Junior mengabaikan kericuhan disekitarnya. Tatapannya menatap ke arah meja di mana Amora selalu membuat kehebohan di kantin itu.
Junior jadi tidak memiliki hiburan semenjak dia terlibat dengan istrinya itu. Amora seolah berubah, mengikuti statusnya yang berubah.
"Biduan kita kemana?" Jidan mengedarkan matanya ke arah meja yang berada di barat dan pojok itu."kok meja sana jadi sepi? Cuma ada si banci Surya.." lanjutnya.
"Dia sakit__" Junior meraih satu bungkus cemilan itu dengan acuh tak acuh."gue gem_" pur sampe tengah malem. Hampir saja, Junior kelepasan.
"Ha? Apa? Lo tahu dari mana?" Hendry berseru heran di samping Junior yang mulai kembali bisu.
"Jun, lo deket sama dia?" Jidan menatap Junior dengan penasaran. Setahu mereka, Junior tidak pernah menyinggung atau membahas si biduan kesukaan mereka itu.
Junior hanya melirik mereka dengan malas, tanpa ingin menjawab. Mulutnya hanya sibuk mengunyah.
"Ah! Selalu gitu, bikin gue mati penasaran!" semprot Jidan kesal.
"Anjing!" Fahri berdiri dari duduknya seraya berseru kasar.
Semua yang ada di meja itu menatapnya dengan alis bertaut.
"Brian beli mobil si Darwin buat balapan minggu depan, gue kirain dia udah tobat.."
Junior masih terlihat acuh, dia sudah tahu itu. Waktu dia mengantar Amora, dia sempat melihatnya. Bahkan Brian pamer langsung padanya dengan wajah yang menyebalkan. Untung kakak ipar, walau masih musuhan.
"Ga hanya itu, dia lagi deket sama cewek__" semua terlihat serius kecuali Junior tentunya."namanya Biya, anak yang ga ngehits di sekolah itu sih.." lanjut Dito.
"Jadi dia punya kelemahan?" Jidan terlihat tertarik.
Junior berdehem pelan."Jangan, kita fokus balapan aja. Percuma kita main kotor, ujung - ujungnya malu - maluin geng kita.." katanya dengan acuh tak acuh.
***
"Minum obat__" Junior meraih gelas lalu beberapa pil yang sudah di siapkan Zela sebelum Amora bangun itu."obat sebelum makan.." lanjutnya.
Amora menghela nafas, hawa panas kembali terasa keluar dari hidungnya. Amora merasa semua tubuhnya pegal dan lemas.
"Nanti.." suaranya serak.
Junior membantunya duduk, tidak ada nanti - nanti. Junior tidak akan pura - pura acuh pada orang yang sakit. Dia sudah pernah mendapat penyesalan karena melakukan itu.
Amora ingin marah namun terlalu lemah. Junior membawa punggung Amora bersandar pada dadanya. Junior memasukan obat itu pada mulut Amora yang sama panasnya itu. Amora meneguknya dengan air yang di berikan Junior.
"Ha ~ " Amora menyeka dengan lemas sudut bibirnya karena rembesan air yang di minumnya itu."udah.." matanya terpejam sesaat.
Junior menyimpan gelas itu ke nakas. Bukannya menidurkan lagi Amora, dia malah melilitkan kedua tangannya ke perut Amora dari belakang.
Posisinya nyaman, tapi Amora tidak biasa dengan interaksi intim seperti itu."Lepas, jangan aneh - aneh.." suaranya terdengar ketus namun masih saja lemah.
Junior mendadak tuli, demam Amora sungguh tinggi. Panasnya bahkan bisa Junior rasakan.
Amora memutuskan diam, kepalanya bersandar pada dada Junior sepenuhnya. Usapan Junior di perutnya membuat Amora nyaman. Matanya bahkan kini terpejam.
"Ke rumah sakit__" bisik Junior di telinga Amora."demam lo tinggi banget.." lanjutnya.
Amora membuka matanya."Udah di periksa, ga usah.." tubuhnya menggeliat hendak melepaskan diri.
"Apa karena semalem?" Junior merebahkan Amora, mengusap kening yang sungguh panas itu.
Amora memejamkan matanya, dia malas dan malu membahas kejadian itu. Dia hanya perlu istirahat agar besok bisa pulih.
