Bab. 6.
Seperti pepatah berkata, seenak-enaknya tinggal dirumah saudara, masih lebih enak tinggal di rumah sendiri. Begitulah yang seperti aku rasakan jika sudah ada di rumah Ibu. Akan terasa nyaman untuk memejamkan mata, namun akan terasa malas untuk hanya beranjak sebentar saja.
Seolah-olah aku akan lupa waktu, dan lupa segalanya karena kenyamanan yang aku terima. Walau sudah berkeluarga dan memiliki satu keturunan, Ibu tak pernah membandingkan aku dengan Ilana. Kasih sayangnya masih sama seperti yang dulu.
Mendadak rasa dilematis menyerangku untuk enggan kembali ke rumah sendiri. Bahkan, untuk hanya sekedar melanjutkan perjalanan ke butik yang jaraknya hanya beberapa kilo pun aku rasanya malas.
Hingga, kubiarkan jarum pendek itu berlalu begitu saja tanpa bisa kucegah. Aku masih terlalu nyaman untuk beranjak dari dudukku di meja makan.
Sayangnya, yang namanya hidup harus tetap berlanjut. Jika berlanjut bermalas-malasan, maka aku akan ketinggalan di masa depan. Pukul empat sore telah memaksaku untuk segera pulang ke rumah.
Ini semua karena ada beberapa jahitanku yang sudah mepet waktu untuk segera diselesaikan. Dengan mengendarai motor sendiri, kugendong Aleeya di depan. Layaknya seperti ahli, aku sudah lincah membawa motor dengan seorang anak kecil dalam gendongan.
Setelah beberapa menit bergelung dengan berbagai asap kendaraan dijalanan, aku dan Aleeya sudah sampai di rumah sendiri, di jam lima sore. Aku masuk ke dalam rumah melalui pintu samping yang ada di garasi.
Susah payah aku masuk ke rumah karena ada Aleeya yang tertidur kembali dalam gendongan. Aku mengerutkan dahi ketika melintas di ruang keluarga yang terlihat sedikit berantakan. Di sofa berwarna abu muda yang ada di pojok ruangan, aku melihat tas ransel Mas Arman tergeletak di sana.
Kenapa tas kerja Mas Arman sudah ada di rumah?
Seharusnya jam segini lelaki itu masih di kantor?
Karena tak ingin dilanda rasa penasaran, aku segera masuk ke kamar Aleeya yang ada di lantai satu. Kutidurkan ia di sana agar lebih nyaman.
Setelah merasa ia nyaman dalam tidurnya, aku kembali ke ruangan keluarga untuk mengecek tas itu kembali. Kuperhatikan resleting tasnya yang terbuka setengah. Ada sesuatu yang menyembul keluar. Seperti sebuah majalah. Tanganku meraih sesuatu yang menyembul keluar dari tas itu.
Ternyata benar. Ini sebuah majalah. Edisi khusus gaun pernikahan.
Ini ada apa lagi? Kenapa ada majalah gaun pengantin di rumahku?
"Astagfirrulloh."
Seketika aku jatuh terduduk di sofa. Kabar mengejutkan itu semakin membuatku tersadar. Bahwa, lelaki itu memang serius ingin menikah lagi.
Mendadak aku mengusap wajah karena frustasi. Nyatanya Berpura-pura kuat itu memang melelahkan.
Kuletakkan kembali majalah itu pada meja kaca berbentuk persegi. Foto majalah dengan tanggal penerbit di bulan Juni berhasil kuambil. Segera aku kirim foto itu pada adikku untuk disimpan sebagai bukti selanjutnya.
Ketika aku masih asyik membolak-balik halaman majalah itu, mendadak mataku menyipit, ada satu baris kalimat yang sepertinya sengaja ditulis dengan tinta berwarna hitam pada pojok sampul di sebelah kanan majalah.
Satu baris kalimat itu tertulis ….
'25 Maret 2023, Wedding Party Indoors, in Mojokerto. Jawa Timur.'
