Di bawah benderangnya lampu yang berpendar, aku dan Mbak Vina masih beradu pandang. Ia tampak mengerutkan dahi. Tatapannya seolah menandakan, bahwa banyak pertanyaan yang harus aku jawab untuknya. Pinggang ramping itu ia angkat dari kursi kerjanya, kemudian langkah pelan ia lakukan untuk mendekatimu. Tak sedikitpun tatapannya beralih dariku. Aku hanya bisa menelan saliva, sepertinya aku terlalu cepat menanyakan perihal gaun itu. Namun, apa mau di kata, terlanjur basah, ya, sudah basah sekalian. "Gaun pengantin mana yang kamu maksud, Al? Kamu tau, kan, disini banyak gaun pengantin, jadi kalau ngomong jangan setengah-setengah kamu, ya! Kebiasaan!" tukasnya padaku dengan mata membeliak, dan hanya kubalas deheman ringan. Aku yang sudah bersiap diri tentang apa yang akan ia tanyakan, malah dibuat terhenyak seketika. Langkah pelannya malah melewatiku menuju pintu di belakang tubuhku. Aku membalik badan seketika, melihat apa yang ia cari di luar pintu. Mbak Vina hanya menggelengkan kepal
Di setiap detik yang berlalu, kembali menyadarkan aku dari pentingnya menghargai waktu yang terus berjalan. Saat waktu yang telah terlewati, ia takkan bisa terulang, begitu pun dengan kesempatan. Aku mulai sadar dan teringat kembali dengan semua yang terjadi, bahwa hidupku mulai berantakan setelah kedatangan lelaki itu.Meski pembahasan gaun pengantin itu belum selesai, aku masih beradu tegang dengan Mbak Vina, perihal kesempatan yang bisa aku berikan untuk Mas Arman. Ia berharap aku mau mempertimbangkan usul itu, tapi sayangnya itu tak berlaku padaku yang memegang teguh wanita berprinsip. Kembali ponselku berdering. Dengan sigap Mbak Vina memberikan kepadaku, agar segera kujawab. Aku hanya mendengus kasar. Dan tetap mengabaikan nomer itu yang menari-nari disana dengan sepuasnya."Biarkan saja, Mbk. Nggak usah dijawab teleponnya. Biar tau rasa dia. Pasti mereka panik banget di rumah sakit. Hahaha." Sambil tergelak, aku letakkan kembali ponsel itu ke meja. Dan bersamaan dengan itu,
Faktanya memang benar, takdir seseorang itu takkan berubah jika seseorang itu tak mau merubahnya. Majunya hidup seseorang itu tergantung dari ikhtiar dan usahanya yang maksimal. Makin rajin dirinya, maka makin banyak pula peluang kesuksesan yang bisa diraihnya.Mungkin, jika dulu aku masih bermalas-malasan hidupku takkan seperti ini. Mungkin, jika aku masih mengabaikan usul Ibu Angkat dan mertuaku untuk mengirim beberapa desain simple ke beberapa butik ternama, aku takkan mungkin jadi salah satu desainer yang diperhitungakn kemampuannya.Membayangkan pun aku tak pernah mau untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu semua berkat restu dari dua perempuan yang sudah membantuku tanpa pamrih apapun.Entah sudah berapa kali dua perempuan hebat itu selalu mengingatkanku, akan saran itu untukku segera mewujudkannya. Katanya, kalau usaha itu tak dicoba kita mana tahu akan beruntung atau tidak. Hingga, salah satu penyebab kenekatanku untuk menjalankan saran itu adalah dengan keberadaan Aleeya yang
