Amora mengusap dadanya dengan lega, untung Junior hanya memberi kecupan - kecupan tanpa melanjutkan ke tahap itu. Amora menangkup kedua pipinya yang panas dan memerah itu.
Perlakuan Junior hampir saja membuatnya terbang, untung dia sadar cepat.
"Astaga! Dasar kadal penghisap!" gerutunya seraya mengamati leher dan dadanya di cermin kamar mandi.
Amora meringis, dia seperti memiliki penyakit kulit. Dan lebih gawatnya, tanda - tanda itu merambat di lehernya.
"Nyusahin! Untung ada make up yang bisa nutupin!" gerutunya lagi dengan misuh - misuh.
Setelah menyelesaikan mandi sorenya, Amora keluar kamar untuk menenangkan jiwanya seperti biasa.
Di taman belakang, Amora duduk di kursi jemur dengan musik dangdut kesukaannya mulai dia nyalakan.
Bagi Amora, hanya lagu dangdut yang membuatnya tenang di banding musik - musik lembut atau suara - suara alam.
Junior yang baru datang menghampiri Amora dengan gelengan kepala samar, telinganya yang biasa menerima lagu Dj atau rock kini harus terbiasa dengan kedangdutan Amora.
Biduan yang akan menjadi kesayangannya itu.
"Geser.." Junior duduk di pinggir kursi Amora, mendorong pinggang Amora dengan pantatnya."cepet geser.."
Amora berdecak tidak suka, sungguh mengganggu waktunya bermeditasi!
"Itu ada, kenapa mepet di sini, ish!" Amora menggeser tubuhnya hingga tepian, setelah itu Junior rebahan di samping Amora yang misuh - misuh itu.
Hening memeluk keduanya beberapa saat...
"Razelia Amora Rulzain..." gumam Junior, seolah mencari makna, menilai dan mengingat semua kejadian dengan si pemilik nama.
Amora meliriknya sekilas dengan malas lalu kembali berdendang pelan mengikuti lirik lagu.
"Gue ga sekaya keluarga lo, mor.."
Amora kembali menatap Junior, alisnya bertaut. Junior menatap Amora sekilas sebelum kembali menerawang jauh.
"Lo ga takut gue bawa susah? Di tambah gue anak buangan, orang tua gue ga urus gue, banyak tingkah kriminalnya, tatto di punggung gue, apa lo ga terganggu? Lo terlalu santai di mata gue sekarang.."
Junior kembali menatap Amora, Amora pun diam dengan kedua matanya menyelami mata berbulu lentik milik Junior.
"Gue emang mau masa depan baik, tapi gue ga mau ambil pusing itu sekarang, banyak berencana tapi ternyata, gue nikah muda__" Amora tersenyum tipis."gue mau nikah di usia 25/26 padahal.."
"Lo nyesel?"
Amora menggeleng."Gue cuma kecewa aja sama kejadian waktu itu, kita tahu kita ga salah.." jawabnya.
"Lo ga keberatan? Gue brandalan, lo ga penasaran sama gosip - gosip tentang gue bener engganya?"
Amora memejamkan matanya."Ga peduli, lo mau baik, mau buruk pun tetep aja yang bisa ubah kedua itu ya diri lo sendiri.." dengan santainya Amora menjawab."gue suruh lo berubah emang bisa? Emang mau?" lanjutnya masih dengan santai.
"Gue coba.."
Sore hari itu, Junior tanpa sadar jatuh pada pesona Amora. Kenakalannya yang siapapun pasti muak, dan merasa terganggu. Banyak mata yang sering merendahkannya, tapi Amora tidak.
Junior merasa Amora begitu memanusiakan dirinya. Bahkan saat menyentuhnya malam pertama waktu itu, Amora tidak marah dan keesokan harinya berprilaku sewajarnya.
Keheningan kembali memeluk mereka. Amora yang terlelap, Junior yang memandang wanita tidur itu masih terlihat betah.
Junior penasaran, semua tentang Amora dia ingin tahu.
***
Junior tersenyum miring."Dia istri gue, kalo lo lupa.." dia menyesap rokoknya dengan pandangan lurus. Sama seperti Brian, dia menikmati pemandangan di depannya.
Brian berdecak jengah."Fakta itu gue semakin ga suka, kapan lo mau ceraiin, Amor?" suaranya terdengar dingin.
"Nanti, di ceraiin kematian.." acuh Junior dengan kembali menyesap rokoknya yang akan habis.
"Gue berarti harus turun tangan.." senyum mengejek terbit di bibir Brian.
