"Yah, kenapa Ayah biarin ibu pergi? Kenapa ibu nggak boleh ada di sini? Ini kan rumah kita, Yah."
"Dafa, anak ayah, suatu saat nanti kamu akan mengerti semua keadaan ini. Ayah dan ibu tak bisa bersama lagi. Tapi kami akan selalu menyayangi Dafa seperti biasanya. Tak akan ada yang berubah."
"Tapi aku ingin kita selalu sama-sama, Yah, aku nggak mau pisah sama ibu. Bagaimana ibu di luar sana. Aku takut, aku takut ibu kenapa-napa. Aku bukan anak kecil lagi, Yah, aku tahu semuanya. Yang aku tak bisa mengerti kenapa ayah harus biarin ibu pergi dari rumah kita."
"Tenanglah, Nak, walaupun ibu sudah nggak bersama kita lagi, ayah yakin ibu akan selalu menyayangimu."
"Aku nggak mau Yah, aku mau sama ibu. Ayo kita susul ibu, Yah."
"Nak, Dafa, Sayang, dengarkan ayah. Kamu harus kuat. Jadi laki-laki jangan cengeng. Jangan gampang mengeluarkan air mata."
"Ayah jahat, Ayah udah biarin ibu pergi. Nenek jahat, nenek sudah usir ibu dari sini. Aku benci Ayah, aku benci sama nenek."
Tangan kecil Dafa memukul dada Ismail yang tak berarti apa-apa bagi lelaki itu.
"Ayah sama ibu sayang sama Dafa. Begitupun nenek. Maaf, semua ini salah ayah. Ayah yang tak becus menjaga ibu. Maafkan ayah, Nak."
Raungan dan tangisan Dafa tak bisa mengubah apapun. Ismail berusaha menenangkan anak semata wayangnya. Berhari-hari Dafa tak mau berbicara padanya. Bahkan keadaan itu berlanjut hingga Dafa lulus sekolah. Walaupun tak sampai mendiamkan ayahnya terus-menerus, sikap Dafa tak juga hangat kepada Ismail.
Hal yang sama juga anak itu lakukan pada neneknya. Sekeras apa pun Halimah mengambil hati cucu pertamanya itu, tak pernah satu kali pun Dafa menghiraukannya. Semua yang diberi oleh Halimah memang diterimanya namun sama sekali tak dipakainya. Perkataan pun diatur sedemikian rupa agar tak terkesan ketus. Pernah sekali Dafa berkata kasar pada Halimah, bocah yang duduk di bangku SD itu langsung dibentak oleh sang ayah. Rasa kesal dan tak sukanya bertambah ketika Ismail menurut saja saat Halimah menjodohkannya dengan wanita lain sampai dua kali.
Hanya kepada keluarga Mirna, adik dari Ismail, Dafa bisa bersikap ramah. Bahkan, Dafa lebih sering berada di rumah tantenya daripada di rumah sang ayah. Dafa berusaha melayangkan protes yang malah membuatnya makin dikekang oleh Halimah. Halimah mendikte cucunya agar menerima ibu baru yang katanya lebih baik dari Astri. Wanita itu terlalu membenci mantan menantu yang telah memberinya satu orang cucu itu. Kedua wanita itu memang baik dan menerima Ismail berikut Dafa. Namun, tak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi Astri di hati Dafa maupun Ismail.
Wanita-wanita yang pernah menjadi istri Ismail pun berusaha menjadi ibu yang baik untuk Dafa. Sayangnya, pernikahan mereka tak bertahan lama. Yang pertama hanya bertahan setahun karena sikap Ismail yang tak perhatian padanya. Wanita bernama Dini mengajukan gugatan cerai saat sikap Ismail tak berubah. Tetap cuek padanya. Padahal, Dini berusaha bersikap sebaik-baiknya sebagai seorang istri. Sedangkan yang kedua bisa sampai dua tahun menjadi ibu sambung Dafa. Wanita bernama Aisyah itu mempunyai seorang anak perempuan dari pernikahannya terdahulu. Dafa sudah mulai menerima dan menyayangi ibu sambung dan adik tirinya namun Ismail menceraikan Aisyah karena tak ingin membuat wanita itu tersiksa. Selama ini Ismail tak bisa mencintainya. Di hatinya hanya ada Astri, tak ada yang lain. Ismail ingin Aisyah mendapatkan laki-laki yang bisa membahagiakannya dan mencintainya dengan tulus.
