Hingga beberapa menit kemudian, aku tak bisa mengalihkan pandanganku pada pinggang ramping itu.
Siapa wanita itu?
Apa benar ia teman Mas Arman?
Atau, wanita itu adalah seseorang yang ada dalam ponselnya Ilana?
Jangan-jangan ….
"Mbak, Mbak, hello," tegur Mbak Ayu padaku, yang masih terdiam menatap punggung ramping itu.
Seketika aku terkesiap, lalu berpaling padanya.
"Eh, iya, ada apa, Mbak? Kenapa?"
"Mbak ini malah melamun, loh. Padahal dari tadi saya ajakin ngomong."
"Hihi, iya, maaf, Mbak. Malah ngelamun sayanya," ujarku tak enak padanya. Senyum kikuk pun tertarik akibat fokusku pecah karena wanita itu.
"Ya sudah, nggak apa-apa, Mbak. Saya cuma mau ngasih tau itu ada polisi yang juga mengantarkan korban ke rumah sakit ini. Siapa tahu Mbak butuh keterangan lebih jelas. Bisa ditanya langsung sama polisi itu, ya."
"Oh, oke. Terima kasih, Mbak. Saya permisi, ya."
Kuanggukan kepala padanya sebagai tanda terima kasih. Karena tak mau basa-basi, kutinggalkan ia yang masih berdiri di depan resepsionis.
"Iya sama-sama, Mbak, saya permisi juga."
Tanpa menghiraukan kalimat permisi itu, aku terus melanjutkan tujuanku. Fokusku masih tertuju pada wanita yang sekarang tengah mengobrol dengan polisi bertubuh tambun di hadapannya, di deretan kursi tunggu untuk pasien.
Dengan langkah pelan aku mendekati mereka. Jantungku tak bisa diajak kompromi hingga terus bertalu-talu. Aroma parfum wanita yang belum aku kenal itu mulai mengganggu indra penciumanku. Aroma parfumnya sangat tak nyaman untuk indra penciumanku. Rendahan sekali seleranya.
Obrolan dari dua orang dewasa itu mulai terdengar dalam pendengaranku. Sepertinya kehadiranku belum mereka sadari. Padahal jarakku dengan mereka hanya beberapa meter saja.
"Permisi, maaf, Pak, saya mau tanya?"
Seperti mendapat komando, dua orang yang tengah memakai pakaian berbeda itu menoleh kepadaku.
Sempat terlihat oleh mataku, salah satu alis dari wanita itu terangkat. Ia seolah tengah berpikir. Apa mungkin ia mengenalku juga, kah?
"Ada apa, Mbak? Bisa saya bantu?"
Polisi berseragam coklat dengan rompi berwarna hijau terang yang melekat di dada itu berdiri, lalu mendekatiku.
Segera kualihkan pandangan dari wanita itu. Dengan sedikit tersenyum, kuutarakan maksudku pada polisi itu. "Begini, Pak, apa benar Bapak yang menelpon saya tentang adanya korban lakalantas yang terjadi tadi siang?"
"Oh, iya, Bu, betul itu. Ibu ada apa?"
"Bisa saya tahu dimana korban itu dirawat, Pak?"
"Maaf, Mbak siapanya korban?"
"Saya istrinya, Pak. Saya ingin melihat keadaan suami saya."
Kulirik sekilas pada wanita yang mencuri pandang padaku. Sekilas aku menangkap aura pias dari wajahnya yang pucat. Sinyal kejanggalan mulai kutangkap dari ekspresinya yang menegang.
"Oh, anda istrinya. Perkenalkan, Mbak, saya polisi yang membersihkan TKP dan juga yang ikut mengantarkan korban kesini."
"Bagaimana keadaannya, Pak?"
"Begini, Mbak …."
Polisi itu mulai menerangkan kejadian kecelakaan yang menimpa Mas Arman. Detail dan berurutan ia menjelaskan semua padaku. Termasuk keberadaan wanita asing ini yang ada di TKP. Kalau bukan karena rasa perikemanusian, aku takkan sudi untuk memaafkan lelaki di depanku ini yang telah menyelamatkan suamiku.
Harusnya ia tak menyelamatkan lelaki pengkhianat itu. Biarkan saja ia mati di jalanan sana tanpa ada yang menolongnya.
