"Apaan sih malah kedip-kedip kayak orang cacingan gitu," sungut Nadia. "Hehe." "Malah ketawa sekarang. Apanya yang lucu, Sal?" "Hahaha," tawa keras Salsa memenuhi ruangan kelas yang dihuni tiga puluh mahasiswa itu. Beberapa pasang mata tampak menoleh ke arah kedua sahabat itu yang memaksa Nadia mengangguk sambil tersenyum meminta maaf. Nadia memukul pelan lengan Salsa yang masih saja menutup mulutnya menahan tawa. Nadia merengut sebal sambil bersedekap tangan. Gais itu memalingkan wajahnya dari sahabat karib yang selalu menemaninya itu. "Hehehe, maaf Nad, abisnya kamu lucu banget, kalian lebih tepatnya." Nadia memicingkan mata sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Ibu, jangan pergi, jangan tinggalin Dafa. Huhuhuhu." Ismail meraup kasar wajahnya. Saat ini, lelaki itu sedang menunggui Dafa di rumah sakit. Sudah dua hari, putra semata wayangnya menderita sakit typhus. Berhari-hari Dafa tak mau makan. Dia hanya mau bertemu dengan Astri, sang ibu. Bahkan, bujukan Mirna pun tak digubris anak kelas satu SD itu. "Harus kemana aku mencarimu As, kamu nggak kasihan sama anak kita? Dafa butuh kamu. Sedangkan aku tak tahu harus kemana untuk menemukanmu. Aku sudah menghubungi keluargamu tapi mereka sama sekali tak tahu kamu kemana. Aku pikir, kamu kembali ke rumah orang tuamu. Tapi ternyata, kamu tak ke sana. Aku merindukanmu As, walau aku tahu sudah tak berhak lagi untuk itu." "Dafa, cepat sembuh Na
Sepulang kuliah, Nadia berjalan bersama Salsa menuju parkiran. Kedua gadis yang telah lama bersahabat itu, tampak asyik bercanda sepanjang jalan menuju tempat Salsa memarkirkan mobilnya. "Kamu aku anterin aja ya, Nad." "Nggak usah Sal, aku nggak mau ngerepotin kamu." Salsa berhenti dan menahan tangan Nadia agar berhenti berjalan. "Nad, aku kan sahabat kamu. Nggak ada salahnya kalo kamu ngerepotin aku. Aku yang nawarin kok. Atau, kamu ngarepnya dianterin sama pak Awan ya," Salsa mulai menggoda Nadia yang langsung memerah pipinya. "Apaan sih Sal, nggak ada ya, pemikiran kayak gitu di otak cantik aku." "Hahaha, narsis amat, Neng. Jadi gimana, mau kan aku anterin? Aku juga nggak buru-buru amat, kok. Ntar aku kirim pesan sama mama kalo aku pulangnya telat." "Duh, aku nggak enak dong sama mama kamu." "Justru mama aku malah seneng. Tahu sendiri kan, mama itu paling heboh kalo ketemu kamu." "Iya sih, kadang aku heran sama sikap mama kamu." Salsa mendekatkan diri pada telinga sahabatn
Astri dan Nadia duduk berhadapan di meja makan dengan empat buah kursi itu. Nadia tampak lahap menyantap masakan Astri yang sangat dia sukai. "Habis makan, kamu cepetan mandi, ya." "Emang mau ke mana, Mi?" "Mumpung masih agak siang, kita ke makam papa, mau?" "Mau, Mi. Ya udah, nanti aku mandinya sepulang dari makam aja gimana?" "Nanti kesorean, Sayang. Kamu bisa-bisa masuk angin lho." "Hehe, iya deh Mi." Selesai makan, Nadia bergegas ke kamarnya untuk menyimpan ransel yang dipakainya kuliah kemudian mengambil handuk dan beranjak ke kamar mandi. Lima belas menit di kamar mandi, Nadia keluar dengan baju yang sudah terganti. Handuk membungkus rambutnya yang basah. "Sudah selesai, Nad?" "Bentar Mi, aku ngeringin rambut dulu." "Ya udah, mami tunggu di depan ya." "Oke, Mi. Aku nggak lama kok." Nadia memasuki kamar dan mengambil hair dryer agar rambutnya tidak terlalu lembab. Sepuluh menit kemudian, gadis itu sudah keluar kamar dengan mencangklong tas kecil berisi ponsel dan domp
