluh juta rupiah. Dibayar tunai!" Pak penghulu menghentakan tangan Benni. Membuat Benni yang kurang fokus langsung tersadar. "Saya
Bab 42. Gagal. Benni menelan liurnya saat melihat tubuh Mila yang hanya terbalut handuk. Sedangkan Mila, dia salah tingkah menutup bagian dadanya dengan menyilangkan kedua tangannya. "Ja-jangan melihatku seperti itu," tegur Mila gugup, wajahnya tampak bersemu merah. Benni tersenyum miring. "Tak afa larangan bagiku, melihatmu tanpa handuk saja boleh. Aku kan suamimu," jawab Benni bangkit berdiri, berjalan mendekati Mila. Tubuh Mila gemetar, Mila malu melihat kemeja Benni yang terbuka di bagian dada. Benni semakin mendekati Mila, hingga gadis itu semakin gugup. Mila mundur ke belakang hingga sampai terpentok lemari. Benni mengunci Mila dengan kedua tangannya. Jarak mereka sangat dekat, jantung mereka sama-sama bergemuruh. Gejolak di hati menerobos setiap hembusan napas membuat suasana terasa menghangat. Benni menatap dalam wajah Mila yang terlihat gugup. "Bang, jangan seperti ini. Aku mau mengambil pakaian di lemari," ucap Mila terbata. "Sekarang baru mau mengambil pakai
Bab 43 Benni tersenyum melihat mila yang berdiri di ujung tangga bawah. Dia tahu, Mila pasti ragu untuk pergi ke ruang makan sendirian. Melihat kedatangan Benni, Mila sengaja membuang muka tapi dia langsung mengikuti langkah Benni menuju ruang makan. Tatapan semua orang tertuju pada kedatangan mereka berdua. "Wah, pengantin baru sudah datang!" seru bude Dewi. Bella berdiri dari duduknya lalu menghampiri Mila. Bella memeluk Mila, Mila menepuk pelan punggung Bella. Melihat pemandangan itu, membuat orang yang meragukan jika Mila pacar Benni sebelum ini, menjadi percaya. Termasuk Pak Broto, pria paruh baya itu menghela napas kasar. Rasa malu dan rasa menyesal menjadi satu. Malu karena menyukai pacar anaknya, kecewa karena kehilangan wanita idaman incarannya. "Selamat ya, Mil. Semoga samawa," ucap Bella bersamaan melepas pelukannya. "Terima kasih, Bel," balas Mila tersenyum. Benni merangkul bahu Mila. "Kita juga mengucapkan selamat untukmu, atas pernikahanmu dengan Dirga
Bab 44 Saat malam tiba, jika sepasang pengantin harusnya merasa senang karena akan mengarungi malam yang indah bersama pasangannya. Berbeda dengan Mila, dia justru kebingungan harus bagaimana menghadap Benni, disaat hanya berdua saja di dalam kamar. Dia duduk gelisah di sofa kamar Benni. Krek~ Mila semakin gugup saat melihat Benni masuk. Dia sekilas menoleh ke arah Benni yang masuk membawa secangkir kopi di tangannya. Benni duduk di samping Mila, meraih remot tv di meja dan menyalakannya. Drama mandarin menghiasi layar kaca dengan bahasa yang tak dimengerti jika tanpa membaca terjemahan yang tertera. Mila bisa mendengar suara saat Benni menyeruput kopi. Mila sedikit melirik ke arah Benni yang ternyata fokus menatap ke arah tv. "Selama ini, kamu kabur kemana? Kenapa akhirnya bisa tertangkap anak buah Bapak?" Benni tiba-tiba bersuara dengan melontarkan pertanyaan yang membuat Mila bingung untuk menjawabnya. "Mengapa diam saja? Bingung mau jawab apa, atau merasa bersal