Segera kuulas satu senyum terindah saat polisi itu menatapku heran. Mungkin ia berpikir kenapa ekspresiku tak sedih sama sekali. "Terima kasih, ya, Pak, sudah mengantarkan suami saya ke rumah sakit ini. Sekali lagi perkenalkan saya istri sahnya korban. Nama saya Alana. Istri satu-satunya."
Aku jelaskan dengan sejelasnya akan statusku yang sah di mata hukum. Sengaja kata sah aku tekankan, agar wanita itu bisa mendengar dengan jelas akan posisi istri sah itu berada pada kasta tertinggi dalam rumah tangga.
"Baik, Mbak, perkenalkan juga nama saya Andri. Polisi lalu lintas yang bertugas di Pantai Parangtritis."
Lelaki yang sepertinya seumuran dengan Mas Arman itu mengulurkan tangan padaku. Kujabat tangan gendut itu dengan senyum simpul terpaksa. Keadaan hati yang lagi morat-marit tak bisa membuatku bersikap ramah. Dari awal keberadaan wanita itu disini telah membuat amarahku bertambah.
Dan aku baru menyadari sesuatu yang menarik perhatianku sejak tadi. Warna dari baju yang dipakai wanita itu sama dengan foto yang diambil oleh Ilana. Hanya rambutnya yang tampak berbeda. Rambut itu sedikit panjang dan bergelombang.
"Mari ikut saya ke dalam ruangan inapnya, Mbak. Sepertinya korban sudah selesai diperiksa." Polisi itu menunjuk salah satu pintu yang tak jauh dari loket pembayaran.
Perhatian kami teralihkan pada pintu kamar berwarna coklat yang bertulis nama bunga Dahlia. Dari balik pintu itu ada dokter dan satu perawat yang baru keluar dari sana.
"Sebentar, Pak! Maaf saya mau tanya."
Kucegah langkah lelaki itu yang akan berjalan di depanku.
Pak Andri berbalik. "Iya, kenapa, Mbak? Apa ada yang belum jelas?" tanya Pak Andri, ia menatapku dengan satu alis terangkat.
"Begini, Pak, apa ada seseorang yang mengantarkan suami saya kesini? Maksudnya ada yang menemaninya disini selain Bapak?"
"Oh, itu... ada, ada. Mbak ini yang ikut mengantarkan korban kesini. Ia juga yang ada di tempat kejadian saat saya datang untuk melakukan olah TKP. Bahkan Mbak ini juga yang paling histeris saat pemindahan korban masuk ke dalam ambulance, dimana ada darah dimana-dimana."
"Bisa saya berkenalan dengannya, Pak?" pintaku pada Pak Polisi. Sengaja aku meminta perkenalan langsung, agar wanita itu tau bahwa aku tak bisa dianggap remeh.
"Bisa, Mbak, bisa. Mari saya kenalkan dulu. Mbak sini kenalan dulu sama istri korban. Barangkali ada yang mau ditanyakan sama Mbak ini."
Pak Andri mundur beberapa langkah. Ia membuka jalan untuk memberi akses pada wanita itu.
Tanpa mereka sadari, aku menahan amarah saat mendengar penjelasan demi penjelasan yang meluncur dari bibir Pak Polisi itu. Mati-matian aku menahan amarah agar tak meledak di rumah sakit, yang dimana banyak lalu lalang manusia di setiap ruangannya. Tatapanku semakin tajam saat wanita itu mau menghampiriku.
Ia seperti tak percaya diri akan penampilannya saat bertemu denganku. Rambutnya tampak kacau sekali. Ada beberapa jejak air mata yang tertinggal di sekitar kedua pipinya. Dress selutut itu tampak koyak di bagian roknya. Mungkin karena kecelakaan itu, ia seperti malas-malasan untuk berkenalan denganku.
"Perkenalkan nama saya Alana. Istri sah dari Mas Arman. Mbak siapa, ya? Apa kita sudah saling mengenal? Kok bisa Mbak pergi sama suami saya? Sepertinya kita belum pernah ketemu sama sekali, kan?"
Wanita itu tampak menarik napas keberatan. Sepertinya ia enggan untuk menjawabnya.
"Saya Hafsa Laurani. Teman kerja Mas Arman di kantor, Mbak. Maaf saya nggak biasa bersalaman dengan orang asing. Gatal-gatal nanti kulit saya," ujarnya sinis tanpa tahu malu. Ia bahkan bersedekap di depan dengan dagu terangkat angkuh.
