Amora mengaduk teh manis dengan es batu itu dengan malas. Wajahnya masih terlihat mendung.
"Mana musik dangdutnya, mor?" tanya Ayu, teman sekelasnya.
Amora mendesah pelan."Ha~ ga mood, lain kali_" balasnya tidak bertenaga.
"Ah ga asyik, kita biasanya paling heboh kalau di kantin.." Ilham berseru kecewa.
Amora menghela nafas lelah, tidak bisa berbuat apa - apa selain murung. Untuk berjoget atau bernyanyi dangdut tidak ada gairah.
"Berat banget ya hidup_" Amor kembali menghela nafas lelah.
Ilham memicingkan matanya."Lo kok jadi Dilan?" tanyanya.
Amora memutar matanya jengah."Bagi Dilan yang berat itu rindu!" tatapannya berubah, meredup."ini hidup, lebih berat, Ham.." lirihnya begitu drama.
Ayu, Ratih, Ilham, dan Surya memutar matanya jengah.
"Seberat apa? Paling yang paling berat itu lemaknya si Surya!" tunjuk Ratih dengan dagunya pada laki - laki montok samping Ilham.
Ayu dan Ilham terbahak, sedangkan Amora tidak terhibur sama sekali. Biasanya dia yang paling kencang tertawa.
Melihat respon Amora membuat semuanya mulai khawatir, sungguh tidak biasa melihat si cacing kepanasan itu hanya diam.
"Lo ada masalah?" Ayu mulai buka suara, semua ikut menatap Amora.
Amora menggeleng pelan."Badan ga enak.." bohongnya dengan menenggelamkan wajahnya di meja.
"Emang ada ya badan yang enak? Gue ga suka makan badan orang.." celetuk Surya dengan cengiran kudanya.
Amora masih tidak terusik, sungguh kusut pikirannya. Menikah bukan sebentarkan? Sampai kapan?
"Gue pinjem, Razelnya.."
Semua menoleh ke arah Junior yang berdiri di belakang Amora. Amora menggeleng, menolak untuk berbicara dengan Junior.
Junior menarik lengan Amora sedikit paksaan, sontak Amora bergetar takut. Matanya mulai berair dan tidak fokus.
"Eng-engga, ga mau__" suaranya bergetar, membuat semua memandang ke arahnya. Para sahabat bahkan sudah khawatir dan bertanya kenapa dan kenapa.
Junior mengangkat Amora agar berdiri, Junior merangkulnya lalu membawanya ke tempat yang tidak ramai. Mengabaikan wajah - wajah penasaran di kantin.
Tubuhnya masih gemetar, bibirnya terus berucap tidak, engga, maaf, ampun, lepas dan sebagainya.
"Hiks ampun.."
Junior meremas bahu Amora, mengguncangnya pelan."Raz_Amor, liat gue? Hey! Liat gue.." desaknya.
Amora menatap Junior, matanya basah, nafasnya masih memburu."Maaf.." lirih Amora dengan masih gemetar.
Junior menarik Amora ke dalam dekapannya, mengusap rambut dan punggung Amora tanpa banyak kata. Junior menyesal menarik lengan Amora tadi. Gadis itu pasti masih trauma.
***
Junior tidak ingin mengecewakan Jayden. Junior mulai merasa nyaman dengan sosok Jayden. Rasanya rindu pada sang ayah tersalurkan.
"Kenapa? Main aja_" Amora yang tengah rebahan dengan bermain ponsel bersuara.
"Main?" Junior malah menjurus ke makna lain."emang boleh?" senyum miring terbit.
Sekali brengsek akan tetap brengsek!
Tapi, apa salahnya dia main dengan istri. Bukannya dosa justru dia mendapat pahalakan?
Amora melirik Junior lalu mengangguk dengan polosnya."Kenapa engga boleh? Gue ga larang kok.." balasnya.
Fiks! Junior tegang dan mengeras!
Junior berjalan menuju tas kecil di lemari, meraih bungkusan tipis itu dan menggenggamnya lalu menuju pintu dan dikuncinya.
Junior naik ke atas kasur, membuat Amora meliriknya sekilas."Loh, kenapa ga main?" herannya seraya menyimpan ponsel di nakas.
"Lo pernah main?"