"Jangan dulu tidur__" Junior menepuk pelan pipi Amora."masih harus makan bubur sama obat penurun demamnya.."
Amora membuka matanya walau berat, suasana menjadi hening. Amora melirik Junior yang terus menatapnya itu.
"Apa? Ini semua emang salah lo! Coba engga paksa gue, bahkan lo minta berkali - kali.." suara Amora yang lemah itu semakin terdengar kecil di akhir.
Junior masih diam, tanpa melepaskan tatapannya. Amora jelas tidak nyaman, sedekat apapun jika terus di tatap pasti tidak nyaman apalagi mereka belum terlalu lama dekat.
"Sana ih! Jangan liat - liat!" Amora terlihat frustasi, tubuhnya semakin terasa lemas.
Junior mengalihkan tatapannya, memutuskan untuk bermain ponsel sambil menunggu 30 menitan untuk membantu Amora memakan bubur.
• Cewek 2
Iyah, nanti kita jalan ya, sayang...Junior beralih mencari chat lainnya.
• Cewek 4
Lagi duduk aja, sayang. Kamu lagi apa?Junior menggaruk tengkuknya, dia lupa nama cewek ke 4 nya itu siapa. Harus tanya Jidan kalau sudah begini, karena cuma dia yang tahu proses mendapatkan perempuan - perempuan itu.
•Jidun
Dan, cewek ke 4 gue siapa namanya? Gue lupa..Amora menghela nafas, dia tidak tahu akan terjebak dengan Junior sampai kapan. Amora bahkan tidak tahu laki - laki itu bagaimana. Amora tahu Junior pun dari cerita - cerita tetangganya dulu.
Katanya sering mabuk - mabukan, main perempuan, tawuran, balapan dan ada isu dia pakai obat - obatan terlarang.
Ah, Amora juga tahu satu hal. Junior musuh Brian yang itu artinya dia sama nakalnya dengan kembarannya itu.
Iyakah? Amora jadi penasaran.
"Udah 30 menit__" Junior memasukan ponselnya ke dalam saku."duduk.." lanjutnya seraya membantu Amora untuk bersandar di kepala ranjang.
Amora mengerjap, dia tidak menyangka 30 menit sudah berlalu. Selama itukah dia melamunkan semuanya?
Amora meraih sendok bubur itu dengan gemetar, jujur saja. Amora merasa dingin.
Junior yang peka pun meraih sendok itu, menyimpannya dulu ke nakas beserta mangkuknya.
Junior melilitkan selimut di tubuh Amora, bahkan Junior merangkulnya supaya Amora merasakan kehangatan.
Amora berdebar, orang yang masih bisa di bilang asing itu begitu perhatian. Padahal di kamarnya tidak ada Zela atau Jayden.
"Buka mulut lo.."
Amora membukanya walau kecil. Bubur yang memenuhi sendok pun hanya masuk ujungnya saja.
"Sedikit - sedikit, tenggorokan lagi ga enak.." kata Amora setelah menelan buburnya.
Junior menuruti keinginannya, walau rasanya lama. Junior merasa gerah, mungkin karena panas cuaca dan panasnya tubuh Amora.
"Udah, cukup banyak kok__" Amora menahan lengan Junior, menolak untuk menerima lagi."langsung obat aja.." pintanya.
Junior melepaskan rangkulannya, meraih obat dan segelas air. Di bantunya Amora hingga selesai.
"Makasih, padahal di sini engga ada bunda atau ayah, lo ga usah bebanin diri ngelakuin hal yang bikin lo kerepotan.." Amora kembali rebahan.
"Sama sekali ga repot, justru gue bakalan repot kalau lo terus sakit__" Junior menatap Amora lurus."gue ga bisa tidurin lo.." lanjutnya dengan santai.
Amora memejamkan matanya, kalau saja tidak sakit. Dia akan kembali berubah menjadi Amora yang bar - bar. Dia akan menjambak rambut Junior lalu menghempaskan kepala itu pada tembok, setelahnya dia akan tertawa puas bahkan mendendangkan lagu dangdut dengan bahagia.
Amora terus mengumpat dan berimajinasi hingga kantuk mulai menjemput dan membawanya hanyut.