Itu tanggal apa? Apa tanggal pernikahan, kah?
Sial! Majalah gaun pengantin itu membuat pikiranku tak fokus.
"Eh!"
Aku terlonjak kaget. Mendadak ponselku yang tergeletak di meja bergetar hebat. Kutatap layar ponselnya yang menyala terang. Ada satu nomor tanpa nama menari-nari disana.
Ponsel yang terus berdering itu, aku ambil dari atas meja. Kunyalakan loudspeaker karena malas menempelkan di telinga.
"Iya, selamat sore."
Aku menjawab setelah satu suara menyapa di ujung telepon begitu panggilan terbuka.
"Ini dengan Mbak Alana?"
Suara khas lelaki menjawab kembali pada telepon yang masih tersambung.
"Iya, saya sendiri. Ini dengan Bapak siapa?"
Tanpa basa-basi, kulontarkan tanya pada lelaki di seberang. Punggungku menegang saat mendengar penjelasannya disana.
"Maaf, Mbak, saya dari kepolisian pantai Parangtritis hanya ingin mengabarkan bahwa lelaki yang bernama Arman Pramudia telah mengalami lakalantas. Di mohon kiranya Mbak Alana bisa segera datang ke Rumah Sakit Umum Rachma Husada. Ini dengan istrinya kah?"
Seketika, aku berdiri dari sofa. Penjelasan dari lelaki yang mengaku sebagai polisi itu membuat jantungku berdetak lebih cepat.
"Iya, saya istrinya, Pak. Bagaimana keadaannya? Apa orangnya masih hidup?"
Getar suaraku yang keluar tak bisa aku kendalikan. Panik. Takut. Emosi. Marah. Semua jadi satu. Jangan sampai kamu mati duluan, Arman. Dendamku padamu belum terbalaskan. Itu satu-satunya kalimat yang kutulis dengan caploks di halaman diary aku.
"Keadaannya sedikit serius, Mbak. Maka untuk secepatnyan Mbak datang kesini, ya. Saya sherlock sekarang biar Mbak tidak kesasar."
"Baik. Saya kesana, Pak."
Tanpa pikir panjang aku berlari ke garasi. Kumasukan lebih dulu kardus berisi potongan bahan ke dalam, sebelum mengunci pintu dari luar. Kemudian aku menelpon Lana, sebelum menaiki motor yang akan membawaku ke rumah sakit itu.
"Apa, Mbak? Baru juga pulang udah nelpon aja, loh."
Suara adikku terdengar malas saat menjawab teleponku.
"Jemput Aleeya sekarang! Mbak, mau ke rumah sakit. Ayahnya Aleeya kecelakaan!"
"Apa?"
Ponsel yang menempel di telinga seketika kujauhkan. Suara teriakan adikku itu sangat memekakkan telinga. Gadis itu kalau berteriak tak tahu tempat.
"Kecelakaan dimana, Mbak? Masih hidup, kan?"
Kalimatnya berlanjut kembali setelah satu teriakan itu selesai.
"Udah nggak usah banyak tanya. Sekarang kamu jemput Aleeya bawa pulang ke rumah. Nanti Mbak jelaskan kalau udah tau keadaan ayahnya."
"Iya, aku berangkat sekarang."
"Cepat! Dia lagi tidur. Bawa kunci cadangan!"
"Iya, iya, Mbak."
Begitu sambungan terputus, segera kunyalakan motor dan keluar dari garasi. Rumitnya pikiran tak bisa aku tuliskan. Rasa amarah ingin aku teriakan pada lelaki itu. Dalam sehari tak bisa membuatku tenang sedikitpun. Selalu saja memancing amarah.
Ada saja masalahnya di tiap hari yang terlewatkan.
♤♤♤♤♤♤
Senja itu semakin condong ke barat. Motor kuparkirkan sembarangan pada parkiran yang tampak lengang. Mungkin ada dua puluhan motor yang mengisinya. Rumah sakit umum yang terkenal di Jogja itu tampak ramai dengan kendaraan bermobil.