Amora menautkan alisnya, mulai merasa terhibur dengan pertanyaan Junior."Udahlah, sering malah.." jawabnya dengan tertawa pelan.
"Lo udah bolong ternyata.." Junior tersenyum miring.
"Bolong?" alis Amora semakin bertaut."lo bahas apa sih? Kok ga nyambung?" lanjutnya bingung.
Junior meraih pinggang Amora lalu menindihnya."Main kuda_" bisiknya seraya memenjara Amora di bawahnya.
Amora yang menegang sontak menggeliat tidak nyaman."Lo ngapain? Ada bunda, ayah gue teri_"
Junior menggigit telinga Amora."Mereka bakalan ngerti, kita udah nikah, mor.." bisiknya dengan suara serak.
"Ja- jangan gila! Gu-gue ga mau!" Amora meronta.
"Sstt.." Junior menatap wajah Amora, menguncinya dan mencoba untuk membawanya agar ikut hanyut."dosa nolak suami, bagi kita ini ibadah, mor, bukan dosa.." bisiknya di depan bibir Amora.
***
03.33.
Amora menelan ludah, semalam sungguh pengalaman yang membuat Amora berubah dan merasa menjadi orang lain.
"Masih pagi__" Junior menggeliat lalu menyamping ke arah Amora."kenapa bangun? Masih mau lagi?" lanjutnya dengan menatap pipi yang merona itu.
Amora masih menatap langit - langit, mana berani menatap Junior. Laki - laki yang baru seminggu lebih menjadi suaminya tanpa cinta dan semalam sudah melihat seluruh asetnya, sungguh membuat Amora malu.
"Jangan ngaco.." suara Amora terdengar mencicit.
Junior meraih pinggang Amora, menggesernya agar mendekat. Junior mengecup pipi Amora sekilas.
"Lo ga bolong ternyata, gue yang pertama, hm?"
Amora tidak menjawab, masih diam dengan jantung berdebar dan muka yang kian memerah.
"Kita harusnya engga gini, pernikahan kita itu engga jelas ke dep_"
"Di depan Tuhan? apanya yang engga jelas? Itu jelas banget." Junior melepaskan pegangannya, sedikit menjauh dari Amora.
Amora diam, bingung harus mengeluarkan apalagi. Amora merutuki dirinya, biasa cerewet kenapa sekarang sulit untuk merangkai kalimat.
Junior menguap, memejamkan lagi matanya tanpa peduli lagi dengan kembaran dari musuhnya itu. Yang terpenting dia sudah melepaskan kebutuhan biologisnya.
Junior mulai menggapai mimpi, sebelum gelap dia berdo'a. Semoga adiknya bahagia di sana dengan ayahnya.
Amora melirik Junior yang mulai terdengar mendengkur halus itu. Amora memejamkan matanya sesaat, menyesal telah melepaskan semuanya namun mau bagaimana lagi. Dia tidak bisa berontak, apalagi menolak dan menanggung dosa.
***
"Lagi siap - siap.." Amora menunduk, wajahnya terlihat sedikit pucat.
"Pagi anak ayah yang cantik_" Jayden mendekat, mengecup pipi Amora lalu duduk di kursinya.
"Pagi, yah.."
Zela datang dengan nasi goreng dan satu telur mata sapi sesuai pesanan Jayden."Ini sarapannya, mau tambah apa lagi?" tanyanya.
Jayden mengecup pipi Zela."Cukup, sayang__" Jayden melirik Amora."mantu ayah mana, Amor?"
"Lagi__" Amora melirik Junior."itu, baru turun.." lanjutnya dengan malas.
Junior melempar senyum pada Jayden."Pagi, yah, bunda.." sapanya seraya menyambut pelukan Jayden walau sekilas.
"Pagi.." jawab keduanya.
Junior mengusap rambut Amora sekilas, sebelum menerima nasi goreng yang di berikan Zela.
"Makasih, bun.."
Amora melirik Junior dengan bibir menekuk, melihat keramahan Junior saat di depan keluarganya membuat Amora mulai sedikit muak.
Pencitraan! Umpatnya dalam hati.
Junior melirik Amora dengan mulut mengunyah pelan, alisnya terangkat satu. Seolah berkata. Apa?
Amora dengan cepat memalingkan wajahnya, mencoba fokus mengunyah roti tawar itu dengan sesekali meneguk susu kedelainya.