***
"Sama suami kamu mungkin, bunda baru pulang dari kantor ayah, anterin berkas sama makan siang.."
Amora sontak menahan nafas, jantungnya berdetak begitu cepat. Wajahnya perlahan memanas.
Malam panjang waktu itu masih membuatnya malu, kini di tambah dengan masalah mengganti baju. Rasanya Amora ingin mengubur diri bersama CD -CD dangdutnya.
"Bunda, udah pulang?" Junior tersenyum hangat, keluar dari kamar mandi dengan terlihat segar.
"Hm, makasih udah jagain Amor, urus Amor__" di usapnya kepala Junior."bunda harus keluar lagi, Brian udah 3 hari engga bunda jenguk.."
Junior sebenarnya penasaran, kenapa Brian tidak tinggal di tempat yang penuh kasih sayang ini.
"Amor ada aku, bun.." Junior mengenyahkan semua rasa penasarannya."bunda ga usah khawatir, demam Amor udah turun kok.."
Zela mengangguk samar."Padahal sekarang hari minggu, ayah juga malah ada kerja tambahan, bunda ga bisa terus di rumah, maaf ya bikin kamu jaga Amor sendirian.." sesalnya.
"Ga papa, bun.."
Amora menghirup dalam - dalam udara di sekitarnya, suara obrolan, tawa - tawa siswa - siswi dan bau mie ayam beserta teman - temannya membuat Amora menghayati semuanya dengan sedikit lebay karena alasan dalam satu kata, rindu."Maju, lo kenapa berdiri di tengah jalan?" Junior sedikit menabrak bahu Amora dari belakang.Junior berjalan acuh menuju meja yang sering dia tempati, Amora menatap punggung Junior dengan meninju angin."Ngapain? Nangkep lalat, Mor?" suara Surya yang spesial mengalun aduhay di telinga Amora. Ngondek guysMengabaikan celotehannya, Amora merangkul Surya yang baru datang itu, membawanya menuju meja biasa."Dangdutan ga, Mor?" tanya Su
Amora mengusap dadanya dengan lega, untung Junior hanya memberi kecupan - kecupan tanpa melanjutkan ke tahap itu. Amora menangkup kedua pipinya yang panas dan memerah itu.Perlakuan Junior hampir saja membuatnya terbang, untung dia sadar cepat."Astaga! Dasar kadal penghisap!" gerutunya seraya mengamati leher dan dadanya di cermin kamar mandi.Amora meringis, dia seperti memiliki penyakit kulit. Dan lebih gawatnya, tanda - tanda itu merambat di lehernya."Nyusahin! Untung ada make up yang bisa nutupin!" gerutunya lagi dengan misuh - misuh.Setelah menyelesaikan mandi sorenya, Amora keluar kamar untuk menenangkan jiwanya seperti biasa.
Amora terisak tersedu - sedu, jantungnya merasa di cabut paksa. Semua karena Brian yang bersimbah darah kini tengah di tangani dokter.Semua begitu cepat, entah apa yang terjadi. Amora hanya tahu kalau geng Junior tidak sehat, mereka mesabotase mobil yang di pakai Brian untuk balapan itu.Amora terus menepis tangan Junior yang berusaha merangkul, menarik lengan atau mengusap pipinya. Amora tidak bisa memaafkannya sebelum kabar Brian baik - baik saja bisa dia dengar."Gue pikir lo udah engga benci sama Brian!" bentak Amora dengan masih tersedu - sedu, tangisannya semakin menjadi - jadi saat ingat begitu banyak darah yang keluar dari beberapa bagian tubuh Brian di depan matanya.Junior menatap lurus Amora. Benar atau salah, pasti istrinya itu tidak akan peduli. Jadi, Junior memilih d
Amora mengigit kuku - kuku di jemarinya dengan gelisah, dilema mulai membayangi pikirannya. Haruskah dia mengalah?Brian sudah cukup pulih, pernikahan dengan Biya pun berjalan begitu lancar. Namun, tidak selancar hubungannya bersama Junior yang kini semakin renggang.Amora melirik dua pasang pengantin baru yang hahahihi, asyik berdua seolah dunia milik mereka.Amora berdecak pelan, matanya kembali mengedar dan berlabuh pada dua pasangan pengantin lama. Alias orang tuanya yang tidak tahu malu dengan keriput di sudut matanya ketika tertawa. Romantis memang, tapi Amora merasa mereka tengah mengolok - oloknya.Amora melirik kursi di sampingnya yang kosong. Sudah hampir satu bulan Junior tidak tinggal di rumah, masih marah karena A