Tok tok tok.Aku mengetuk pintu berwarna coklat yang masih tertutup rapat. Entah sudah keberapa kali ketukan itu aku layangkan, namun tak juga terbuka dari dalam. Jam malam yang hampir terlewati, aku memutuskan untuk pulang ke rumah Ibu saja. Toh, di rumahku juga tak ada siapa-siapa."Ibu mana, sih? Lama banget buka pintunya! Mana mau hujan lagi!" gerutuku kesal pada pintu yang masih tertutup. Aku melihat ke atas, dimana langit sudah menggelap karena awannya yang menghitam."Bu! Lana pulang! Bukain, dong, pintunya!" Kembali aku mengetuk pintu itu dengan kuat. Andaikan bel di rumah Ibu tidak rusak, pasti aku sudah masuk dari tadi.Mengintip pada celah gorden di jendela pun tak bisa, karena lampu didalamnya sudah padam. Sepertinya para penghuni rumah Ibu sudah melelapkan matanya pada kegelapan."Assalamualaikum, Alana pulang, Bu!" Suaraku yang mulai serak, tak bisa lagi berteriak memanggil Ibu.Sedetik kemudian, ide brilian muncul di kepalaku. Kurogoh ponsel di dalam tas. Aplikasi WA mi
Senyum lepas aku tarik untuk pembalasanku kali ini. Kalian yang memulai untuk melibatkan Bapakku. Jadi, jangan salahkan aku yang ikut melibatkan anggota keluarga kalian.Kulepas ponsel dari kabel charger yang belum terisi penuh. Menghubungi seseorang pagi ini jauh lebih penting, dari sekedar mengisi baterainya. Ibu jariku membuka WA untuk mencari nomor ponsel, yang baru dikirim Ilana barusan.Segera aku telepon nomor berjumlah delapan digit itu."Hallo, selamat pagi. Apa benar ini dengan kurir ekspedisi JNA?" Satu salam tanda kesopanan aku lontarkan pada admin sebuah ekspedisi."Iya, betul, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?"Admin itu menjawab dengan suara khasnya yang lembut.Sebelum menjawab, aku menuliskan alamat pada amplop yang sudah aku tutup rapat dengan double selotip. "Bisa ambil paket ke rumah, Mbak. Saya mau mengirimkan sebuah amplop pagi ini."Kembali aku tersenyum lepas saat alamat itu sudah tertulis rapi dengan huruf capslock bertinta tebal."Bisa, Mbak. Kebetulan hari ini
Di sela meeting yang masih berjalan, aku masih menarik sudut bibir secara diam-diam. Ternyata paket itu sudah sampai lebih cepat dari dugaanku. Kalian pasti terkejut atas datangnya paket terbaru itu. Tentu benak kalian takkkan mampu menerima sebuah kenyataan, yang dimana kenyataan itu lebih hina dari sekedar berzina. Bisa aku pastikan, jika isi paket itu tersebar ke semua orang, kalian semua pasti merasa tak ingin lagi hidup di dunia ini. Sungguh keberuntungan yang sangat menguntungkan. Baru kali ini aku merasa bangga karena mendapatkan keberuntungan itu. "Aww!" sentakku terjaga dari lamunan indah itu. Kugerakkan leher ke sebelah kiri, dimana Mbak Vina berada yang telah mencubit pinggangku. Aku menggeram marah. Bisa-bisanya ia menyubitku disaat meeting dengan tamu penting. "Sakit bego, Mbak!" bisikku kesal padanya, yang dibalasnya dengan membeliakkan mata beloknya. "Makanya kalau meeting itu yang serius! Jangan cuma plonga plongo doang kamu, ya!" hardiknya padaku, yang ketahuan m
"Tenang, Al! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Mas bisa menjelaskan semuanya!" dalihnya berusaha membela diri. Tak lama setelah kalimat itu terucap, ia berusaha turun dari ranjang dengan susah payah. Sayangnya, pembelaan itu tak berarti apa-apa untukku. Kalimat pembelaan yang sengaja ia lontarkan, semakin membuat hatiku terhantam pilu. Pilu untuk kesekian kalinya, hingga tak terasa apapun di dalam sana. Hambar. Itulah yang kurasa saat ini. "Jadi menurutmu pikiranku salah begitu! Lantas bagaimana dengan pikiranmu sendiri, Mas! Apa perlu otakmu aku cuci dengan spon pencuci piring biar jernih, iya! Bener-bener kamu, ya!" Serta merta aku meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Dalam keadaan remang-remang dalam ruangan rawatnya, semakin membuat napasku sesak. Lelaki ini pintar sekali memanfaatkan keadaan. Ia sengaja mematikan lampu dalam ruangannya, agar tak terlihat mencolok dari keadaan orang luar yang lalu lalang di depan ruang inapnya. Bukankah ia cerdik sekali. "Bu–kan begi