Bab 45Pagi datang dengan pasti tanpa diminta, kicau burung di pepohonan begitu ramai terdengar. Benni tersenyum melihat Mila yang masih meringkuk di aras kasur. Istrinya itu pasti merasa kedinginan, karena belum terbiasa tidur dalam ruangan ber-AC. Benni membenarkan posisi selimut di badan Mila. Lalu mencium pelan kening Mila, agar istri kecilnya itu tidak terbangun. Benni mengambil dompet dari saku celananya, mengambil beberapa lembar uang dan satu Atm meletakkannya di meja. Dia juga meletakkan Hp baru untuk Mila, sebagai ganti Hp yang pernah dia rusak. Lalu dia pergi meninggalkan kamar tanpa membangunkan Mila.Suasana di ruang makan begitu hening, hanya ada Bu Rani, Pak Broto dan Shasa. Benni duduk di dekat Ibunya. "Selamat pagi semua," sapa Benni. "Mana Mila?" tanya Bu Rani. "Masih tidur, mungkin dia kecapekan. Biarkan dia tidur dulu, Bu." jawab Benni sambil mengambil nasi goreng dari bakul ke piringnya. Tak ada suara lagi selain denting sendok yang beradu dengan piring. "
Sesuai janjinya, Bu Fitri benar-benar membantu Mila mengadakan syukuran di rumah barunya. Bahkan Bu Fitri juga lah yang merekomendasikan catering untuk konsumsi para tamu. Mila cukup senang karena para tetangganya ramah-ramah. Pak Rt juga membantu Mila mendaftarkan Intan di sekolah yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Pak Rt dan istrinya tak mau menerima imbalan dari Mila, sehingga Mila memutuskan membeli sesuatu saja untuk mereka. Mila memutuskan pergi ke pasar dengan memesan ojek online. Selain tak ada motor juga Mila tak tahu lokasi pasar terdekat. Sesampainya di pasar, Mila langsung menuju ke kios buah. Membeli apel merah, jeruk, pir dan buah naga. Lalu melanjutkan membeli bahan makanan dan bumbu dapur. Setelah selesai, Mila langsung mencari becak motor untuk mengantarnya pulang. Baru saja Mila sampai rumah dan baru turun dari becak. Intan juga baru sampai pulang dari sekolah. "Adik kak Mila sudah pulang," ucap Mila menyambut kedatangan Intan.Inta tersenyum mendekati Mila l
Mila sudah berada di dapur sejak subuh, membantu Mbok Denok memasak di dapur. Mak Leha, sudah sibuk mencuci pakaian kotor penghuni panti dengan mesin cuci. Mbok Denok beberapa kali terdengar membuang napas berat. Mila sesekali memperhatikan wanita yang sudah sangat baik padanya itu."Mil, kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?" Mbok Denok pada akhirnya membuka suara. "Ya, Mbok. Mila sudah yakin ..." "Mbok merasa khawatir tapi tak bisa berbuat apa-apa," ucap Mbok Denok sedih."Gak pa pa, Mbok. Mila sudah biasa menjalani kehidupan yang keras," jawab Mila mencoba menenangkan perasaan Mbok Denok."Semoga saja semua baik-baik saja ya, Mil." "Aamiin, Mbok." "Kamu jaga diri baik-baik, jaga kandungan kamu. Simbok sudah menganggap calon anakmu ini seperti cucu Simbok sendiri," kata Simbok berpesan, Mila mengangguk. "Mil," Simbok dan Mila langsung terdiam saat Yuza tiba-tiba datang ke dapur."Ya, Kak?" jawab Mila mendekati Yuza."Aku sama Mama mau berangkat sekarang. Kamu baik-baik d
