"Salah paham? Semua orang di kantormu membicarakan hubunganmu dengan Adrian, dan kau bilang aku salah paham?"
"Mereka hanya iri karena karirku maju dengan cepat!"
"Karena bosmu memberikan perhatian khusus, tentu saja!" balas Reno sarkastik.
Alena menggelengkan kepala, air matanya mulai jatuh. "Aku tidak percaya kau mempertanyakan integritas profesionalku. Kau pikir aku tidur dengan bosku untuk naik jabatan?"
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dengan implikasi yang tidak pernah Reno ucapkan tapi jelas terpikir olehnya. Ia terdiam, terkejut dengan arah pembicaraan mereka.
"Lena, aku tidak—"
"Tidak usah disangkal. Itu yang kau pikirkan, kan?" Alena menyeka air matanya dengan kasar. "Itu sebabnya kau menyelidikiku seperti detektif. Itu sebabnya kau bertanya pada orang-orang di kantorku tentang aku. Kau tidak percaya padaku!"
"Bagaimana aku bisa percaya jika kau terus menyembunyikan hal-hal dariku?" Reno berusaha mengendalikan
Reno mengaduk kopinya tanpa semangat. Matanya tak lepas dari pemandangan di sudut kantin kantor. Alena dan Adrian. Mereka duduk berhadapan, terlalu dekat untuk sekadar rekan kerja. Tawa Alena terdengar renyah—tawa yang sudah jarang Reno dengar belakangan ini. "Mereka cuma rekan kerja," gumam Reno pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan pikiran yang mulai liar. Namun, matanya menangkap sesuatu yang berbeda. Cara Alena menatap Adrian, cara jemarinya gugup memainkan sedotan minumannya, cara dia menunduk saat Adrian membisikkan sesuatu. Reno tahu gelagat itu. Lima tahun bersama Alena membuatnya hafal setiap bahasa tubuhnya. Ponsel Reno bergetar. Pesan dari klien yang harus segera ditanggapi. Dengan enggan, dia beranjak dari kantin, melemparkan pandangan terakhir ke arah meja Alena. Tepat saat itu, mata mereka bertemu. Alena tersentak, seolah tertangkap basah. Waj
Cahaya temaram restoran menyinari wajah Reno yang terlihat lebih kaku dari biasanya. Suasana restoran Italia yang biasanya menjadi favorit mereka kini terasa mencekam. Alunan musik klasik yang lembut di latar belakang bahkan tidak mampu melunakkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.Alena mengaduk pasta di hadapannya tanpa minat. Sudah hampir lima belas menit mereka duduk dalam diam. Reno sesekali melirik Alena, sementara wanita itu terus menghindari tatapannya."Kamu tidak menyentuh makananmu," ucap Reno akhirnya, memecah keheningan.Alena mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum. "Aku tidak terlalu lapar.""Kamu yang memilih restoran ini." Reno meletakkan garpunya perlahan. "Kamu yang bilang ingin pasta carbonara mereka. Tapi sekarang kamu bahkan tidak menyentuhnya."Alena menghela napas. "Maaf. Hari ini melelahkan.""Sudah berapa lama kita seperti ini, Len?" tanya Reno tiba-tiba. Matanya menatap Alena dalam-dalam. "Berapa lama kit
Reno menatap layar komputernya tanpa benar-benar melihat. Pikirannya melayang jauh, kembali pada percakapan dengan Alena semalam. Bagaimana air mata wanita itu mengalir saat dia mengungkapkan rencananya untuk melamar. Bagaimana Alena tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana tentang perasaannya."Reno? Reno!"Suara keras menyadarkannya. Bayu, rekan kerjanya, berdiri di depan mejanya dengan tumpukan dokumen."Maaf, Bay. Ada apa?" Reno mengusap wajahnya, berusaha kembali fokus."Ini laporan untuk meeting besok. Kau oke? Wajahmu seperti orang yang tidak tidur seminggu."Reno tersenyum lemah. "Hampir benar. Ada... masalah pribadi."Bayu menarik kursi, duduk di hadapan Reno. "Alena?"Reno mengangguk pelan. "Bagaimana kau tahu?""Kawan, wajahmu seperti buku terbuka," Bayu tertawa kecil. "Ada apa? Kalian bertengkar?"Reno terdiam sejenak, menimbang apakah sebaiknya dia membicarakan hal ini. Tapi beban di dadanya terasa terlalu