Seketika aku tertawa dalam hati, setelah mendengar semua penghinaan itu dari bibirnya Mama Ratih. Lihat saja, jika video dalam ponselku sudah dilihatnya dengan mata sendiri, apakah ia masuh bisa terus menghinaku.Mari kita buktikan. Bukti ini akan membungkam mulutnya yang lantam.Ponsel yang ada di dalam tas, kuambil dengan cepat. Aku buka aplikasi rahasia untuk mencari bukti berupa video. Video rahasia yang kusimpan beberapa hari yang lalu masih aman di dalamnya.Tanpa berpikir ulang, video berjumlah lima buah dengan durasi masing-masing hampir lima belas menit, sudah aku kirim ke beberapa sosmed milikku. Tak ada satupun kontak di ponsel yang aku private. Biarkan mereka semua tahu. Apa itu pembalasan yang sesungguhnya. Apa yang sudah keluar dari bibir ini, pantang untuk dijilat kembali.Setelah ini, akan terbukti siapa yang bisa membalas dengan menyakitkan.Harga diri yang sudah tercoreng, harus diselamatkan walau harus bertarung nyawa. Kini tinggal menunggu bom itu meledak, maka hab
"Kamu pikir kamu siapa bisa mengaturku, Mas! Sebelum perselingkuhanmu terbongkar, aku wajib menuruti semua perkataanmu sebagai suami. Tapi kali ini, itu semua sudah aku hapus setelah kedokmu terbongkar! Tak ada maaf lagi untukmu mulai sekarang ini!"Aku terus menggrutu setelah keluar dari ruang inap di belakangku. Sudah bisa aku pastikan mereka takkan bisa tersenyum lagi setelah semua pembalasanku terjadi. Wanita yang dulu mereka anggap baik, sudah tak ada lagi. Telah aku hapus semua rasa kebaikanku untuk kalian."Aduh! Kalau jalan pakai mata, dong! Gimana, sih! Jadi sakit, kan, sikuku terbentur lantai!" Aku berteriak kesal karena tersungkur ke lantai. Entah siapa yang menabrak bahuku dari belakang.Baru juga keluar dari ruangan itu, malah terkena sial. Sepertinya karena kebanyakan bergaul dengan mereka, jadi kesialan terus mengikuti aku. Mereka semua memang pembawa sial.Pergelangan tanganku sakit seketika, karena menahan bobot tubuh yang hampir saja mencium lantai berkeramik marmer.
"Mau apa kamu, hah!" Seketika mataku mendelik, saat Liana ingin menyambar ponselku. Secepat kilat kusembunyikan benda canggih ini ke belakang punggungku, agar dia tak bisa sembarangan mengambilnya. Tatapannya yang dipenuhi dengan kobaran api yang menyala-nyala, seolah ingin menerkamku saat ini juga. Netranya yang mulai basah, seakan menolak fakta bahwa yang ada dalam foto dan video itu bukan dirinya. Liana memang pandai memutar keadaan. Dia bak artis pemeran utama, yang sangat lihay menjalankan perannya. Sejenak kubalas tatapannya yang pintar bersandiwara itu dengan senyum sinis tak bersahabat. Dia pikir bisa mengelabuiku. "Bawa sini ponsel itu!" Liana semakin berani membentakku. Namun, perlakuannya itu tak mampu membuat pertahananku runtuh. Hatiku sudah sekeras batu terhadap semua keluarganya. "Mimpi! Jangan harap aku akan memberikannya! Kamu pikir kamu siapa, hah!" Liana semakin meraung sejadi-jadinya. Kepalan tangannya memukul dinding berulang kali, seolah i
