"Selamat pagi, bu Astri," sapa dokter Rianti saat kunjungan pagi itu.
"Selamat pagi, Dok," balas Astri dan juga Nadia.
"Bagaimana perasaannya saat ini, Bu?"
"Saya masih merasa lemas, Dok."
"Baik Bu, saya periksa dulu ya."
Dokter Rianti menyematkan stetoskop ke kedua lubang telinganya. Kemudian menekan-nekannya ke dada Astri. Menyentuh pergelangan tangan kiri Astri sambil melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangannya.
"Bagaimana Dok, apa mami saya boleh pulang sekarang?"
Dokter Rianti tersenyum manis.
"Dengan berat hati, saya menyatakan kalau bu Astri belum boleh pulang. Sebaiknya bu Astri istirahat dulu di sini, nanti saat kunjungan siang hari, semoga keadaannya lebih baik sehingga bisa pulang nanti sore."
Penjelasan dokter Rianti membuat Nadia merasa lemas seketika. Niat hati ingin membolos apa daya Nadia harus memenuhi janjinya pada Astri untuk pergi ke kampus.
"Yaah, berarti aku nggak bisa bolos kuliah, dong."
"Kenapa mau bolos?" tanya dokter Rianti ramah.
"Pengen aja Dok, nemenin mami. Sekali-kali biar nggak jadi anak yang lempeng aja, hehe."
"Sayang, mami nggak papa kok sendirian. Ada suster juga yang jagain. Kamu berangkat kuliah ya. Tapi, kamu harus pulang dulu buat mandi dan ganti baju."
"Miiii ..."
"Nurut nggak sama mami? Katanya sayang sama mami kok diminta buat rajin kuliah kamu nolak sih."
"Ya udah lah, kalau sang ratu sudah memberi perintah, bagaimana putri kecil yang tak berdaya ini bisa melawan," ucap Nadia yang membuat semua orang yang ada di sana tertawa seketika.
***
Walau raga ada di kampus, pikiran Nadia tetap tertuju klinik dimana Astri dirawat. Setelah kunjungan dokter tadi pagi, Astri belum boleh pulang sampai nanti sore. Niat semula hendak menghabiskan waktu menjaga sang ibu seharian, apalah daya Astri memaksanya untuk pergi kuliah agar tak ketinggalan pelajaran.
Salsa tampak heran melihat raut muka sahabatnya yang kusut. Biasanya Nadia menyapanya tapi tadi hanya melewatinya di parkiran.
Deg. Tepukan di bahu mengagetkan Nadia yang sedari tadi melamun. Langsung ditolehkannya kepala ke arah kanan dimana Salsa nyengir melihatnya.
"Kamu kenapa, Nad?"
"Eh, emang aku kenapa, Sal?"
Salsa mengembuskan napas pelan.
"Kamu biasanya ceria banget. Tapi, hari ini kayak ayam nggak dikasih makan seminggu. Lemes."
Reflek tangan mulus Nadia mendarat di bahu Salsa di sampingnya.
"Aduhh Nad, kamu kira-kira dong kalo nabok. Sakit nih."
"Halah, nabok ringan aja dibilang sakit. Gimana kalau aku pakai tenaga dobel. Lagian kamu ngatain aku kayak ayam."
"Nih, dengerin ya Nadia sayang, aku ngomong kayak gitu karena ngeliat kamu yang nggak semangat, lemes, trus juga pucet banget. Kamu sakit?"
Salsa selangkah maju lalu berbalik menatap Nadia sambil meraba dahi sahabatnya itu. Tatapan matanya menyiratkan kekhawatiran.
"Nggak panas kok, tapi mata kamu ada lingkaran hitamnya, kayak mata panda. Kamu habis begadang, ya? Apa habis ngedrakor?"
"Apaan sih Sal, aku nggak sakit. Mami aku yang sakit. Mau aku tungguin nggak mau, malah maksa aku buat berangkat kuliah. Padahal kan, libur sehari juga nggak papa. Baru kali ini juga aku lihat mami sakit sampai pucet banget kayak gitu," sahut Nadia sambil cemberut.
