Mobil melaju membaur dengan berbagai kendaraan di jalan raya yang membuat kemacetan. Nadia memberikan alamat rumahnya pada Awan. Dengan handal, dosen muda itu mengendarai mobilnya menuju rumah Nadia.
"Sampai sini aja, Pak," ucap Nadia saat mobil Awan hampir sampai di gang menuju rumahnya.
"Rumah kamu di sebelah mana?"
"Rumah saya masuk gang, Pak. Saya jalan kaki saja dari sini."
"Nanggung Nad, biarkan saya antar sampai rumah. Saya hanya bertanggung jawab untuk mengantar kamu selamat sampai tujuan. Lagipula, mobil bisa masuk gang. Bisa saja lelaki yang mengaku sebagai om kamu tadi menunggu di tempat sepi dan memaksa kamu untuk mengikutinya."
Nadia menunduk lalu mengangguk setuju. Gadis itu kemudian memberi tahu arah rumahnya lebih detail.
Semakin dekat, hati Awan makin berdebar kencang. Akankah pertemuan itu segera terjadi? Sekarang kah, waktunya untuk mereka bertemu?
Awan menghentikan laju kendaraannya tepat di jalan depan rumah berca
"Tuh, mukanya merah, berarti bukan cuma sekedar dosen ya ..."Wajah Nadia makin tersipu saat Astri menggodanya. Nadia menutupi wajah denfan kedua tangan sambil menhgelengkan kepala."Enggak Mi, beneran. Pak Awan itu cuman dosen aku. Lagian juga baru tadi aja kami ketemu secara dekat. Selama ini cuma sekedar interaksi biasa antara mahasiswa sama dosennya.""Yakiiin?" Senyuman Astri mengembang melihat sang putri yang salah tingkah."Iiih Mami, kalo nggak percaya tanya aja sama Salsa. Pak Awan emang baik tapi ya gitu, jarang ngomong. Auranya kayak dingin gitu, Mi.""Kalau dingin dipanasin dong, Sayang.""Mamiii, seneng banget sih godain aku.""Hahaha, iya, iya, mami percaya. T
"Mas, apa tidak bisa aku mendapatkan hatimu sedikit saja? Aku tahu, aku bukan wanita yang sempurna dan sebaik mantan istrimu. Bahkan, dia juga pasti wanita yang sangat cantik sehingga kamu tak bisa berpaling sedikit pun darinya. Tapi Mas, kita sudah bersama berbulan-bulan lamanya. Aku juga memperlakukan Dafa dengan baik. Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi anakku sendiri." "Maaf Ai, aku sudah memberikan seluruh hatiku padanya. Aku tak mungkin membaginya lagi pada wanita lain. Aku menikahimu karena keinginan ibuku. Maaf kalau hal ini menyakitimu." "Aku tahu Mas, kita dijodohkan. Jujur saja, aku juga sama sekali belum mencintaimu. Aku menerima dirimu sebagai pengganti almarhum mas Jaya karena aku berpikir anakku pasti membutuhkan sosok seorang ayah. Yang kuharapkan kutemukan pada dirimu. Iya, kamu memang baik pada putriku, aku akui itu. Maaf, jika aku men
Suasana hening dini hari sebuah apartemen tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan sang pemilik apartemen tersebut."Ibuuu ... "Lelaki itu bangun sambil terengah seolah habis berlari puluhan kilometer. Tangannya masih menggapai ke depan dan keringat dingin tampak memenuhi sekujur tubuhnya. Telapak tangannya meraup kasar wajah tampan perpaduan dari wajah ayah dan ibu kandungnya.Jantung berdegup kencang bila mengingat mimpi yang hadir dalam lelapnya tadi. Apakah dia terlalu berpikir dalam tentang sang ibu hingga terbawa ke alam mimpi. Saking rindunya dia pada ibu yang telah melahirkannya."Dafa," panggil seorang wanita berparas cantik. Wajahnya masih sama seperti berpuluh tahun yang lalu seolah tak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Ataukah memang i
