Home / Pernikahan / Gaun Pengantin Untuk Maduku / Bab. 8. Mengusir Wanita itu.

Share

Bab. 8. Mengusir Wanita itu.

Author: Dwiratna4005
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Alana. Ka--mu kenapa bisa disini? Si--apa yang mengabari kamu kalau Mas disini?" Mas Arman bertanya dengan terbata-bata. Wajah piasnya membuatku gemas ingin memakannya. 

Pintar sekali ia berakting di depanku.

Kalimat terbata itu, hampir saja membuatku tertawa keras. Kalimat itu terdengat menggelikan di telingaku. Kenapa Mas Arman jadi sepanik itu? Padahal kalimatnya yang terlontar itu sangat begitu romantis untuk wanita di belakangku.

Lihatlah bola mata itu. Ia terus bergerak ke kanan ke kiri seolah mencari kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri.

Apakah ia tak menyadari dengan kehadiran dua orang yang berdiri di pintu kamar inapnya?

Atau ia gagal fokus karena kebaradaanku saat ini?

Kubawa langkah untuk masuk dalam kamar inapnya yang berukuran 7x7 m persegi. Tampak besar, namun terasa sepi. Kupindai seluruh ruangannya yang berwarna putih gading. Aku terus melangkah, memutari ranjang dengan mengetuk-ngetukkan jari-jariku di pinggiran ranjang perawatannya.

Dari jarak tiga meter aku bisa mendengar degub jantungnya yang berdetak lebih kencang. Mati-matian aku menahan tawa. Ia berusaha menetralkan wajah pucat itu agar tak ketahuan.

Ternyata ruangan inapnya cukup luas. Ada delapan ranjang yang mengisi di dalamnya. Beruntung hanya Mas Arman yang mengisi di dalamnya, sedang yang lainnya kosong. Dengan begitu aku bisa bebas mengatakan apapun tanpa ada yang mendengar dari orang lain. 

"Wajahmu kenapa, Mas? Kenapa pias begitu? Apa ada yang sakit? Atau kamu kaget melihat kedatanganku disini? Atau ... kamu sedang menunggu seseorang, kah? Pasti kamu tak berharap dengan kedatanganku disini, kan?" 

Dalam kalimat cercaan itu, bisa kulihat wajahnya semakin pucat seperti warna kapas yang melayang di udara. Aku dekatkan wajah pada dagunya yang ditumbuhi rambut halus. Air mukanya semakin pucat pasi saat napas kami bertemu.

"Ngapain kamu natap begitu? Mas biasa aja, sih. Justru Mas menunggu kedatanganmu, Sayang. Siapa yang mengabari kamu kalau Mas ada disini? Aleeya sama siapa di rumah? Anakku nggak rewel, kan?"

Dalam kepanikan, ia masih bisa mengumbar kalimat kebohongan. Aku hanya berdecih lirih. Perhatiannya sangat terlihat palsu ketika menyebut nama anakku. Pasti ia berusaha mati-matian untuk menutupi rasa ketakutan itu.

Ekor matanya terus mengikuti kemana langkahku pergi. Tak satu detik pun ia lepaskan tatapan ketakutan itu dari wajahku. Aku tersenyum penuh kemenangan.

"Masuk, Pak! Sudah saatnya Bapak meminta keterangan pada korban. Sepertinya korban sudah cukup sehat untuk dibawa ke kantor polisi." Aku melirik pada pintu, dimana ada dua orang yang berdiri disana.

Hingga dalam sekejap kemudian, Mas Arman tambah blingsatan. Ia memalingkan wajah pada pintu yang masih terbuka lebar. Tatapannya semakin melebar saat Pak Polisi dan wanita itu memasuki ruang rawatnya yang memiliki jendela satu di dekat pintu.

Aku menelisik dua wajah berbeda jenis kelamin itu. Yang satu menatap tanpa berkedip. Lalu, wajah lainnya tampak tertunduk takut seolah tak saling mengenal satu sama lain.

Ketika dua pasang mata itu bertemu pandang, Mas Arman berusaha memberi isyarat pada wanita itu dengan mengedipkan satu matanya. Sepertinya aku perlu memberi sedikit kesadaran, bahwa perlakuannya itu sangat tak menghargai aku sebagai istri sahnya.