Sepertinya lagi banyak pasien di dalam sana. Aku berhenti sebentar di parkiran motor yang ada di belakang gedung bertingkat. Kutatap nanar rumah sakit yang memiliki banyak lampu pada setiap pojok gedung itu.
Dalam rumah sakit itu aku pernah dirawat. Dan ditelantarkan oleh suami sendiri.
Ini semua kulakukan atas dasar pengabdianku yang masih berstatus sebagai istri sahnya. Dan sekaligus ingin mencari bukti baru tentang kelakuannya di pantai siang tadi.
"Permisi, Mbak, apa benar ada pasien kecelakaan lalu lintas yang baru masuk di rumah sakit ini?"
Aku mendekati seorang wanita berseragam kemeja putih, yang di pasangkan dengan celana kain berwarna hitam di bawahnya. Selanjutnya, ketukan higt heels terdengar beradu dengan lantai marmer berwarna putih, saat wanita yang berdiri di depan meja resepsionis itu juga menghampiriku.
"Maaf, dengan ibu siapa?"
"Saya Alana, Mbak. Tadi di telepon sama polisi katanya suami saya kecelakaan dan masuk di rumah sakit ini."
"Iya, benar, Bu. Satu jam yang lalu ada korban kecelakaan yang masuk ke rumah sakit kami dengan menggunakan ambulance. Saat ini korban sedang ditangani dalam ruangan itu."
Wanita manis yang memakai jilbab segi empat, yang bagian ujungnya diikat rapi di belakang kepala itu menunjuk pada sebuah kamar yang ada di belakang meja resepsionis.
"Keadaannya bagaimana, Mbak? Parah, ya?"
"Alhamdulillah tidak cukup parah, Mbak. Mungkin hanya beberapa hari perlu di rawat di sini untuk ...."
"Maaf, Mbak..."
Terpaksa aku menyela perkataannya.
"Iya kenapa, Mbak?"
Bulu mata lentik berbalut maskara tebal itu menatapku dengan berkedip beberapa kali. Senyuman tanpa lesung pipi itu selalu menghiasi bibir tebalnya yang berwarna oren keunguan.
"Ada yang menemani suami saya ke sini nggak, Mbak?"
Wanita itu mengangguk.
"Oh, iya, ada, Mbak. Bentar, ya."
Penjaga resepsionis bername tag Ayu Diah lawono itu menoleh ke samping. Disana berjejer rapi kursi besi yang bisa digunakan untuk para pengunjung dan pasien yang datang.
"Itu, Mbak Luna yang menemani pasien korban lakalantas tadi siang, Mbak."
Aku menatap punggung wanita dengan rambut panjang sebahu itu. Dahiku berkerut. Seperti kenal dengan bentuk badan dari sosok itu.
Siapa dia?
"Sepertinya aku mulai curiga terhadap wanita itu." Pikiranku menerka-nerka.
Bersambung.....
