Sindy
***Plaakk!Aku terperangah sembari meringis.Baru saja tiba di bandara kepulangan di negeri tercinta, seorang wanita seusiaku datang-datang langsung menampar tanpa ada basa-basi."Della!"Om Teguh menegur wanita itu. Sepertinya ia mengenalnya. Om Teguh adalah pria yang baru saja tiba liburan bersamaku. Kami habiskan waktu dua hari di sana.Siapa dia?"Papa, apa-apaan ini? Papa enak-enakan pergi dengan wanita girang ini?" Telunjuk wanita yang bernama Della itu menunjukku dengan kasar. Jadi dia anaknya Om Teguh?Om Teguh saat ini benar-benar kecewa berat sembari menahan malu. "Del, Del, Della udah. Kamu jangan bikin malu!""Diem, Pah, Papa yang bikin malu. Mama lagi sakit, Papa malah enak-enakan berdua-duaan liburan dengan wanita laknat ini! Papa ijin kerja ke luar kota, nyatanya pergi dengan waSindy***"Kamu memang gak tahu ibuku, tapi dengan kamu pergi dengan papaku, itu artinya kamu telah menganiaya ibuku. Ibuku sedang berjuang dalam sakit di ICU, butuh support dari suami, dan kamu malah enak-enakan. Mau kamu aku penjarakan hah?"Sepertinya wanita ini memang bisa berperan penting. Dari tampilannya saja terlihat, dia wanita yang mengerti soal hukum seperti ini. Aku tak boleh cari mati. Bisa-bisa benar, aku akan dipenjarakan olehnya. Tak bisa, ini tak boleh dibiarkan."Lalu sekarang kamu mau apa, hah?" tegurku balik."Mauku, kembalikan lagi uang yang telah papaku transfer ke kamu. Cepat!"Kedua bola mataku melebar kaget. "Enak saja, ini uangku, kamu nggak ada hak ya!" cekalku nanar."Kembalikan! Atau kamu akan aku buat menderita. Kamu lihat 'kan, pria yang tadi bersamamu memilih untuk pergi dan gak hiraukan kamu! Itu artinya, kamu gak bisa lagi berlindung. Kalau kamu gak balikkin uang
Maya***"Sindy, Sindy, kamu konyol sekali. Bisa-bisanya kamu lakukan ini. Apa cara kamu ini seperti dalam sebuah drama perfilman. Pasangan ikut berbuat kriminal demi ditahan dengan kekasihnya. Padahal, kalian tak akan dibuat satu sel tahanan. Kalian berbeda jenis kelamin."Aku ikut bicara setelah kami dipanggil untuk sejenak bertemu dengan pelaku. Ternyata benar, Sindy yang melakukan hal konyol itu. Di sini juga ada ibunya Sindy. Dia ikut menyusul di belakang.Mendengar pernyataanku, Sindy memperlihatkan raut wajah yang amat marah terhadapku."Diam kamu ya, Maya! Aku ini ada di pihakmu. Aku sengaja bantu sita rumah itu supaya kalian nanti akan lebih mudah." Dia dengan nada marah melempar tanggapan."Oh ya, atau itu caramu untuk memfitnah perusahaaan kami?" tandasku santai."Tolong maafkan anak saya. Dia pasti gak sengaja lakukan hal itu." Ibunya ikut bicara. Si Ibu tak tahu bagaimana kelakuan anaknya itu. Sekarang begini, dulu, dia sampai meledek dan menghina-hina Mas Yoga."Maaf, Bu
Mas Yoga yang sedang ngobrol dengan mandor pun teralihkan perhatian sebentar. Ia beberapa detik melempar senyum pada Risma lalu manggut satu kali menanggapi kalimat Risma."Maya, ayok minum dulu di rumahku. Di sini panas." Dia benar-benar ingin cari perhatian suamiku. Laganya yang sok kaya dan sok tak akur denganku, kini seperti perhatian dan menjadikanku sahabatnya. "Makasih, Risma, kami hanya sebentar kok." Aku menanggapinya.Bukannya fokus dengan jawabanku, Risma malah lenggak-lenggok memperhatikan Mas Yoga—suamiku. Ya ampun, terlihat sekali dia cari sensasi. Sambil geleng-geleng ujung rambut, berdiri tak diam, dia meminta diperhatikan suamiku sepertinya."Baik, kalau begitu saya kembali dulu, Pak. Ada beberapa tugas yang belum saya sampaikan pada pekerja." Pak Mandor hendak pamit kembali ke area pembangunan. Jadinya kini Mas Yoga tak lagi bicara dengannya."Baik, Pak. Saya juga tak akan lama, akan segera pamit lagi." Mas Yoga membalas. Perjumpaan mereka kali ini pun diakhiri. "