Ketika dua pasang mata masih saling menatap, kutundukan kepala untuk melihat di ujung ranjang. Di bawah mataku ada seonggok kaki berbalut perban sedang terkulai tak berdaya. Mendadak satu ide berilian melintas di kepala. Sepertinya tak mengapa jika pikiran buruk itu aku realisasikan.

Dalam pelan, aku mulai menekan luka pada kaki sebelah kirinya yang dibalut perban putih. Kemudian dengan bersamaan, aku duduk di ujung ranjang yang seolah tak menyadari keberadaan kakinya yang terluka.

"Aww, sakit, Al. Awas! Kaki Mas kamu dudukin!"

"Eh, ada apa, Pak?"

"Kenapa, Mas? Apanya yang sakit?"

Refleks aku segera bangkit ketika dua suara diseberangku saling bersahutan saat mendengar teriakan Mas Arman. Apa katanya tadi? Sayang. Berani sekali wanita itu memanggil seperti itu. 

Tanpa rasa bersalah aku hanya meringis pelan. "Uups, maaf, Mas. Aku nggak lihat. Sakit, ya .... makanya kalau lagi sakit itu matanya jangan kemana-mana. Jadi kesenggol, kan, lukanya."

Kembali kuusap luka di pergelangan kakinya, tak lupa dengan menambah sedikit tekanan pada luka itu.

"Sudah, sudah, Al. Jangan dielus terus. Lama-lama sakit, nih. Sudah, ya. Kamu minggir sana."

Kembali Mas Arman menepis tanganku. Aku hanya menghendikkan bahu tak peduli. Sakit pada lukanya tak seberapa dengan luka di hatiku.

"Iya, iya, maaf lagi, ya. Ya udh aku nggak ngurusin lukamu lagi."

Kutarik langkah mundur ke arah sebuah lemari, yang ada di sebelah ranjangnya. Aku biarkan ia terus meringis menahan sakit. Sepertinya ia memang kesakitan karena ulahku itu.

Perlahan ia memindahkan kaki itu di pinggiran ranjang. Dengan wajah masam ia menggerutu kesal. "Lihat-lihat, dong, Al, kalau mau duduk, kan, ada kaki Mas disitu. Sakit tau." Luka itu kembali ia usap dengan perlahan.

Tanpa rasa malu, ia merengek seperti anak kecil kehilangan mainannya.

"Lebay, Mas, gitu saja sakit. Sakitmu itu nggak seberapa dengan sakit di hatiku," balasku sengit.

"Apa maksudmu?" balasnya pura-pura tak mengerti.

Aku balas melotot padanya. Ia sengaja bersikap seperti itu supaya namaku jelek di depan wanita itu. 

Rasa tak suka semakin menggulung-gulung di dada. Wanita itu jadi ada kesempatan untuk meminta perhatian kepadanya.

"Sudah, Bu, sudah. Kasian Pak Arman. Pasti masih sakit itu lukanya. Sabar, ya, Pak, sabar. Semoga cepet sembuh, ya, lukanya," timal Pak Andri. Lelaki itu mulai iba dengan Mas Arman yang memasang wajah memelas.

"Sudah, nggak apa-apa, Pak. Saya cuma kaget saja tadi. Makanya agak sakit."

"Ya sudah kalau gitu. Saya bisa mulai meminta sedikit penjelasannya tentang kecelakaannya tadi, Pak. Hanya sebentar untuk melengkapi laporan kami ke kantor. Supaya Bapak bisa segera pulang ke rumah."

"Bisa, Pak, bisa. Silahkan. Saya bisa memberi keterangan sedikit-sedikit. Tapi jangan banyak-banyak, ya, Pak. Saya masih sering pusing jika dibawa mikir terus." Mas Arman menjawab sambil memperbaiki posisi duduknya.

Satu bantal guling ia sisipkan antara punggung dan sandaran ranjang. Mungkin punggungnya terasa kaku karena sandara ranjang itu keras. Ya syukurin, Mas. Siapa suruh kecelakaan.

"Eheem, eheem." Aku berdehem cukup keras untuk menegur wanita itu. Ia mulai terang-terangan menunjukan perhatiannya pada Mas Arman. 

Ia sengaja memberikan tisu pada lelaki itu. Dasar sok perhatian.