Junior menyandarkan kepalanya di bahu telanjang Amora, keduanya tengah rebahan terlentang setelah menguras tenaga bersama - sama.Junior meraih lengan Amora, meletakannya di kepala."Usap kepala gue, Mor.." pintanya dengan kembali menyamankan posisinya.Amora mengusapnya kaku, pada awalnya. Perlahan mulai biasa. Junior yang keenakan pun hanya bisa memejamkan mata walau tidak tidur."Maaf.." Amora berucap cepat dan pelan.Junior perlahan membuka matanya, mengulas senyum tipis tanpa ingin merespon. Niatnya ingin menjahili Amora.Amora menelan luda
"Kabar mengejutkan!" Dito, si pengantar berita atau gosip mulai berseru.Semua sontak menatapnya, bahkan Junior pun menatapnya walau ogah - ogahan. Junior bahkan heran, kenapa bisa Dito begitu update sekali tentang gosip. Tidak laki - laki sekali, malu sama otot."Apa?" Jidan terlihat tertarik sekali.Dito melirik Junior."Dia, mata - mata geng Brian.." tunjuknya dengan dagu.Hendry menatap Junior yang duduk di sampingnya."Serius? Lo_""Bukan gitu!" potong Junior lalu menghela nafas."Terus gimana? Gue butuh penglurusan, ada bukti nyata kalau lo sama Brian dan 2 cewek, bahkan lo keluar dari rumah Brian__" Dito memicingkan matanya penuh selidik.
Amora terbahak, tidak ada jaim - jaimnya sama sekali. Padahal mereka menikah tidak atas dasar cinta melainkan atas desakan."Kualatkan! Makanya jangan mesum bhahaa.." Amora memukul - mukul sofa sampingnya dengan terus terbahak renyah.Junior meringis, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua lututnya saling merapat menahan sakit di area tempat di mana pusaka berada.Ujung meja sialan! Umpatnya dengan terus merintih ngilu.Junior menjatuhkan tubuhnya, berlutut dengan terus menggeliat kesakitan. Jujur, dia tidak sedang drama di depan Amora. Anunya benar - benar sakit.Apakah patah? Oh tidak, Junior semakin merasa ngilu.Amora berdehem, menghentikan tawanya saat merasa kalau situasi bukan lagi lucu."Apa sakit banget?" Amora berjongkok, menepuk - nepuk punggung Junior seperti saat ayahnya--Jayden-- membantu Brian yang waktu itu tidak sengaja anuny
Hampir dua bulan, Amora semakin tahu dengan sikap asli Junior. Awalnya tidak banyak bersuara, kian hari kian cerewet, kian mesum dan banyak sekali maunya.Amora geleng - geleng kepala, Junior mulai kembali banyak meminta hari ini."Ya beli aja, di larang percuma! Nanti pasti beli.." Amora cemberut dengan terus mengupas apel."Ga ikhlas gitu.." Junior balik cemberut walau tidak ketara."Ya abis, katanya mau nabung buat beli rumah yang di perumahan Melati.." Amora menyimpan pisau dan apel yang belum di kupasnya.Junior melirik Amora yang mendekat itu."Lain kali aja, motor lo itu bentuknya udah aneh, mau seaneh apa lagi? Hm?" Amora mengusap bahu Junior sekilas.Junior menahan pinggang Amora, menyuruhnya untuk dudu
Ngidam, satu kata yang membuat Zein mengacak rambutnya frustasi. Zeva sungguh menyebalkan saat ini, permintaannya membuatnya gila. "Sekali aja, pake." Zeva mengembungkan pipinya yang semakin berisi itu. "Aku laki - laki, cowok, pria, Zeva sayang." Zein tersenyum paksa dengan menahan geraman marah. "Cuma merah sebentar, masih ga mau?" tatapannya menatap Zein dengan lucunya. Sontak Zein tidak berkutik, sialan memang wajah Zeva yang menggemaskan itu. "Jangan tebel - tebel." Zein pun pasrah, melirik sekitarnya yang cukup ramai. "Yeay!" Zeva dengan semangat menempelkan lipstik merah itu pada bibir Zein yang tebal nan seksi itu. Zein menatap wajah cerah Zeva dengan tatapan yang kian melembut, istrinya begitu bahagia hanya karena tindakan kecil itu. Harusnya Zein tidak menolak dari awal. "Woah!" Zeva menutup mu