Hingga beberapa menit kemudian, aku tak bisa mengalihkan pandanganku pada pinggang ramping itu. Siapa wanita itu? Apa benar ia teman Mas Arman? Atau, wanita itu adalah seseorang yang ada dalam ponselnya Ilana? Jangan-jangan …. "Mbak, Mbak, hello," tegur Mbak Ayu padaku, yang masih terdiam menatap punggung ramping itu. Seketika aku terkesiap, lalu berpaling padanya. "Eh, iya, ada apa, Mbak? Kenapa?" "Mbak ini malah melamun, loh. Padahal dari tadi saya ajakin ngomong." "Hihi, iya, maaf, Mbak. Malah ngelamun sayanya," ujarku tak enak padanya. Senyum kikuk pun tertarik akibat fokusku pecah karena wanita itu. "Ya sudah, nggak apa-apa, Mbak. Saya cuma mau ngasih tau itu ada polisi yang juga mengantarkan korban ke rumah sakit ini. Siapa tahu Mbak butuh keterangan lebih jelas. Bisa ditanya langsung sama polisi itu, ya." "Oh, oke. Terima kasih, Mbak. Saya permisi, ya." Kuanggukan kepala padanya sebagai tanda terima kasih. Karena tak mau basa-basi, kutinggalkan ia yang masih berdiri
"Alana. Ka--mu kenapa bisa disini? Si--apa yang mengabari kamu kalau Mas disini?" Mas Arman bertanya dengan terbata-bata. Wajah piasnya membuatku gemas ingin memakannya. Pintar sekali ia berakting di depanku. Kalimat terbata itu, hampir saja membuatku tertawa keras. Kalimat itu terdengat menggelikan di telingaku. Kenapa Mas Arman jadi sepanik itu? Padahal kalimatnya yang terlontar itu sangat begitu romantis untuk wanita di belakangku. Lihatlah bola mata itu. Ia terus bergerak ke kanan ke kiri seolah mencari kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri. Apakah ia tak menyadari dengan kehadiran dua orang yang berdiri di pintu kamar inapnya? Atau ia gagal fokus karena kebaradaanku saat ini? Kubawa langkah untuk masuk dalam kamar inapnya yang berukuran 7x7 m persegi. Tampak besar, namun terasa sepi. Kupindai seluruh ruangannya yang berwarna putih gading. Aku terus melangkah, memutari ranjang dengan mengetuk-ngetukkan jari-jariku di pinggiran ranjang perawatannya. Dari jarak tiga meter
Tak sampai lima menit pintu itu tertutup dari luar, aku memulai kembali interogasiku pada Mas Arman. Lelaki ini semakin dibiarkan akan semakin menjadi. Sikapnya akan semakin parah jika aku hanya diam tak bergerak.Mungkin ia lupa, bahwa aku pernah mengucap sebaris kalimat pamungkas sesaat setelah ia mengucapkan akad kala itu, bahwa aku membenci pengkhianatan.Saat ini, lelaki yang tengah mencoba mengalihkan pembahasan penting itu semakin salah tingkah. Sepertinya ia mulai sadar jika aku telah mencurigainya."Kamu yakin, Mas, tidak mengenal wanita itu? Kalau aku perhatikan kalian seperti sudah saling mengenal lama. Benarkah begitu?" tanyaku lagi dengan kalimat yang sama.Kuangkat bobot tubuh dari sofa untuk mendekatinya, yang seolah sibuk dengan bantalnya yang ada di belakang punggung berseragam rumah sakit."Kamu ini apa-apaan, sih, Al! Sudah berkali-kali aku bilang nggak kenal ya nggak kenal! Tolonglah, Al, jangan ngomong ngelantur kemana-mana! Mas lagi sakit ini. Perihatin sedikit k