Nadia bergegas keluar dari ruangan Awan tapi kakinya serasa tak berpijak. Telunjuk tangan kanannya tampak bermain di sekitar dagunya. Pikirannya masih melayang pada sikap Awan yang tak biasa. Mereka tak seakrab itu hingga Awan sampai meminta Nadia untuk tinggal di apartemennya. "Ada apa sama pak Awan, ya? Aneh banget sikapnya kayak gitu. Lagi kesambet kali ya, makanya pak Awan bersikap aneh. Kalau fansnya pak Awan sampai tahu, hiiii. Aku nggak bisa bayangin sampai diserang sama mereka. Apalagi kalau sampai ada yang bertingkah bar-bar." Brukk. Nadia bertabrakan dengen seseorang hingga bokongnya mencium lantai yang dingin. Gadis itu meringis sambil memegang area tubuhnya yang sakit. "Aww, sssh, sakit." "Maaf, maaf, aku nggak sengaja," sahut seseorang sambil mengulurkan tangan pada Nadia. Nadia mendongak dan dilihatnya seorang pemuda yang tersenyum manis padanya. Tanpa menerima uluran tangan pemuda itu, Nadia berdiri sendiri sambil bersungut kesal. Pe
"Apaan sih malah kedip-kedip kayak orang cacingan gitu," sungut Nadia. "Hehe." "Malah ketawa sekarang. Apanya yang lucu, Sal?" "Hahaha," tawa keras Salsa memenuhi ruangan kelas yang dihuni tiga puluh mahasiswa itu. Beberapa pasang mata tampak menoleh ke arah kedua sahabat itu yang memaksa Nadia mengangguk sambil tersenyum meminta maaf. Nadia memukul pelan lengan Salsa yang masih saja menutup mulutnya menahan tawa. Nadia merengut sebal sambil bersedekap tangan. Gais itu memalingkan wajahnya dari sahabat karib yang selalu menemaninya itu. "Hehehe, maaf Nad, abisnya kamu lucu banget, kalian lebih tepatnya." Nadia memicingkan mata sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Ibu, jangan pergi, jangan tinggalin Dafa. Huhuhuhu." Ismail meraup kasar wajahnya. Saat ini, lelaki itu sedang menunggui Dafa di rumah sakit. Sudah dua hari, putra semata wayangnya menderita sakit typhus. Berhari-hari Dafa tak mau makan. Dia hanya mau bertemu dengan Astri, sang ibu. Bahkan, bujukan Mirna pun tak digubris anak kelas satu SD itu. "Harus kemana aku mencarimu As, kamu nggak kasihan sama anak kita? Dafa butuh kamu. Sedangkan aku tak tahu harus kemana untuk menemukanmu. Aku sudah menghubungi keluargamu tapi mereka sama sekali tak tahu kamu kemana. Aku pikir, kamu kembali ke rumah orang tuamu. Tapi ternyata, kamu tak ke sana. Aku merindukanmu As, walau aku tahu sudah tak berhak lagi untuk itu." "Dafa, cepat sembuh Na
Sepulang kuliah, Nadia berjalan bersama Salsa menuju parkiran. Kedua gadis yang telah lama bersahabat itu, tampak asyik bercanda sepanjang jalan menuju tempat Salsa memarkirkan mobilnya. "Kamu aku anterin aja ya, Nad." "Nggak usah Sal, aku nggak mau ngerepotin kamu." Salsa berhenti dan menahan tangan Nadia agar berhenti berjalan. "Nad, aku kan sahabat kamu. Nggak ada salahnya kalo kamu ngerepotin aku. Aku yang nawarin kok. Atau, kamu ngarepnya dianterin sama pak Awan ya," Salsa mulai menggoda Nadia yang langsung memerah pipinya. "Apaan sih Sal, nggak ada ya, pemikiran kayak gitu di otak cantik aku." "Hahaha, narsis amat, Neng. Jadi gimana, mau kan aku anterin? Aku juga nggak buru-buru amat, kok. Ntar aku kirim pesan sama mama kalo aku pulangnya telat." "Duh, aku nggak enak dong sama mama kamu." "Justru mama aku malah seneng. Tahu sendiri kan, mama itu paling heboh kalo ketemu kamu." "Iya sih, kadang aku heran sama sikap mama kamu." Salsa mendekatkan diri pada telinga sahabatn