Jalan - jalan kilat pun berakhir dengan Zeva yang asyik dengan benih - benih bunga yang di belinya. Membiarkan Jackson menanamnya karena tukang kebun tak kunjung datang. Jackson terlihat menggali dengan air wajah tidak yakin, dia sudah beberapa kali menolak untuk menanam benih itu namun Zeva keukeuh agar dirinya yang menanam benih itu. Demi apapun, Jackson belum pernah menanam bunga. Semoga saja semua benihnya tumbuh dengan baik. Harapnya masih dengan tidak yakin. "Sayang, ayo masuk." Zein bersuara di ambang pintu. Zeva yang sedang berjongkok menoleh lalu mengangguk dengan patuhnya."Beresin ya, Jackson. Maaf ngerepotin sama ga bisa terus nemenin." sesalnya dengan lugu. Jackson terkekeh dalam hati, dia itu pegawainya. Kenapa Zeva tidak sadar soal itu dan berperan seperti teman saja. Mungkin karena terlalu baik pikir Jackson. "Tidak apa - apa
Bang Jack membantu Zein yang akan pergi pemotretan dan pengambilan video untuk iklan minuman yang sudah terlanjur mengkontraknya. Tadinya Zein ingin membatalkan namun kata bang Jack lebih baik lanjut karena perusahaan itu tidak keberatan soal skandal yang menimpa Zein. "Cuma 6 menit, durasi yang singkat. Sayang sama uang kamu walau uang kamu ga akan habis." kata Jack seraya merapihkan tas Zein. "Kalau gitu ajak Zeva boleh? Biar pulang langsung jalan." Jack menggeleng tegas."Ga bisa, Zeva masih jadi inceran. Kasihan dia, Zein." balasnya. Zein menekuk wajahnya, tidak bisa menyangkal ucapan Jack yang benar adanya. "Tuan Zein—" panggil Jackson yang mengundang Jack untuk menoleh juga."nyonya Zeva menangis di belakang dan menyuruh saya untuk memang—" Zein lebih dulu membawa langkahnya ke taman belakang di banding mendengarkan penjelasan pengawal
Hanya Zein yang di omeli atasan terus tersenyum cerah seperti orang yang di mabuk kasmaran. Telinganya seolah tuli dari amukan atasannya. Bang Jack menyenggol Zein, menyadarkan artisnya itu agar pikirannya berada di tempatnya, tidak berkelana ke tempat lain. Zein melunturkan senyumnya, mengerjap sekali lalu melirik bang Jack sekilas sebelum menatap atasannya yang mukanya sudah semerah tomat saking emosi. "Kamu sedang naik daun! Dengan gegabah memutuskan menikah tanpa melibatkan kami sebagai rumah produksi yang melahirkan kamu!" bentak si atasan dengan menunjuk Zein di sebrangnya—penuh emosi. Suara ponsel berdering terus menemani perbincangan mereka, membuat si atasan semakin merasakan kepalanya pecah rasanya. Sudah pasti yang menelpon itu investor yang mendanai film Zein yang pastinya gagal produksi itu. "Film di tahan bahkan bisa batal ta
Zeva menggeleng, terlihat tidak nyaman di tempatnya. Zeva rasanya campur aduk. Senang, rindu, takut dan sedih menjadi satu. "Ayo, ada aku." Zein mengusap jemari Zeva yang ada di genggamannya. Kedua mata Zeva mulai basah, bibirnya bergetar saking tidak sanggupnya menahan semua rasa di dadanya. Hampir satu tahun dia jauh dari Lamita. "Kenapa?" Zein dengan sabar membujuk Zeva agar mau turun dari mobil. "Bunda masih marah ga ya?" suara Zeva bergetar dengan air mata lolos. *** Zeva menatap nanar Lamita yang sama kacaunya, kedua mata mereka sama basah. Semarah apapun, seorang ibu pasti akan luluh dan kalah saat rindu tidak bisa di bendung lagi.