"Haah? Tante Astri sakit apa? Kok kamu nggak ngabarin aku? Aduh Nad, kamu tega banget sih sama aku. Harusnya kamu cepet-cepet telpon aku. Kan aku bisa temenin kamu jagain tante Astri. Pantes aja ya, kamu kemarin kekeuh mau langsung pulang."
"Iya Sal, mungkin karena ikatan batin juga. Kemaren waktu aku pulang kuliah, aku dapetin mami pingsan di kamar. Aku nggak tahu mami udah berapa lama pingsannya. Aku panik banget tahu nggak sih. Untunglah ada tante Anggun sama om Burhan yang mau nolong nganterin kami ke klinik. Mami harus dirawat saat itu juga."
"Trus, kata dokter gimana? Tante sakit apa?"
"Kata dokter mami cuma kecapekan hingga tekanan darahnya rendah. Aku semalem nginep di klinik buat nemenin mami. Kirain tadi mami udah boleh pulang ternyata masih nunggu pemeriksaan nanti siang. Moga aja ntar sore udah boleh pulang. Aku pengen ngerawat mami di rumah."
Salsa mengusap pelan bahu sahabatnya.
"Kamu yang sabar, ya. Aku yakin tante Astri akan baik-baik aja. Kalau tante boleh pulang nanti sore biar kita jemput pakai mobil aku aja, ya."
"Makasih ya Sal, kamu memang sahabat terbaik aku. Aku sayang sama kamu."
"Sama-sama. Kamu udah kayak saudara perempuan aku sendiri. Saudara aku 'kan laki-laki semua."
"Ehemm." Kedua gadis itu saling pandang lalu menoleh pada seseorang yang berdehem di belakang mereka.
"Pagi Pak," sapa kedua sahabat itu pada orang itu.
"Pagi," jawab sang dosen sambil berlalu melewati keduanya.
"Nad, menurut kamu pak Awan ada di belakang kita dari tadi apa barusan?" bisik Salsa sambil masih memperhatikan sang dosen.
Nadia mengedikkan bahu cuek.
"Aku nggak tahu dan nggak mau tahu."
"Emang kenapa sih Nad, kamu kayaknya cuek banget sama pak Awan? Atau jangan-jangan cuek tapi diam-diam memperhatikan?"
"Dibilang cuek nggak juga Sal, aku cuma mencoba bersikap biasa aja. Aku pengen jadi mahasiswa yang terkenal karna prestasinya, bukan karena skandal. Jadi ya kayak tadi aja, ada beliau, aku sapa, kalo nggak ya biasa aja gitu. Aku juga bukan fans garis keras pak Awan jadi nggak perlu-perlu banget buat caper sama beliau. Aku nggak mau sampe diserang fansnya dia."
Salsa manggut-manggut mengerti. Aku sebenarnya pengen deketin kamu sama pak Awan, Nad. Kalian orang-orang terdekat aku. Semoga harapanku ini akan jadi kenyataan suatu saat nanti. Batin Salsa sambil menatap Nadia yang berjalan di depannya.
Nadia yang menyadari sahabatnya itu tertinggal di belakang segera berbalik dan melambaikan tangannya.
"Ayo ih, kamu ngapain diem di sana."
Salsa tersenyum dan berjalan cepat ke arah Nadia yang menunggunya.
Tak terasa mereka telah sampai di kelas yang tak lama lagi dimulai. Sebagian besar kursi sudah diduduki teman-teman mereka. Nadia dan Salsa mengambil tempat duduk di bagian tengah.
Sementara itu, di ruangan dosen, Awan tampak termenung memikirkan percakapan yang tak sengaja didengarnya tadi. Tentang ibu dari salah satu mahasiswi di kelasnya. Sudut hatinya terasa tercubit mendengarnya. Walau berusaha melupakan ternyata kenyataannya tak semudah itu. Ada sisi lain hatinya yang menutut penjelasan atas semua yang terjadi padanya sedari kecil.