Seketika aku tertawa dalam hati, setelah mendengar semua penghinaan itu dari bibirnya Mama Ratih. Lihat saja, jika video dalam ponselku sudah dilihatnya dengan mata sendiri, apakah ia masuh bisa terus menghinaku.Mari kita buktikan. Bukti ini akan membungkam mulutnya yang lantam.Ponsel yang ada di dalam tas, kuambil dengan cepat. Aku buka aplikasi rahasia untuk mencari bukti berupa video. Video rahasia yang kusimpan beberapa hari yang lalu masih aman di dalamnya.Tanpa berpikir ulang, video berjumlah lima buah dengan durasi masing-masing hampir lima belas menit, sudah aku kirim ke beberapa sosmed milikku. Tak ada satupun kontak di ponsel yang aku private. Biarkan mereka semua tahu. Apa itu pembalasan yang sesungguhnya. Apa yang sudah keluar dari bibir ini, pantang untuk dijilat kembali.Setelah ini, akan terbukti siapa yang bisa membalas dengan menyakitkan.Harga diri yang sudah tercoreng, harus diselamatkan walau harus bertarung nyawa. Kini tinggal menunggu bom itu meledak, maka hab
"Tenang, Al! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Mas bisa menjelaskan semuanya!" dalihnya berusaha membela diri. Tak lama setelah kalimat itu terucap, ia berusaha turun dari ranjang dengan susah payah. Sayangnya, pembelaan itu tak berarti apa-apa untukku. Kalimat pembelaan yang sengaja ia lontarkan, semakin membuat hatiku terhantam pilu. Pilu untuk kesekian kalinya, hingga tak terasa apapun di dalam sana. Hambar. Itulah yang kurasa saat ini. "Jadi menurutmu pikiranku salah begitu! Lantas bagaimana dengan pikiranmu sendiri, Mas! Apa perlu otakmu aku cuci dengan spon pencuci piring biar jernih, iya! Bener-bener kamu, ya!" Serta merta aku meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Dalam keadaan remang-remang dalam ruangan rawatnya, semakin membuat napasku sesak. Lelaki ini pintar sekali memanfaatkan keadaan. Ia sengaja mematikan lampu dalam ruangannya, agar tak terlihat mencolok dari keadaan orang luar yang lalu lalang di depan ruang inapnya. Bukankah ia cerdik sekali. "Bu–kan begi
Di sela meeting yang masih berjalan, aku masih menarik sudut bibir secara diam-diam. Ternyata paket itu sudah sampai lebih cepat dari dugaanku. Kalian pasti terkejut atas datangnya paket terbaru itu. Tentu benak kalian takkkan mampu menerima sebuah kenyataan, yang dimana kenyataan itu lebih hina dari sekedar berzina. Bisa aku pastikan, jika isi paket itu tersebar ke semua orang, kalian semua pasti merasa tak ingin lagi hidup di dunia ini. Sungguh keberuntungan yang sangat menguntungkan. Baru kali ini aku merasa bangga karena mendapatkan keberuntungan itu. "Aww!" sentakku terjaga dari lamunan indah itu. Kugerakkan leher ke sebelah kiri, dimana Mbak Vina berada yang telah mencubit pinggangku. Aku menggeram marah. Bisa-bisanya ia menyubitku disaat meeting dengan tamu penting. "Sakit bego, Mbak!" bisikku kesal padanya, yang dibalasnya dengan membeliakkan mata beloknya. "Makanya kalau meeting itu yang serius! Jangan cuma plonga plongo doang kamu, ya!" hardiknya padaku, yang ketahuan m
Senyum lepas aku tarik untuk pembalasanku kali ini. Kalian yang memulai untuk melibatkan Bapakku. Jadi, jangan salahkan aku yang ikut melibatkan anggota keluarga kalian.Kulepas ponsel dari kabel charger yang belum terisi penuh. Menghubungi seseorang pagi ini jauh lebih penting, dari sekedar mengisi baterainya. Ibu jariku membuka WA untuk mencari nomor ponsel, yang baru dikirim Ilana barusan.Segera aku telepon nomor berjumlah delapan digit itu."Hallo, selamat pagi. Apa benar ini dengan kurir ekspedisi JNA?" Satu salam tanda kesopanan aku lontarkan pada admin sebuah ekspedisi."Iya, betul, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?"Admin itu menjawab dengan suara khasnya yang lembut.Sebelum menjawab, aku menuliskan alamat pada amplop yang sudah aku tutup rapat dengan double selotip. "Bisa ambil paket ke rumah, Mbak. Saya mau mengirimkan sebuah amplop pagi ini."Kembali aku tersenyum lepas saat alamat itu sudah tertulis rapi dengan huruf capslock bertinta tebal."Bisa, Mbak. Kebetulan hari ini