Sial! Aku mendengus kesal. Uluran tanganku sengaja ia abaikan tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Oh, maaf. Tak masalah itu. Saya baru tahu ada orang yang alergi bersentuhan dengan mahramnya. Tapi malah sebaliknya, ia tak alergi saat bersentuhan dengan lawan jenisnya ... seperti suami saya mungkin. Sangat disayangkan itu, ya, Pak," balasku telak yang mampu membuatnya melotot kepadaku.
Setelahnya, aku menarik tangan yang melayang bebas di udara. Aku balas dengan mengangkat dagu sebagai tanda, bahwa aku tak gentar dengan gertakannya itu.
"Mari, Pak, kita masuk ke ruangan rawatnya. Saya perlu membawa suami saya pulang jika keadaannya tak parah. Anda bisa ikut ke dalam. Karena ada sesuatu yang harus diselesaikan."
Kutarik langkah menuju ruang rawat itu yang ada di belakang meja resepsionis. Lecutan amarah semakin terbakar. Wanita itu seakan tak takut dengan keberadaanku di rumah sakit ini. Sekali-kali ia harus diberikan shock terapi agar tau artinya membalas dengan elegan.
Entah janji apa yang sudah diberikan oleh Mas Arman pada wanita itu. Ia seperti tak ada takut sama sekali padaku.
Sebelum sampai pada kamar rawat inap itu, aku berpapasan dengan seorang dokter lelaki beserta satu perawat di sampingnya. Karena ingin tahu keadaan Mas Arman di dalam sana, kucegah langkah mereka yang tengah mengobrol cukup serius dengan membawa satu tabel buku berukuran sedang di tangannya.
"Maaf, Dok, boleh saya bertanya sedikit?"
"Maaf dokternya sibuk, Mbak. Tolong antri dulu kalau mau bertanya, ya."
Satu perawat yang memiliki wajah judes itu menjawab pertanyaanku. Dasar tak sopan.
"Sebentar saja, Mbak. Nggak akan lama."
"Nggak bisa, Mbak. Harus antri kalau mau ketemu dokter," tolak perawat itu tak mau mengalah.
"Tapi …."
"Sudah tak apa, Sus. Saya bisa menunggu sebentar. Ada perlu apa, ya, Bu?" Akhirnya dokter itu menyela obrolan kami. Ia terlihat menggeleng dengan sikap perawatnya itu.
Aku sedikit menghirup napas lega. Dokter itu mau mengerti dengan keinginanku.
"Bagaimana keadaan pasien di dalam Dok? Apa keadaannya sudah membaik. Saya istrinya jika dokter ingin tau."
Sengaja aku memperkenalkan diri kembali agar dokter itu tak bertanya lagi. Aku tak ingin membuang waktu untuk mereka yang tak bisa menghargai orang lain.
"Oh, begini, Bu. Keadaan pasien di dalam sudah kami tangani. Tak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan. Hanya ada beberapa jahitan saja pada lengan dan kakinya yang sobek terlalu dalam."
"Jadi, hari ini sudah boleh pulang pasiennya, Dok?"
"Tunggu dua hari lagi, ya, Bu. Jika perkembangannya sudah membaik boleh pulang. Sekarang Ibu tinggal mengurus ke bagian administrasinya saja."
Dokter yang bernama Heru di name tagnya itu menunjuk meja loket pembayaran. Ia juga menjelaskan pelunasan biaya harus di resepsionis yang ada di seberang ruang rawatnya Mas Arman.
"Terima kasih a, ya, Dok, atas bantuannya. Setelah ini akan saya urus segera administrasinya. Saya masuk, ya, Dok."
"Baik, Bu. Silahkan. Kami permisi. Jika ada yang urgen bisa segera menghubungi resepsionis, ya, Bu. Terima kasih."
Dokter Heru kembali melanjutkan langkah beserta perawatnya yang tertunduk malu. Pasti perawat itu seperti tak ada tulang, yang hanya sekedar untuk berdiri tegak di atas lantai. Pasti nyalinya ciut karena ditegur di depan keluarga pasien.
Karena tak ingin membuang waktu, kubuka perlahan pintu berwarna coklat tua di depanku. Bersamaan dengan pintu yang terbuka lebar, suara lelaki yang telah mengucap ijab kabul atas namaku beberapa tahun lalu itu terdengar.
"Kamu sudah datang, sayangku Hafsa. Sini dong. Mas masih kangen, nih. Ranjangnya muat kok untuk tidur berdua disini. Kita lanjutkan lagi yang tertunda tadi."