Astri dan Nadia duduk berhadapan di meja makan dengan empat buah kursi itu. Nadia tampak lahap menyantap masakan Astri yang sangat dia sukai. "Habis makan, kamu cepetan mandi, ya." "Emang mau ke mana, Mi?" "Mumpung masih agak siang, kita ke makam papa, mau?" "Mau, Mi. Ya udah, nanti aku mandinya sepulang dari makam aja gimana?" "Nanti kesorean, Sayang. Kamu bisa-bisa masuk angin lho." "Hehe, iya deh Mi." Selesai makan, Nadia bergegas ke kamarnya untuk menyimpan ransel yang dipakainya kuliah kemudian mengambil handuk dan beranjak ke kamar mandi. Lima belas menit di kamar mandi, Nadia keluar dengan baju yang sudah terganti. Handuk membungkus rambutnya yang basah. "Sudah selesai, Nad?" "Bentar Mi, aku ngeringin rambut dulu." "Ya udah, mami tunggu di depan ya." "Oke, Mi. Aku nggak lama kok." Nadia memasuki kamar dan mengambil hair dryer agar rambutnya tidak terlalu lembab. Sepuluh menit kemudian, gadis itu sudah keluar kamar dengan mencangklong tas kecil berisi ponsel dan domp
Awan mengulum senyum saat Nadia melirik sinis padanya. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja sikap Nadia menjadi sentimentil."Nadia! Jangan suka menuduh sembarangan. Siapa tahu nak Awan merindukan masakan ibunya.""Ibu benar. Aku memang merasa rindu akan masakan ibuku."Awan mengerling jenaka ke arah Nadia setelah mengatakannya.Nadia hanya mencibirkan bibirnya karena tahu Awan menggodanya. Pasti karena tanggapan Nadia tadi."Tuh kan, apa mami bilang.""Iya, iya, maaf udah su'uzon. Lagian, rindu masakan pacarnya juga kita nggak tahu, Mi."Astri menggelengkan kepala karena Nadia yang masih kukuh dengan pendapatnya. Mereka meneruskan makan dalam diam."Semalem mami kayak denger ada yang bertamu, Nad? Siapa?""Mami emang belum tidur semalem?""Hhhh, kamu ini. Mami nanya malah balik nanya. Mami baru aja tidur, belum nyenyak banget jadi denger suara dari ruang tamu. Cuma, waktu mau bangun kepala mami pusing. Ya udah, akhirnya mami tidur lagi aja. Toh, nggak mungkin tamunya masuk kala
"Yang masak mami, Mas. Aku kan nggak bisa masak. Jangankan masak, nyalain kompor aja nggak pernah. Maaf ya, Mas Awan malah dapetin istri yang nggak bisa apa-apa."Awan hanya tersenyum kecil dan mengacak rambut Nadia yang sudah rapi. Bibir Nadia mengerucut seketika sehingga Awan yang merasa gemas malah mencubit hidungnya."Aaaa, sakit Mas ih.""Hehe, aku gemes sama kamu."Semburat merah tampak menghiasi kedua pipi Nadia."Kamu palai blush on, ya?"Tangan Nadia memukul pelan bahu Awan dan menghentakkan kaki meninggalkan Awan yang terkekeh dengan sikapnya. Sangat jauh berbeda dengan sikap Awan di kampus yang terkenal cool dan jarang tersenyum. Kali ini, Nadia seperti melihat sisi lain Awan yang malah membuatnya merasa tersanjung karena Awan tak menampakkan sisi dirinya yang ini pada sembarang orang. Entah kalau nanti mereka di kampus, apakah sikap Awan akan seperti semula atau tetap seperti ini."Nak Awan, silahkan duduk.""Terima kasih, Bu. Maaf nih kalau saya merepotkan.""Kenapa masih