Berat bagi Mila menjalani hari-hari yang selalu dalam pantauan Bu Sania dan juga Moza. Gadis kota itu terlihat ramah saat ada Bu Sania dan Yuza, selebihnya dia seperti manusua angku yang minta di keroyok dan dipukuli ramai-ramai. Sore itu, dia merasa begitu lelah setelah seharian berkerja. Intan membantu memijat kaki Mila meski Mila sudah melarangnya. "Tan, jangan lupa untuk siap-siap ya. Kita bisa aja disuruh pergi dari sini kapan saja. Jadi kita harus sudah siap," Kata Mila. "Iya, Kak. Barang-barang Intan kan cuma sedikit," balas Intan. "Iya, semoga mereka mencarikan rumah yang sesuai dan nyaman. Jadi kita bisa usaha cari uang meski tanpa keluar jauh dari rumah." "Maksudnya, kita jualan gitu ya kak?" tanya Intan."Ya gitu juga, boleh." Intan mengangguk seolah benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan. Tiga hari kemudian, Saat Mila sedang membantu Mbok Denok dan Mak Leha di dapur. Bu Sania datang menemui Mila. "Mila," panggil Bu Sania. "Ya, Bu. Bagaimana?" jawab Mila sa
"Kenapa memangnya? anda hanya ingin menerima bayi ini tapi tidak dengan saya?" tanya Mila dengan wajah yang dibuat-buat sedih."Tidak dua-duanya!" tegas Bu Sania.Mila terbelalak pura-pura terkejut mendengar perkataan Bu Sania. "Tega sekali anda, Nyonya. Aku mungkin memang tak pantas menjadi bagian dari kalian. Tapi, bayi ini ... dia ini ... " jawab Mila dengan nada yang terdengar pilu.Di luar dapur, Mak Leha dan Mbok Denok menggaruk kepala mereka karena bingung. Karena tadi Mila bilang punya suami dan sekarang lain pengakuannya."Aku tidak peduli, bawa saja anak itu pergi denganmu!" jawab Bu Sania sinis."Ya Tuhan, tak kusangka dan tak kuduga. Orang yang kelihatannya baik, dermawan suka menolong orang. Tapi tega pada pada darah dagingnya sendiri," ucap Mila."Ck, tidak perlu banyak bicara! Pergi saja ... berapa yang kamu mau agar kamu mau pergi jauh dari kehidupan kami?" tanya Bu Sania. Mila tersenyum miring, ini yang dia tunggu dari tadi. "Aku ... hanya mau Mas Yuza. Dia bisa
Yuza tergelak mendengar penuturan Mila. Dia mengira jika Mila cemburu pada Moza. "Sebenarnya, aku juga tidak suka pada Moza. Dia itu pilihan mamaku, dia putri sahabat baik Mama," ucap Yuza berharap agar Mila mengerti arti ucapannya."Maksudmu, kamu menyukai wanita lain?" tanya Mila. Yuza tersenyum lalu mengangguk."Lalu kenapa bilang padaku, kenapa tidak bilang saja pada orang tuamu," balas Mila membuat Yuza menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ck, gimana ya?" gumam Yuza."Apanya yang gimana?" tanya Mila bingung meligat tingkah Yuza."Sku bingung aja bilang ke mereka, gak punya alasan yang tepat. Ya ... alasan yang mungkin bisa diterima, misal aku bilang sudah punya tambatan hati. Sayangnya, aku gak punya." "Oh begitu ... ya sudah. Terima nasib, mungkin memang dia jodohmu," jawab Mila santai.Yuza tersenyum, jawaban Mila tak sesuai yang dia harapkan. Padahal dia mengira, jika Mila bakal mengatakan, mau di jadikan alasan untuk menolak Moza."Kembalilah ke aula!" usir Mila. Akhirny
Desas-desus Mila hamil semakin ramai diperbincangkan di panti. Semua penghuni menduga jika Mila hamil dengan Yuza, tapi mereka sengaja merahasiakan hubungan mereka karena memiliki alasan tersendiri. Dugaan itu semakin kuat, karena Yuza sangat perhatian pada Mila. "Mila, kamu kalau sudah lelah istirahat saja. Biar Mbok sama Mak Leha yang menyelesaikan semua ini," ucap Mbok Denok yang merasa khawatir karena wajah Mila terlihat pucat. Mereka sedang membuat kue dan makanan untuk menyambut kedatangan orang tua Yuza. "Mungkin Mila semangat untuk menyambut kedatangan mertuanya," celetuk Mak Leha, spontan Mbok Denok menyenggol Mak Leha. Mila cukup terkejut mendengar perkataan Mak Leha. Sejak kapan dia digosipkan jadi istri Yuza. Mila menunduk, sebenarnya dia memang sedang tidak enak badan. Dia merasa pusing dan badan terasa dingin. "Mbok, Mak, Mila masuk ke kamar dulu ya. Gak enak badan soalnya." Mila pada akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar saja. Dia tak ingin memaksakan diri u