Zein terlihat segar, hari ini hari sabtu. Hari liburnya walau hanya sehari dalam bulan ini. Dia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. "Emang kamu engga kepikiran soal nikah?" Suara Jack membuat Zein menghantikan langkahnya, bersembunyi dan menguping. "Zeva ga mau rusak impian Zein, cukup Zeva aja yang mimpinya rusak. Zein baik, Zeva ga mau sakitin orang baik." lugunya dengan begitu tulus. "Mimpi? Emang kamu punya mimpi apa?" Jack terlihat memandang Zeva hangat. "Jadi dewasa, itu mimpi Zeva waktu kelas 3 SD sebelum kecelakaan." Zeva tersenyum kecil, pandangannya menerawang."Tapi, ternyata dewasa itu ga enak. Zeva ga bisa egois. Dulu mungkin Zeva asal ambil apapun milik Adit tanpa tahu perasaan Adit. Sekarang Zeva harus banyak puter otak, ga bisa seenaknya. Zeva juga ga mau Zein hancur karena Zeva, apalagi fans - fans Zein yang sayang banget sama Zein. Zeva pasti bikin banyak orang sedi
Zein menghela nafas panjang penuh kelegaan, akhirnya semua adegan telah selesai dia lakukan dengan sebaik dan secepat mungkin. Zein membawa langkahnya hendak ke ruang tunggu yang di mana Zeva ada di sana. Namun, seseorang menghadangnya. "Dia bukan adik kamukan Zein?" todongnya dengan tatapan meredup sedih. Zein mengerang dalam hati, dia lupa mengurus satu perempuan yang sempat dia beri harapan itu. "Hm." Perempuan muda itu tersenyum kecut."Bener ternyata sama gosip yang beredar, kamu banyak mainin perempuan. Terus kita gimana?" desaknya dengan kedua mata mulai merebak basah. Zein terlihat tenang."Emang kita apa? Kita cuma temen, temen dalam beradu akting, temen main ke bioskop, ga lebih. Kamu bahkan belum pernah aku ajak ke atas ranjang." terangnya dengan santai. Perempuan itu menatap Zein dengan tidak percaya, kecewa dan sedih.
Zeva terlihat mengernyit, merasakan pening menghantam kepalanya. Perlahan, kedua matanya terbuka. Dahinya mengkerut karena silau lampu. "Pusing?" Zeva sontak menoleh kaget dan meringis saat kepalanya berdenyut pusing. Zein mengusap kepala Zeva, memijat lembut pelipisnya."Tidur dulu atau mau makan?" tawarnya. Zeva menatap Zein dengan mengabaikan kepalanya yang berdenyut. "Kenapa Zeva di sini lagi? Adit sama Yumni mana?" tanyanya dengan suara serak dan layu. Zein masih betah mengusap dan memijat lembut pelipis Zeva. Zeva pun tidak menolak karena jujur saja itu enak baginya. "Mereka pulang." balas Zein sekenanya. "Kenapa ga bawa Zeva juga? Kenapa malah di bawa kesini?" Zeva menepis tangan Zein dan berusaha turun dari kasur Zein. Zein menahan bahunya."Rumah kamu di sini, jelas kamu harus ada di si
Zein terlihat kelelahan, jadwal mendadak di ubah membuatnya jadi semakin sibuk. Zein menatap ponselnya, membuka pesan yang dia kirimkan pada Zeva. Masih belum di baca, bahkan Zeva terlihat tidak aktif. Zein memutuskan tidur sebentar, membiarkan Jack membawa mobilnya hingga ke apartement. Tak lama mobil Zein sampai. "Zein, mau bang Jack anter?" tawar Jack dengan memindai sekitar, takutnya ada penguntit nekad. "Ga usah, bang Jack urus yang lain aja." balas Zein dengan tidak bertenaga, terlihat lelah sekali. "Yaudah." Zein turun."Hati - hati bang di jalannya." kata Zein sebelum berlalu. "Hm, kalo udah sampe telepon bang Jack." Zein hanya melambaikan sebelah tangannya tanpa berbalik dan tanpa menghentikan langkah gontainya. ***