Apa aku harus mengikuti mereka agar bisa melihatnya? Tapi, kalau sudah melihatnya, apakah aku akan kuat menahan diri untuk tidak menghampirinya?
Awan mengacak rambutnya yang tertata rapi. Dia mengangguk pelan tanpa tersenyum pada rekan kerjanya yang memasuki ruangan.
"Pak Awan sudah sampai dari tadi?"
"Baru saja, pak Agus."
"Pak Awan ini rajin sekali ya, baju juga selalu rapi. Pasti istrinya sangat pintar mengurus keperluan pak Awan."
Tak menjawab, Awan hanya mengulas senyum tipis. Apa aku kelihatan seperti orang yang sudah menikah? Batinnya merasa geli.
"Yah, kenapa Ayah biarin ibu pergi? Kenapa ibu nggak boleh ada di sini? Ini kan rumah kita, Yah.""Dafa, anak ayah, suatu saat nanti kamu akan mengerti semua keadaan ini. Ayah dan ibu tak bisa bersama lagi. Tapi kami akan selalu menyayangi Dafa seperti biasanya. Tak akan ada yang berubah.""Tapi aku ingin kita selalu sama-sama, Yah, aku nggak mau pisah sama ibu. Bagaimana ibu di luar sana. Aku takut, aku takut ibu kenapa-napa. Aku bukan anak kecil lagi, Yah, aku tahu semuanya. Yang aku tak bisa mengerti kenapa ayah harus biarin ibu pergi dari rumah kita.""Tenanglah, Nak, walaupun ibu sudah nggak bersama kita lagi, ayah yakin ibu akan selalu menyayangimu.""Aku nggak mau Yah, aku mau sama ibu. Ayo kita susul ibu, Yah."
Sebuah mobil mewah berwarna putih tampak berbunyi dan mengedipkan lampu sekali ketika Salsa menekan remote di tangannya."Yuk, Nad, biar kita cepet sampai ke klinik."Nadia memandang takjub pada mobil milik Salsa."Sal, ini kita nggak salah mobil, kan?""Hahaha, enggak lah. Kalau salah mobil, aku nggak mungkin bisa buka mobil dengan kunci yang aku bawa ini. Udah ah, yuk cepetan masuk. Atau perlu aku bukain pintunya?"Nadia menggeleng cepat dan segera masuk ke dalam mobil sahabatnya."Mobil kamu bagus, Sal.""Bukan mobil aku, Nad. Ini mobil ayah tiri aku. Aku cuma minjem doang. Kalau mobil aku sendiri lagi di bengkel.""Oh, berarti ayah tiri kamu kaya banget dong ya, mobilnya aja keren gini.""Iya, dan aku beruntung banget mempunyai ayah tiri yang nggak hanya sayang sama mama aku tapi juga sayang sama aku. Bahkan, nggak ngebeda-bedain antara aku sama adik aku yang merupakan anak kandungnya."Salsa melajukan mobil i
Tok. Tok. Tok."Ya, sebentar," jawab Astri dari dapur. Tak lupa wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mematikan kompor yang menyala. Untunglah, masakannya sudah matang hingga bisa ditinggalnya sebentar sebelum memindahkannya ke dalam wadah.Dengan tergopoh, Astri mencuci tangan di wastafel dan mengelapnya. Namun rupanya sang pengetuk pintu sudah tak sabar sehingga ketukannya semakin lama semakin seperti gedoran."Siapa sih, nggak sabaran amat. Memangnya aku ini punya kaki yang panjang hingga bisa mencapai pintu dalam waktu satu detik," gerutu Astri.Astri membuka pintu dengan wajah yang lumayan kesal. Walaupun tamu memang harus dihormati, tapi apa tak bisa sabar sebentar saja menunggu tuan rumah membuka pintu.Astr