Seminggu kemudian ... Mila merasakan sakit kepala yang luar biasa. Dia bahkan tak bisa bangun walau sekadar ingin ke kamar mandi. Intan begitu perhatian pada Mila, untung saja hari ini hari minggu sehingga Intan tak perlu sekolah dan bisa menjaga Mila. Tok~tok Intan membuka pintu kamar, Yuza berdiri di depan pintu. "Mana Kak Mila?" tanya Yuza. "Tuh, kepalanya sakit katanya." Intan menunjuk ke arah Mila yang terbaring di ranjang dengan mata tertutup. Yuza masuk ke dalam dan langsung menyentuh dahi Mila kemudian kaki Mila yang terasa dingin. Yuza mengukur tensi Mila. "Astaga, tensinya rendah sekali," gumam Yuza. "Kak," Intan menyerahkan sesuatu pada Yuza. Yuza tertegun melihat benda yang baru saja Intan berikan padanya. Intan mendekati Yuza lalu berbisik di telingan Yuza. "Intan menemukan itu di kamar mandi sekitar satu minggu yang lalu," bisik Intan. Yuza mengingat-ingat kembali percakapan saat pertama bertemu dengan Mila. "Jangan-jangan ..." ucapan Yuza meng
Subuh buta, Mila sudah terbangun karena alarm yang dia pasang. Dia mengikuti intruksi yang tertera di bungkus testpack. Urine yang paling akurat adalah yang saat bangun tidur. Dia membawa kotak susu uht kosong yang sudah dia potong ke dalam kamar mandi lalu mencucinya untuk dia gunakan sebagai penampung urine nya. Mila menghela napas panjang, lalu mencelupkan stik testpack, beberapa detik saja alat itu sudah menunjukkan dua garis yang bermakna jika dia positif hamil. Mulut Mila terganga, dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ih, nanti aku ken cing lagi lah. Aku tes lagi ..." gumamnya. Mila lekas membersihkan kamar mandi dan keluar dari kamar mandi. Intan sudah terbangun dan menunggu di depan kamar mandi. 'Wah, bocil itu bangunnya pagi sekali,' batin Mila. Mila duduk di kursi belajar milik Intan, dia membuka satu botol air mineral yang semalam dia beli. Meneguknya dengan perlahan sambil memikirkan bagaimana menjelaskan pada Yuza jika memang dirinya hamil. Dia han
"Kamu kenapa, Mir?" tanya Mbok Denok yang merasa jika Mila terlihat aneh. Mila menelan air liurnya. "Mm, aku merasa ingin memakan mangga itu, Mbok." Mbok Denok menatap heran ke arah Mila, lalu mengeluarkan satu per satu mangga dalam kresek. Intan ikut duduk di dekat Mbok Denok. Liur Mila semakin mengucur saat mencium aroma getah mangga. "Kamu kok terlihat kayak oeang ngidam sih, Mil?" celetuk Mbok Debok. Mila tertegun, dia kembali mengingat tanggal periode haid nya. "Astaga ..." gumam Mila dalam hati."Kenapa jadi diam?" tanya Mbok Denok semakin bingung.Mila tersenyum untuk menutupi rasa gugupnya, lalu mengambil satu mangga dan mencium aromanya. "Hmm, seger ... masih belum matang ini," ucap Mila mengalihkan pembicaraan."Iya, kita diamkan dulu beberapa hari baru matang dan bisa kita makan," balas Mbok Denok."Pak Rt itu yang rumahnya berselang dua rumah dari panti ini, kan?" tanya Mila ingin tahu."He'em, yang depan rumahnya ada dua pohon mangga itu," jawab Mbok Denok. Mereka