Tangan terkepal bebas memukul kasur berulang kali, wajah tersembunyi di bantal, kaki pun mengayun dan mendarat tak terkendali di atas kasur. Jerit dan teriakan pun terdengar samar dari bantal putih bersih itu, perasaan kacau seolah sudah mendekam di benak dan pikiran.
Teringin hati dan pikiran menangis, teringin diri ini kabur dan menghilang dari takdir, teringin pula semua terulang dan lebih memilih untuk menghadapi amarah orang tua dari pada menikah. Sejak menikah semua jadi kacau, semua menjadi penuh kesialan, dan jalan hidup yang memaksanya untuk pasrah."Rana ...," panggil seorang pria mengetuk pintu, membuat wanita yang telungkup itu sontak menghentikan gerakan tangan dan kakinya, sontak terdiam dan hanya melihat bantalnya, "Kirana Zendaya."Ada perasaan aneh yang menyenangkan di dalam benak dan pikirannya, ada keinginan besar untuk segera melihat pria yang memanggil, dan ada kegelisahan tak kalah besar juga ingin melawan semua yang dirasa. Perbedaan yang akhirnyaMerengut dengan wajah memerah, mata yang sesekali melirik ke pria di hadapannya, saling berdiam diri sejak pelayan wanita pergi membawa menu tambahan yang dipesan. Mata yang teralih lagi dan lagi keluar ruangan, memandang air mancur dekat parkiran belakang restoran yang terlihat menarik dengan cahaya warna-warni. Ruang khusus dipesan dengan sengaja untuk mencairkan kecanggungan antar keduanya, justru kini membuat kecanggungan itu meningkat hanya karena ketidaksengajaan yang disadari. Memegang tangan suami depan umum, keinginan tetap bersama meski pandangan tidak lurus dan pikiran tidak fokus. Ketidaksengajaan yang menggelisahkan hati macam apa ini? Terhitung sejak menikah, enam bulan sudah menjalin hubungan dengan pria konyol di hadapannya, pria yang sedari tadi terus memandangnya tanpa alasan. Harus berkata apa? Harus bersikap bagaimana? Serba salah rasanya jika dilihat dan dipandangi begitu. Bukan risih, hanya bingung. Terhitung juga sejak pria menganggur, lima bulan sudah pria
Terbuka lebar mata pria berusia 27 tahun itu, terkejut ia mendengar pernyataan wanita di hadapannya. Hadiah yang didapat dari menjalin pernikahan dengan puluhan kesepakatan resmi, ternyata bukanlah benar-benar hadiah. Kartu hitam tanpa batas penggunaan, kartu hitam yang dengan bangga diserahkan padanya sebagai hasil dari keberhasilan memenangkan taruhan, dan kartu hitam yang umumnya menjadi pernyataan tak bersuara akan derajat sosial, ternyata hanyalah kartu dari bisnis keluarga yang masih terikat laporan. Sekarang harus apa? Marah pada pemberi kartu? Tapi, apa gunanya marah? Apa marah dapat menyelesaikan masalah? Ataukah ini bukan masalah? "Sini," tukas wanita bernama Kirana Zendaya itu merebut sumpitnya dari tangan Kalil yang masih mematung, Rana tahu bahwa Kalil merasa dibohongi atau mungkin ditipu. Fakta dan kebenaran memang lebih sering menyakiti, kesakitan dan kekecewaan yang sebenarnya takkan pernah ada jika tidak diiringi harapan dan ekspektasi. Sayang seribu sayang, alih
"Aku memutuskan untuk berteman sama Fafa." Enam kata terucap dari balik bibir tipis merona si wanita cantik, suara lembut yang menyenangkan untuk selalu didengar. Enam kata terucap yang tentu langsung mengejutkan dan membuat napas seolah terhenti sesaat, "Fafa tahu?" Mengangguk Rana menjawabnya, anggukan kepala yang sangat tidak diharapkan dan sangat tidak ingin dilihat. Terhela napas Kalil dengan desahan pasrah yang keluar bebas dari mulutnya, "kamu tahu enggak sih Fafa itu cewek kayak gimana? Apa alasan kamu ajak dia berteman? Kapan kamu ajaknya? Kenapa enggak bilang atau tanya dulu ke aku?" Menyipit mata Rana mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Kalil, menatap tajam mata sang suami dengan ketegasan yang jelas terlihat dari raut wajah orientalnya, "kok atur aku? sejak kapan atur kehidupan jadi bagian hal yang diizinkan dari kesepakatan nikah kita? Memangnya pertemanan juga sampai ke tahap atur-atur gini?" cecar Rana mengembalikan pert