Seorang pemuda yang sebentar lagi memasuki usia kepala tiga sedang duduk di sebuah kursi putar. Kepalanya diletakkan di sandaran kursi sambil berputar-putar ke kiri ke kanan. Tangannya memainkan sebuah mainan mobil kecil yang sudah pudar warnanya. Mainan yang sangat berarti untuknya. Mainan masa kecil dari seseorang yang sangat disayanginya. "Bu, Dafa mau mainan itu," kata seorang bocah sambil menunjuk mobil-mobilan remote di sebuah toko mainan. Sang ibu yang berjalan di sampingnya menghentikan langkah dan menoleh ke arah toko mainan di dekat mereka. Saat ini, Dafa sedang ikut Astri belanja di pasar. Wanita berusia tiga puluh tahun yang bertubuh ramping bak remaja itu tersenyum dan berlutut menyejajarkan tingginya dengan sang anak. Tangannya mengusap lembut rambut Dafa yang hi
Nadia sedang duduk santai di halte sambil menunggu bus yang akan membawanya pulang. Nadia terkesiap kaget saat tiba-tiba Alvin ada di depannya."Om, ngapain ke sini?" tanya Nadia waspada."Mau nemuin keponakan om lah, ngapain lagi."Alvin tersenyum tetapi malah membuat Nadia bergidik ngeri.Nadia berdiri saat dari kejauhan melihat bus tujuan rumahnya. Namun, gadis itu merasa kesal saat Alvin mencekal tangannya. Di halte sore ini sudah sepi dan sedari tadi Nadia hanya sendiri di tempat itu. Alvin lalu menyeret tangan Nadia menjauhi halte sebelum bus berwarna hijau itu sampai di sana."Lepasin Om, lepasin, jangan bawa aku. Memang aku salah apa sama Om. Om sadar nggak sih, Om itu udah nyakitin aku.""Cuma kamu yang bisa b
Mobil melaju membaur dengan berbagai kendaraan di jalan raya yang membuat kemacetan. Nadia memberikan alamat rumahnya pada Awan. Dengan handal, dosen muda itu mengendarai mobilnya menuju rumah Nadia."Sampai sini aja, Pak," ucap Nadia saat mobil Awan hampir sampai di gang menuju rumahnya."Rumah kamu di sebelah mana?""Rumah saya masuk gang, Pak. Saya jalan kaki saja dari sini.""Nanggung Nad, biarkan saya antar sampai rumah. Saya hanya bertanggung jawab untuk mengantar kamu selamat sampai tujuan. Lagipula, mobil bisa masuk gang. Bisa saja lelaki yang mengaku sebagai om kamu tadi menunggu di tempat sepi dan memaksa kamu untuk mengikutinya."Nadia menunduk lalu mengangguk setuju. Gadis itu kemudian memberi tahu arah rumahnya lebih detail.Semakin dekat, hati Awan makin berdebar kencang. Akankah pertemuan itu segera terjadi? Sekarang kah, waktunya untuk mereka bertemu?Awan menghentikan laju kendaraannya tepat di jalan depan rumah berca
"Tuh, mukanya merah, berarti bukan cuma sekedar dosen ya ..."Wajah Nadia makin tersipu saat Astri menggodanya. Nadia menutupi wajah denfan kedua tangan sambil menhgelengkan kepala."Enggak Mi, beneran. Pak Awan itu cuman dosen aku. Lagian juga baru tadi aja kami ketemu secara dekat. Selama ini cuma sekedar interaksi biasa antara mahasiswa sama dosennya.""Yakiiin?" Senyuman Astri mengembang melihat sang putri yang salah tingkah."Iiih Mami, kalo nggak percaya tanya aja sama Salsa. Pak Awan emang baik tapi ya gitu, jarang ngomong. Auranya kayak dingin gitu, Mi.""Kalau dingin dipanasin dong, Sayang.""Mamiii, seneng banget sih godain aku.""Hahaha, iya, iya, mami percaya. T