Sialan memang! Seperti minta dikasih satu tamparan wanita ini biar kapok. Segera kurebut bantal yang sudah ada di tangannya. Ia seolah punya hak untuk melayani Mas Arman di rumah sakit ini.

"Sini biar saya saja, Mbak. Disini ada istrinya. Jadi nggak perlu bantuan kamu. Minggir." Kudorong ia sedikit kasar agar menjauh dari ranjang.

"Al." Mas Arman menegurku.

"Apa? Wanita ini harus tahu gimana bersikap kepada yang bukan mahramnya. Itu diharamkan dalam islam."

"Dia hanya membantu."

"Membantu membayar biaya perawatanmu saja l itu lebih mulia, Mas," hardikku tak mau kalah.

Berani sekali ia membelanya. Aku melirik sinis wanita itu. Ia pasti besar kepala, karena mendapat pembelaan dari Mas Arman.

"Awas! Jangan berani macam-macam di depanku," ancamku kembali tak peduli.

Kutarik mundur langkahku untuk duduk di sofa ujung. Marah-marah sambil berdiri itu lelah. Kalian telah menguras tenagaku.

"Bisa kita mulai? Saya tak banyak waktu untuk mendengarkan pertengkarang kalian. Ini di rumah sakit, Bapak, Ibu. Tolong dipahami, ya."

Intrupsi Pak Andri kembali membuat kami berhenti berdebat. Aku mendorong kaki meja karena kesal.

"Silahkan dilanjut, Pak."

Pak Andri mulai meminta keterangan. Semuanya ia tanya dengan detail. Kulihat Mas Arman tampak terbata-bata saat menjawab. Pasti ada yang disembunyikan darinya. 

Sesekali aku memperhatikannya yang selalu mencuri pandang padaku, lalu bergantian pada wanita itu. Rasanya ingin sekali aku menjambak rambut keduanya yang seperti remaja jatuh cinta.

Aargh! Awas kau Arman. Tunggu pembalasanku.

"Ok. Karena keterangan sudah lengkap saya permisi, ya, Pak. Semoga cepat sehat, ya."

"Baik, Pak, hati-hati di jalan."

Akhirnya, hanya kami bertiga yang ada di ruangan rawat ini. Wanita itu masih setia berdiri di pojok ruangan. Sepertinya ia punya banyak nyali untuk berlama-lama disini.

"Siapa dia, Mas?"

Aku mulai mengintrogasi.

"Siapa?" 

Mas Arman menatapku. Ia bersiap untuk berbaring kembali di ranjang.

"Wanita itu siapa?" Kutekan kalimat itu, agar ia tak meremehkan aku.

Kuangkat dagu untuk menunjuk wanita yang bernama Hafsa. Ia menggenggam erat ujung roknya, seperti untuk mengurangi rasa gugupnya. Kemana keberaniannya saat ada Pak Andri disini.

"Mas tak kenal."

"Apa?" Hafsa mendelik padanya.

"Apa? Kan memang kita tak kenal. Dia hanya menolong Mas di jalan, Al. Selebihnya tak kenal."

Mas Arman enteng mengeluarkan kalimat itu. Aku tersenyum sinis. Wajah wanita itu memerah seperti menahan gejolak amarah yang mulai menggelung di dada.

"Ya sudah kalau tak kenal. Kamu silahkan keluar dari sini. Kedatanganmu tak ada gunanya disini."

"Al."

"Mbak."

"Apa? Benarkan omonganku. Ngapain menyimpan sosok tak kenal diantara kita. Buang-buang waktu percuma. Silahkan keluar dari sini! Masih ingat dengan pintu keluarnya, kan, Mbak Hafsa?"

Kembali kuangkat dagu ke arah pintu. Tanpa berkata apapun wanita itu keluar setelah menghentakkan kaki dengan kesal.

Aku tersenyum mendengar kalimat tak kenal itu.

Permainan akan segera dimulai, Mas.

"Akan kupastikan kau takkan menang melawanku, Mas. Cinta itu akan memusnahkan kesenanganmu."

Bersambung.....

Related chapters

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 9. Bukti WA.