"Kamu sakit?" Junior meletakan telapak tangannya di kening Amora. Ternyata demam.
Zela dan Jayden menatap Amora dengan khawatir, keduanya juga bisa melihat kalau Amora wajahnya pucat.
"Kenapa?" Zela bertanya khawatir.
"Demam, bun.." kata Junior dengan menghentikan sarapannya.
Amora melirik Junior sedikit kesal, sungguh perhatian sekali suami dadakannya itu dumelnya dalam hati dengan jengah.
"Astaga! Minum obat demam, abis itu kita panggil dokter__kamu kalau telat di tanganin sakitnya suka lama, jangan sampe.." Zela berlalu menuju kotak obat dengan sebelah tangan meraih telepon rumah tidak berkabel itu.
Jayden mengusap rambut Amora dengan sayang."Pantes kamu pucet, jangan dulu sekolah__Jun, izinin istri kamu ya. Kamu berangkat aja, ada bunda yang urus Amor.." terang Jayden.
Junior hanya mengangguk patuh, mengusap kepala Amora lalu mengecupnya sekilas."Aku berangkat__" Junior beralih pada Jayden."Jun berangkat, yah, bun.."
Amora merinding seketika, menatap horror Junior. Baru saja Junior mengecup kepala dan beraku - kamu? Rasanya demam Amora bertambah tinggi!
Junior mengabaikan kericuhan disekitarnya. Tatapannya menatap ke arah meja di mana Amora selalu membuat kehebohan di kantin itu.Junior jadi tidak memiliki hiburan semenjak dia terlibat dengan istrinya itu. Amora seolah berubah, mengikuti statusnya yang berubah."Biduan kita kemana?" Jidan mengedarkan matanya ke arah meja yang berada di barat dan pojok itu."kok meja sana jadi sepi? Cuma ada si banci Surya.." lanjutnya."Dia sakit__" Junior meraih satu bungkus cemilan itu dengan acuh tak acuh."gue gem_" pur sampe tengah malem. Hampir saja, Junior kelepasan."Ha? Apa? Lo tahu dari mana?" Hendry berseru heran di samping Junior yang mulai kembali bisu."Jun, lo deke
Amora menghirup dalam - dalam udara di sekitarnya, suara obrolan, tawa - tawa siswa - siswi dan bau mie ayam beserta teman - temannya membuat Amora menghayati semuanya dengan sedikit lebay karena alasan dalam satu kata, rindu."Maju, lo kenapa berdiri di tengah jalan?" Junior sedikit menabrak bahu Amora dari belakang.Junior berjalan acuh menuju meja yang sering dia tempati, Amora menatap punggung Junior dengan meninju angin."Ngapain? Nangkep lalat, Mor?" suara Surya yang spesial mengalun aduhay di telinga Amora. Ngondek guysMengabaikan celotehannya, Amora merangkul Surya yang baru datang itu, membawanya menuju meja biasa."Dangdutan ga, Mor?" tanya Su
Amora mengusap dadanya dengan lega, untung Junior hanya memberi kecupan - kecupan tanpa melanjutkan ke tahap itu. Amora menangkup kedua pipinya yang panas dan memerah itu.Perlakuan Junior hampir saja membuatnya terbang, untung dia sadar cepat."Astaga! Dasar kadal penghisap!" gerutunya seraya mengamati leher dan dadanya di cermin kamar mandi.Amora meringis, dia seperti memiliki penyakit kulit. Dan lebih gawatnya, tanda - tanda itu merambat di lehernya."Nyusahin! Untung ada make up yang bisa nutupin!" gerutunya lagi dengan misuh - misuh.Setelah menyelesaikan mandi sorenya, Amora keluar kamar untuk menenangkan jiwanya seperti biasa.