Alena menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Presentasi yang seharusnya dia selesaikan sejak dua jam lalu masih terbuka pada slide yang sama. Pikirannya tak bisa fokus; bayang-bayang wajah Reno yang curiga dan tatapan Adrian yang penuh harap silih berganti memenuhi benaknya."Alena?"Suara Mira, rekan kerjanya, menyadarkan Alena dari lamunan."Ya? Maaf, aku sedang—""Melamun," potong Mira sambil tersenyum. "Aku memanggilmu tiga kali."Alena menghela napas, menutup laptopnya. "Hari yang panjang.""Kau oke? Belakangan ini kau sering terlihat... tidak di sini.""Aku baik-baik saja," Alena memaksakan senyum, jawaban otomatis yang belakangan ini terlalu sering dia ucapkan.Mira melirik jam dinding. "Sudah jam enam. Pulang?""Kau duluan saja. Aku masih harus menyelesaikan slide presentasi."Setelah Mira pergi, Alena memeriksa ponselnya. Dua pesa
Malam itu, udara di sekitar restoran Italia klasik terasa begitu berat. Alena menggenggam gelas wine-nya, mencoba meredakan getaran halus pada tangannya. Cahaya lilin di meja menyinari wajahnya yang tampak lelah, bayangan keraguan terpantul di antara bayangan api yang bergoyang.Sebenarnya, sudah berpekan-pekan ia hidup dalam ketegangan yang mencekam. Setiap gerak-gerik Reno yang mencoba menyelidiki masa lalunya, setiap pertanyaan Adrian yang menusuk ke dalam lapisan terdalam perasaannya, semua terasa seperti jaring yang perlahan-lahan menciutkan ruang geraknya.Adrian duduk di hadapannya, tampan dengan kemeja abu-abu yang rapi. Tatapannya tajam namun lembut, seolah-olah ia bisa membaca setiap pikiran tersembunyi di balik topeng yang Alena kenakan selama ini."Kamu sudah memesan risotto jamur?" tanya Adrian, memecah keheningan yang mencekam.Alena tersenyum tipis. "Sudah. Kamu tahu aku selalu suka masakan Italia."Mereka berbincang tentang pekerjaan awalnya. Proyek besar yang tengah me
Malam itu, udara di antara Reno dan Alena terasa begitu berat. Mereka duduk berhadapan di ruang tengah apartemen Reno, lampu redup menyinari wajah mereka yang sama-sama tegang. Reno sudah tidak bisa lagi menahan rasa curiganya. Selama beberapa minggu terakhir, ia telah memperhatikan perubahan sikap Alena - tatapan mata yang selalu menghindari pandangannya, pesan-pesan yang disembunyikan, dan gerak-gerik yang mencurigakan."Kamu tidak bisa terus berbohong padaku, Alena," kata Reno dengan nada suara yang dingin namun penuh luka. "Aku sudah tahu ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Adrian. Aku minta penjelasan."Alena membeku. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin meledak dari dadanya. Kenangan-kenangan terakhir bersama Adrian berputar di benaknya - sentuhan-sentuhan singkat yang seharusnya tidak pernah terjadi, percakapan-percakapan rahasia, dan ketegangan yang selama ini ia sembunyikan.Ia menatap Reno, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Ada kesedihan mendalam di balik mata Ren