    Tak sampai lima menit pintu itu tertutup dari luar, aku memulai kembali interogasiku pada Mas Arman. Lelaki ini semakin dibiarkan akan semakin menjadi. Sikapnya akan semakin parah jika aku hanya diam tak bergerak.Mungkin ia lupa, bahwa aku pernah mengucap sebaris kalimat pamungkas sesaat setelah ia mengucapkan akad kala itu, bahwa aku membenci pengkhianatan.Saat ini, lelaki yang tengah mencoba mengalihkan pembahasan penting itu semakin salah tingkah. Sepertinya ia mulai sadar jika aku telah mencurigainya."Kamu yakin, Mas, tidak mengenal wanita itu? Kalau aku perhatikan kalian seperti sudah saling mengenal lama. Benarkah begitu?" tanyaku lagi dengan kalimat yang sama.Kuangkat bobot tubuh dari sofa untuk mendekatinya, yang seolah sibuk dengan bantalnya yang ada di belakang punggung berseragam rumah sakit."Kamu ini apa-apaan, sih, Al! Sudah berkali-kali aku bilang nggak kenal ya nggak kenal! Tolonglah, Al, jangan ngomong ngelantur kemana-mana! Mas lagi sakit ini. Perihatin sedikit k

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 10. Tagihan Rumah Sakit.

    Aku berusaha menguasai diri yang tengah dilanda amarah yang membara. Sekuat hati aku menguatkan hati untuk tetap tegar menghadapi cobaan ini. Masa depan di depan mata harus segera aku siapkan. Takkan kubiarkan Mas Arman tertawa setelah berpisah denganku."Kamu bisa, Al. Ayo kamu harus kuat demi harga diri seorang wanita.""Ingat, Al, segala pengorbanan dulu yang pernah kamu keluarkan harus mendapat balasan yang setimpal.""Kebahagiaan anakku harus mendapatkan bagiannya. Aku takkan membiarkan anakku hidup dalam kesengsaraan.""Aku harus menyimpan bukti chat ini. Aku harus menscreenshotnya. Iya, benar, aku harus screenshot semuanya.""Semua bukti ini akan mempermudah jalanku di pengadilan nanti."Kalimat-kalimat monolog itu terus aku ucapkan dengan kesadaran yang tak sepenuhnya normal. Berkali-kali juga air mataku mengalir, walau selalu aku seka tanpa jeda. Sialnya, air mata ini tak mau berhenti sama sekali."Tarik napas, Al, ayo tarik napas. Tarik, lalu buang jauh-jauh. Ayo ulangi seka

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 11. Pov. Arman. Airpod Rahasia.

    POV. ARMAN."Kapan, sih, istrimu itu nurut sama omongan Mama. Dari dulu selalu membangkang. Nggak pernah nurut kalau di tegur. Heran. Masih aja keras kepala kalau ribut sama mertua. Makin sebel Mama tuh sama istri kamu!"Kembali aku membuang napas kasar. Sejak kepergian Alana, Mama terus saja mengomel. Ucapannya terdengar sangat menggebu-gebu. Sejak tadi kuperhatikan sorot matanya masih saja terfokus pada pintu yang sudah tertutup itu.Padahal Alana sudah beberapa menit yang lalu menghilang dari balik pintu itu. Namun, Mama masih terlihat kesal sekali."Iya, aku juga sebel banget sama itu Mak Lampir! Nyolot terus omongannya! Pingin banget rasanya aku tampol itu bibirnya! Sok cantik banget! Mana sakit lagi kaki aku, Ma."Kepalaku bertambah pusing, karena ucapan Liana turut menimpali omelan Mama sejak tadi. Ia yang sering sekali menjadi kompor mbleduk, sangat cocok sekali berpasangan dengan Mama Ratih yang mudah terbakar amarahnya.Kulirik sekilas Liana yang tengah memijit pergelangan k

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 12. Gaun Victoria.