Membisu dalam kesendirian seorang wanita di ruang kerjanya, sepanjang malam dan pagi sudah dihabisinya waktu untuk sendiri. Satu rapat tim dan satu rapat hasil perilisan produk baru dilewatkannya dengan sengaja, tidak mengutus siapapun dari tim humas untuk rapat hasil, dan hanya mengandalkan notula yang akan didapat. Bisakah? Sebenarnya bisa saja, dan kerap kali dilakukan oleh berbagai orang dari berbagai jabatan dengan alasan beragam. Namun, ini adalah hal pertama yang seorang Kirana Zendaya lakukan, hal yang menjadi catatan merah pertama, dan hal yang cepat Rana sadari justru menjadi beban baru. "Ah ...," desahnya mengeluh seorang diri di ruang kerja yang temaram, ruangan yang sengaja ia tutup tirainya, dan meminta anggota humas untuk tidak menemuinya dengan alasan apapun. Berat? Sangat. Manusia normal dan manusia waras mana, yang baru dikhianati sahabat, dibohongi kakak, tahu bisnis keluarga terancam karena kebodohan cinta, tahu bahwa perni
Terhela napas wanita muda itu menundukkan kepalanya, sedikit memiringkan badan dan meluruskan kedua tangan, membiarkan kepala bersandar penuh ke meja lalu memejamkan mata dengan pasrah. Ada rasa yang sangat besar dalam diri untuk memanfaatkan jabatan, tapi itu bukanlah tujuan sesungguhnya, dan itu juga bukanlah keinginan hatinya. "Ah!" serunya mengeluh singkat lalu kembali duduk tegak, mengangkat gagang telepon kantor dan menekan beberapa nomor yang menjadi kode untuk menghubungi divisi lain, "hubungkan saya langsung ke wakil kepala arsip." Wakil kepala arsip, pria muda yang ia tahu menjadi teman dekat suaminya saat masih bekerja, teman dekat yang ia tahu juga berulang kali meminta sang suami berhenti bermain gim di jam kerja, dan teman dekat juga yang beberapa kali mengerjakan pekerjaan suaminya demi menyembunyikan perilaku malas saat itu. Permintaan dihubungkan langsung, bukan berarti permintaan untuk berbicara melalui telepon, melainkan pengajuan permohonan ta
Hanya ada satu dari seribu hal membingungkan di dunia yang bisa dijawab, sisanya hanya angan belaka yang dipaksa logika terbatas untuk dapat dijawab. Menyakitkan? Tentu saja. Tapi bukan manusia namanya, jika tidak memiliki cara untuk bertahan dari segala hal, termasuk melegakan dahaga keingintahuannya yang tak terbatas. Pertanyaan demi pertanyaan terjawab, pernyataan demi pernyataan diketahui, bukti demi bukti dikumpulkan, dan saksi demi saksi silih berganti dengan berbagai pengakuan yang bisa saja penuh kebohongan yang menguntungkan sebelah pihak. Hanya satu kepasrahan kini yang akan ditempuhnya dengan tekad, bukan dengan keyakinan dan kepercayaan, tapi hanya dengan tekad yang mungkin saja bisa dikatakan konyol. Berjalan lunglai wanita bersetelan semi formal, menutup pintu mobil yang terparkir depan salah satu rumah mewah di pemukiman elit. Satu dua napas ia hembuskan kasar sebelum menekan bel, sudah muak rasanya untuk berurusan dengan manusia yang bahkan jumlah