Pagi itu, cahaya matahari meresap melalui jendela kaca besar ruangan Adrian, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer kantor. Udara terasa dingin, meskipun musim semi sudah hampir tiba. Tim proyek sedang berkumpul untuk membahas perkembangan terakhir dari proyek besar yang tengah mereka kerjakan - sebuah transformasi digital untuk salah satu klien terbesar perusahaan.Adrian berdiri di depan layar besar, menjelaskan strategi dengan gestur tangan yang percaya diri. Alena mengamatinya dari sudut ruangan, mencoba menyembunyikan perasaan kompleksnya pasca pertengkarannya dengan Reno beberapa malam yang lalu. Hubungan mereka kini berada di titik terlemah, hampir seperti dua orang asing yang terjebak dalam ikatan yang sudah aus.Pintu ruang rapat terbuka, dan sosok wanita anggun melangkah masuk. Gerakannya begitu elegan, hampir seperti model yang baru saja turun dari catwalk. Rambut hitam panjangnya tersisir rapi, jas hitam yang dia kenakan terlihat mahal dan pas di tubuhnya. Adrian be
Hubungan Sophia dan Adrian mulai menjadi rahasia umum di kantor. Meskipun Adrian berusaha menjaga profesionalitas, Sophia tidak pernah membiarkan jarak terbentuk. Setiap kali mereka berada dalam ruangan yang sama, gerakan Sophia terlihat begitu sengaja - menyesuaikan letak dokumen di meja Adrian, berbisik dekat telinganya saat membahas laporan, atau sengaja menyentuh lengannya ketika berpapasan.Alena mengamati semuanya dengan perasaan yang bergolak. Rasa cemburu bercampur dengan kecurigaan. Hubungannya dengan Adrian sudah retak, tapi kehadiran Sophia seakan-akan menambah luka yang belum sembuh.Suatu siang, ketika suasana kantor mulai sepi, Sophia mendekati meja Alena. Senyumnya ramah, tapi mata hijaunya menyimpan sesuatu yang lebih dalam."Boleh aku bicara sebentar?" tanya Sophia, nada suaranya terlalu manis.Alena mendongak, berusaha terlihat tenang. "Tentu."Mereka berpindah ke area pantry kantor yang sepi. Cahaya sore merembes melalui jendela, menciptakan bayangan panjang di lant
Cahaya senja menerobos masuk melalui jendela apartemen Reno, menciptakan bayangan panjang yang seolah menegaskan keheningan mencekam antara dua orang yang kini duduk berhadapan. Reno dengan tatapan tajamnya, dan Alena dengan wajah yang diliputi kecemasan."Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Adrian?" tanya Reno akhirnya, nada suaranya tajam memecah keheningan.Alena tersentak, meskipun ia sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan ini. Di sudut hatinya, ia tahu cepat atau lambat Reno akan mengonfrontasinya secara langsung. Namun, kenyataannya tetap terasa berat."Reno, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," jawabnya dengan suara bergetar, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang.Reno mendengus, tergelak pahit. "Kamu selalu menghindar, Alena! Selalu ada saja alasan, selalu ada saja penjelasan yang kabur." Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangan dengan frustrasi yang tak bisa disembunyikan. "Aku mulai merasa bahwa kamu lebih memilih dia daripad
Sophia merapikan blazernya dengan gerakan anggun sembari melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Dari balik jendela kantornya di lantai 35, Jakarta terlihat seperti miniatur kota yang dihiasi lampu-lampu gemerlap. Senyum tipis tersungging di bibirnya ketika ponselnya bergetar—pesan dari Reno yang mengkonfirmasi pertemuan mereka sore ini.Sempurna, pikirnya. Semuanya berjalan sesuai rencana. Masalah antara Reno dan Alena adalah peluang emas yang tak boleh ia sia-siakan.Sophia telah mengincar posisi direktur pemasaran yang kini dipegang Alena selama bertahun-tahun. Persaingan ketat di antara mereka bukanlah rahasia bagi siapapun di kantor. Namun, bagi Sophia, ini lebih dari sekadar ambisi profesional—ini tentang pembuktian diri. Selalu berada di bayang-bayang kesuksesan Alena telah menjadi duri yang menggores hatinya setiap hari."Kau terlalu terobsesi," begitu Adrian pernah memperingatkannya. "Fokus saja pada pekerjaanmu sendiri."Ironisnya, justru Adrian yan