    Dibalik pintu lobby rumah sakit, aku tersenyum puas. Rasanya seperti kembang api yang meledak bersamaan di malam tahun baru. Jangan kalian pikir aku akan diam saja, setelah semua yang kalian lakukan padaku. Ini hanya sejengkal balasan yang tak seberapa. Mungkin tagihan biaya rumah sakit ini, hanya sebagai shock therapy untukmu, Mama.Bias senja yang mulai kekuningan, membuatku harus menarik langkah buru-buru untuk meninggalkan rumah sakit. Tujuan langkahku pada sebuah cafe es krim yang terletak di seberang rumah sakit.Tempo Gelato Prawirotaman, nama cafe es krim yang menjadi tujuanku untuk melepas penat barang sebentar, dan tentu saja itu hanya rencana kamuflase saja dibalik tujuan utamaku yang sebenarnya. Mendengar obrolan seseorang di balik airpod yang telah aku sembunyikan disana, menjadi tujuan utamaku duduk di cafe es krim ini."Selamat pagi, Kak. Ada yang bisa dibantu? Mau pesan apa?"Pelayan cafe es krim bertanya padaku, yang baru saja masuk ke dalam cafe-nya yang bertema baby

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 13. Menangis di Pelukan

    Di bawah benderangnya lampu yang berpendar, aku dan Mbak Vina masih beradu pandang. Ia tampak mengerutkan dahi. Tatapannya seolah menandakan, bahwa banyak pertanyaan yang harus aku jawab untuknya. Pinggang ramping itu ia angkat dari kursi kerjanya, kemudian langkah pelan ia lakukan untuk mendekatimu. Tak sedikitpun tatapannya beralih dariku. Aku hanya bisa menelan saliva, sepertinya aku terlalu cepat menanyakan perihal gaun itu. Namun, apa mau di kata, terlanjur basah, ya, sudah basah sekalian. "Gaun pengantin mana yang kamu maksud, Al? Kamu tau, kan, disini banyak gaun pengantin, jadi kalau ngomong jangan setengah-setengah kamu, ya! Kebiasaan!" tukasnya padaku dengan mata membeliak, dan hanya kubalas deheman ringan. Aku yang sudah bersiap diri tentang apa yang akan ia tanyakan, malah dibuat terhenyak seketika. Langkah pelannya malah melewatiku menuju pintu di belakang tubuhku. Aku membalik badan seketika, melihat apa yang ia cari di luar pintu. Mbak Vina hanya menggelengkan kepal

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 14. Teringat Masa Kelam

    Di setiap detik yang berlalu, kembali menyadarkan aku dari pentingnya menghargai waktu yang terus berjalan. Saat waktu yang telah terlewati, ia takkan bisa terulang, begitu pun dengan kesempatan. Aku mulai sadar dan teringat kembali dengan semua yang terjadi, bahwa hidupku mulai berantakan setelah kedatangan lelaki itu.Meski pembahasan gaun pengantin itu belum selesai, aku masih beradu tegang dengan Mbak Vina, perihal kesempatan yang bisa aku berikan untuk Mas Arman. Ia berharap aku mau mempertimbangkan usul itu, tapi sayangnya itu tak berlaku padaku yang memegang teguh wanita berprinsip. Kembali ponselku berdering. Dengan sigap Mbak Vina memberikan kepadaku, agar segera kujawab. Aku hanya mendengus kasar. Dan tetap mengabaikan nomer itu yang menari-nari disana dengan sepuasnya."Biarkan saja, Mbk. Nggak usah dijawab teleponnya. Biar tau rasa dia. Pasti mereka panik banget di rumah sakit. Hahaha." Sambil tergelak, aku letakkan kembali ponsel itu ke meja. Dan bersamaan dengan itu,

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 15. Kepelitan Membawa Keberkahan.

    Faktanya memang benar, takdir seseorang itu takkan berubah jika seseorang itu tak mau merubahnya. Majunya hidup seseorang itu tergantung dari ikhtiar dan usahanya yang maksimal. Makin rajin dirinya, maka makin banyak pula peluang kesuksesan yang bisa diraihnya.Mungkin, jika dulu aku masih bermalas-malasan hidupku takkan seperti ini. Mungkin, jika aku masih mengabaikan usul Ibu Angkat dan mertuaku untuk mengirim beberapa desain simple ke beberapa butik ternama, aku takkan mungkin jadi salah satu desainer yang diperhitungakn kemampuannya.Membayangkan pun aku tak pernah mau untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu semua berkat restu dari dua perempuan yang sudah membantuku tanpa pamrih apapun.Entah sudah berapa kali dua perempuan hebat itu selalu mengingatkanku, akan saran itu untukku segera mewujudkannya. Katanya, kalau usaha itu tak dicoba kita mana tahu akan beruntung atau tidak. Hingga, salah satu penyebab kenekatanku untuk menjalankan saran itu adalah dengan keberadaan Aleeya yang

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 16. Berhasil Menyadap WA.