Seketika aku melotot saat mendengar kalimat itu. Dengan tak tahu malunya lelaki itu mengucap kalimat itu dengan jelas. Amarahku semakin naik ketika Pak Andri menatapku perihatin.
Sekilas aku bisa melihat wanita itu tersenyum sinis. Ini tak bisa dibiarkan. Mas Arman berani mempermalukan aku di depan selingkuhannya.
Kugenggam erat handle pintu kamar inapnya.
"Hallo, Mas, apa kabar hari ini? Sudah baikan, ya? Berarti sudah bisa pulang dong hari ini."
Punggung lelaki yang tengah berbaring membelakangi pintu masuk itu menegang. Ia cepat berbalik ke arah pintu, dimana kami masih menunggu disana.
"Astaga! Alana!"
Selanjutnya, ia terlonjak kaget hingga hampir terjatuh dari ranjang pesakitan itu. Bola matanya melotot sempurna. Ia menelan saliva susah payah saat melihat kehadiranku tepat di depan matanya.
Senyum sinis aku persembahkan pada wajah pucatnya di sore hari ini. Ia pasti tak menyangka dengan kedatanganku sekarang.
Mampus kau, Mas!
"Mari kita lanjutkan permainanmu, Mas. Siapa diantara kita yang akan pergi dengan terpincang-pincang," bisikku dalam hati. Menatapnya yang seperti pencuri ketakutan, membuat hatiku tertawa.
Bersambung ...."Alana. Ka--mu kenapa bisa disini? Si--apa yang mengabari kamu kalau Mas disini?" Mas Arman bertanya dengan terbata-bata. Wajah piasnya membuatku gemas ingin memakannya. Pintar sekali ia berakting di depanku. Kalimat terbata itu, hampir saja membuatku tertawa keras. Kalimat itu terdengat menggelikan di telingaku. Kenapa Mas Arman jadi sepanik itu? Padahal kalimatnya yang terlontar itu sangat begitu romantis untuk wanita di belakangku. Lihatlah bola mata itu. Ia terus bergerak ke kanan ke kiri seolah mencari kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri. Apakah ia tak menyadari dengan kehadiran dua orang yang berdiri di pintu kamar inapnya? Atau ia gagal fokus karena kebaradaanku saat ini? Kubawa langkah untuk masuk dalam kamar inapnya yang berukuran 7x7 m persegi. Tampak besar, namun terasa sepi. Kupindai seluruh ruangannya yang berwarna putih gading. Aku terus melangkah, memutari ranjang dengan mengetuk-ngetukkan jari-jariku di pinggiran ranjang perawatannya. Dari jarak tiga meter
Tak sampai lima menit pintu itu tertutup dari luar, aku memulai kembali interogasiku pada Mas Arman. Lelaki ini semakin dibiarkan akan semakin menjadi. Sikapnya akan semakin parah jika aku hanya diam tak bergerak.Mungkin ia lupa, bahwa aku pernah mengucap sebaris kalimat pamungkas sesaat setelah ia mengucapkan akad kala itu, bahwa aku membenci pengkhianatan.Saat ini, lelaki yang tengah mencoba mengalihkan pembahasan penting itu semakin salah tingkah. Sepertinya ia mulai sadar jika aku telah mencurigainya."Kamu yakin, Mas, tidak mengenal wanita itu? Kalau aku perhatikan kalian seperti sudah saling mengenal lama. Benarkah begitu?" tanyaku lagi dengan kalimat yang sama.Kuangkat bobot tubuh dari sofa untuk mendekatinya, yang seolah sibuk dengan bantalnya yang ada di belakang punggung berseragam rumah sakit."Kamu ini apa-apaan, sih, Al! Sudah berkali-kali aku bilang nggak kenal ya nggak kenal! Tolonglah, Al, jangan ngomong ngelantur kemana-mana! Mas lagi sakit ini. Perihatin sedikit k