"Kirana!" Tersenyum kecut Kirana mengangkat kedua alisnya menanggapi emosi yang mendadak tinggi, terluap cepat tak terkendali dari suara yang tiba-tiba membentak. Terkejut? Tentu tidak. Jantung Rana dilahirkan untuk menjadi bagian dari sosok yang kebal akan segala hal di dunia keji, jantung Rana juga tumbuh dan berkembang bersama caci maki berkedok nasihat dengan suara tinggi. Sekadar bentakan belaka itu, hanya sampah yang bisa cepat didaur ulang. Terdiam dua wanita itu saling bertukar pandang, netra yang menatap tajam dengan wajah memerah dan napas menderu cepat, jelas menggambarkan betapa tingginya emosi yang ada di dalam benak, "ah kelamaan," ketus wanita muda yang datang bertamu tanpa izin dan tanpa undangan. Bergerak santai tangannya mengeluarkan sebuah kartu kredit hitam, warna kartu elegan yang menjadi tanda prioritas di salah satu bank swasta ternama, warna kartu elegan yang juga menjadi tanda bahwa tidak ada batas penggunaan, dan kart
"Ran," panggil seorang pria yang sedari tadi terus mengamati wanitanya, melihat ke arah wanita yang hanya menunduk dan menyuap sarapan. Seolah enggan untuk sekadar mengangkat kepala, seolah tak ada rasa penasaran pada hal sekitar, dan mungkin pula seolah makan sendirian tanpa siapapun."Hm?" sahut wanita itu berdeham singkat, lagi dan lagi terlihat seperti tidak ada keinginan untuk sekadar mengangkat kepala atau melirik ke lawan bicara."Kamu kenapa?" tanya pria bernama Kalil Nayaka, pria berusia 27 tahun yang memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik, walau semua yang telah dilakukan tidak pantas dimaafkan.Berselingkuh, membawa wanita lain ke kamar sang istri, berulang kali mencoba melanggar kesepakatan pra-nikah, memakai kartu kredit yang sebenarnya ditujukan untuk bisnis keluarga, dan pesta alkohol sampai membuat mobil istri rusak. Bagi Kalil yang paling parah adalah saat memutuskan untuk menikahi Rana, dan membuat wanita itu harus berada dalam lingkaran setan yang
"Dia mau pinjamnya dua belas juta, oi," tukas Den berhasil membuat Rana dan Kalil membelalak terkejut, "sekarang gimana? Aku jadi mulai mempertanyakan visi-misi Rana sama semua ini," oceh Den mengembalikan ekspresi Rana yang begitu datar dalam diam.Sementara Kalil, sesekali melihat ke ponsel dan Rana, rasanya begitu aneh untuk terlibat dengan dua anak konglomerat ini. Yang dalam panggilan hanya sedikit beruntung, berhasil mengatur orang tuanya demi kelangsungan perusahaan, dan yang kini di hadapannya hampir tidak sangat beruntung, dibenci orang tua hanya karena kebebasan yang diinginkan.Seingat Kalil, belum ada dua menit keduanya terkekeh bahkan terbahak, karena celotehan Rana yang menceritakan kondisi Kalil dan Fafa di restoran tadi. Keduanya menertawakan keadaan yang menurut Kalil tidak lucu sama sekali, ekspresi Rana tadi yang tiba-tiba antusias kini jadi datar, dan Den yang tadi terdengar tertawa keras kini hanya diam.Sebenarnya apa yang dua anak konglomerat ini rasakan dan pik
Bertalu lebih cepat jantung Kalil saat keluar dari mobil setelah parkir di garasi rumah, terhela lagi dan lagi napasnya dengan kasar, ada kegusaran dalam hati dan pikiran meski tangan sedang memasang gembok di pagar rumah. Kegelisahan yang cukup mendebarkan, berhasil melambatkan langkah yang penuh keraguan memasuki rumah yang sudah gelap, khas rumah Kirana di malam hari."Kok baru pulang?"Tersentak Kalil dalam kesunyian dan kegelapan rumah, cahaya dari lampu jalan di gang perumahan pun mulai berkurang seiring pintu yang menutup perlahan. Terkatup rapat pula bibir pria itu kala mendengar suara istrinya bertanya, jelas ini lebih mengerikan dari apapun."Ini baru jam sebelas, belum tengah mal ....""Buat apa dua juta dua ratus?" tukas Rana seraya menyalakan lampu hias di pojok ruang tengah ini, terlihat samar Rana di temaramnya ruang dengan cahaya kuning yang rendah, "minta apa lagi perempuan gila itu? Cerita sini, oh iya lampu sekalian," lanjutnya meminta perkembangan rencana yang terd