"Sekarang kamu ada dimana As ... jujur saja aku merindukanmu. Walau aku sudah dua kali mendapatkan penggantimu, aku tak pernah bisa melupakanmu. Maafkan sikapku yang dulu sering memojokkanmu. Aku yang sering menyalahkanmu. Maafkan aku atas segalanya," gumam lelaki paruh baya itu sambil menerawang jauh.
Di tangannya tampak wadah berisi pakan ikan yang masih utuh. Sedikit saja ia melangkah maju, maka lelaki itu akan tercebur ke dalam kolam ikan sedalam satu setengah meter itu. Seorang wanita tampak berjalan pelan menghampirinya. Langkahnya terhenti kala melihat penampilan Ismail yang kusut. Rambut dibiarkan berantakan tanpa disisir. Pakaian pun seadanya. Walau memang tak lagi memiliki istri, seharusnya Ismail bisa lebih memperhatikan dirinya sendiri. Tidak menyiksa diri seperti itu. Wanita itu maju beberapa langkah dan memanggil Ismail yang tampak termenung.
"Mas ... mas Is lagi apa?"
"Oh, ini lagi ngasih makan ikan. Kamu mau apa Mir?"
"Itu, tadi aku nyimpen lauk buat makan mas Is. Makanlah selagi hangat."
"Terima kasih, Mir. Hanya kamu yang masih bersedia menganggap aku saudara."
"Jangan berkata seperti itu Mas, sudah kewajibanku sebagai adik mas Is untuk melakukan semuanya. Lagipula, Dafa juga berpesan agar aku sering memperhatikan mas Is."
"Anak itu walaupun sikapnya dingin padaku, aku tahu kalau dia masih menyayangi ayahnya yang sudah tak punya apa-apa ini."
"Dafa sangat menyayangi mas Is. Dia hanya kecewa lantaran takdir yang memisahkannya dari mbak Astri."
"Kira-kira dimana Astri sekarang ya Mir, apa dia masih ada di dunia ini ataukah sudah kembali ke pangkuan-Nya. Aku masih sering merasa bersalah padanya."
"Kita berdoa saja semoga masih ada kesempatan bertemu mbak Astri. Aku ingin meminta maaf atas nama ibu."
Ismail terdiam lagi. Setetes air bening mengalir dari pelupuk matanya namun segera laki-laki itu hapus. Entah sudah berapa liter air mata penyesalan yang ditumpahkannya.
"Ya sudah, aku pulang dulu. Jangan lupa makan ya, Mas," kata Mirna sambil mengusap bahu kakaknya pelan.
"Iya, makasih. Sampaikan terima kasihku juga pada Yudha."
Mirna mengangguk pelan sambil tersenyum kemudian berlalu menuju rumahnya.
Ismail menghembuskan napas panjang mencoba meredakan keresahan hati. Lelaki paruh baya itu berbalik setelah meletakkan pakan ikan di tempatnya. Sesampainya di dapur, Ismail membuka tudung saji dan melihat nasi yang masih mengepul dengan beberapa potong ayam goreng dan sayur asem. Ismail kadang merasa tak enak pada adik dan juga adik iparnya karena mereka sangat baik memperlakukannya.
***
Nadia bergegas keluar kampus bersama Salsa.
"Sabar Nad, jalannya jangan buru-buru. Aku capek ngikutinnya."
"Aku pengen cepet-cepet ketemu sama mami, Sal. Aku harus mastiin mami bisa pulang hari ini. Kebetulan 'kan besok kita nggak ada mata kuliah."