Amora terisak tersedu - sedu, jantungnya merasa di cabut paksa. Semua karena Brian yang bersimbah darah kini tengah di tangani dokter.Semua begitu cepat, entah apa yang terjadi. Amora hanya tahu kalau geng Junior tidak sehat, mereka mesabotase mobil yang di pakai Brian untuk balapan itu.Amora terus menepis tangan Junior yang berusaha merangkul, menarik lengan atau mengusap pipinya. Amora tidak bisa memaafkannya sebelum kabar Brian baik - baik saja bisa dia dengar."Gue pikir lo udah engga benci sama Brian!" bentak Amora dengan masih tersedu - sedu, tangisannya semakin menjadi - jadi saat ingat begitu banyak darah yang keluar dari beberapa bagian tubuh Brian di depan matanya.Junior menatap lurus Amora. Benar atau salah, pasti istrinya itu tidak akan peduli. Jadi, Junior memilih d
Amora mengigit kuku - kuku di jemarinya dengan gelisah, dilema mulai membayangi pikirannya. Haruskah dia mengalah?Brian sudah cukup pulih, pernikahan dengan Biya pun berjalan begitu lancar. Namun, tidak selancar hubungannya bersama Junior yang kini semakin renggang.Amora melirik dua pasang pengantin baru yang hahahihi, asyik berdua seolah dunia milik mereka.Amora berdecak pelan, matanya kembali mengedar dan berlabuh pada dua pasangan pengantin lama. Alias orang tuanya yang tidak tahu malu dengan keriput di sudut matanya ketika tertawa. Romantis memang, tapi Amora merasa mereka tengah mengolok - oloknya.Amora melirik kursi di sampingnya yang kosong. Sudah hampir satu bulan Junior tidak tinggal di rumah, masih marah karena A
Junior menyandarkan kepalanya di bahu telanjang Amora, keduanya tengah rebahan terlentang setelah menguras tenaga bersama - sama.Junior meraih lengan Amora, meletakannya di kepala."Usap kepala gue, Mor.." pintanya dengan kembali menyamankan posisinya.Amora mengusapnya kaku, pada awalnya. Perlahan mulai biasa. Junior yang keenakan pun hanya bisa memejamkan mata walau tidak tidur."Maaf.." Amora berucap cepat dan pelan.Junior perlahan membuka matanya, mengulas senyum tipis tanpa ingin merespon. Niatnya ingin menjahili Amora.Amora menelan luda
"Kabar mengejutkan!" Dito, si pengantar berita atau gosip mulai berseru.Semua sontak menatapnya, bahkan Junior pun menatapnya walau ogah - ogahan. Junior bahkan heran, kenapa bisa Dito begitu update sekali tentang gosip. Tidak laki - laki sekali, malu sama otot."Apa?" Jidan terlihat tertarik sekali.Dito melirik Junior."Dia, mata - mata geng Brian.." tunjuknya dengan dagu.Hendry menatap Junior yang duduk di sampingnya."Serius? Lo_""Bukan gitu!" potong Junior lalu menghela nafas."Terus gimana? Gue butuh penglurusan, ada bukti nyata kalau lo sama Brian dan 2 cewek, bahkan lo keluar dari rumah Brian__" Dito memicingkan matanya penuh selidik.
Amora terbahak, tidak ada jaim - jaimnya sama sekali. Padahal mereka menikah tidak atas dasar cinta melainkan atas desakan."Kualatkan! Makanya jangan mesum bhahaa.." Amora memukul - mukul sofa sampingnya dengan terus terbahak renyah.Junior meringis, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua lututnya saling merapat menahan sakit di area tempat di mana pusaka berada.Ujung meja sialan! Umpatnya dengan terus merintih ngilu.Junior menjatuhkan tubuhnya, berlutut dengan terus menggeliat kesakitan. Jujur, dia tidak sedang drama di depan Amora. Anunya benar - benar sakit.Apakah patah? Oh tidak, Junior semakin merasa ngilu.Amora berdehem, menghentikan tawanya saat merasa kalau situasi bukan lagi lucu."Apa sakit banget?" Amora berjongkok, menepuk - nepuk punggung Junior seperti saat ayahnya--Jayden-- membantu Brian yang waktu itu tidak sengaja anuny
