Kantor kini bagaikan arena pertempuran tersembunyi. Setiap sudut penuh dengan bisikan, tatapan tajam, dan ketegangan yang hampir terlihat secara kasat mata. Sophia bergerak dengan perhitungan yang sempurna, seperti pemain catur yang sudah merencanakan setiap langkahnya jauh sebelum permainan dimulai.Pada rapat presentasi proyek, Sophia sengaja memotong penjelasan Alena. "Izinkan saya memperjelas," katanya dengan senyum dingin. "Sepertinya ada beberapa detail yang mungkin terlewatkan."Alena merasakan mata seluruh tim tertuju padanya. Komentar Sophia terdengar sopan, tapi mengandung sindiran yang tajam. Beberapa rekan pria di ruangan itu tampak terpesona dengan cara Sophia membongkar strategi Alena, seolah-olah menunjukkan celah yang selama ini tersembunyi."Mungkin kita bisa mendiskusikan ini lebih lanjut," balas Alena, berusaha menjaga profesionalitasnya.Tapi Sophia tidak berhenti. Di lorong kantor, di depan beberapa rekan kerja, dia berbisik pada Adrian. "Kau tahu, Adrian," kata So
Ruang rapat besar itu dipenuhi cahaya musim semi yang lembut, kontras dengan ketegangan yang menyelimuti setiap sudutnya. Dinding kaca memantulkan bayangan enam eksekutif senior yang duduk mengelilingi meja panjang dari kayu mahoni. Di ujung meja, Adrian duduk tegak, sementara Sophia berada di sebelah kanannya, dan Alena duduk di ujung yang berlawanan.Sophia berbicara dengan suara yang lembut namun penuh percaya diri. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti sebuah jerat yang perlahan-lahan mengencangkan lingkarannya. "Kerja sama antara departemen kita memiliki sejarah yang panjang," ujarnya, mata tajamnya melirik Adrian sekilas. "Adrian dan aku selalu tahu bagaimana cara bekerja sama dengan baik."Kalimat itu terdengar begitu ringan, namun mengandung makna yang jauh lebih dalam. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang membuat Alena merasa darahnya mendidih. Tatapan Sophia pada Adrian terasa intim, seolah-olah mereka memiliki bahasa rahasia yang tidak bisa dimengerti oleh o
Cahaya sore merembes melalui kaca gedung pencakar langit, memantulkan bayangan Sophia yang tengah berdiri di depan jendela. Matanya tajam, fokus pada setiap detail pergerakan di dalam ruang kerja Adrian. Ia tidak menyukai apa yang baru saja dilihatnya—bisikan intim antara Adrian dan Alena yang terlihat begitu dekat.Sudah beberapa minggu terakhir, Sophia mengamati mereka dengan seksama. Setiap gerak-gerik, setiap tatapan, setiap sentuhan ringan yang mereka lakukan menjadi bahan analisisnya. Bagi Sophia, tidak ada yang kebetulan. Semuanya adalah strategi, semuanya memiliki maksud.Ia masih ingat dengan jelas momen ketika ia melihat Adrian dan Alena berbisik di ruang rapat. Mereka berdiri begitu dekat, tubuh mereka hampir bersentuhan. Bisikan-bisikan itu terlihat begitu intim, seolah-olah dunia di sekitar mereka lenyap."Mereka menyembunyikan sesuatu," gumam Sophia pada dirinya sendiri.Sepuluh tahun lalu, Sophia telah belajar dengan keras bagaimana cara membaca orang. Di dunia bisnis y
Ruang makan kantor terlihat sepi pada jam makan siang yang sudah mulai bergeser ke waktu yang lebih siang. Cahaya matahari sore merembes masuk melalui jendela kaca besar, menciptakan bayangan panjang di lantai keramik yang mengkilap. Meja-meja putih yang bersih tampak hampir kosong, hanya menyisakan beberapa karyawan yang masih memilih untuk berada di ruangan tersebut.Sophia duduk berhadapan dengan Alena, secangkir kopi hitam tanpa gula tersedia di hadapannya. Tatapannya tajam namun tersembunyi di balik senyum ramah yang ia pasang. Ia telah merencanakan percakapan ini dengan sangat hati-hati, memilih waktu dan tempat yang tepat untuk mendapatkan informasi yang ia inginkan."Aku dengar kalian sering bekerja lembur berdua. Itu pasti membuat hubungan kalian semakin dekat, ya?" tanyanya dengan nada ringan, seolah-olah hanya sekadar percakapan ringan di antara rekan kerja.Alena merasa tidak nyaman. Ia bisa merasakan tekanan tersembunyi di balik pertanyaan Sophia. Jemarinya yang ramping m
Kantor PT Global Inovasi terlihat seperti biasa—metropolitan, dingin, dan penuh dengan ambisi tersembunyi. Di balik tata letak ruangan yang rapi dan desain interior minimalis, sebuah permainan psikologis sedang digelar. Sophia adalah arsitek utama dari intrik yang perlahan-lahan mengurai reputasi Alena.Ia memulai dengan strategi yang sangat cermat. Tidak langsung menyerang, melainkan menanam benih keraguan dengan sangat hati-hati. Di ruang pantry, di dekat mesin kopi yang selalu ramai, ia mulai berbisik dengan Rina, seorang staf administrasi yang mudah terbawa arus gossip."Kau tahu," Sophia berbicara dengan nada berbisik, seolah-olah berbagi rahasia paling sensitif, "aku tidak ingin mengatakan apa-apa, tapi hubungan Alena dengan Adrian tampaknya tidak hanya profesional."Rina, yang selalu haus akan informasi terbaru, segera tertarik. "Maksudmu?"Sophia tersenyum tipis, senyum yang terlihat simpati namun penuh perhitungan. "Mereka sering lembur berdua. Kau tahu sendiri kan betapa dek