Aku berusaha menguasai diri yang tengah dilanda amarah yang membara. Sekuat hati aku menguatkan hati untuk tetap tegar menghadapi cobaan ini. Masa depan di depan mata harus segera aku siapkan. Takkan kubiarkan Mas Arman tertawa setelah berpisah denganku."Kamu bisa, Al. Ayo kamu harus kuat demi harga diri seorang wanita.""Ingat, Al, segala pengorbanan dulu yang pernah kamu keluarkan harus mendapat balasan yang setimpal.""Kebahagiaan anakku harus mendapatkan bagiannya. Aku takkan membiarkan anakku hidup dalam kesengsaraan.""Aku harus menyimpan bukti chat ini. Aku harus menscreenshotnya. Iya, benar, aku harus screenshot semuanya.""Semua bukti ini akan mempermudah jalanku di pengadilan nanti."Kalimat-kalimat monolog itu terus aku ucapkan dengan kesadaran yang tak sepenuhnya normal. Berkali-kali juga air mataku mengalir, walau selalu aku seka tanpa jeda. Sialnya, air mata ini tak mau berhenti sama sekali."Tarik napas, Al, ayo tarik napas. Tarik, lalu buang jauh-jauh. Ayo ulangi seka
POV. ARMAN."Kapan, sih, istrimu itu nurut sama omongan Mama. Dari dulu selalu membangkang. Nggak pernah nurut kalau di tegur. Heran. Masih aja keras kepala kalau ribut sama mertua. Makin sebel Mama tuh sama istri kamu!"Kembali aku membuang napas kasar. Sejak kepergian Alana, Mama terus saja mengomel. Ucapannya terdengar sangat menggebu-gebu. Sejak tadi kuperhatikan sorot matanya masih saja terfokus pada pintu yang sudah tertutup itu.Padahal Alana sudah beberapa menit yang lalu menghilang dari balik pintu itu. Namun, Mama masih terlihat kesal sekali."Iya, aku juga sebel banget sama itu Mak Lampir! Nyolot terus omongannya! Pingin banget rasanya aku tampol itu bibirnya! Sok cantik banget! Mana sakit lagi kaki aku, Ma."Kepalaku bertambah pusing, karena ucapan Liana turut menimpali omelan Mama sejak tadi. Ia yang sering sekali menjadi kompor mbleduk, sangat cocok sekali berpasangan dengan Mama Ratih yang mudah terbakar amarahnya.Kulirik sekilas Liana yang tengah memijit pergelangan k
Dibalik pintu lobby rumah sakit, aku tersenyum puas. Rasanya seperti kembang api yang meledak bersamaan di malam tahun baru. Jangan kalian pikir aku akan diam saja, setelah semua yang kalian lakukan padaku. Ini hanya sejengkal balasan yang tak seberapa. Mungkin tagihan biaya rumah sakit ini, hanya sebagai shock therapy untukmu, Mama.Bias senja yang mulai kekuningan, membuatku harus menarik langkah buru-buru untuk meninggalkan rumah sakit. Tujuan langkahku pada sebuah cafe es krim yang terletak di seberang rumah sakit.Tempo Gelato Prawirotaman, nama cafe es krim yang menjadi tujuanku untuk melepas penat barang sebentar, dan tentu saja itu hanya rencana kamuflase saja dibalik tujuan utamaku yang sebenarnya. Mendengar obrolan seseorang di balik airpod yang telah aku sembunyikan disana, menjadi tujuan utamaku duduk di cafe es krim ini."Selamat pagi, Kak. Ada yang bisa dibantu? Mau pesan apa?"Pelayan cafe es krim bertanya padaku, yang baru saja masuk ke dalam cafe-nya yang bertema baby
Di bawah benderangnya lampu yang berpendar, aku dan Mbak Vina masih beradu pandang. Ia tampak mengerutkan dahi. Tatapannya seolah menandakan, bahwa banyak pertanyaan yang harus aku jawab untuknya. Pinggang ramping itu ia angkat dari kursi kerjanya, kemudian langkah pelan ia lakukan untuk mendekatimu. Tak sedikitpun tatapannya beralih dariku. Aku hanya bisa menelan saliva, sepertinya aku terlalu cepat menanyakan perihal gaun itu. Namun, apa mau di kata, terlanjur basah, ya, sudah basah sekalian. "Gaun pengantin mana yang kamu maksud, Al? Kamu tau, kan, disini banyak gaun pengantin, jadi kalau ngomong jangan setengah-setengah kamu, ya! Kebiasaan!" tukasnya padaku dengan mata membeliak, dan hanya kubalas deheman ringan. Aku yang sudah bersiap diri tentang apa yang akan ia tanyakan, malah dibuat terhenyak seketika. Langkah pelannya malah melewatiku menuju pintu di belakang tubuhku. Aku membalik badan seketika, melihat apa yang ia cari di luar pintu. Mbak Vina hanya menggelengkan kepal