Awan masih menggelengkan kepalanya sambil menahan tawa. Baru kali ini dia bisa tertawa lepas seperti ini. Walau sering bercanda dengan Salsa maupun teman-temannya, Awan hanya sekedar tersenyum kecil atau kalaupun bisa sampai tertawa juga tak bisa selepas ini.Senyum kecil masih tersungging di bibirnya saat lelaki itu beranjak dari kursinya. Awan melangkah ke arah pintu memastikan kalau benda persegi panjang itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya Awan masuk ke dalam kamar Nadia yang tak terkunci. Aroma harum khas gadis dewasa langsung tercium begitu Awan merebahkan tubuhnya di kasur bersprei pink milik Nadia. Sprei bergambar hello kitty yang manis dan mengundang senyum Awan kembali."Nad, Nad, kenapa kamu jadi manis banget sih. Hahaha, aku pasti udah gila kalau sampai menyukai kamu. Ah, aku tak sabar menunggu malam Minggu nanti. Aku tahu, mungkin saat itu juga ibu dan kamu akan membenciku tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya ingin melindungi kalian sementara itu satu-satuny
Suasana masih saja hening di antara keenam orang yang ada di ruang tamu rumah Astri itu. Nadia bingung harus menjawab apa atas perkataan ketua RT. Denting suara ponsel terdengar dari salah satu dari mereka. Awan yang merasa kalau ponselnya yang berbunyi langsung mengambilnya dari saku depan celananya.Bro, ini aku kirimin video akad nikah kamu sama Nadia.Awan menghembuskan napas lega. Pesan dari Dafa benar-benar menyelamatkan dia dan juga Nadia. Kemudian Awan meletakkan ponselnya ke atas meja setelah membuka video yang dikirimkan Dafa."Saya suami Nadia, Pak, dan kami baru saja melangsungkan akad nikah tadi sore. Kalau Bapak-Bapak tidak percaya, silahkan lihat di video ini."Pak RT yang bernama Parman itu mengambil ponsel milik Awan dan melihat video yang menayangkan pernikahan mereka. Walau masih merasa curiga, tapi Parman mencoba percaya dengan kedua sejoli di depannya itu."Ya sudah kalau begitu, maaf Neng Nadia. Saya hanya ingin lingkungan di sini kondusif tanpa gosip berarti. Se
Nadia keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Gadis itu menghampiri Astri di kamarnya."Mi," panggilnya.Astri yang masih rebahan menolehkan kepalanya dan tersenyum pada Nadia."Kamu sudah mandi, Sayang?""Sudah Mi, Mami mau aku bantuin ke kamar mandi?""Boleh Sayang, rasanya lengket banget badan mami."Nadia memapah langkah Astri ke kamar mandi. Astri tak lagi selemas tadi tapi memang belum benar-benar merasa sehat. Bagaimanapun, hal-hal yang tadi mereka alami membuatnya syok. Dia tak tahu jika sampai terlambat datang ke tempat itu.Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian dibantu Nadia, Astri mengajak putrinya itu ke meja makan."Tadi kamu yang angetin sayurnya, Nad?"Nadia nyengir malu."Mas Awan Mi, yang angetin.""Kamu panggil nak Awan, mas?""Iya, Mi," jawab Nadia malu-malu. "Dia yang minta, Mi. Sebenarnya aku malu ketahuan nggak bisa nyalain kompor, tapi Mami tahu sendiri kan apa penyebabnya.""Bukan nggak bisa, Sayang, tapi kamu masih takut ya, gara-gara waktu ke