Aku berusaha menguasai diri yang tengah dilanda amarah yang membara. Sekuat hati aku menguatkan hati untuk tetap tegar menghadapi cobaan ini. Masa depan di depan mata harus segera aku siapkan. Takkan kubiarkan Mas Arman tertawa setelah berpisah denganku."Kamu bisa, Al. Ayo kamu harus kuat demi harga diri seorang wanita.""Ingat, Al, segala pengorbanan dulu yang pernah kamu keluarkan harus mendapat balasan yang setimpal.""Kebahagiaan anakku harus mendapatkan bagiannya. Aku takkan membiarkan anakku hidup dalam kesengsaraan.""Aku harus menyimpan bukti chat ini. Aku harus menscreenshotnya. Iya, benar, aku harus screenshot semuanya.""Semua bukti ini akan mempermudah jalanku di pengadilan nanti."Kalimat-kalimat monolog itu terus aku ucapkan dengan kesadaran yang tak sepenuhnya normal. Berkali-kali juga air mataku mengalir, walau selalu aku seka tanpa jeda. Sialnya, air mata ini tak mau berhenti sama sekali."Tarik napas, Al, ayo tarik napas. Tarik, lalu buang jauh-jauh. Ayo ulangi seka
POV. ARMAN."Kapan, sih, istrimu itu nurut sama omongan Mama. Dari dulu selalu membangkang. Nggak pernah nurut kalau di tegur. Heran. Masih aja keras kepala kalau ribut sama mertua. Makin sebel Mama tuh sama istri kamu!"Kembali aku membuang napas kasar. Sejak kepergian Alana, Mama terus saja mengomel. Ucapannya terdengar sangat menggebu-gebu. Sejak tadi kuperhatikan sorot matanya masih saja terfokus pada pintu yang sudah tertutup itu.Padahal Alana sudah beberapa menit yang lalu menghilang dari balik pintu itu. Namun, Mama masih terlihat kesal sekali."Iya, aku juga sebel banget sama itu Mak Lampir! Nyolot terus omongannya! Pingin banget rasanya aku tampol itu bibirnya! Sok cantik banget! Mana sakit lagi kaki aku, Ma."Kepalaku bertambah pusing, karena ucapan Liana turut menimpali omelan Mama sejak tadi. Ia yang sering sekali menjadi kompor mbleduk, sangat cocok sekali berpasangan dengan Mama Ratih yang mudah terbakar amarahnya.Kulirik sekilas Liana yang tengah memijit pergelangan k
Dibalik pintu lobby rumah sakit, aku tersenyum puas. Rasanya seperti kembang api yang meledak bersamaan di malam tahun baru. Jangan kalian pikir aku akan diam saja, setelah semua yang kalian lakukan padaku. Ini hanya sejengkal balasan yang tak seberapa. Mungkin tagihan biaya rumah sakit ini, hanya sebagai shock therapy untukmu, Mama.Bias senja yang mulai kekuningan, membuatku harus menarik langkah buru-buru untuk meninggalkan rumah sakit. Tujuan langkahku pada sebuah cafe es krim yang terletak di seberang rumah sakit.Tempo Gelato Prawirotaman, nama cafe es krim yang menjadi tujuanku untuk melepas penat barang sebentar, dan tentu saja itu hanya rencana kamuflase saja dibalik tujuan utamaku yang sebenarnya. Mendengar obrolan seseorang di balik airpod yang telah aku sembunyikan disana, menjadi tujuan utamaku duduk di cafe es krim ini."Selamat pagi, Kak. Ada yang bisa dibantu? Mau pesan apa?"Pelayan cafe es krim bertanya padaku, yang baru saja masuk ke dalam cafe-nya yang bertema baby
Di bawah benderangnya lampu yang berpendar, aku dan Mbak Vina masih beradu pandang. Ia tampak mengerutkan dahi. Tatapannya seolah menandakan, bahwa banyak pertanyaan yang harus aku jawab untuknya. Pinggang ramping itu ia angkat dari kursi kerjanya, kemudian langkah pelan ia lakukan untuk mendekatimu. Tak sedikitpun tatapannya beralih dariku. Aku hanya bisa menelan saliva, sepertinya aku terlalu cepat menanyakan perihal gaun itu. Namun, apa mau di kata, terlanjur basah, ya, sudah basah sekalian. "Gaun pengantin mana yang kamu maksud, Al? Kamu tau, kan, disini banyak gaun pengantin, jadi kalau ngomong jangan setengah-setengah kamu, ya! Kebiasaan!" tukasnya padaku dengan mata membeliak, dan hanya kubalas deheman ringan. Aku yang sudah bersiap diri tentang apa yang akan ia tanyakan, malah dibuat terhenyak seketika. Langkah pelannya malah melewatiku menuju pintu di belakang tubuhku. Aku membalik badan seketika, melihat apa yang ia cari di luar pintu. Mbak Vina hanya menggelengkan kepal