Junior masih tenang, tidak terganggu. Bagi Junior mereka musuhan hanya karena beda sekolah, bukan karena benci. Jadi dia tidak akan terpancing.
"Silahkan.." balas Junior dengan malas.
"Ck! Gue musuh lo, Jun! Lo ga risih jadi bagian_"
"Gue nyaman, orang tua lo baik, Amor juga.." potong Junior dengan sungguh - sungguh."lo harusnya jangan sia - siain mereka dengan tinggal di sini sama cewek lo.." Junior berlalu.
Setelah berhasil memukul kepala Brian dengan kata - katanya, Junior mencari Amora, mengajaknya untuk pulang.
Brian masih diam, dia memang marah pada tindakan ayahnya. Entahlah, mungkin juga Brian malu karena kelakuannya.
Junior menghampiri Amora yang tengah ngobrol dengan Biya.
"Kita pulang.." Junior meraih lengan Amora untuk berdiri.
"Ih nanggung, lagi_"
"Lanjut nanti, Mor.." potong Biya dengan tersenyum ramah.
Amora memberengut kesal."Yaudah, aku pulang ya.." pamitnya dengan berat hati.
"Hm, hati - hati.."
Junior menyeret Amora, namun sebelum sampai di pintu Amora ingin pamit dulu pada Brian.
***
Amora melirik Junior yang masih terlelap dengan telungkup, punggungnya yang bertato mencuri perhatian Amora.
Amora mengamati bentuk tatto yang tidak dia mengerti itu, suara ponsel membuat Amora menoleh. Ternyata Ponsel Junior.
Amora meraihnya, membaca notif di layar itu. Alisnya bertaut.
Cewek 3, cewek 5, cewek 2...
Amora melirik punggung itu dengan mendengus kesal. Ternyata laki - laki yang tidur dengannya itu bukan kadal, tapi buaya dengan ekor tumpul!
Amora melilit tubuhnya dengan selimut, mengabaikan Junior yang bangun karena tubuhnya kedinginan. Amora turun dari kasur dan bergegas menuju kamar mandi.
Junior melirik Amora sekilas, meraih boxer lalu kembali lagi terlelap.
"Main perempuan, dia bener - bener!" Amora tidak percaya dengan nama - nama chat itu. Sebanyak itu pacarnya?
Amora tepuk jidat!
Amora terisak tersedu - sedu, jantungnya merasa di cabut paksa. Semua karena Brian yang bersimbah darah kini tengah di tangani dokter.Semua begitu cepat, entah apa yang terjadi. Amora hanya tahu kalau geng Junior tidak sehat, mereka mesabotase mobil yang di pakai Brian untuk balapan itu.Amora terus menepis tangan Junior yang berusaha merangkul, menarik lengan atau mengusap pipinya. Amora tidak bisa memaafkannya sebelum kabar Brian baik - baik saja bisa dia dengar."Gue pikir lo udah engga benci sama Brian!" bentak Amora dengan masih tersedu - sedu, tangisannya semakin menjadi - jadi saat ingat begitu banyak darah yang keluar dari beberapa bagian tubuh Brian di depan matanya.Junior menatap lurus Amora. Benar atau salah, pasti istrinya itu tidak akan peduli. Jadi, Junior memilih d
Amora mengigit kuku - kuku di jemarinya dengan gelisah, dilema mulai membayangi pikirannya. Haruskah dia mengalah?Brian sudah cukup pulih, pernikahan dengan Biya pun berjalan begitu lancar. Namun, tidak selancar hubungannya bersama Junior yang kini semakin renggang.Amora melirik dua pasang pengantin baru yang hahahihi, asyik berdua seolah dunia milik mereka.Amora berdecak pelan, matanya kembali mengedar dan berlabuh pada dua pasangan pengantin lama. Alias orang tuanya yang tidak tahu malu dengan keriput di sudut matanya ketika tertawa. Romantis memang, tapi Amora merasa mereka tengah mengolok - oloknya.Amora melirik kursi di sampingnya yang kosong. Sudah hampir satu bulan Junior tidak tinggal di rumah, masih marah karena A
Junior menyandarkan kepalanya di bahu telanjang Amora, keduanya tengah rebahan terlentang setelah menguras tenaga bersama - sama.Junior meraih lengan Amora, meletakannya di kepala."Usap kepala gue, Mor.." pintanya dengan kembali menyamankan posisinya.Amora mengusapnya kaku, pada awalnya. Perlahan mulai biasa. Junior yang keenakan pun hanya bisa memejamkan mata walau tidak tidur."Maaf.." Amora berucap cepat dan pelan.Junior perlahan membuka matanya, mengulas senyum tipis tanpa ingin merespon. Niatnya ingin menjahili Amora.Amora menelan luda
"Kabar mengejutkan!" Dito, si pengantar berita atau gosip mulai berseru.Semua sontak menatapnya, bahkan Junior pun menatapnya walau ogah - ogahan. Junior bahkan heran, kenapa bisa Dito begitu update sekali tentang gosip. Tidak laki - laki sekali, malu sama otot."Apa?" Jidan terlihat tertarik sekali.Dito melirik Junior."Dia, mata - mata geng Brian.." tunjuknya dengan dagu.Hendry menatap Junior yang duduk di sampingnya."Serius? Lo_""Bukan gitu!" potong Junior lalu menghela nafas."Terus gimana? Gue butuh penglurusan, ada bukti nyata kalau lo sama Brian dan 2 cewek, bahkan lo keluar dari rumah Brian__" Dito memicingkan matanya penuh selidik.