    Tok tok tok.Aku mengetuk pintu berwarna coklat yang masih tertutup rapat. Entah sudah keberapa kali ketukan itu aku layangkan, namun tak juga terbuka dari dalam. Jam malam yang hampir terlewati, aku memutuskan untuk pulang ke rumah Ibu saja. Toh, di rumahku juga tak ada siapa-siapa."Ibu mana, sih? Lama banget buka pintunya! Mana mau hujan lagi!" gerutuku kesal pada pintu yang masih tertutup. Aku melihat ke atas, dimana langit sudah menggelap karena awannya yang menghitam."Bu! Lana pulang! Bukain, dong, pintunya!" Kembali aku mengetuk pintu itu dengan kuat. Andaikan bel di rumah Ibu tidak rusak, pasti aku sudah masuk dari tadi.Mengintip pada celah gorden di jendela pun tak bisa, karena lampu didalamnya sudah padam. Sepertinya para penghuni rumah Ibu sudah melelapkan matanya pada kegelapan."Assalamualaikum, Alana pulang, Bu!" Suaraku yang mulai serak, tak bisa lagi berteriak memanggil Ibu.Sedetik kemudian, ide brilian muncul di kepalaku. Kurogoh ponsel di dalam tas. Aplikasi WA mi

Latest chapter

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 22. Maling Uang.

    "Kamu pikir kamu siapa bisa mengaturku, Mas! Sebelum perselingkuhanmu terbongkar, aku wajib menuruti semua perkataanmu sebagai suami. Tapi kali ini, itu semua sudah aku hapus setelah kedokmu terbongkar! Tak ada maaf lagi untukmu mulai sekarang ini!"Aku terus menggrutu setelah keluar dari ruang inap di belakangku. Sudah bisa aku pastikan mereka takkan bisa tersenyum lagi setelah semua pembalasanku terjadi. Wanita yang dulu mereka anggap baik, sudah tak ada lagi. Telah aku hapus semua rasa kebaikanku untuk kalian."Aduh! Kalau jalan pakai mata, dong! Gimana, sih! Jadi sakit, kan, sikuku terbentur lantai!" Aku berteriak kesal karena tersungkur ke lantai. Entah siapa yang menabrak bahuku dari belakang.Baru juga keluar dari ruangan itu, malah terkena sial. Sepertinya karena kebanyakan bergaul dengan mereka, jadi kesialan terus mengikuti aku. Mereka semua memang pembawa sial.Pergelangan tanganku sakit seketika, karena menahan bobot tubuh yang hampir saja mencium lantai berkeramik marmer.

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 21. Memohon-mohon

    "Mau apa kamu, hah!" Seketika mataku mendelik, saat Liana ingin menyambar ponselku. Secepat kilat kusembunyikan benda canggih ini ke belakang punggungku, agar dia tak bisa sembarangan mengambilnya. Tatapannya yang dipenuhi dengan kobaran api yang menyala-nyala, seolah ingin menerkamku saat ini juga. Netranya yang mulai basah, seakan menolak fakta bahwa yang ada dalam foto dan video itu bukan dirinya. Liana memang pandai memutar keadaan. Dia bak artis pemeran utama, yang sangat lihay menjalankan perannya. Sejenak kubalas tatapannya yang pintar bersandiwara itu dengan senyum sinis tak bersahabat. Dia pikir bisa mengelabuiku. "Bawa sini ponsel itu!" Liana semakin berani membentakku. Namun, perlakuannya itu tak mampu membuat pertahananku runtuh. Hatiku sudah sekeras batu terhadap semua keluarganya. "Mimpi! Jangan harap aku akan memberikannya! Kamu pikir kamu siapa, hah!" Liana semakin meraung sejadi-jadinya. Kepalan tangannya memukul dinding berulang kali, seolah i