Di setiap detik yang berlalu, kembali menyadarkan aku dari pentingnya menghargai waktu yang terus berjalan. Saat waktu yang telah terlewati, ia takkan bisa terulang, begitu pun dengan kesempatan. Aku mulai sadar dan teringat kembali dengan semua yang terjadi, bahwa hidupku mulai berantakan setelah kedatangan lelaki itu.Meski pembahasan gaun pengantin itu belum selesai, aku masih beradu tegang dengan Mbak Vina, perihal kesempatan yang bisa aku berikan untuk Mas Arman. Ia berharap aku mau mempertimbangkan usul itu, tapi sayangnya itu tak berlaku padaku yang memegang teguh wanita berprinsip. Kembali ponselku berdering. Dengan sigap Mbak Vina memberikan kepadaku, agar segera kujawab. Aku hanya mendengus kasar. Dan tetap mengabaikan nomer itu yang menari-nari disana dengan sepuasnya."Biarkan saja, Mbk. Nggak usah dijawab teleponnya. Biar tau rasa dia. Pasti mereka panik banget di rumah sakit. Hahaha." Sambil tergelak, aku letakkan kembali ponsel itu ke meja. Dan bersamaan dengan itu,
Faktanya memang benar, takdir seseorang itu takkan berubah jika seseorang itu tak mau merubahnya. Majunya hidup seseorang itu tergantung dari ikhtiar dan usahanya yang maksimal. Makin rajin dirinya, maka makin banyak pula peluang kesuksesan yang bisa diraihnya.Mungkin, jika dulu aku masih bermalas-malasan hidupku takkan seperti ini. Mungkin, jika aku masih mengabaikan usul Ibu Angkat dan mertuaku untuk mengirim beberapa desain simple ke beberapa butik ternama, aku takkan mungkin jadi salah satu desainer yang diperhitungakn kemampuannya.Membayangkan pun aku tak pernah mau untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu semua berkat restu dari dua perempuan yang sudah membantuku tanpa pamrih apapun.Entah sudah berapa kali dua perempuan hebat itu selalu mengingatkanku, akan saran itu untukku segera mewujudkannya. Katanya, kalau usaha itu tak dicoba kita mana tahu akan beruntung atau tidak. Hingga, salah satu penyebab kenekatanku untuk menjalankan saran itu adalah dengan keberadaan Aleeya yang
"Kamu pikir kamu siapa bisa mengaturku, Mas! Sebelum perselingkuhanmu terbongkar, aku wajib menuruti semua perkataanmu sebagai suami. Tapi kali ini, itu semua sudah aku hapus setelah kedokmu terbongkar! Tak ada maaf lagi untukmu mulai sekarang ini!"Aku terus menggrutu setelah keluar dari ruang inap di belakangku. Sudah bisa aku pastikan mereka takkan bisa tersenyum lagi setelah semua pembalasanku terjadi. Wanita yang dulu mereka anggap baik, sudah tak ada lagi. Telah aku hapus semua rasa kebaikanku untuk kalian."Aduh! Kalau jalan pakai mata, dong! Gimana, sih! Jadi sakit, kan, sikuku terbentur lantai!" Aku berteriak kesal karena tersungkur ke lantai. Entah siapa yang menabrak bahuku dari belakang.Baru juga keluar dari ruangan itu, malah terkena sial. Sepertinya karena kebanyakan bergaul dengan mereka, jadi kesialan terus mengikuti aku. Mereka semua memang pembawa sial.Pergelangan tanganku sakit seketika, karena menahan bobot tubuh yang hampir saja mencium lantai berkeramik marmer.