Reno menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Di depan matanya, sebuah email yang tak seharusnya ia baca terpampang jelas—sebuah pertukaran pesan antara Alena dan Adrian. Jemarinya bergetar saat ia mengusap wajahnya yang lelah. Sudah berminggu-minggu ia merasakan ada yang tidak beres, dan kini bukti itu terpampang di hadapannya."Aku rindu padamu. Kapan kita bisa bertemu lagi tanpa harus khawatir?" tulis Adrian dalam email tersebut.Balasan Alena tak kalah menyakitkan: "Aku juga. Ini sulit, tapi aku harus berhati-hati. Reno mulai mencurigai sesuatu."Reno menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak karuan. Ia tidak pernah membayangkan akan melakukan hal seperti ini—mengakses email kekasihnya secara diam-diam. Tetapi keputusasaan telah mendorongnya ke titik ini.Hubungan mereka yang dulunya penuh kehangatan kini berubah menjadi lautan ketegangan yang tidak terucapkan. Setiap pesan yang tidak dibalas, setiap panggilan yang tidak dijawab, semuanya ha
Sementara itu, Sophia—wanita ambisius yang bekerja di perusahaan Adrian—mulai melihat adanya celah untuk memanfaatkan situasi. Ia sudah lama merasa bahwa Adrian memiliki perhatian lebih kepada Alena, dan kini ia melihat peluang untuk menyingkirkan Alena dari persaingan. Sophia mulai mendekati Reno, berpura-pura menjadi teman yang peduli dan menawarkan informasi yang bisa memicu keraguan lebih lanjut. Sophia tahu bahwa jika ia bisa memecah hubungan antara Alena dan Adrian, ia bisa mengambil alih posisi Alena di perusahaan dan mendapatkan perhatian Adrian.Sophia Greene mematut dirinya di cermin toilet kantor, memastikan tidak ada sedikit pun lipstik merah marunnya yang luntur. Sempurna, seperti biasa. Ia merapikan blazer hitamnya yang sudah disetrika rapi dan menarik napas dalam-dalam."Hari ini harus berhasil," bisiknya pada bayangan di cermin.Sudah tiga tahun Sophia bekerja di divisi pemasaran perusahaan Adrian. Tiga tahun pula ia berusaha mendapatkan perhatian lebih dari Adrian McK
Reno mulai merasa ada yang tidak beres. Alena, yang dulu sangat terbuka, kini tampak lebih tertutup dan sering kali menghindar darinya. Perubahan sikap ini memunculkan kecurigaan yang semakin besar. Satu malam, Reno memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam, mencari tahu apakah ada yang sedang disembunyikan oleh Alena. Dengan hati-hati, ia mulai mengumpulkan informasi dari rekan-rekan kerja Alena dan juga menyelidiki riwayat pekerjaan Alena di perusahaan Adrian. Meskipun ia belum menemukan bukti yang jelas, perasaan curiganya semakin berkembang.Hujan pertama di bulan Oktober mengguyur Jakarta malam itu. Reno duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Segelas kopi yang mulai mendingin tergeletak di meja, tepat di samping ponselnya yang berulang kali ia periksa, berharap ada pesan dari Alena.Sudah hampir dua minggu sejak terakhir kali mereka berbicara dengan benar-benar terbuka. Alena selalu memiliki alasan—terlalu sibuk, terlalu lelah,
Suatu malam, ketika Alena sedang bekerja lembur, Adrian datang ke kantornya untuk mengecek beberapa laporan. Tanpa disangka, Adrian duduk di meja Alena dan mulai berbicara dengan cara yang sangat pribadi, jauh dari kesan dingin yang biasanya ia tunjukkan."Kamu tidak harus melakukan semua ini sendiri, Alena," kata Adrian dengan lembut. "Aku tahu, kadang-kadang pekerjaan ini bisa sangat membebani. Tapi kamu tidak sendirian."Kata-kata Adrian membuat Alena merasa begitu dihargai. Namun, dalam hatinya, ia merasa semakin terikat padanya. "Mungkin aku hanya ingin dia merasa diterima," pikir Alena, namun ia tahu bahwa perasaan ini telah melampaui sekadar simpati.Saat Alena melangkah pulang malam itu, perasaan yang ada dalam dirinya semakin sulit dipahami. Ia terjebak antara simpati, rasa ingin melindungi, dan keterikatan yang semakin mendalam. Ia menyadari bahwa semakin banyak waktu yang ia habiskan bersama Adrian, semakin sulit bagi dirinya untuk menjaga jarak. Perasaan itu mulai berkemban