Di setiap detik yang berlalu, kembali menyadarkan aku dari pentingnya menghargai waktu yang terus berjalan. Saat waktu yang telah terlewati, ia takkan bisa terulang, begitu pun dengan kesempatan. Aku mulai sadar dan teringat kembali dengan semua yang terjadi, bahwa hidupku mulai berantakan setelah kedatangan lelaki itu.Meski pembahasan gaun pengantin itu belum selesai, aku masih beradu tegang dengan Mbak Vina, perihal kesempatan yang bisa aku berikan untuk Mas Arman. Ia berharap aku mau mempertimbangkan usul itu, tapi sayangnya itu tak berlaku padaku yang memegang teguh wanita berprinsip. Kembali ponselku berdering. Dengan sigap Mbak Vina memberikan kepadaku, agar segera kujawab. Aku hanya mendengus kasar. Dan tetap mengabaikan nomer itu yang menari-nari disana dengan sepuasnya."Biarkan saja, Mbk. Nggak usah dijawab teleponnya. Biar tau rasa dia. Pasti mereka panik banget di rumah sakit. Hahaha." Sambil tergelak, aku letakkan kembali ponsel itu ke meja. Dan bersamaan dengan itu,
"Kamu pikir kamu siapa bisa mengaturku, Mas! Sebelum perselingkuhanmu terbongkar, aku wajib menuruti semua perkataanmu sebagai suami. Tapi kali ini, itu semua sudah aku hapus setelah kedokmu terbongkar! Tak ada maaf lagi untukmu mulai sekarang ini!"Aku terus menggrutu setelah keluar dari ruang inap di belakangku. Sudah bisa aku pastikan mereka takkan bisa tersenyum lagi setelah semua pembalasanku terjadi. Wanita yang dulu mereka anggap baik, sudah tak ada lagi. Telah aku hapus semua rasa kebaikanku untuk kalian."Aduh! Kalau jalan pakai mata, dong! Gimana, sih! Jadi sakit, kan, sikuku terbentur lantai!" Aku berteriak kesal karena tersungkur ke lantai. Entah siapa yang menabrak bahuku dari belakang.Baru juga keluar dari ruangan itu, malah terkena sial. Sepertinya karena kebanyakan bergaul dengan mereka, jadi kesialan terus mengikuti aku. Mereka semua memang pembawa sial.Pergelangan tanganku sakit seketika, karena menahan bobot tubuh yang hampir saja mencium lantai berkeramik marmer.
"Mau apa kamu, hah!" Seketika mataku mendelik, saat Liana ingin menyambar ponselku. Secepat kilat kusembunyikan benda canggih ini ke belakang punggungku, agar dia tak bisa sembarangan mengambilnya. Tatapannya yang dipenuhi dengan kobaran api yang menyala-nyala, seolah ingin menerkamku saat ini juga. Netranya yang mulai basah, seakan menolak fakta bahwa yang ada dalam foto dan video itu bukan dirinya. Liana memang pandai memutar keadaan. Dia bak artis pemeran utama, yang sangat lihay menjalankan perannya. Sejenak kubalas tatapannya yang pintar bersandiwara itu dengan senyum sinis tak bersahabat. Dia pikir bisa mengelabuiku. "Bawa sini ponsel itu!" Liana semakin berani membentakku. Namun, perlakuannya itu tak mampu membuat pertahananku runtuh. Hatiku sudah sekeras batu terhadap semua keluarganya. "Mimpi! Jangan harap aku akan memberikannya! Kamu pikir kamu siapa, hah!" Liana semakin meraung sejadi-jadinya. Kepalan tangannya memukul dinding berulang kali, seolah i