"Dafa, nanti kalau besar Dafa cita-citanya jadi apa?""Dafa pengen jadi guru atau pengajar, Bu. Di sekolah Dafa, gurunya baik-baik dan sabar. Nggak pernah marah sama anak-anak. Dafa senang sekolah di sana, Bu."Astri mengusap lembut rambut hitam putranya. Lelaki kecil yang baru masuk TK itu masih asyik berceloteh tentang teman-teman dan gurunya di sekolah.Astri berusaha sebisa mungkin menjawab semua pertanyaan yang diajukan Dafa. Terkadang, pemikiran anak itu begitu kritis sehingga apa pun yang dilihatnya membuat rasa ingin tahunya semakin besar.Makin bertambahnya usia sang anak, makin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Dulu, sebelum sekolah hanya perlu uang untuk jajan dari pedagang keliling yang kebetulan lewat depan rumah. Sedangkan saat sudah sekolah seperti sekarang, tentu harus ada uang saku walau tak seberapa.Astri bukan bermaksud menyalahkan keadaan anaknya yang semakin besar dan membutuhkan banyak biaya. Hanya saja, dia menyesali diri sendiri yang tak bisa membantu perek
"Assalamualaikum," Astri mengetuk pintu sambil mengucap salam di sebuah rumah yang lumayan mentereng di desa itu. Sudah sepuluh menit Astri menunggu, tapi sang pemilik rumah tak kunjung membuka pintu. Astri menghembuskan napas panjang kemudian berbalik pergi. Ketika hendak menutup pintu pagar rumah tersebut, seorang wanita paruh baya tampak tergopoh-gopoh menghampirinya. "Astri ..." panggilnya. Astri menoleh ke arah suara yang baru saja memanggilnya lalu menyalami wanita paruh baya itu yang adalah Hamidah, sang pemilik rumah. Hamidah memindai penampilan Astri dengan tas ransel besar di tangannya. "As ... kamu mau ke mana?" tanya Hamidah penasaran. Dia tak mengetahui bahwa Halimah telah mengusir Astri dari rumah. Astri menunduk ke arah ransel di tangan kirinya. Wanita berumur tiga puluhan itu tersenyum tetapi tak sampai ke mata. Terlihat jelas kalau Astri memaksakan senyumnya. Mungkin tante Halimah belum tahu berita pengusiranku oleh ibu. Biarlah begini saja. Aku tak mau sampai ta
"As, tante rasanya masih tak percaya kalau kamu dan Ismail berpisah. Apa tak ada jalan lain? Kamu tetap menjadi istrinya meski kalian tak bersama untuk sementara waktu."Astri menghela napas panjang. Seandainya saja hal itu bisa ia lakukan. Astri sangat mencintai anak dan suaminya. Namun, mungkin kebersamaan mereka hanya tak selama yang dulu Astri bayangkan.Hamidah mengusap pelan bahu Astri. Luka perpisahan itu terlihat jelas di mata istri - ralat mantan istri keponakannya."As, kalian baru bercerai secara agama. Bahkan, kalaupun kamu dan Ismail sudah bercerai secara resmi, kalian bisa rujuk kembali. Kasihan Dafa, kalau kedua orang tuanya harus berpisah. Tante tak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak itu."Setetes bening luruh membasahi pipi Astri. Sakit. Terlalu sakit rasanya harus berpisah dengan orang-orang yang ia cintai. Akan tetapi, Astri terpaksa oleh keadaan. Jika saja bisa, Astri ingin selalu bersama keluarga kecilnya. Namun, Halimah tak akan mungkin tinggal diam karena