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 20. Pelaku

    Seketika aku tertawa dalam hati, setelah mendengar semua penghinaan itu dari bibirnya Mama Ratih. Lihat saja, jika video dalam ponselku sudah dilihatnya dengan mata sendiri, apakah ia masuh bisa terus menghinaku.Mari kita buktikan. Bukti ini akan membungkam mulutnya yang lantam.Ponsel yang ada di dalam tas, kuambil dengan cepat. Aku buka aplikasi rahasia untuk mencari bukti berupa video. Video rahasia yang kusimpan beberapa hari yang lalu masih aman di dalamnya.Tanpa berpikir ulang, video berjumlah lima buah dengan durasi masing-masing hampir lima belas menit, sudah aku kirim ke beberapa sosmed milikku. Tak ada satupun kontak di ponsel yang aku private. Biarkan mereka semua tahu. Apa itu pembalasan yang sesungguhnya. Apa yang sudah keluar dari bibir ini, pantang untuk dijilat kembali.Setelah ini, akan terbukti siapa yang bisa membalas dengan menyakitkan.Harga diri yang sudah tercoreng, harus diselamatkan walau harus bertarung nyawa. Kini tinggal menunggu bom itu meledak, maka hab

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 19. Video Asusila

    "Tenang, Al! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Mas bisa menjelaskan semuanya!" dalihnya berusaha membela diri. Tak lama setelah kalimat itu terucap, ia berusaha turun dari ranjang dengan susah payah. Sayangnya, pembelaan itu tak berarti apa-apa untukku. Kalimat pembelaan yang sengaja ia lontarkan, semakin membuat hatiku terhantam pilu. Pilu untuk kesekian kalinya, hingga tak terasa apapun di dalam sana. Hambar. Itulah yang kurasa saat ini. "Jadi menurutmu pikiranku salah begitu! Lantas bagaimana dengan pikiranmu sendiri, Mas! Apa perlu otakmu aku cuci dengan spon pencuci piring biar jernih, iya! Bener-bener kamu, ya!" Serta merta aku meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Dalam keadaan remang-remang dalam ruangan rawatnya, semakin membuat napasku sesak. Lelaki ini pintar sekali memanfaatkan keadaan. Ia sengaja mematikan lampu dalam ruangannya, agar tak terlihat mencolok dari keadaan orang luar yang lalu lalang di depan ruang inapnya. Bukankah ia cerdik sekali. "Bu–kan begi

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 18. Melabrak Dengan Mata Sendiri

    Di sela meeting yang masih berjalan, aku masih menarik sudut bibir secara diam-diam. Ternyata paket itu sudah sampai lebih cepat dari dugaanku. Kalian pasti terkejut atas datangnya paket terbaru itu. Tentu benak kalian takkkan mampu menerima sebuah kenyataan, yang dimana kenyataan itu lebih hina dari sekedar berzina. Bisa aku pastikan, jika isi paket itu tersebar ke semua orang, kalian semua pasti merasa tak ingin lagi hidup di dunia ini. Sungguh keberuntungan yang sangat menguntungkan. Baru kali ini aku merasa bangga karena mendapatkan keberuntungan itu. "Aww!" sentakku terjaga dari lamunan indah itu. Kugerakkan leher ke sebelah kiri, dimana Mbak Vina berada yang telah mencubit pinggangku. Aku menggeram marah. Bisa-bisanya ia menyubitku disaat meeting dengan tamu penting. "Sakit bego, Mbak!" bisikku kesal padanya, yang dibalasnya dengan membeliakkan mata beloknya. "Makanya kalau meeting itu yang serius! Jangan cuma plonga plongo doang kamu, ya!" hardiknya padaku, yang ketahuan m

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 17. Paket Misterius

    Senyum lepas aku tarik untuk pembalasanku kali ini. Kalian yang memulai untuk melibatkan Bapakku. Jadi, jangan salahkan aku yang ikut melibatkan anggota keluarga kalian.Kulepas ponsel dari kabel charger yang belum terisi penuh. Menghubungi seseorang pagi ini jauh lebih penting, dari sekedar mengisi baterainya. Ibu jariku membuka WA untuk mencari nomor ponsel, yang baru dikirim Ilana barusan.Segera aku telepon nomor berjumlah delapan digit itu."Hallo, selamat pagi. Apa benar ini dengan kurir ekspedisi JNA?" Satu salam tanda kesopanan aku lontarkan pada admin sebuah ekspedisi."Iya, betul, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?"Admin itu menjawab dengan suara khasnya yang lembut.Sebelum menjawab, aku menuliskan alamat pada amplop yang sudah aku tutup rapat dengan double selotip. "Bisa ambil paket ke rumah, Mbak. Saya mau mengirimkan sebuah amplop pagi ini."Kembali aku tersenyum lepas saat alamat itu sudah tertulis rapi dengan huruf capslock bertinta tebal."Bisa, Mbak. Kebetulan hari ini

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 16. Berhasil Menyadap WA.