"Iya, aku tahu, tapi kalau kamu jalannya terburu-buru gini, yang ada ntar kamu kesandung. Bukannya kamu merawat tante Astri malah kamu yang sakit. Kamu mau kalau sampai tante kepikiran?"
Nadia mengerem langkahnya seketika hingga Salsa hampir menabraknya.
"Kalau mau berhenti bilang-bilang dong Nad, kamu gimana sih."
Nadia berbalik, "hehe, maaf Sal, nggak sengaja. Ya udah, aku biasa aja jalannya, nggak lari lagi."
"Nah, gitu dong. Yuk, ke parkiran sekarang."
"Eh iya, emangnya kamu bawa mobil?"
"Bawa kok, kebetulan banget, kan?" Tanpa setahu Nadia, sebenarnya Salsa meminta pada sang ibu agar supir mengantarkan mobilnya ke kampus.
Tak jauh dari kedua gadis itu, Awan tampak berjalan pelan mengikuti mereka. Lelaki itu berusaha menjaga jarak aman agar tak ketahuan Nadia maupun Salsa. Jangan sampai kedua gadis itu tahu kalau dia mengikuti mereka.
Sebuah mobil mewah berwarna putih tampak berbunyi dan mengedipkan lampu sekali ketika Salsa menekan remote di tangannya."Yuk, Nad, biar kita cepet sampai ke klinik."Nadia memandang takjub pada mobil milik Salsa."Sal, ini kita nggak salah mobil, kan?""Hahaha, enggak lah. Kalau salah mobil, aku nggak mungkin bisa buka mobil dengan kunci yang aku bawa ini. Udah ah, yuk cepetan masuk. Atau perlu aku bukain pintunya?"Nadia menggeleng cepat dan segera masuk ke dalam mobil sahabatnya."Mobil kamu bagus, Sal.""Bukan mobil aku, Nad. Ini mobil ayah tiri aku. Aku cuma minjem doang. Kalau mobil aku sendiri lagi di bengkel.""Oh, berarti ayah tiri kamu kaya banget dong ya, mobilnya aja keren gini.""Iya, dan aku beruntung banget mempunyai ayah tiri yang nggak hanya sayang sama mama aku tapi juga sayang sama aku. Bahkan, nggak ngebeda-bedain antara aku sama adik aku yang merupakan anak kandungnya."Salsa melajukan mobil i
Tok. Tok. Tok."Ya, sebentar," jawab Astri dari dapur. Tak lupa wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mematikan kompor yang menyala. Untunglah, masakannya sudah matang hingga bisa ditinggalnya sebentar sebelum memindahkannya ke dalam wadah.Dengan tergopoh, Astri mencuci tangan di wastafel dan mengelapnya. Namun rupanya sang pengetuk pintu sudah tak sabar sehingga ketukannya semakin lama semakin seperti gedoran."Siapa sih, nggak sabaran amat. Memangnya aku ini punya kaki yang panjang hingga bisa mencapai pintu dalam waktu satu detik," gerutu Astri.Astri membuka pintu dengan wajah yang lumayan kesal. Walaupun tamu memang harus dihormati, tapi apa tak bisa sabar sebentar saja menunggu tuan rumah membuka pintu.Astr
Seorang pemuda yang sebentar lagi memasuki usia kepala tiga sedang duduk di sebuah kursi putar. Kepalanya diletakkan di sandaran kursi sambil berputar-putar ke kiri ke kanan. Tangannya memainkan sebuah mainan mobil kecil yang sudah pudar warnanya. Mainan yang sangat berarti untuknya. Mainan masa kecil dari seseorang yang sangat disayanginya. "Bu, Dafa mau mainan itu," kata seorang bocah sambil menunjuk mobil-mobilan remote di sebuah toko mainan. Sang ibu yang berjalan di sampingnya menghentikan langkah dan menoleh ke arah toko mainan di dekat mereka. Saat ini, Dafa sedang ikut Astri belanja di pasar. Wanita berusia tiga puluh tahun yang bertubuh ramping bak remaja itu tersenyum dan berlutut menyejajarkan tingginya dengan sang anak. Tangannya mengusap lembut rambut Dafa yang hi