Astri sedang berdiri menunggu angkot sepulang dari pasar pagi itu. Nadia di sampingnya sudah mengelap keringat berulang kali. Kadang, kaki kanannya terhentak kesal tanpa ia sadari. Astri hanya bisa menggeleng pelan melihat tingkah putrinya."Mi, lama amat sih angkotnya.""Kan dari tadi juga penuh terus, Nad. Kamu bilang nggak mau desak-desakan dalam angkot.""Iya sih Mi, tapi cuacanya tambah panas nih, Mi.""Jangan manja, ih. Biasanya juga suka panas-panasan.""Iya sih, tapi ini tuh panasnya super duper hot, Mi. Lagian aku panas-panasan nggak sampe yang keringetan banget.""Udah, sabar dulu aja. Nanti kalau ada lagi angkotnya kita pulang."Nadia mengipas-ngipaskan tangannya mengurangi gerah yang dia rasa. Gadis itu mengeluarkan ponsel sambil menunggu angkot yang agak lengang.Grep. Nadia terbengong sesaat sebelum gadis itu berteriak kencang."Jambreeet. Toloooong! Hape saya dijambret."Orang-orang di sekitar mereka pun membantu mengejar jambret itu. Kejar-kejaran pun tak terelakkan. H
Awan mengulum senyum saat Nadia melirik sinis padanya. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja sikap Nadia menjadi sentimentil."Nadia! Jangan suka menuduh sembarangan. Siapa tahu nak Awan merindukan masakan ibunya.""Ibu benar. Aku memang merasa rindu akan masakan ibuku."Awan mengerling jenaka ke arah Nadia setelah mengatakannya.Nadia hanya mencibirkan bibirnya karena tahu Awan menggodanya. Pasti karena tanggapan Nadia tadi."Tuh kan, apa mami bilang.""Iya, iya, maaf udah su'uzon. Lagian, rindu masakan pacarnya juga kita nggak tahu, Mi."Astri menggelengkan kepala karena Nadia yang masih kukuh dengan pendapatnya. Mereka meneruskan makan dalam diam."Semalem mami kayak denger ada yang bertamu, Nad? Siapa?""Mami emang belum tidur semalem?""Hhhh, kamu ini. Mami nanya malah balik nanya. Mami baru aja tidur, belum nyenyak banget jadi denger suara dari ruang tamu. Cuma, waktu mau bangun kepala mami pusing. Ya udah, akhirnya mami tidur lagi aja. Toh, nggak mungkin tamunya masuk kala
"Yang masak mami, Mas. Aku kan nggak bisa masak. Jangankan masak, nyalain kompor aja nggak pernah. Maaf ya, Mas Awan malah dapetin istri yang nggak bisa apa-apa."Awan hanya tersenyum kecil dan mengacak rambut Nadia yang sudah rapi. Bibir Nadia mengerucut seketika sehingga Awan yang merasa gemas malah mencubit hidungnya."Aaaa, sakit Mas ih.""Hehe, aku gemes sama kamu."Semburat merah tampak menghiasi kedua pipi Nadia."Kamu palai blush on, ya?"Tangan Nadia memukul pelan bahu Awan dan menghentakkan kaki meninggalkan Awan yang terkekeh dengan sikapnya. Sangat jauh berbeda dengan sikap Awan di kampus yang terkenal cool dan jarang tersenyum. Kali ini, Nadia seperti melihat sisi lain Awan yang malah membuatnya merasa tersanjung karena Awan tak menampakkan sisi dirinya yang ini pada sembarang orang. Entah kalau nanti mereka di kampus, apakah sikap Awan akan seperti semula atau tetap seperti ini."Nak Awan, silahkan duduk.""Terima kasih, Bu. Maaf nih kalau saya merepotkan.""Kenapa masih