Dalam sebuah pertemuan bisnis, Adrian memberikan perhatian yang lebih pribadi pada Alena. Ia memastikan untuk memberi pengakuan atas kerja kerasnya, dan meskipun tidak mengungkapkan perasaan secara langsung, Alena merasa ada kehangatan dalam sikap Adrian. Ia sering kali merasakan perhatian yang lebih dari sekadar profesionalisme, dan itu membuatnya semakin terikat. "Apakah ini hanya perasaan simpati?" Alena bertanya pada dirinya sendiri. "Atau ada sesuatu yang lebih dalam?" Ia mulai merasa bingung tentang perasaannya yang berkembang lebih jauh dari sekadar rasa kasihan atau simpati.Ruang rapat di lantai 15 gedung Elysium Corp itu dipenuhi dengan eksekutif dari berbagai divisi. Suasana formal terasa kental dengan presentasi dan laporan yang silih berganti dipaparkan. Di tengah atmosfer profesional ini, Alena duduk di samping Adrian, sadar akan kehadirannya yang terasa begitu dekat."Selanjutnya, Ibu Alena akan mempresentasikan laporan keuangan kuartal ini," kata Direktur Utama, member
Alena merasa bahwa simpati yang tumbuh dalam dirinya mulai membuatnya semakin terikat pada Adrian. Setiap kali ia melihatnya, hatinya berdebar. Meskipun ia berusaha keras untuk tetap menjaga batas-batas profesional, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kedekatan mereka semakin kuat. Adrian, meskipun masih menjaga jarak emosionalnya, mulai lebih sering mendekati Alena, baik di kantor maupun dalam pertemuan pribadi. Setiap kali mereka berinteraksi, Alena merasakan semacam koneksi yang lebih dari sekadar hubungan atasan dan bawahan.Minggu-minggu berlalu sejak pembicaraan mereka di taman belakang kantor. Musim semi mulai berganti dengan kehangatan musim panas yang menyenangkan. Dedaunan hijau menaungi jalanan kota, menciptakan bayangan yang menyejukkan di tengah teriknya matahari. Alena mengamati perubahan ini dari balik jendela ruang kerjanya, seraya merenungkan perubahan dalam hidupnya sendiri."Sedang melamun?" Suara Adrian membuyarkan lamunannya.Alena berbalik, mendapati Adrian
Beberapa hari setelah percakapan mereka, Alena merasa gelisah. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terus memikirkan Adrian. Tentu saja, dia merasa kasihan pada Adrian, tetapi sekarang ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang membuatnya merasa ingin melindungi pria itu, meskipun ia tahu bahwa hal itu bisa membawanya ke dalam hubungan yang rumit. Ia bahkan merasa cemas setiap kali Adrian datang untuk bekerja, khawatir akan perasaan yang semakin mendalam ini. "Apa aku bisa terus bekerja dengannya seperti ini?" tanyanya pada dirinya sendiri.Pagi itu, Alena sengaja datang lebih awal ke kantor. Ia berharap bisa menenangkan pikirannya sebelum bertemu Adrian. Kantor yang sunyi memberikannya kesempatan untuk berpikir jernih. Alena duduk di kursinya, menatap tumpukan dokumen yang belum selesai, tapi pikirannya melayang jauh.Sejak Adrian menceritakan tentang masa lalunya, ada sesuatu yang berubah dalam diri Alena. Bukan hanya rasa simpati, tapi juga kekaguman atas ketangguhan pria itu. Adrian te