"Kalau Nak Awan sendiri apakah sudah mempunyai kekasih hati? Maaf ya Nak, gara-gara kami, kamu harus berkorban. Kalau memang Nak Awan sudah memiliki pacar atau bahkan istri, lebih baik Nak Awan tinggalkan Nadia sekarang juga," ucap Astri tegas. Ia tak mau Nadia akan tersakiti nantinya jika terikat dengan Awan lebih lama.Lagipula, keluarga mereka belum saling mengenal. Yang Astri tahu, Awan adalah saudara tiri Salsa.Awan balas menggenggam tangan Astri dan setia tersenyum pada wanita itu."Saya masih sendiri, Bu. Saya belum memilik istri eh sekarang kan sudah. Sebenarnya ada yang ingin saya lakukan terlebih dahulu sebelum mempunyai pasangan.""Oh ya, apa ibu boleh tahu? Kalau Nak Awan tak bisa juga tak apa-apa. Ah ya, bukankah kamu lebih baik memanggil mami juga seperti Nadia?"Awan tersenyum canggung."Maaf Bu, tapi bolehkah saya tetap memanggil ibu? Saya merasa lebih nyaman.""Oh iya, silahkan. Kalian istirahatlah, pasti sama-sama capek.""Mami kan belum makan. Kita makan dulu ya, b
"Tante, aku nggak tahu ini waktunya tepat atau enggak tapi aku mau ngundang Tante Astri sama Nadia ke ulang tahun pernikahan mama. Tante bisa dateng, kan?""Kapan, Sal?" tanya Astri."Insyaallah malam Minggu nanti, Tan. Tolong usahain dateng ya, Tan. Mama pasti seneng kalau bisa ketemu Tante. Selama ini kan cuma denger cerita dari aku aja. Ayah juga pengen kenalan sama Tante."Deg. Ah, apakah sekarang waktunya aku bertemu lagi dengan mas Ismail. Setelah sekian lamanya, bagaimana andai kami bertemu lagi? Apa mas Is masih mengenaliku atau sudah melupakanku?"Tante usahakan ya, Sal.""Makasih, Tante." Salsa kemudian menatap kedua abangnya di kursi depan. "Abang berdua juga jangan lupa dateng. Ntar ayah sama mama marah kalau kalian nggak dateng.""Sip, lah. Abang juga udah lama nggak ketemu ayah. Kemarin abang nggak jadi ke sana.""Lho, kenap
Nadia duduk di bangku belakang diapit Salsa dan Astri. Salsa menggenggam erat tangan sahabatnya itu."Nad," panggilnya pelan.Perlahan Nadia menoleh ke arah Salsa dengan pandangan bertanya."Kamu pasti masih syok, ya. Maaf ya, kalau aja tadi aku maksa buat anter kamu pulang. Pasti kejadian ini nggak akan pernah terjadi."Nadia mengulas senyum hambar."Tak apa Sal, aku yang salah. Kalau aku nurut dianterin sama kamu pasti orang-orang itu tak akan bisa memperlakukan aku kayak gini. Terima kasih, kamu udah repot-repot bantuin mami buat nyari aku. Makasih juga pak Awan dan kak Dafa."Dafa mengangguk di balik kemudi."Santai aja Nad, kalo bisa sih aku yang gantiin posisi Awan tadi."Awan yang duduk di sampingnya langsung menoleh dengan tatapan tajam. Sedangkan Nadia menunduk dengan wajah memerah. Gadis itu masih bingung de
"Mi," lirih Nadia.Astri menoleh ke arah sang putri yang masih merangkul lengannya erat. Mereka tak punya pilihan lain. Keselamatan mereka lebih utama saat ini."Nad, mungkin ini sudah jalan dari Allah bahwa kamu akan menikah sekarang. Mami yakin kalau nak Awan adalah lelaki yang baik. Mami rela melepasmu untuk dia.""Mi ... aku belum pengen nikah. Aku ... masih pengen menikmati kebebasanku. Aku masih pengen manja-manjaan sama Mami.""Tapi kita nggak bisa keluar dari sini sebelum menuruti keinginan pak Budi itu, Nad. Menikah dengan nak Awan lebih baik daripada kamu harus menjadi istri ketiga pak Budi. Nak Awan sudah berbaik hati menolong kita, jadi jangan kamu sia-siakan pengorbanannya. Mami tahu, semua ini berat untuk kamu. Tapi, mami yakin kamu bisa menjalani semua ini. Ya, Sayang?"Nadia menatap sekeliling dan hatinya menciut melihat orang-orang suruhan Budi yang terlihat sang