Awan masih menggelengkan kepalanya sambil menahan tawa. Baru kali ini dia bisa tertawa lepas seperti ini. Walau sering bercanda dengan Salsa maupun teman-temannya, Awan hanya sekedar tersenyum kecil atau kalaupun bisa sampai tertawa juga tak bisa selepas ini.Senyum kecil masih tersungging di bibirnya saat lelaki itu beranjak dari kursinya. Awan melangkah ke arah pintu memastikan kalau benda persegi panjang itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya Awan masuk ke dalam kamar Nadia yang tak terkunci. Aroma harum khas gadis dewasa langsung tercium begitu Awan merebahkan tubuhnya di kasur bersprei pink milik Nadia. Sprei bergambar hello kitty yang manis dan mengundang senyum Awan kembali."Nad, Nad, kenapa kamu jadi manis banget sih. Hahaha, aku pasti udah gila kalau sampai menyukai kamu. Ah, aku tak sabar menunggu malam Minggu nanti. Aku tahu, mungkin saat itu juga ibu dan kamu akan membenciku tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya ingin melindungi kalian sementara itu satu-satuny
Suasana masih saja hening di antara keenam orang yang ada di ruang tamu rumah Astri itu. Nadia bingung harus menjawab apa atas perkataan ketua RT. Denting suara ponsel terdengar dari salah satu dari mereka. Awan yang merasa kalau ponselnya yang berbunyi langsung mengambilnya dari saku depan celananya.Bro, ini aku kirimin video akad nikah kamu sama Nadia.Awan menghembuskan napas lega. Pesan dari Dafa benar-benar menyelamatkan dia dan juga Nadia. Kemudian Awan meletakkan ponselnya ke atas meja setelah membuka video yang dikirimkan Dafa."Saya suami Nadia, Pak, dan kami baru saja melangsungkan akad nikah tadi sore. Kalau Bapak-Bapak tidak percaya, silahkan lihat di video ini."Pak RT yang bernama Parman itu mengambil ponsel milik Awan dan melihat video yang menayangkan pernikahan mereka. Walau masih merasa curiga, tapi Parman mencoba percaya dengan kedua sejoli di depannya itu."Ya sudah kalau begitu, maaf Neng Nadia. Saya hanya ingin lingkungan di sini kondusif tanpa gosip berarti. Se
Nadia keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Gadis itu menghampiri Astri di kamarnya."Mi," panggilnya.Astri yang masih rebahan menolehkan kepalanya dan tersenyum pada Nadia."Kamu sudah mandi, Sayang?""Sudah Mi, Mami mau aku bantuin ke kamar mandi?""Boleh Sayang, rasanya lengket banget badan mami."Nadia memapah langkah Astri ke kamar mandi. Astri tak lagi selemas tadi tapi memang belum benar-benar merasa sehat. Bagaimanapun, hal-hal yang tadi mereka alami membuatnya syok. Dia tak tahu jika sampai terlambat datang ke tempat itu.Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian dibantu Nadia, Astri mengajak putrinya itu ke meja makan."Tadi kamu yang angetin sayurnya, Nad?"Nadia nyengir malu."Mas Awan Mi, yang angetin.""Kamu panggil nak Awan, mas?""Iya, Mi," jawab Nadia malu-malu. "Dia yang minta, Mi. Sebenarnya aku malu ketahuan nggak bisa nyalain kompor, tapi Mami tahu sendiri kan apa penyebabnya.""Bukan nggak bisa, Sayang, tapi kamu masih takut ya, gara-gara waktu ke