Nadia sedang duduk santai di halte sambil menunggu bus yang akan membawanya pulang. Nadia terkesiap kaget saat tiba-tiba Alvin ada di depannya."Om, ngapain ke sini?" tanya Nadia waspada."Mau nemuin keponakan om lah, ngapain lagi."Alvin tersenyum tetapi malah membuat Nadia bergidik ngeri.Nadia berdiri saat dari kejauhan melihat bus tujuan rumahnya. Namun, gadis itu merasa kesal saat Alvin mencekal tangannya. Di halte sore ini sudah sepi dan sedari tadi Nadia hanya sendiri di tempat itu. Alvin lalu menyeret tangan Nadia menjauhi halte sebelum bus berwarna hijau itu sampai di sana."Lepasin Om, lepasin, jangan bawa aku. Memang aku salah apa sama Om. Om sadar nggak sih, Om itu udah nyakitin aku.""Cuma kamu yang bisa b
Mobil melaju membaur dengan berbagai kendaraan di jalan raya yang membuat kemacetan. Nadia memberikan alamat rumahnya pada Awan. Dengan handal, dosen muda itu mengendarai mobilnya menuju rumah Nadia."Sampai sini aja, Pak," ucap Nadia saat mobil Awan hampir sampai di gang menuju rumahnya."Rumah kamu di sebelah mana?""Rumah saya masuk gang, Pak. Saya jalan kaki saja dari sini.""Nanggung Nad, biarkan saya antar sampai rumah. Saya hanya bertanggung jawab untuk mengantar kamu selamat sampai tujuan. Lagipula, mobil bisa masuk gang. Bisa saja lelaki yang mengaku sebagai om kamu tadi menunggu di tempat sepi dan memaksa kamu untuk mengikutinya."Nadia menunduk lalu mengangguk setuju. Gadis itu kemudian memberi tahu arah rumahnya lebih detail.Semakin dekat, hati Awan makin berdebar kencang. Akankah pertemuan itu segera terjadi? Sekarang kah, waktunya untuk mereka bertemu?Awan menghentikan laju kendaraannya tepat di jalan depan rumah berca
"Tuh, mukanya merah, berarti bukan cuma sekedar dosen ya ..."Wajah Nadia makin tersipu saat Astri menggodanya. Nadia menutupi wajah denfan kedua tangan sambil menhgelengkan kepala."Enggak Mi, beneran. Pak Awan itu cuman dosen aku. Lagian juga baru tadi aja kami ketemu secara dekat. Selama ini cuma sekedar interaksi biasa antara mahasiswa sama dosennya.""Yakiiin?" Senyuman Astri mengembang melihat sang putri yang salah tingkah."Iiih Mami, kalo nggak percaya tanya aja sama Salsa. Pak Awan emang baik tapi ya gitu, jarang ngomong. Auranya kayak dingin gitu, Mi.""Kalau dingin dipanasin dong, Sayang.""Mamiii, seneng banget sih godain aku.""Hahaha, iya, iya, mami percaya. T
"Mas, apa tidak bisa aku mendapatkan hatimu sedikit saja? Aku tahu, aku bukan wanita yang sempurna dan sebaik mantan istrimu. Bahkan, dia juga pasti wanita yang sangat cantik sehingga kamu tak bisa berpaling sedikit pun darinya. Tapi Mas, kita sudah bersama berbulan-bulan lamanya. Aku juga memperlakukan Dafa dengan baik. Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi anakku sendiri." "Maaf Ai, aku sudah memberikan seluruh hatiku padanya. Aku tak mungkin membaginya lagi pada wanita lain. Aku menikahimu karena keinginan ibuku. Maaf kalau hal ini menyakitimu." "Aku tahu Mas, kita dijodohkan. Jujur saja, aku juga sama sekali belum mencintaimu. Aku menerima dirimu sebagai pengganti almarhum mas Jaya karena aku berpikir anakku pasti membutuhkan sosok seorang ayah. Yang kuharapkan kutemukan pada dirimu. Iya, kamu memang baik pada putriku, aku akui itu. Maaf, jika aku men