"Kak.""Kak.""Kakak.""Kalil.""Kalil Nayaka!" seru seorang wanita teriak memanggil pria yang duduk di salah satu meja makan di restoran, pria yang hanya diam dan menatap lurus ke luar area restoran menengah atas ini.Menoleh terkejut pria dengan potongan khasnya cepak berponi, tersenyum kecut itu menahan sejuta emosi yang mendadak melesat jauh, "ini sandinya apaan? Kita putus enggak sampai enam bulan, kamu langsung ganti sandi kartu kredit begini," oceh wanita yang di depan meja kasir, sementara kasir pun hanya tersenyum canggung melihat dan mendengar pertengkaran sepasang kekasih."Ini kan kartu kredit punya istriku, jadi dia yang punya hak penuh buat ganti atau membatasi penggunaan," jawab Kalil melihat layar kecil dari alat pembayaran menggunakan kartu kredit, terbelalak matanya kala melihat nominal makan malam kali ini, "dua juta dua ratus?" tukasnya mendongak dan menatap tajam wanita berseragam itu."Iya, tadi pasangannya pesan menu terbaik kami," jawab kasir itu menanggapi emo
"Sudah paham semua peran dan tugas masing-masing, kan?" "Paham," jawab empat insan muda itu setelah duduk di dalam mobil. "Apa coba?" tukas pria di balik kemudi sambil memakai sabuk pengaman, memeriksa ulang pemahaman setiap orang terlibat. "Aku balik lagi jadi bucin ke Fafa, bahkan kalau bisa lebih bucin lagi karena hamil anakku," ucap pria yang duduk di sebelah jok pengemudi, memeriksa ulang sabuk pengaman yang sudah terpasang, "simpelnya, aku jadi orang yang ikuti cara main Fafa buat tahu semua informasi apapun itu." "Kamu?" "Aku punya peran yang hampir sama dengan Kalil, tapi aku harus dekati Tomi dan bersikap seolah menyesal pernah tolak dia, mau memulai hal baru, pura-pura punya dendam ke kakak sendiri, dan mendua kalau itu diperlukan," ujar wanita yang duduk di tengah di antara dua wanita lain. "Kamu?" "Aku hanya urus pekerjaan sebagaimana mestinya, bahkan urus pekerjaan Rana dengan rapi kalau Rana harus pergi keluar untuk mengurus Tomi. Mengingat Tomi itu pengangguran ya
Angin hening menerpa empat insan muda itu, tidak adanya jawaban dari Nifa dan aura yang lebih kuat daripada Rana, cukup untuk membisukan dua pria yang ada di depan. Ekspresi masam dan tatapan tajam Nifa yang tidak pernah Rana lihat sebelumnya, kekesalan terlihat begitu nyata, seolah Nifa yang akan menghabisi Fafa dan gengnya hingga larut bersama kegilaan yang sudah banyak dilakukan.Dering ponsel Rana yang mengejutkan semua orang, membuat Den sontak menginjak rem bersamaan dengan napas yang terhembus kasar, mendapat banyak klakson dari belakang, "nada deringmu," tegur Den ketus melihat ke belakang melalui spion, mendapat banyak kendaraan yang sedang mengantre untuk mendahuluinya, harus siap telinga untuk mendengar klakson lanjutan.Wajar bila ada kekesalan di antara penggemar mengingat rem mobil itu dipijak dadakan, begitu dalam hingga hampir memberhentikan mobil di tengah jalan, "hehe maaf, biar terdengar saja kalau lagi di tempat ramai," jelas singkat Rana terkekeh ringan sebelum me