    Tok tok tok.Aku mengetuk pintu berwarna coklat yang masih tertutup rapat. Entah sudah keberapa kali ketukan itu aku layangkan, namun tak juga terbuka dari dalam. Jam malam yang hampir terlewati, aku memutuskan untuk pulang ke rumah Ibu saja. Toh, di rumahku juga tak ada siapa-siapa."Ibu mana, sih? Lama banget buka pintunya! Mana mau hujan lagi!" gerutuku kesal pada pintu yang masih tertutup. Aku melihat ke atas, dimana langit sudah menggelap karena awannya yang menghitam."Bu! Lana pulang! Bukain, dong, pintunya!" Kembali aku mengetuk pintu itu dengan kuat. Andaikan bel di rumah Ibu tidak rusak, pasti aku sudah masuk dari tadi.Mengintip pada celah gorden di jendela pun tak bisa, karena lampu didalamnya sudah padam. Sepertinya para penghuni rumah Ibu sudah melelapkan matanya pada kegelapan."Assalamualaikum, Alana pulang, Bu!" Suaraku yang mulai serak, tak bisa lagi berteriak memanggil Ibu.Sedetik kemudian, ide brilian muncul di kepalaku. Kurogoh ponsel di dalam tas. Aplikasi WA mi

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 15. Kepelitan Membawa Keberkahan.

    Faktanya memang benar, takdir seseorang itu takkan berubah jika seseorang itu tak mau merubahnya. Majunya hidup seseorang itu tergantung dari ikhtiar dan usahanya yang maksimal. Makin rajin dirinya, maka makin banyak pula peluang kesuksesan yang bisa diraihnya.Mungkin, jika dulu aku masih bermalas-malasan hidupku takkan seperti ini. Mungkin, jika aku masih mengabaikan usul Ibu Angkat dan mertuaku untuk mengirim beberapa desain simple ke beberapa butik ternama, aku takkan mungkin jadi salah satu desainer yang diperhitungakn kemampuannya.Membayangkan pun aku tak pernah mau untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu semua berkat restu dari dua perempuan yang sudah membantuku tanpa pamrih apapun.Entah sudah berapa kali dua perempuan hebat itu selalu mengingatkanku, akan saran itu untukku segera mewujudkannya. Katanya, kalau usaha itu tak dicoba kita mana tahu akan beruntung atau tidak. Hingga, salah satu penyebab kenekatanku untuk menjalankan saran itu adalah dengan keberadaan Aleeya yang

  • Gaun Pengantin Untuk Maduku   Bab. 14. Teringat Masa Kelam

    Di setiap detik yang berlalu, kembali menyadarkan aku dari pentingnya menghargai waktu yang terus berjalan. Saat waktu yang telah terlewati, ia takkan bisa terulang, begitu pun dengan kesempatan. Aku mulai sadar dan teringat kembali dengan semua yang terjadi, bahwa hidupku mulai berantakan setelah kedatangan lelaki itu.Meski pembahasan gaun pengantin itu belum selesai, aku masih beradu tegang dengan Mbak Vina, perihal kesempatan yang bisa aku berikan untuk Mas Arman. Ia berharap aku mau mempertimbangkan usul itu, tapi sayangnya itu tak berlaku padaku yang memegang teguh wanita berprinsip. Kembali ponselku berdering. Dengan sigap Mbak Vina memberikan kepadaku, agar segera kujawab. Aku hanya mendengus kasar. Dan tetap mengabaikan nomer itu yang menari-nari disana dengan sepuasnya."Biarkan saja, Mbk. Nggak usah dijawab teleponnya. Biar tau rasa dia. Pasti mereka panik banget di rumah sakit. Hahaha." Sambil tergelak, aku letakkan kembali ponsel itu ke meja. Dan bersamaan dengan itu,

DMCA.com Protection Status