Tok tok tok.Aku mengetuk pintu berwarna coklat yang masih tertutup rapat. Entah sudah keberapa kali ketukan itu aku layangkan, namun tak juga terbuka dari dalam. Jam malam yang hampir terlewati, aku memutuskan untuk pulang ke rumah Ibu saja. Toh, di rumahku juga tak ada siapa-siapa."Ibu mana, sih? Lama banget buka pintunya! Mana mau hujan lagi!" gerutuku kesal pada pintu yang masih tertutup. Aku melihat ke atas, dimana langit sudah menggelap karena awannya yang menghitam."Bu! Lana pulang! Bukain, dong, pintunya!" Kembali aku mengetuk pintu itu dengan kuat. Andaikan bel di rumah Ibu tidak rusak, pasti aku sudah masuk dari tadi.Mengintip pada celah gorden di jendela pun tak bisa, karena lampu didalamnya sudah padam. Sepertinya para penghuni rumah Ibu sudah melelapkan matanya pada kegelapan."Assalamualaikum, Alana pulang, Bu!" Suaraku yang mulai serak, tak bisa lagi berteriak memanggil Ibu.Sedetik kemudian, ide brilian muncul di kepalaku. Kurogoh ponsel di dalam tas. Aplikasi WA mi
Faktanya memang benar, takdir seseorang itu takkan berubah jika seseorang itu tak mau merubahnya. Majunya hidup seseorang itu tergantung dari ikhtiar dan usahanya yang maksimal. Makin rajin dirinya, maka makin banyak pula peluang kesuksesan yang bisa diraihnya.Mungkin, jika dulu aku masih bermalas-malasan hidupku takkan seperti ini. Mungkin, jika aku masih mengabaikan usul Ibu Angkat dan mertuaku untuk mengirim beberapa desain simple ke beberapa butik ternama, aku takkan mungkin jadi salah satu desainer yang diperhitungakn kemampuannya.Membayangkan pun aku tak pernah mau untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu semua berkat restu dari dua perempuan yang sudah membantuku tanpa pamrih apapun.Entah sudah berapa kali dua perempuan hebat itu selalu mengingatkanku, akan saran itu untukku segera mewujudkannya. Katanya, kalau usaha itu tak dicoba kita mana tahu akan beruntung atau tidak. Hingga, salah satu penyebab kenekatanku untuk menjalankan saran itu adalah dengan keberadaan Aleeya yang
Di setiap detik yang berlalu, kembali menyadarkan aku dari pentingnya menghargai waktu yang terus berjalan. Saat waktu yang telah terlewati, ia takkan bisa terulang, begitu pun dengan kesempatan. Aku mulai sadar dan teringat kembali dengan semua yang terjadi, bahwa hidupku mulai berantakan setelah kedatangan lelaki itu.Meski pembahasan gaun pengantin itu belum selesai, aku masih beradu tegang dengan Mbak Vina, perihal kesempatan yang bisa aku berikan untuk Mas Arman. Ia berharap aku mau mempertimbangkan usul itu, tapi sayangnya itu tak berlaku padaku yang memegang teguh wanita berprinsip. Kembali ponselku berdering. Dengan sigap Mbak Vina memberikan kepadaku, agar segera kujawab. Aku hanya mendengus kasar. Dan tetap mengabaikan nomer itu yang menari-nari disana dengan sepuasnya."Biarkan saja, Mbk. Nggak usah dijawab teleponnya. Biar tau rasa dia. Pasti mereka panik banget di rumah sakit. Hahaha." Sambil tergelak, aku letakkan kembali ponsel itu ke meja. Dan bersamaan dengan itu,