Amora terbahak, tidak ada jaim - jaimnya sama sekali. Padahal mereka menikah tidak atas dasar cinta melainkan atas desakan."Kualatkan! Makanya jangan mesum bhahaa.." Amora memukul - mukul sofa sampingnya dengan terus terbahak renyah.Junior meringis, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua lututnya saling merapat menahan sakit di area tempat di mana pusaka berada.Ujung meja sialan! Umpatnya dengan terus merintih ngilu.Junior menjatuhkan tubuhnya, berlutut dengan terus menggeliat kesakitan. Jujur, dia tidak sedang drama di depan Amora. Anunya benar - benar sakit.Apakah patah? Oh tidak, Junior semakin merasa ngilu.Amora berdehem, menghentikan tawanya saat merasa kalau situasi bukan lagi lucu."Apa sakit banget?" Amora berjongkok, menepuk - nepuk punggung Junior seperti saat ayahnya--Jayden-- membantu Brian yang waktu itu tidak sengaja anuny
Hampir dua bulan, Amora semakin tahu dengan sikap asli Junior. Awalnya tidak banyak bersuara, kian hari kian cerewet, kian mesum dan banyak sekali maunya.Amora geleng - geleng kepala, Junior mulai kembali banyak meminta hari ini."Ya beli aja, di larang percuma! Nanti pasti beli.." Amora cemberut dengan terus mengupas apel."Ga ikhlas gitu.." Junior balik cemberut walau tidak ketara."Ya abis, katanya mau nabung buat beli rumah yang di perumahan Melati.." Amora menyimpan pisau dan apel yang belum di kupasnya.Junior melirik Amora yang mendekat itu."Lain kali aja, motor lo itu bentuknya udah aneh, mau seaneh apa lagi? Hm?" Amora mengusap bahu Junior sekilas.Junior menahan pinggang Amora, menyuruhnya untuk dudu
Amora tertawa pelan seraya menepuk bahu Junior sebagai respon betapa lucunya cerita Junior yang ternyata membuat Amora begitu receh."Serius, gue ga bisa keluar lama waktu pertama__" Junior kembali melilitkan sebelah tangannya di perut Amora."gue baru masuk, gerak dikit udah lepas.." lanjutnya dengan terkekeh pelan.Junior pernah jadi amatir, siapapun pasti pernah. Bahkan seorang profesional pun awalnya pasti amatir dengan kisah yang pastinya berbeda juga."Jorok! Udah ah, jangan bahas soal ranjang.." Amora terlihat merona walau terus tertawa pelan."Kita lagi di ranjang, lebih bagus bahas begituan.." Junior berujar santai."Ck! Mesum emang!" Amora menjitak pelan
Lagu sayang yang di nyanyikan oleh Via Vallen mulai Amora senandungkan. Kedua tangannya aktif menarik dan mendorong tongkat lap pel. Sesekali pinggangnya meliuk, memutar, begitu menghayati."An*j*ng!" bersamaan dengan suara bedebug keras membuat Amora menoleh kaget ke asal suara.Junior terlentang dengan wajah mengernyit dan meringis. Bibir Amora berkedut, Junior jatuh terpeleset?"Bantuin!" Junior melotot pada Amora yang menatapnya dengan menahan tawa itu.Amora melangkah namun naas, lantai yang di pijaknya sama - sama licin. Amora jatuh dan untungnya menimpa Junior."Akh!" Junior sontak merasakan double kill, pinggangnya semakin berdenyut.