"Mas, apa tidak bisa aku mendapatkan hatimu sedikit saja? Aku tahu, aku bukan wanita yang sempurna dan sebaik mantan istrimu. Bahkan, dia juga pasti wanita yang sangat cantik sehingga kamu tak bisa berpaling sedikit pun darinya. Tapi Mas, kita sudah bersama berbulan-bulan lamanya. Aku juga memperlakukan Dafa dengan baik. Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi anakku sendiri." "Maaf Ai, aku sudah memberikan seluruh hatiku padanya. Aku tak mungkin membaginya lagi pada wanita lain. Aku menikahimu karena keinginan ibuku. Maaf kalau hal ini menyakitimu." "Aku tahu Mas, kita dijodohkan. Jujur saja, aku juga sama sekali belum mencintaimu. Aku menerima dirimu sebagai pengganti almarhum mas Jaya karena aku berpikir anakku pasti membutuhkan sosok seorang ayah. Yang kuharapkan kutemukan pada dirimu. Iya, kamu memang baik pada putriku, aku akui itu. Maaf, jika aku men
Awan mengulum senyum saat Nadia melirik sinis padanya. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja sikap Nadia menjadi sentimentil."Nadia! Jangan suka menuduh sembarangan. Siapa tahu nak Awan merindukan masakan ibunya.""Ibu benar. Aku memang merasa rindu akan masakan ibuku."Awan mengerling jenaka ke arah Nadia setelah mengatakannya.Nadia hanya mencibirkan bibirnya karena tahu Awan menggodanya. Pasti karena tanggapan Nadia tadi."Tuh kan, apa mami bilang.""Iya, iya, maaf udah su'uzon. Lagian, rindu masakan pacarnya juga kita nggak tahu, Mi."Astri menggelengkan kepala karena Nadia yang masih kukuh dengan pendapatnya. Mereka meneruskan makan dalam diam."Semalem mami kayak denger ada yang bertamu, Nad? Siapa?""Mami emang belum tidur semalem?""Hhhh, kamu ini. Mami nanya malah balik nanya. Mami baru aja tidur, belum nyenyak banget jadi denger suara dari ruang tamu. Cuma, waktu mau bangun kepala mami pusing. Ya udah, akhirnya mami tidur lagi aja. Toh, nggak mungkin tamunya masuk kala
"Yang masak mami, Mas. Aku kan nggak bisa masak. Jangankan masak, nyalain kompor aja nggak pernah. Maaf ya, Mas Awan malah dapetin istri yang nggak bisa apa-apa."Awan hanya tersenyum kecil dan mengacak rambut Nadia yang sudah rapi. Bibir Nadia mengerucut seketika sehingga Awan yang merasa gemas malah mencubit hidungnya."Aaaa, sakit Mas ih.""Hehe, aku gemes sama kamu."Semburat merah tampak menghiasi kedua pipi Nadia."Kamu palai blush on, ya?"Tangan Nadia memukul pelan bahu Awan dan menghentakkan kaki meninggalkan Awan yang terkekeh dengan sikapnya. Sangat jauh berbeda dengan sikap Awan di kampus yang terkenal cool dan jarang tersenyum. Kali ini, Nadia seperti melihat sisi lain Awan yang malah membuatnya merasa tersanjung karena Awan tak menampakkan sisi dirinya yang ini pada sembarang orang. Entah kalau nanti mereka di kampus, apakah sikap Awan akan seperti semula atau tetap seperti ini."Nak Awan, silahkan duduk.""Terima kasih, Bu. Maaf nih kalau saya merepotkan.""Kenapa masih