Suasana hening dini hari sebuah apartemen tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan sang pemilik apartemen tersebut."Ibuuu ... "Lelaki itu bangun sambil terengah seolah habis berlari puluhan kilometer. Tangannya masih menggapai ke depan dan keringat dingin tampak memenuhi sekujur tubuhnya. Telapak tangannya meraup kasar wajah tampan perpaduan dari wajah ayah dan ibu kandungnya.Jantung berdegup kencang bila mengingat mimpi yang hadir dalam lelapnya tadi. Apakah dia terlalu berpikir dalam tentang sang ibu hingga terbawa ke alam mimpi. Saking rindunya dia pada ibu yang telah melahirkannya."Dafa," panggil seorang wanita berparas cantik. Wajahnya masih sama seperti berpuluh tahun yang lalu seolah tak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Ataukah memang i
Awan mengulum senyum saat Nadia melirik sinis padanya. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja sikap Nadia menjadi sentimentil."Nadia! Jangan suka menuduh sembarangan. Siapa tahu nak Awan merindukan masakan ibunya.""Ibu benar. Aku memang merasa rindu akan masakan ibuku."Awan mengerling jenaka ke arah Nadia setelah mengatakannya.Nadia hanya mencibirkan bibirnya karena tahu Awan menggodanya. Pasti karena tanggapan Nadia tadi."Tuh kan, apa mami bilang.""Iya, iya, maaf udah su'uzon. Lagian, rindu masakan pacarnya juga kita nggak tahu, Mi."Astri menggelengkan kepala karena Nadia yang masih kukuh dengan pendapatnya. Mereka meneruskan makan dalam diam."Semalem mami kayak denger ada yang bertamu, Nad? Siapa?""Mami emang belum tidur semalem?""Hhhh, kamu ini. Mami nanya malah balik nanya. Mami baru aja tidur, belum nyenyak banget jadi denger suara dari ruang tamu. Cuma, waktu mau bangun kepala mami pusing. Ya udah, akhirnya mami tidur lagi aja. Toh, nggak mungkin tamunya masuk kala
"Yang masak mami, Mas. Aku kan nggak bisa masak. Jangankan masak, nyalain kompor aja nggak pernah. Maaf ya, Mas Awan malah dapetin istri yang nggak bisa apa-apa."Awan hanya tersenyum kecil dan mengacak rambut Nadia yang sudah rapi. Bibir Nadia mengerucut seketika sehingga Awan yang merasa gemas malah mencubit hidungnya."Aaaa, sakit Mas ih.""Hehe, aku gemes sama kamu."Semburat merah tampak menghiasi kedua pipi Nadia."Kamu palai blush on, ya?"Tangan Nadia memukul pelan bahu Awan dan menghentakkan kaki meninggalkan Awan yang terkekeh dengan sikapnya. Sangat jauh berbeda dengan sikap Awan di kampus yang terkenal cool dan jarang tersenyum. Kali ini, Nadia seperti melihat sisi lain Awan yang malah membuatnya merasa tersanjung karena Awan tak menampakkan sisi dirinya yang ini pada sembarang orang. Entah kalau nanti mereka di kampus, apakah sikap Awan akan seperti semula atau tetap seperti ini."Nak Awan, silahkan duduk.""Terima kasih, Bu. Maaf nih kalau saya merepotkan.""Kenapa masih