Seketika aku tertawa dalam hati, setelah mendengar semua penghinaan itu dari bibirnya Mama Ratih. Lihat saja, jika video dalam ponselku sudah dilihatnya dengan mata sendiri, apakah ia masuh bisa terus menghinaku.Mari kita buktikan. Bukti ini akan membungkam mulutnya yang lantam.Ponsel yang ada di dalam tas, kuambil dengan cepat. Aku buka aplikasi rahasia untuk mencari bukti berupa video. Video rahasia yang kusimpan beberapa hari yang lalu masih aman di dalamnya.Tanpa berpikir ulang, video berjumlah lima buah dengan durasi masing-masing hampir lima belas menit, sudah aku kirim ke beberapa sosmed milikku. Tak ada satupun kontak di ponsel yang aku private. Biarkan mereka semua tahu. Apa itu pembalasan yang sesungguhnya. Apa yang sudah keluar dari bibir ini, pantang untuk dijilat kembali.Setelah ini, akan terbukti siapa yang bisa membalas dengan menyakitkan.Harga diri yang sudah tercoreng, harus diselamatkan walau harus bertarung nyawa. Kini tinggal menunggu bom itu meledak, maka hab
"Tenang, Al! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Mas bisa menjelaskan semuanya!" dalihnya berusaha membela diri. Tak lama setelah kalimat itu terucap, ia berusaha turun dari ranjang dengan susah payah. Sayangnya, pembelaan itu tak berarti apa-apa untukku. Kalimat pembelaan yang sengaja ia lontarkan, semakin membuat hatiku terhantam pilu. Pilu untuk kesekian kalinya, hingga tak terasa apapun di dalam sana. Hambar. Itulah yang kurasa saat ini. "Jadi menurutmu pikiranku salah begitu! Lantas bagaimana dengan pikiranmu sendiri, Mas! Apa perlu otakmu aku cuci dengan spon pencuci piring biar jernih, iya! Bener-bener kamu, ya!" Serta merta aku meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Dalam keadaan remang-remang dalam ruangan rawatnya, semakin membuat napasku sesak. Lelaki ini pintar sekali memanfaatkan keadaan. Ia sengaja mematikan lampu dalam ruangannya, agar tak terlihat mencolok dari keadaan orang luar yang lalu lalang di depan ruang inapnya. Bukankah ia cerdik sekali. "Bu–kan begi
Di sela meeting yang masih berjalan, aku masih menarik sudut bibir secara diam-diam. Ternyata paket itu sudah sampai lebih cepat dari dugaanku. Kalian pasti terkejut atas datangnya paket terbaru itu. Tentu benak kalian takkkan mampu menerima sebuah kenyataan, yang dimana kenyataan itu lebih hina dari sekedar berzina. Bisa aku pastikan, jika isi paket itu tersebar ke semua orang, kalian semua pasti merasa tak ingin lagi hidup di dunia ini. Sungguh keberuntungan yang sangat menguntungkan. Baru kali ini aku merasa bangga karena mendapatkan keberuntungan itu. "Aww!" sentakku terjaga dari lamunan indah itu. Kugerakkan leher ke sebelah kiri, dimana Mbak Vina berada yang telah mencubit pinggangku. Aku menggeram marah. Bisa-bisanya ia menyubitku disaat meeting dengan tamu penting. "Sakit bego, Mbak!" bisikku kesal padanya, yang dibalasnya dengan membeliakkan mata beloknya. "Makanya kalau meeting itu yang serius! Jangan cuma plonga plongo doang kamu, ya!" hardiknya padaku, yang ketahuan m
Senyum lepas aku tarik untuk pembalasanku kali ini. Kalian yang memulai untuk melibatkan Bapakku. Jadi, jangan salahkan aku yang ikut melibatkan anggota keluarga kalian.Kulepas ponsel dari kabel charger yang belum terisi penuh. Menghubungi seseorang pagi ini jauh lebih penting, dari sekedar mengisi baterainya. Ibu jariku membuka WA untuk mencari nomor ponsel, yang baru dikirim Ilana barusan.Segera aku telepon nomor berjumlah delapan digit itu."Hallo, selamat pagi. Apa benar ini dengan kurir ekspedisi JNA?" Satu salam tanda kesopanan aku lontarkan pada admin sebuah ekspedisi."Iya, betul, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?"Admin itu menjawab dengan suara khasnya yang lembut.Sebelum menjawab, aku menuliskan alamat pada amplop yang sudah aku tutup rapat dengan double selotip. "Bisa ambil paket ke rumah, Mbak. Saya mau mengirimkan sebuah amplop pagi ini."Kembali aku tersenyum lepas saat alamat itu sudah tertulis rapi dengan huruf capslock bertinta tebal."Bisa, Mbak. Kebetulan hari ini