Maya***Saat ini Mas Yoga sudah berangkat ke luar kota. Mungkin juga sudah sampai. Ada sesuatu hal yang harus ia urus di sana. Aku mengetahui apa yang akan dia urus. Katanya ia akan sampai di rumah kembali nanti malam. Ada asisten dan sopir yang menemaninya. Jangan salah sangka dulu, asistennya itu seorang pria. Sejak awal, Mas Yoga tidak mempekerjakan asisten wanita.Teringat soal Risma kemarin yang selalu saja cari perhatian kepada suamiku. Sepertinya lewat Mas Diwan aku harus beritahu ini. Siapa tahu dia bisa mendapatkan efek jera. Tapi, yang aku bingung adalah kapan aku bisa bertemu dengan suami Risma itu. Seharusnya dalam momen tak sengaja. Kalau disengaja, bisa-bisa Mas Yoga salah paham. Apalagi dia itu mantan pacarku dulu sewaktu jaman SMA. Baru saja menarik napas panjang, tiba-tiba datang sebuah video call lewat sebuah aplikasi dari suami tercinta. Gegas, tak menunggu lama aku pun me
Maya***"Ehm!" Sebelumnya aku berdehem, "mohon maaf ya, Mas. Mas mungkin bisa duduk di sebelah sana, aku di sebelah sini," saranku.Dia pun akhirnya duduk terhalang dua kursi denganku....~Kom Komala~"Ya, sepertinya kamu ada hal yang ingin disampaikan ke aku ya? Ngomong-ngomong, selamat ya, May, kamu sekarang sudah sukses dengan menikah dengan orang yang sukses."Dari pernyataan selamatnya itu aku tak begitu suka. Dia ibaratnya seperti merendahkan aku, mengangap kesuksesan jabatanku ini karena unsur lain dari Mas Yoga. Tapi tak perlu dijadikan masalah, cukup tahu, Mas Diwan berarti orangnya lumayan sama dengan Risma. Hanya dia mampu mengemas dengan cara berbeda."Terima kasih, Mas. Alhamdulillah berkat kerja keras aku bisa duduk sebagai supervisor. Kalau menikah dengan suami sekarang itu di luar dugaan. Ibaratnya nilai plus saja." Aku dengan santai menanggapi."I–iya, May. Aku tur
Anang***Sejak masuk sel, aku dijadikan babu oleh si Bondol. Preman yang di awal membuat celanaku basah. Awas saja, aku sudah keluar, dia orang yang pertama kumangsa setelah si Yoga dan si Maya."Yang bener dong ah! Gua jitak loe!" sungutnya terus membuat emosiku meluap-luap namun tak bisa berbuat banyak. Yang lain juga sama, dijadikan babu olehnya. Hanya aku yang paling parah. Ini saja, sudah tengah malam aku masih belum diberikan kesempatan untuk tidur."Kipasin, kipasin!" titahnya lagi dengan rusuh.Heurkh, andai aku bisa lari, pasti wajahnya kutampol lebih dulu. Ini namanya penghinaan. Dia menghina pria yang sudah menjabat sebagai general manajer. Apa dia pikir aku gembel seperti dirinya?Hah, andai aku bisa menabung, pasti uang dari gaji yang terkumpul bisa untuk buka usaha property juga. Sialan, yang aku ingat hanyalah wanita dan foya-foya. Entah mengapa, jiwa mudaku seakan terjun payung bila melih
Anang***"Oh iya, Nang, apa Ibu bujuk mantan istrimu saja ya dalam kasus ini. Apa dia bisa bantu?" Ibu malah memikirkan ide yang konyol.Kepalaku sedikit pusing. Jagankan membantu, dia mengiba sedikit pun saja tidak."Bu, bisa apa dia? Hukuman ini gak bisa dicabut. Kalau pun dimaafkan, proses hukum akan terus berjalan. Ini tindak pidana, Bu, bukan sebuah delik aduan semata." Aku sudah tahu, tak ada yang bisa diperbuat Maya meskipun dia memang ingin membantu. "Lalu bagaimana lagi? Cari bukti apa ya yang membenarkan kamu sedikit aja." Ibu kekeh tak ingin melihat anaknya dihukum lama."Bu, entahlah, yang kata pengacaraku bilang, yang harus aku lakukan sekarang dan nanti adalah pasrah, siapa tahu hakim bisa meringankan hukuman. Hanya dengan cara diam dan menerima, hanya itu kata pengacaraku."Air mata seorang ibu menetes di pipi sedikit. Kasihan sekali dia, baru kali ini aku melihat Ibu menangis se
Maya***"Bu, Maya?" Tiba-tiba sekretaris Mas Yoga menghampiriku yang baru saja beranjak meninggalkan Mas Diwan. Jangan sampai dia salah paham, karena saat ini Mas Diwan masih menatap ke arahku. Dengan keyakinan, kalau sekretaris Mas Yoga akan curiga kalau aku lama ke toilet gara-gara bicara dengan pria itu."Gilang," jawabku dengan santai."Ibu maaf, saya pikir Ibu ke mana, soalnya Ibu ke toilet lumayan lama." Dia beranggapan."Oh enggak apa-apa kok, saya baru selesai lalu lihat Mas itu yang sedang bekerja rajin sekali, lantas saya bicara sebentar dengannya." Aku menjawab tanpa mimik wajah pura-pura."Oh baiklah, Bu. Sepertinya kita pulang saja ya? Urusan sudah selesai." Gilang memberikan saran. Memang urusan kami di sini sudah usai."Iya." Aku manggut-manggut.Gegas aku dipersilahkan jalan terlebih dahulu oleh Gilang. Di belakang pasti Mas Diwan melihat perbeda