"Mau apa kamu, hah!" Seketika mataku mendelik, saat Liana ingin menyambar ponselku. Secepat kilat kusembunyikan benda canggih ini ke belakang punggungku, agar dia tak bisa sembarangan mengambilnya. Tatapannya yang dipenuhi dengan kobaran api yang menyala-nyala, seolah ingin menerkamku saat ini juga. Netranya yang mulai basah, seakan menolak fakta bahwa yang ada dalam foto dan video itu bukan dirinya. Liana memang pandai memutar keadaan. Dia bak artis pemeran utama, yang sangat lihay menjalankan perannya. Sejenak kubalas tatapannya yang pintar bersandiwara itu dengan senyum sinis tak bersahabat. Dia pikir bisa mengelabuiku. "Bawa sini ponsel itu!" Liana semakin berani membentakku. Namun, perlakuannya itu tak mampu membuat pertahananku runtuh. Hatiku sudah sekeras batu terhadap semua keluarganya. "Mimpi! Jangan harap aku akan memberikannya! Kamu pikir kamu siapa, hah!" Liana semakin meraung sejadi-jadinya. Kepalan tangannya memukul dinding berulang kali, seolah i
Seketika aku tertawa dalam hati, setelah mendengar semua penghinaan itu dari bibirnya Mama Ratih. Lihat saja, jika video dalam ponselku sudah dilihatnya dengan mata sendiri, apakah ia masuh bisa terus menghinaku.Mari kita buktikan. Bukti ini akan membungkam mulutnya yang lantam.Ponsel yang ada di dalam tas, kuambil dengan cepat. Aku buka aplikasi rahasia untuk mencari bukti berupa video. Video rahasia yang kusimpan beberapa hari yang lalu masih aman di dalamnya.Tanpa berpikir ulang, video berjumlah lima buah dengan durasi masing-masing hampir lima belas menit, sudah aku kirim ke beberapa sosmed milikku. Tak ada satupun kontak di ponsel yang aku private. Biarkan mereka semua tahu. Apa itu pembalasan yang sesungguhnya. Apa yang sudah keluar dari bibir ini, pantang untuk dijilat kembali.Setelah ini, akan terbukti siapa yang bisa membalas dengan menyakitkan.Harga diri yang sudah tercoreng, harus diselamatkan walau harus bertarung nyawa. Kini tinggal menunggu bom itu meledak, maka hab
"Tenang, Al! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Mas bisa menjelaskan semuanya!" dalihnya berusaha membela diri. Tak lama setelah kalimat itu terucap, ia berusaha turun dari ranjang dengan susah payah. Sayangnya, pembelaan itu tak berarti apa-apa untukku. Kalimat pembelaan yang sengaja ia lontarkan, semakin membuat hatiku terhantam pilu. Pilu untuk kesekian kalinya, hingga tak terasa apapun di dalam sana. Hambar. Itulah yang kurasa saat ini. "Jadi menurutmu pikiranku salah begitu! Lantas bagaimana dengan pikiranmu sendiri, Mas! Apa perlu otakmu aku cuci dengan spon pencuci piring biar jernih, iya! Bener-bener kamu, ya!" Serta merta aku meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Dalam keadaan remang-remang dalam ruangan rawatnya, semakin membuat napasku sesak. Lelaki ini pintar sekali memanfaatkan keadaan. Ia sengaja mematikan lampu dalam ruangannya, agar tak terlihat mencolok dari keadaan orang luar yang lalu lalang di depan ruang inapnya. Bukankah ia cerdik sekali. "Bu–kan begi
Di sela meeting yang masih berjalan, aku masih menarik sudut bibir secara diam-diam. Ternyata paket itu sudah sampai lebih cepat dari dugaanku. Kalian pasti terkejut atas datangnya paket terbaru itu. Tentu benak kalian takkkan mampu menerima sebuah kenyataan, yang dimana kenyataan itu lebih hina dari sekedar berzina. Bisa aku pastikan, jika isi paket itu tersebar ke semua orang, kalian semua pasti merasa tak ingin lagi hidup di dunia ini. Sungguh keberuntungan yang sangat menguntungkan. Baru kali ini aku merasa bangga karena mendapatkan keberuntungan itu. "Aww!" sentakku terjaga dari lamunan indah itu. Kugerakkan leher ke sebelah kiri, dimana Mbak Vina berada yang telah mencubit pinggangku. Aku menggeram marah. Bisa-bisanya ia menyubitku disaat meeting dengan tamu penting. "Sakit bego, Mbak!" bisikku kesal padanya, yang dibalasnya dengan membeliakkan mata beloknya. "Makanya kalau meeting itu yang serius! Jangan cuma plonga plongo doang kamu, ya!" hardiknya padaku, yang ketahuan m