Tok tok tok.Aku mengetuk pintu berwarna coklat yang masih tertutup rapat. Entah sudah keberapa kali ketukan itu aku layangkan, namun tak juga terbuka dari dalam. Jam malam yang hampir terlewati, aku memutuskan untuk pulang ke rumah Ibu saja. Toh, di rumahku juga tak ada siapa-siapa."Ibu mana, sih? Lama banget buka pintunya! Mana mau hujan lagi!" gerutuku kesal pada pintu yang masih tertutup. Aku melihat ke atas, dimana langit sudah menggelap karena awannya yang menghitam."Bu! Lana pulang! Bukain, dong, pintunya!" Kembali aku mengetuk pintu itu dengan kuat. Andaikan bel di rumah Ibu tidak rusak, pasti aku sudah masuk dari tadi.Mengintip pada celah gorden di jendela pun tak bisa, karena lampu didalamnya sudah padam. Sepertinya para penghuni rumah Ibu sudah melelapkan matanya pada kegelapan."Assalamualaikum, Alana pulang, Bu!" Suaraku yang mulai serak, tak bisa lagi berteriak memanggil Ibu.Sedetik kemudian, ide brilian muncul di kepalaku. Kurogoh ponsel di dalam tas. Aplikasi WA mi
Faktanya memang benar, takdir seseorang itu takkan berubah jika seseorang itu tak mau merubahnya. Majunya hidup seseorang itu tergantung dari ikhtiar dan usahanya yang maksimal. Makin rajin dirinya, maka makin banyak pula peluang kesuksesan yang bisa diraihnya.Mungkin, jika dulu aku masih bermalas-malasan hidupku takkan seperti ini. Mungkin, jika aku masih mengabaikan usul Ibu Angkat dan mertuaku untuk mengirim beberapa desain simple ke beberapa butik ternama, aku takkan mungkin jadi salah satu desainer yang diperhitungakn kemampuannya.Membayangkan pun aku tak pernah mau untuk jadi bagian dari mereka. Dan itu semua berkat restu dari dua perempuan yang sudah membantuku tanpa pamrih apapun.Entah sudah berapa kali dua perempuan hebat itu selalu mengingatkanku, akan saran itu untukku segera mewujudkannya. Katanya, kalau usaha itu tak dicoba kita mana tahu akan beruntung atau tidak. Hingga, salah satu penyebab kenekatanku untuk menjalankan saran itu adalah dengan keberadaan Aleeya yang
Di setiap detik yang berlalu, kembali menyadarkan aku dari pentingnya menghargai waktu yang terus berjalan. Saat waktu yang telah terlewati, ia takkan bisa terulang, begitu pun dengan kesempatan. Aku mulai sadar dan teringat kembali dengan semua yang terjadi, bahwa hidupku mulai berantakan setelah kedatangan lelaki itu.Meski pembahasan gaun pengantin itu belum selesai, aku masih beradu tegang dengan Mbak Vina, perihal kesempatan yang bisa aku berikan untuk Mas Arman. Ia berharap aku mau mempertimbangkan usul itu, tapi sayangnya itu tak berlaku padaku yang memegang teguh wanita berprinsip. Kembali ponselku berdering. Dengan sigap Mbak Vina memberikan kepadaku, agar segera kujawab. Aku hanya mendengus kasar. Dan tetap mengabaikan nomer itu yang menari-nari disana dengan sepuasnya."Biarkan saja, Mbk. Nggak usah dijawab teleponnya. Biar tau rasa dia. Pasti mereka panik banget di rumah sakit. Hahaha." Sambil tergelak, aku letakkan kembali ponsel itu ke meja. Dan bersamaan dengan itu,