Awan masih menggelengkan kepalanya sambil menahan tawa. Baru kali ini dia bisa tertawa lepas seperti ini. Walau sering bercanda dengan Salsa maupun teman-temannya, Awan hanya sekedar tersenyum kecil atau kalaupun bisa sampai tertawa juga tak bisa selepas ini.Senyum kecil masih tersungging di bibirnya saat lelaki itu beranjak dari kursinya. Awan melangkah ke arah pintu memastikan kalau benda persegi panjang itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya Awan masuk ke dalam kamar Nadia yang tak terkunci. Aroma harum khas gadis dewasa langsung tercium begitu Awan merebahkan tubuhnya di kasur bersprei pink milik Nadia. Sprei bergambar hello kitty yang manis dan mengundang senyum Awan kembali."Nad, Nad, kenapa kamu jadi manis banget sih. Hahaha, aku pasti udah gila kalau sampai menyukai kamu. Ah, aku tak sabar menunggu malam Minggu nanti. Aku tahu, mungkin saat itu juga ibu dan kamu akan membenciku tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya ingin melindungi kalian sementara itu satu-satuny
Suasana masih saja hening di antara keenam orang yang ada di ruang tamu rumah Astri itu. Nadia bingung harus menjawab apa atas perkataan ketua RT. Denting suara ponsel terdengar dari salah satu dari mereka. Awan yang merasa kalau ponselnya yang berbunyi langsung mengambilnya dari saku depan celananya.Bro, ini aku kirimin video akad nikah kamu sama Nadia.Awan menghembuskan napas lega. Pesan dari Dafa benar-benar menyelamatkan dia dan juga Nadia. Kemudian Awan meletakkan ponselnya ke atas meja setelah membuka video yang dikirimkan Dafa."Saya suami Nadia, Pak, dan kami baru saja melangsungkan akad nikah tadi sore. Kalau Bapak-Bapak tidak percaya, silahkan lihat di video ini."Pak RT yang bernama Parman itu mengambil ponsel milik Awan dan melihat video yang menayangkan pernikahan mereka. Walau masih merasa curiga, tapi Parman mencoba percaya dengan kedua sejoli di depannya itu."Ya sudah kalau begitu, maaf Neng Nadia. Saya hanya ingin lingkungan di sini kondusif tanpa gosip berarti. Se
Nadia keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Gadis itu menghampiri Astri di kamarnya."Mi," panggilnya.Astri yang masih rebahan menolehkan kepalanya dan tersenyum pada Nadia."Kamu sudah mandi, Sayang?""Sudah Mi, Mami mau aku bantuin ke kamar mandi?""Boleh Sayang, rasanya lengket banget badan mami."Nadia memapah langkah Astri ke kamar mandi. Astri tak lagi selemas tadi tapi memang belum benar-benar merasa sehat. Bagaimanapun, hal-hal yang tadi mereka alami membuatnya syok. Dia tak tahu jika sampai terlambat datang ke tempat itu.Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian dibantu Nadia, Astri mengajak putrinya itu ke meja makan."Tadi kamu yang angetin sayurnya, Nad?"Nadia nyengir malu."Mas Awan Mi, yang angetin.""Kamu panggil nak Awan, mas?""Iya, Mi," jawab Nadia malu-malu. "Dia yang minta, Mi. Sebenarnya aku malu ketahuan nggak bisa nyalain kompor, tapi Mami tahu sendiri kan apa penyebabnya.""Bukan nggak bisa, Sayang, tapi kamu masih takut ya, gara-gara waktu ke