Ngidam, satu kata yang membuat Zein mengacak rambutnya frustasi. Zeva sungguh menyebalkan saat ini, permintaannya membuatnya gila. "Sekali aja, pake." Zeva mengembungkan pipinya yang semakin berisi itu. "Aku laki - laki, cowok, pria, Zeva sayang." Zein tersenyum paksa dengan menahan geraman marah. "Cuma merah sebentar, masih ga mau?" tatapannya menatap Zein dengan lucunya. Sontak Zein tidak berkutik, sialan memang wajah Zeva yang menggemaskan itu. "Jangan tebel - tebel." Zein pun pasrah, melirik sekitarnya yang cukup ramai. "Yeay!" Zeva dengan semangat menempelkan lipstik merah itu pada bibir Zein yang tebal nan seksi itu. Zein menatap wajah cerah Zeva dengan tatapan yang kian melembut, istrinya begitu bahagia hanya karena tindakan kecil itu. Harusnya Zein tidak menolak dari awal. "Woah!" Zeva menutup mu
Jalan - jalan kilat pun berakhir dengan Zeva yang asyik dengan benih - benih bunga yang di belinya. Membiarkan Jackson menanamnya karena tukang kebun tak kunjung datang. Jackson terlihat menggali dengan air wajah tidak yakin, dia sudah beberapa kali menolak untuk menanam benih itu namun Zeva keukeuh agar dirinya yang menanam benih itu. Demi apapun, Jackson belum pernah menanam bunga. Semoga saja semua benihnya tumbuh dengan baik. Harapnya masih dengan tidak yakin. "Sayang, ayo masuk." Zein bersuara di ambang pintu. Zeva yang sedang berjongkok menoleh lalu mengangguk dengan patuhnya."Beresin ya, Jackson. Maaf ngerepotin sama ga bisa terus nemenin." sesalnya dengan lugu. Jackson terkekeh dalam hati, dia itu pegawainya. Kenapa Zeva tidak sadar soal itu dan berperan seperti teman saja. Mungkin karena terlalu baik pikir Jackson. "Tidak apa - apa
Bang Jack membantu Zein yang akan pergi pemotretan dan pengambilan video untuk iklan minuman yang sudah terlanjur mengkontraknya. Tadinya Zein ingin membatalkan namun kata bang Jack lebih baik lanjut karena perusahaan itu tidak keberatan soal skandal yang menimpa Zein. "Cuma 6 menit, durasi yang singkat. Sayang sama uang kamu walau uang kamu ga akan habis." kata Jack seraya merapihkan tas Zein. "Kalau gitu ajak Zeva boleh? Biar pulang langsung jalan." Jack menggeleng tegas."Ga bisa, Zeva masih jadi inceran. Kasihan dia, Zein." balasnya. Zein menekuk wajahnya, tidak bisa menyangkal ucapan Jack yang benar adanya. "Tuan Zein—" panggil Jackson yang mengundang Jack untuk menoleh juga."nyonya Zeva menangis di belakang dan menyuruh saya untuk memang—" Zein lebih dulu membawa langkahnya ke taman belakang di banding mendengarkan penjelasan pengawal
Hanya Zein yang di omeli atasan terus tersenyum cerah seperti orang yang di mabuk kasmaran. Telinganya seolah tuli dari amukan atasannya. Bang Jack menyenggol Zein, menyadarkan artisnya itu agar pikirannya berada di tempatnya, tidak berkelana ke tempat lain. Zein melunturkan senyumnya, mengerjap sekali lalu melirik bang Jack sekilas sebelum menatap atasannya yang mukanya sudah semerah tomat saking emosi. "Kamu sedang naik daun! Dengan gegabah memutuskan menikah tanpa melibatkan kami sebagai rumah produksi yang melahirkan kamu!" bentak si atasan dengan menunjuk Zein di sebrangnya—penuh emosi. Suara ponsel berdering terus menemani perbincangan mereka, membuat si atasan semakin merasakan kepalanya pecah rasanya. Sudah pasti yang menelpon itu investor yang mendanai film Zein yang pastinya gagal produksi itu. "Film di tahan bahkan bisa batal ta
Zeva menggeleng, terlihat tidak nyaman di tempatnya. Zeva rasanya campur aduk. Senang, rindu, takut dan sedih menjadi satu. "Ayo, ada aku." Zein mengusap jemari Zeva yang ada di genggamannya. Kedua mata Zeva mulai basah, bibirnya bergetar saking tidak sanggupnya menahan semua rasa di dadanya. Hampir satu tahun dia jauh dari Lamita. "Kenapa?" Zein dengan sabar membujuk Zeva agar mau turun dari mobil. "Bunda masih marah ga ya?" suara Zeva bergetar dengan air mata lolos. *** Zeva menatap nanar Lamita yang sama kacaunya, kedua mata mereka sama basah. Semarah apapun, seorang ibu pasti akan luluh dan kalah saat rindu tidak bisa di bendung lagi.