Ngidam, satu kata yang membuat Zein mengacak rambutnya frustasi. Zeva sungguh menyebalkan saat ini, permintaannya membuatnya gila. "Sekali aja, pake." Zeva mengembungkan pipinya yang semakin berisi itu. "Aku laki - laki, cowok, pria, Zeva sayang." Zein tersenyum paksa dengan menahan geraman marah. "Cuma merah sebentar, masih ga mau?" tatapannya menatap Zein dengan lucunya. Sontak Zein tidak berkutik, sialan memang wajah Zeva yang menggemaskan itu. "Jangan tebel - tebel." Zein pun pasrah, melirik sekitarnya yang cukup ramai. "Yeay!" Zeva dengan semangat menempelkan lipstik merah itu pada bibir Zein yang tebal nan seksi itu. Zein menatap wajah cerah Zeva dengan tatapan yang kian melembut, istrinya begitu bahagia hanya karena tindakan kecil itu. Harusnya Zein tidak menolak dari awal. "Woah!" Zeva menutup mu
Jalan - jalan kilat pun berakhir dengan Zeva yang asyik dengan benih - benih bunga yang di belinya. Membiarkan Jackson menanamnya karena tukang kebun tak kunjung datang. Jackson terlihat menggali dengan air wajah tidak yakin, dia sudah beberapa kali menolak untuk menanam benih itu namun Zeva keukeuh agar dirinya yang menanam benih itu. Demi apapun, Jackson belum pernah menanam bunga. Semoga saja semua benihnya tumbuh dengan baik. Harapnya masih dengan tidak yakin. "Sayang, ayo masuk." Zein bersuara di ambang pintu. Zeva yang sedang berjongkok menoleh lalu mengangguk dengan patuhnya."Beresin ya, Jackson. Maaf ngerepotin sama ga bisa terus nemenin." sesalnya dengan lugu. Jackson terkekeh dalam hati, dia itu pegawainya. Kenapa Zeva tidak sadar soal itu dan berperan seperti teman saja. Mungkin karena terlalu baik pikir Jackson. "Tidak apa - apa
Bang Jack membantu Zein yang akan pergi pemotretan dan pengambilan video untuk iklan minuman yang sudah terlanjur mengkontraknya. Tadinya Zein ingin membatalkan namun kata bang Jack lebih baik lanjut karena perusahaan itu tidak keberatan soal skandal yang menimpa Zein. "Cuma 6 menit, durasi yang singkat. Sayang sama uang kamu walau uang kamu ga akan habis." kata Jack seraya merapihkan tas Zein. "Kalau gitu ajak Zeva boleh? Biar pulang langsung jalan." Jack menggeleng tegas."Ga bisa, Zeva masih jadi inceran. Kasihan dia, Zein." balasnya. Zein menekuk wajahnya, tidak bisa menyangkal ucapan Jack yang benar adanya. "Tuan Zein—" panggil Jackson yang mengundang Jack untuk menoleh juga."nyonya Zeva menangis di belakang dan menyuruh saya untuk memang—" Zein lebih dulu membawa langkahnya ke taman belakang di banding mendengarkan penjelasan pengawal
Hanya Zein yang di omeli atasan terus tersenyum cerah seperti orang yang di mabuk kasmaran. Telinganya seolah tuli dari amukan atasannya. Bang Jack menyenggol Zein, menyadarkan artisnya itu agar pikirannya berada di tempatnya, tidak berkelana ke tempat lain. Zein melunturkan senyumnya, mengerjap sekali lalu melirik bang Jack sekilas sebelum menatap atasannya yang mukanya sudah semerah tomat saking emosi. "Kamu sedang naik daun! Dengan gegabah memutuskan menikah tanpa melibatkan kami sebagai rumah produksi yang melahirkan kamu!" bentak si atasan dengan menunjuk Zein di sebrangnya—penuh emosi. Suara ponsel berdering terus menemani perbincangan mereka, membuat si atasan semakin merasakan kepalanya pecah rasanya. Sudah pasti yang menelpon itu investor yang mendanai film Zein yang pastinya gagal produksi itu. "Film di tahan bahkan bisa batal ta
Zeva menggeleng, terlihat tidak nyaman di tempatnya. Zeva rasanya campur aduk. Senang, rindu, takut dan sedih menjadi satu. "Ayo, ada aku." Zein mengusap jemari Zeva yang ada di genggamannya. Kedua mata Zeva mulai basah, bibirnya bergetar saking tidak sanggupnya menahan semua rasa di dadanya. Hampir satu tahun dia jauh dari Lamita. "Kenapa?" Zein dengan sabar membujuk Zeva agar mau turun dari mobil. "Bunda masih marah ga ya?" suara Zeva bergetar dengan air mata lolos. *** Zeva menatap nanar Lamita yang sama kacaunya, kedua mata mereka sama basah. Semarah apapun, seorang ibu pasti akan luluh dan kalah saat rindu tidak bisa di bendung lagi.