Senyum lepas aku tarik untuk pembalasanku kali ini. Kalian yang memulai untuk melibatkan Bapakku. Jadi, jangan salahkan aku yang ikut melibatkan anggota keluarga kalian.Kulepas ponsel dari kabel charger yang belum terisi penuh. Menghubungi seseorang pagi ini jauh lebih penting, dari sekedar mengisi baterainya. Ibu jariku membuka WA untuk mencari nomor ponsel, yang baru dikirim Ilana barusan.Segera aku telepon nomor berjumlah delapan digit itu."Hallo, selamat pagi. Apa benar ini dengan kurir ekspedisi JNA?" Satu salam tanda kesopanan aku lontarkan pada admin sebuah ekspedisi."Iya, betul, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?"Admin itu menjawab dengan suara khasnya yang lembut.Sebelum menjawab, aku menuliskan alamat pada amplop yang sudah aku tutup rapat dengan double selotip. "Bisa ambil paket ke rumah, Mbak. Saya mau mengirimkan sebuah amplop pagi ini."Kembali aku tersenyum lepas saat alamat itu sudah tertulis rapi dengan huruf capslock bertinta tebal."Bisa, Mbak. Kebetulan hari ini
Tok tok tok.Aku mengetuk pintu berwarna coklat yang masih tertutup rapat. Entah sudah keberapa kali ketukan itu aku layangkan, namun tak juga terbuka dari dalam. Jam malam yang hampir terlewati, aku memutuskan untuk pulang ke rumah Ibu saja. Toh, di rumahku juga tak ada siapa-siapa."Ibu mana, sih? Lama banget buka pintunya! Mana mau hujan lagi!" gerutuku kesal pada pintu yang masih tertutup. Aku melihat ke atas, dimana langit sudah menggelap karena awannya yang menghitam."Bu! Lana pulang! Bukain, dong, pintunya!" Kembali aku mengetuk pintu itu dengan kuat. Andaikan bel di rumah Ibu tidak rusak, pasti aku sudah masuk dari tadi.Mengintip pada celah gorden di jendela pun tak bisa, karena lampu didalamnya sudah padam. Sepertinya para penghuni rumah Ibu sudah melelapkan matanya pada kegelapan."Assalamualaikum, Alana pulang, Bu!" Suaraku yang mulai serak, tak bisa lagi berteriak memanggil Ibu.Sedetik kemudian, ide brilian muncul di kepalaku. Kurogoh ponsel di dalam tas. Aplikasi WA mi
Faktanya memang benar, takdir seseorang itu takkan berubah jika seseorang itu tak mau merubahnya. Majunya hidup seseorang itu tergantung dari ikhtiar dan usahanya yang maksimal. Makin rajin dirinya, maka makin banyak pula peluang kesuksesan yang bisa diraihnya.Mungkin, jika dulu aku masih bermalas-malasan hidupku takkan seperti ini. Mungkin, jika aku masih mengabaikan usul Ibu Angkat dan mertuaku untuk mengirim beberapa desain simple ke beberapa butik ternama, aku takkan mungkin jadi salah satu desainer yang diperhitungakn kemampuannya.Membayangkan pun aku tak pernah mau untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu semua berkat restu dari dua perempuan yang sudah membantuku tanpa pamrih apapun.Entah sudah berapa kali dua perempuan hebat itu selalu mengingatkanku, akan saran itu untukku segera mewujudkannya. Katanya, kalau usaha itu tak dicoba kita mana tahu akan beruntung atau tidak. Hingga, salah satu penyebab kenekatanku untuk menjalankan saran itu adalah dengan keberadaan Aleeya yang
Di setiap detik yang berlalu, kembali menyadarkan aku dari pentingnya menghargai waktu yang terus berjalan. Saat waktu yang telah terlewati, ia takkan bisa terulang, begitu pun dengan kesempatan. Aku mulai sadar dan teringat kembali dengan semua yang terjadi, bahwa hidupku mulai berantakan setelah kedatangan lelaki itu.Meski pembahasan gaun pengantin itu belum selesai, aku masih beradu tegang dengan Mbak Vina, perihal kesempatan yang bisa aku berikan untuk Mas Arman. Ia berharap aku mau mempertimbangkan usul itu, tapi sayangnya itu tak berlaku padaku yang memegang teguh wanita berprinsip. Kembali ponselku berdering. Dengan sigap Mbak Vina memberikan kepadaku, agar segera kujawab. Aku hanya mendengus kasar. Dan tetap mengabaikan nomer itu yang menari-nari disana dengan sepuasnya."Biarkan saja, Mbk. Nggak usah dijawab teleponnya. Biar tau rasa dia. Pasti mereka panik banget di rumah sakit. Hahaha." Sambil tergelak, aku letakkan kembali ponsel itu ke meja. Dan bersamaan dengan itu,