Zein terlihat segar, hari ini hari sabtu. Hari liburnya walau hanya sehari dalam bulan ini. Dia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. "Emang kamu engga kepikiran soal nikah?" Suara Jack membuat Zein menghantikan langkahnya, bersembunyi dan menguping. "Zeva ga mau rusak impian Zein, cukup Zeva aja yang mimpinya rusak. Zein baik, Zeva ga mau sakitin orang baik." lugunya dengan begitu tulus. "Mimpi? Emang kamu punya mimpi apa?" Jack terlihat memandang Zeva hangat. "Jadi dewasa, itu mimpi Zeva waktu kelas 3 SD sebelum kecelakaan." Zeva tersenyum kecil, pandangannya menerawang."Tapi, ternyata dewasa itu ga enak. Zeva ga bisa egois. Dulu mungkin Zeva asal ambil apapun milik Adit tanpa tahu perasaan Adit. Sekarang Zeva harus banyak puter otak, ga bisa seenaknya. Zeva juga ga mau Zein hancur karena Zeva, apalagi fans - fans Zein yang sayang banget sama Zein. Zeva pasti bikin banyak orang sedi
Zein menghela nafas panjang penuh kelegaan, akhirnya semua adegan telah selesai dia lakukan dengan sebaik dan secepat mungkin. Zein membawa langkahnya hendak ke ruang tunggu yang di mana Zeva ada di sana. Namun, seseorang menghadangnya. "Dia bukan adik kamukan Zein?" todongnya dengan tatapan meredup sedih. Zein mengerang dalam hati, dia lupa mengurus satu perempuan yang sempat dia beri harapan itu. "Hm." Perempuan muda itu tersenyum kecut."Bener ternyata sama gosip yang beredar, kamu banyak mainin perempuan. Terus kita gimana?" desaknya dengan kedua mata mulai merebak basah. Zein terlihat tenang."Emang kita apa? Kita cuma temen, temen dalam beradu akting, temen main ke bioskop, ga lebih. Kamu bahkan belum pernah aku ajak ke atas ranjang." terangnya dengan santai. Perempuan itu menatap Zein dengan tidak percaya, kecewa dan sedih.
Zeva terlihat mengernyit, merasakan pening menghantam kepalanya. Perlahan, kedua matanya terbuka. Dahinya mengkerut karena silau lampu. "Pusing?" Zeva sontak menoleh kaget dan meringis saat kepalanya berdenyut pusing. Zein mengusap kepala Zeva, memijat lembut pelipisnya."Tidur dulu atau mau makan?" tawarnya. Zeva menatap Zein dengan mengabaikan kepalanya yang berdenyut. "Kenapa Zeva di sini lagi? Adit sama Yumni mana?" tanyanya dengan suara serak dan layu. Zein masih betah mengusap dan memijat lembut pelipis Zeva. Zeva pun tidak menolak karena jujur saja itu enak baginya. "Mereka pulang." balas Zein sekenanya. "Kenapa ga bawa Zeva juga? Kenapa malah di bawa kesini?" Zeva menepis tangan Zein dan berusaha turun dari kasur Zein. Zein menahan bahunya."Rumah kamu di sini, jelas kamu harus ada di si
Zein terlihat kelelahan, jadwal mendadak di ubah membuatnya jadi semakin sibuk. Zein menatap ponselnya, membuka pesan yang dia kirimkan pada Zeva. Masih belum di baca, bahkan Zeva terlihat tidak aktif. Zein memutuskan tidur sebentar, membiarkan Jack membawa mobilnya hingga ke apartement. Tak lama mobil Zein sampai. "Zein, mau bang Jack anter?" tawar Jack dengan memindai sekitar, takutnya ada penguntit nekad. "Ga usah, bang Jack urus yang lain aja." balas Zein dengan tidak bertenaga, terlihat lelah sekali. "Yaudah." Zein turun."Hati - hati bang di jalannya." kata Zein sebelum berlalu. "Hm, kalo udah sampe telepon bang Jack." Zein hanya melambaikan sebelah tangannya tanpa berbalik dan tanpa menghentikan langkah gontainya. ***