"Kalau Nak Awan sendiri apakah sudah mempunyai kekasih hati? Maaf ya Nak, gara-gara kami, kamu harus berkorban. Kalau memang Nak Awan sudah memiliki pacar atau bahkan istri, lebih baik Nak Awan tinggalkan Nadia sekarang juga," ucap Astri tegas. Ia tak mau Nadia akan tersakiti nantinya jika terikat dengan Awan lebih lama.Lagipula, keluarga mereka belum saling mengenal. Yang Astri tahu, Awan adalah saudara tiri Salsa.Awan balas menggenggam tangan Astri dan setia tersenyum pada wanita itu."Saya masih sendiri, Bu. Saya belum memilik istri eh sekarang kan sudah. Sebenarnya ada yang ingin saya lakukan terlebih dahulu sebelum mempunyai pasangan.""Oh ya, apa ibu boleh tahu? Kalau Nak Awan tak bisa juga tak apa-apa. Ah ya, bukankah kamu lebih baik memanggil mami juga seperti Nadia?"Awan tersenyum canggung."Maaf Bu, tapi bolehkah saya tetap memanggil ibu? Saya merasa lebih nyaman.""Oh iya, silahkan. Kalian istirahatlah, pasti sama-sama capek.""Mami kan belum makan. Kita makan dulu ya, b
"Tante, aku nggak tahu ini waktunya tepat atau enggak tapi aku mau ngundang Tante Astri sama Nadia ke ulang tahun pernikahan mama. Tante bisa dateng, kan?""Kapan, Sal?" tanya Astri."Insyaallah malam Minggu nanti, Tan. Tolong usahain dateng ya, Tan. Mama pasti seneng kalau bisa ketemu Tante. Selama ini kan cuma denger cerita dari aku aja. Ayah juga pengen kenalan sama Tante."Deg. Ah, apakah sekarang waktunya aku bertemu lagi dengan mas Ismail. Setelah sekian lamanya, bagaimana andai kami bertemu lagi? Apa mas Is masih mengenaliku atau sudah melupakanku?"Tante usahakan ya, Sal.""Makasih, Tante." Salsa kemudian menatap kedua abangnya di kursi depan. "Abang berdua juga jangan lupa dateng. Ntar ayah sama mama marah kalau kalian nggak dateng.""Sip, lah. Abang juga udah lama nggak ketemu ayah. Kemarin abang nggak jadi ke sana.""Lho, kenap
Nadia duduk di bangku belakang diapit Salsa dan Astri. Salsa menggenggam erat tangan sahabatnya itu."Nad," panggilnya pelan.Perlahan Nadia menoleh ke arah Salsa dengan pandangan bertanya."Kamu pasti masih syok, ya. Maaf ya, kalau aja tadi aku maksa buat anter kamu pulang. Pasti kejadian ini nggak akan pernah terjadi."Nadia mengulas senyum hambar."Tak apa Sal, aku yang salah. Kalau aku nurut dianterin sama kamu pasti orang-orang itu tak akan bisa memperlakukan aku kayak gini. Terima kasih, kamu udah repot-repot bantuin mami buat nyari aku. Makasih juga pak Awan dan kak Dafa."Dafa mengangguk di balik kemudi."Santai aja Nad, kalo bisa sih aku yang gantiin posisi Awan tadi."Awan yang duduk di sampingnya langsung menoleh dengan tatapan tajam. Sedangkan Nadia menunduk dengan wajah memerah. Gadis itu masih bingung de
"Mi," lirih Nadia.Astri menoleh ke arah sang putri yang masih merangkul lengannya erat. Mereka tak punya pilihan lain. Keselamatan mereka lebih utama saat ini."Nad, mungkin ini sudah jalan dari Allah bahwa kamu akan menikah sekarang. Mami yakin kalau nak Awan adalah lelaki yang baik. Mami rela melepasmu untuk dia.""Mi ... aku belum pengen nikah. Aku ... masih pengen menikmati kebebasanku. Aku masih pengen manja-manjaan sama Mami.""Tapi kita nggak bisa keluar dari sini sebelum menuruti keinginan pak Budi itu, Nad. Menikah dengan nak Awan lebih baik daripada kamu harus menjadi istri ketiga pak Budi. Nak Awan sudah berbaik hati menolong kita, jadi jangan kamu sia-siakan pengorbanannya. Mami tahu, semua ini berat untuk kamu. Tapi, mami yakin kamu bisa menjalani semua ini. Ya, Sayang?"Nadia menatap sekeliling dan hatinya menciut melihat orang-orang suruhan Budi yang terlihat sang