"Kalau Nak Awan sendiri apakah sudah mempunyai kekasih hati? Maaf ya Nak, gara-gara kami, kamu harus berkorban. Kalau memang Nak Awan sudah memiliki pacar atau bahkan istri, lebih baik Nak Awan tinggalkan Nadia sekarang juga," ucap Astri tegas. Ia tak mau Nadia akan tersakiti nantinya jika terikat dengan Awan lebih lama.Lagipula, keluarga mereka belum saling mengenal. Yang Astri tahu, Awan adalah saudara tiri Salsa.Awan balas menggenggam tangan Astri dan setia tersenyum pada wanita itu."Saya masih sendiri, Bu. Saya belum memilik istri eh sekarang kan sudah. Sebenarnya ada yang ingin saya lakukan terlebih dahulu sebelum mempunyai pasangan.""Oh ya, apa ibu boleh tahu? Kalau Nak Awan tak bisa juga tak apa-apa. Ah ya, bukankah kamu lebih baik memanggil mami juga seperti Nadia?"Awan tersenyum canggung."Maaf Bu, tapi bolehkah saya tetap memanggil ibu? Saya merasa lebih nyaman.""Oh iya, silahkan. Kalian istirahatlah, pasti sama-sama capek.""Mami kan belum makan. Kita makan dulu ya, b
"Tante, aku nggak tahu ini waktunya tepat atau enggak tapi aku mau ngundang Tante Astri sama Nadia ke ulang tahun pernikahan mama. Tante bisa dateng, kan?""Kapan, Sal?" tanya Astri."Insyaallah malam Minggu nanti, Tan. Tolong usahain dateng ya, Tan. Mama pasti seneng kalau bisa ketemu Tante. Selama ini kan cuma denger cerita dari aku aja. Ayah juga pengen kenalan sama Tante."Deg. Ah, apakah sekarang waktunya aku bertemu lagi dengan mas Ismail. Setelah sekian lamanya, bagaimana andai kami bertemu lagi? Apa mas Is masih mengenaliku atau sudah melupakanku?"Tante usahakan ya, Sal.""Makasih, Tante." Salsa kemudian menatap kedua abangnya di kursi depan. "Abang berdua juga jangan lupa dateng. Ntar ayah sama mama marah kalau kalian nggak dateng.""Sip, lah. Abang juga udah lama nggak ketemu ayah. Kemarin abang nggak jadi ke sana.""Lho, kenap
Nadia duduk di bangku belakang diapit Salsa dan Astri. Salsa menggenggam erat tangan sahabatnya itu."Nad," panggilnya pelan.Perlahan Nadia menoleh ke arah Salsa dengan pandangan bertanya."Kamu pasti masih syok, ya. Maaf ya, kalau aja tadi aku maksa buat anter kamu pulang. Pasti kejadian ini nggak akan pernah terjadi."Nadia mengulas senyum hambar."Tak apa Sal, aku yang salah. Kalau aku nurut dianterin sama kamu pasti orang-orang itu tak akan bisa memperlakukan aku kayak gini. Terima kasih, kamu udah repot-repot bantuin mami buat nyari aku. Makasih juga pak Awan dan kak Dafa."Dafa mengangguk di balik kemudi."Santai aja Nad, kalo bisa sih aku yang gantiin posisi Awan tadi."Awan yang duduk di sampingnya langsung menoleh dengan tatapan tajam. Sedangkan Nadia menunduk dengan wajah memerah. Gadis itu masih bingung de
"Mi," lirih Nadia.Astri menoleh ke arah sang putri yang masih merangkul lengannya erat. Mereka tak punya pilihan lain. Keselamatan mereka lebih utama saat ini."Nad, mungkin ini sudah jalan dari Allah bahwa kamu akan menikah sekarang. Mami yakin kalau nak Awan adalah lelaki yang baik. Mami rela melepasmu untuk dia.""Mi ... aku belum pengen nikah. Aku ... masih pengen menikmati kebebasanku. Aku masih pengen manja-manjaan sama Mami.""Tapi kita nggak bisa keluar dari sini sebelum menuruti keinginan pak Budi itu, Nad. Menikah dengan nak Awan lebih baik daripada kamu harus menjadi istri ketiga pak Budi. Nak Awan sudah berbaik hati menolong kita, jadi jangan kamu sia-siakan pengorbanannya. Mami tahu, semua ini berat untuk kamu. Tapi, mami yakin kamu bisa menjalani semua ini. Ya, Sayang?"Nadia menatap sekeliling dan hatinya menciut melihat orang-orang suruhan Budi yang terlihat sang