Zein terlihat segar, hari ini hari sabtu. Hari liburnya walau hanya sehari dalam bulan ini. Dia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. "Emang kamu engga kepikiran soal nikah?" Suara Jack membuat Zein menghantikan langkahnya, bersembunyi dan menguping. "Zeva ga mau rusak impian Zein, cukup Zeva aja yang mimpinya rusak. Zein baik, Zeva ga mau sakitin orang baik." lugunya dengan begitu tulus. "Mimpi? Emang kamu punya mimpi apa?" Jack terlihat memandang Zeva hangat. "Jadi dewasa, itu mimpi Zeva waktu kelas 3 SD sebelum kecelakaan." Zeva tersenyum kecil, pandangannya menerawang."Tapi, ternyata dewasa itu ga enak. Zeva ga bisa egois. Dulu mungkin Zeva asal ambil apapun milik Adit tanpa tahu perasaan Adit. Sekarang Zeva harus banyak puter otak, ga bisa seenaknya. Zeva juga ga mau Zein hancur karena Zeva, apalagi fans - fans Zein yang sayang banget sama Zein. Zeva pasti bikin banyak orang sedi
Zein menghela nafas panjang penuh kelegaan, akhirnya semua adegan telah selesai dia lakukan dengan sebaik dan secepat mungkin. Zein membawa langkahnya hendak ke ruang tunggu yang di mana Zeva ada di sana. Namun, seseorang menghadangnya. "Dia bukan adik kamukan Zein?" todongnya dengan tatapan meredup sedih. Zein mengerang dalam hati, dia lupa mengurus satu perempuan yang sempat dia beri harapan itu. "Hm." Perempuan muda itu tersenyum kecut."Bener ternyata sama gosip yang beredar, kamu banyak mainin perempuan. Terus kita gimana?" desaknya dengan kedua mata mulai merebak basah. Zein terlihat tenang."Emang kita apa? Kita cuma temen, temen dalam beradu akting, temen main ke bioskop, ga lebih. Kamu bahkan belum pernah aku ajak ke atas ranjang." terangnya dengan santai. Perempuan itu menatap Zein dengan tidak percaya, kecewa dan sedih.
Zeva terlihat mengernyit, merasakan pening menghantam kepalanya. Perlahan, kedua matanya terbuka. Dahinya mengkerut karena silau lampu. "Pusing?" Zeva sontak menoleh kaget dan meringis saat kepalanya berdenyut pusing. Zein mengusap kepala Zeva, memijat lembut pelipisnya."Tidur dulu atau mau makan?" tawarnya. Zeva menatap Zein dengan mengabaikan kepalanya yang berdenyut. "Kenapa Zeva di sini lagi? Adit sama Yumni mana?" tanyanya dengan suara serak dan layu. Zein masih betah mengusap dan memijat lembut pelipis Zeva. Zeva pun tidak menolak karena jujur saja itu enak baginya. "Mereka pulang." balas Zein sekenanya. "Kenapa ga bawa Zeva juga? Kenapa malah di bawa kesini?" Zeva menepis tangan Zein dan berusaha turun dari kasur Zein. Zein menahan bahunya."Rumah kamu di sini, jelas kamu harus ada di si
Zein terlihat kelelahan, jadwal mendadak di ubah membuatnya jadi semakin sibuk. Zein menatap ponselnya, membuka pesan yang dia kirimkan pada Zeva. Masih belum di baca, bahkan Zeva terlihat tidak aktif. Zein memutuskan tidur sebentar, membiarkan Jack membawa mobilnya hingga ke apartement. Tak lama mobil Zein sampai. "Zein, mau bang Jack anter?" tawar Jack dengan memindai sekitar, takutnya ada penguntit nekad. "Ga usah, bang Jack urus yang lain aja." balas Zein dengan tidak bertenaga, terlihat lelah sekali. "Yaudah." Zein turun."Hati - hati bang di jalannya." kata Zein sebelum berlalu. "Hm, kalo udah sampe telepon bang Jack." Zein hanya melambaikan sebelah tangannya tanpa berbalik dan tanpa menghentikan langkah gontainya. ***