Awan masih menggelengkan kepalanya sambil menahan tawa. Baru kali ini dia bisa tertawa lepas seperti ini. Walau sering bercanda dengan Salsa maupun teman-temannya, Awan hanya sekedar tersenyum kecil atau kalaupun bisa sampai tertawa juga tak bisa selepas ini.Senyum kecil masih tersungging di bibirnya saat lelaki itu beranjak dari kursinya. Awan melangkah ke arah pintu memastikan kalau benda persegi panjang itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya Awan masuk ke dalam kamar Nadia yang tak terkunci. Aroma harum khas gadis dewasa langsung tercium begitu Awan merebahkan tubuhnya di kasur bersprei pink milik Nadia. Sprei bergambar hello kitty yang manis dan mengundang senyum Awan kembali."Nad, Nad, kenapa kamu jadi manis banget sih. Hahaha, aku pasti udah gila kalau sampai menyukai kamu. Ah, aku tak sabar menunggu malam Minggu nanti. Aku tahu, mungkin saat itu juga ibu dan kamu akan membenciku tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya ingin melindungi kalian sementara itu satu-satuny
Suasana masih saja hening di antara keenam orang yang ada di ruang tamu rumah Astri itu. Nadia bingung harus menjawab apa atas perkataan ketua RT. Denting suara ponsel terdengar dari salah satu dari mereka. Awan yang merasa kalau ponselnya yang berbunyi langsung mengambilnya dari saku depan celananya.Bro, ini aku kirimin video akad nikah kamu sama Nadia.Awan menghembuskan napas lega. Pesan dari Dafa benar-benar menyelamatkan dia dan juga Nadia. Kemudian Awan meletakkan ponselnya ke atas meja setelah membuka video yang dikirimkan Dafa."Saya suami Nadia, Pak, dan kami baru saja melangsungkan akad nikah tadi sore. Kalau Bapak-Bapak tidak percaya, silahkan lihat di video ini."Pak RT yang bernama Parman itu mengambil ponsel milik Awan dan melihat video yang menayangkan pernikahan mereka. Walau masih merasa curiga, tapi Parman mencoba percaya dengan kedua sejoli di depannya itu."Ya sudah kalau begitu, maaf Neng Nadia. Saya hanya ingin lingkungan di sini kondusif tanpa gosip berarti. Se
Nadia keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Gadis itu menghampiri Astri di kamarnya."Mi," panggilnya.Astri yang masih rebahan menolehkan kepalanya dan tersenyum pada Nadia."Kamu sudah mandi, Sayang?""Sudah Mi, Mami mau aku bantuin ke kamar mandi?""Boleh Sayang, rasanya lengket banget badan mami."Nadia memapah langkah Astri ke kamar mandi. Astri tak lagi selemas tadi tapi memang belum benar-benar merasa sehat. Bagaimanapun, hal-hal yang tadi mereka alami membuatnya syok. Dia tak tahu jika sampai terlambat datang ke tempat itu.Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian dibantu Nadia, Astri mengajak putrinya itu ke meja makan."Tadi kamu yang angetin sayurnya, Nad?"Nadia nyengir malu."Mas Awan Mi, yang angetin.""Kamu panggil nak Awan, mas?""Iya, Mi," jawab Nadia malu-malu. "Dia yang minta, Mi. Sebenarnya aku malu ketahuan nggak bisa nyalain kompor, tapi Mami tahu sendiri kan apa penyebabnya.""Bukan nggak bisa, Sayang, tapi kamu masih takut ya, gara-gara waktu ke