"Panggil orang kepercayaan kamu, Denandra tunggu di mobil parkiran bawah tanah. Ayo," tukas Kalil lalu menekan tanda tutup di lif dan meninggalkan Rana yang masih mematung terkejut, belum selesai Rana mencerna keadaan yang begitu cepat, pintu lif itu sudah tertutup dan bergerak turun.Apa-apaan? Kenapa coba? Maksudnya apa?Menoleh Rana ke area tim humas, terlihat Nifa yang hendak meninggalkan mejanya setelah memastikan semua bawaan. Dua tas map dibawa oleh wanita berbadan semampai itu, melangkah penuh kepercayaan diri yang khas menuju lif sampai matanya bertemu dengan netra Rana, "loh, belum ke mobil?" tanya Nifa cukup terkejut melihat ketua dari tim tempatnya bekerja sekaligus teman seperjuangan itu masih berdiam diri di depan lif."Tadi lifnya sudah terbuka, terus ada Kalil dan dia bilang ada temannya yang tunggu di bawah," jawab Rana pada Nifa yang terlihat menggerakkan jarinya di depan sensor tanda turun untuk lif, "dia kelihatan buru-buru gitu.""Temannya siapa?"Membisu Rana men
"Wanita murahan!""Pembawa sial!""Belum puas kau rebut Kalil dariku, dan ternyata Tomi pergi dariku karena kamu juga?""Jahat!""Apa sih kesalahanku sampai kamu sejahat ini?""Lepas! Cewek murahan begini memang harus dikasih pelajaran.""Doyan banget sama pacar orang.""Ya sudah iya dilepas dulu.""Rana, lawan Ran, jangan diam saja.""Lepas, Fa!""Semuanya bela cewek murahan ini.""Kamu yang murahan!" Satu bentakan terakhir dari Kalil berhasil membuat terlepasnya tangan Fafa dari rambut Rana, bentakan yang kini cukup terkenang di pikiran Rana dan menemaninya di ruang kerja dalam kesendirian.Tidak menyalakan lampu ruang kerja dan tidak membuka tirai penutup di kaca besar yang menghadap langsung ke area tim humas, menyendiri bersama rasa muak yang terjadi lagi dan lagi mendekap erat. Ada satu ketidaksangkaannya dalam benak, seorang Kalil Nayaka yang pernah menjadi budak dari Fauziah Aini, yang dengan sukarela menjadi cadangan, pada akhirnya membentak sang pujaan. Apa itu salah satu ta
Napas terengah lelah sesekali mendengus amarah menemani sepanjang malam yang tersisa usai pergulatan tak berguna, rambut kusut berantakan, dan baju kerja yang terlihat tak serapi sebelumnya. Menoleh dan melihat kesal ke pria di balik kemudi, "monyet rabies kayak begitu pernah kau cintai?" ketus wanita bernama Kirana Zendaya itu pada suaminya.Ketus dalam pertanyaan yang sebenarnya jelas tidak butuh jawaban, hanya ungkapan atas emosi yang memuncak tapi masih dalam kendali. Kembali lagi kepala itu menoleh ke sisi kiri dan melihat lancarnya jalan di hari yang menjelang tengah malam, tidak bisa dibilang jalan jadi sepi karena masih adanya lalu lalang kendaraan."Kal!" seru Rana bersedekap dada dan menarik napas panjang yang terdengar kasar, "ah, aku enggak tahu lagi, ini terlalu kacau. Aku enggak mau terlibat," ocehnya cenderung merajuk."Aku enggak mau terus bareng monyet rabies, makanya aku putuskan dia dan mau fokus sama kelinci anggora," tanggap Kalil membuat Rana sontak menoleh lagi,
"Tapi ternyata Fafa malah tambah rewel, banyak menuntut, dan lainnya, karena Kalil menghilang gitu saja setelah memutuskan Fafa sepihak," tutur Tomi tidak mendapat reaksi apapun dari Rana yang menatap lurus ke danau buatan, "aku tambah muak sama semuanya, aku capek sama kelakuan cewek kayak gitu. Aku putus sama dia tapi aku juga minta dia ke kantormu, aku mempersilakan dia buat kasih tahu semua kisah yang berkaitan tentang aku dan Jessica.""Biar apa suruh dia ke kantorku?" tukas Rana menoleh ke arah Tomi dan menatapnya tajam."Aku masih sayang Fafa tapi aku juga enggak mau terus-terusan berada di dekatnya. Aku tahu dia enggak punya kompetensi, dan aku tahu kamu individualis tapi cukup punya empati." Terhenti sejenak Tomi dalam ucapannya, menatap Rana lekat dan menunduk, "jadi aku suruh Fafa begitu biar setidaknya dia punya teman, atau bahkan pekerjaan buat pemasukan dia karena selama ini dia hidup dari uangku atau uang Kalil," lanjutnya berhasil membuat Rana kehilangan selera makan.