"Kalau Nak Awan sendiri apakah sudah mempunyai kekasih hati? Maaf ya Nak, gara-gara kami, kamu harus berkorban. Kalau memang Nak Awan sudah memiliki pacar atau bahkan istri, lebih baik Nak Awan tinggalkan Nadia sekarang juga," ucap Astri tegas. Ia tak mau Nadia akan tersakiti nantinya jika terikat dengan Awan lebih lama.Lagipula, keluarga mereka belum saling mengenal. Yang Astri tahu, Awan adalah saudara tiri Salsa.Awan balas menggenggam tangan Astri dan setia tersenyum pada wanita itu."Saya masih sendiri, Bu. Saya belum memilik istri eh sekarang kan sudah. Sebenarnya ada yang ingin saya lakukan terlebih dahulu sebelum mempunyai pasangan.""Oh ya, apa ibu boleh tahu? Kalau Nak Awan tak bisa juga tak apa-apa. Ah ya, bukankah kamu lebih baik memanggil mami juga seperti Nadia?"Awan tersenyum canggung."Maaf Bu, tapi bolehkah saya tetap memanggil ibu? Saya merasa lebih nyaman.""Oh iya, silahkan. Kalian istirahatlah, pasti sama-sama capek.""Mami kan belum makan. Kita makan dulu ya, b
"Tante, aku nggak tahu ini waktunya tepat atau enggak tapi aku mau ngundang Tante Astri sama Nadia ke ulang tahun pernikahan mama. Tante bisa dateng, kan?""Kapan, Sal?" tanya Astri."Insyaallah malam Minggu nanti, Tan. Tolong usahain dateng ya, Tan. Mama pasti seneng kalau bisa ketemu Tante. Selama ini kan cuma denger cerita dari aku aja. Ayah juga pengen kenalan sama Tante."Deg. Ah, apakah sekarang waktunya aku bertemu lagi dengan mas Ismail. Setelah sekian lamanya, bagaimana andai kami bertemu lagi? Apa mas Is masih mengenaliku atau sudah melupakanku?"Tante usahakan ya, Sal.""Makasih, Tante." Salsa kemudian menatap kedua abangnya di kursi depan. "Abang berdua juga jangan lupa dateng. Ntar ayah sama mama marah kalau kalian nggak dateng.""Sip, lah. Abang juga udah lama nggak ketemu ayah. Kemarin abang nggak jadi ke sana.""Lho, kenap
Nadia duduk di bangku belakang diapit Salsa dan Astri. Salsa menggenggam erat tangan sahabatnya itu."Nad," panggilnya pelan.Perlahan Nadia menoleh ke arah Salsa dengan pandangan bertanya."Kamu pasti masih syok, ya. Maaf ya, kalau aja tadi aku maksa buat anter kamu pulang. Pasti kejadian ini nggak akan pernah terjadi."Nadia mengulas senyum hambar."Tak apa Sal, aku yang salah. Kalau aku nurut dianterin sama kamu pasti orang-orang itu tak akan bisa memperlakukan aku kayak gini. Terima kasih, kamu udah repot-repot bantuin mami buat nyari aku. Makasih juga pak Awan dan kak Dafa."Dafa mengangguk di balik kemudi."Santai aja Nad, kalo bisa sih aku yang gantiin posisi Awan tadi."Awan yang duduk di sampingnya langsung menoleh dengan tatapan tajam. Sedangkan Nadia menunduk dengan wajah memerah. Gadis itu masih bingung de
"Mi," lirih Nadia.Astri menoleh ke arah sang putri yang masih merangkul lengannya erat. Mereka tak punya pilihan lain. Keselamatan mereka lebih utama saat ini."Nad, mungkin ini sudah jalan dari Allah bahwa kamu akan menikah sekarang. Mami yakin kalau nak Awan adalah lelaki yang baik. Mami rela melepasmu untuk dia.""Mi ... aku belum pengen nikah. Aku ... masih pengen menikmati kebebasanku. Aku masih pengen manja-manjaan sama Mami.""Tapi kita nggak bisa keluar dari sini sebelum menuruti keinginan pak Budi itu, Nad. Menikah dengan nak Awan lebih baik daripada kamu harus menjadi istri ketiga pak Budi. Nak Awan sudah berbaik hati menolong kita, jadi jangan kamu sia-siakan pengorbanannya. Mami tahu, semua ini berat untuk kamu. Tapi, mami yakin kamu bisa menjalani semua ini. Ya, Sayang?"Nadia menatap sekeliling dan hatinya menciut melihat orang-orang suruhan Budi yang terlihat sang