Ruang rapat PT Global Inovasi dipenuhi cahaya sore yang redup, menciptakan bayangan panjang di antara meja-meja kaca yang mengkilap. Adrian sedang membereskan beberapa dokumen proyek ketika Sophia dengan sengaja mendekatinya. Gerakan kakinya yang anggun, tatapan matanya yang penuh perhitungan—semuanya telah dipersiapkan dengan sangat matang."Adrian," panggilnya dengan nada suara yang diatur sedemikian rupa—profesional namun mengandung keakraban yang ambigu, "boleh minta tolong sebentar?"Beberapa karyawan yang masih berada di ruangan melirik dengan diam-diam. Mereka sudah terbiasa dengan dinamika kompleks hubungan antarrekan kerja, namun naluri manusia selalu siap menangkap setiap detail yang menarik.Adrian menoleh, tampak sedikit terkejut namun tetap profesional. "Ada apa, Sophia?"Sophia membentangkan beberapa dokumen di atas meja. Gerakan tangannya begitu terkontrol, seolah-olah ia telah berlatih berkali-kali di depan cermin. "Aku mengalami sedikit kesulitan dengan bagian analisi
Ballroom hotel berbintang lima itu dipenuhi dengan cahaya gemerlap dan gemerincing gelas champagne. Acara tahunan PT Global Inovasi berlangsung dengan meriah, menampilkan para profesional terbaik perusahaan dalam balutan pakaian formal yang elegan. Di antara kerumunan tersebut, Sophia berdiri dengan percaya diri absolut, sementara Alena mencoba mempertahankan sikap profesionalnya.Malam itu dirancang untuk merayakan pencapaian tim, namun bagi Sophia, ini adalah panggung sempurna untuk melancarkan serangan psikologisnya. Gaun hitam yang ia kenakan tampak begitu sempurna, seolah-olah telah dipilih dengan perhitungan matematis untuk menghadirkan kesan kekuatan dan kemewahan.Adrian berdiri tidak jauh dari mereka, terlibat dalam pembicaraan dengan beberapa petinggi perusahaan. Sophia menyadari setiap gerak-geriknya, setiap kesempatan yang bisa ia manfaatkan."Alena," panggilnya dengan nada suara yang diatur sedemikian rupa, terdeng
Ruang kerja Adrian tampak berbeda hari ini. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kaca besar seolah-olah tidak mampu menghangatkan atmosfer dingin yang menyelimuti ruangan. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja besar dari kayu mahoni, layar-layar komputer menampilkan grafik dan laporan yang penuh dengan tanda-tanda peringatan.PT Global Inovasi kini berada dalam tekanan luar biasa. Kompetitor utamanya, PT Horizon Teknologi, telah melancarkan serangan bertubi-tubi yang dirancang untuk melemahkan posisi mereka di pasar.Bocoran informasi internal telah menjadi senjata utama Horizon. Dokumen-dokumen rahasia yang entah bagaimana bocor—atau dengan sengaja disebar—mulai bermunculan di berbagai media bisnis. Setiap detail, setiap kelemahan strategis yang pernah dimiliki Global Inovasi kini terbuka untuk publik.Adrian membaca artikel terbaru di salah satu portal bisnis terkemuka. Judulnya menusuk: "Krisis Kepercayaan: Apakah Global Inovasi Kehilanga
"Apa yang ibumu katakan?" tanya Alena, takut mendengar jawabannya.Adrian terdiam sejenak, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Dia... terkejut, tentu saja. Tapi dia ingin bertemu denganmu sebelum membuat penilaian.""Bertemu denganku? Kapan?""Akhir pekan ini. Dia akan datang ke Jakarta khusus untuk ini." Adrian menggenggam tangan Alena. "Tidak apa-apa jika kau belum siap. Aku bisa menjelaskan pada ibu—""Tidak," potong Alena. "Aku akan bertemu dengannya. Aku ingin dia tahu bahwa aku serius denganmu, Adrian."Adrian tersenyum, kelegaan terpancar dari wajahnya. "Terima kasih, Alena. Ini berarti banyak untukku."Alena mengangguk, meski di dalam hatinya, ketakutan mulai merayap. Bertemu dengan ibu Adrian, Nyonya Wijaya yang terkenal karena ketegasannya, bukanlah hal yang mudah. Terlebih dalam situasi seperti ini, di mana banyak yang meragukan keseriusan hubungan mereka."Oh, satu hal lagi," Adrian terlihat ragu sejenak. "Aku mendapat kabar bahwa Reno kembali ke Jakarta."Nama
"Tunggu aku di sana. Lima menit lagi aku sampai," Adrian berkata tegas. "Kita akan hadapi ini bersama, oke?"Alena mengangguk meski tahu Adrian tidak bisa melihatnya. "Oke," jawabnya lirih.Sambungan terputus, dan Alena kembali sendirian dengan pikirannya. Ia menatap foto di layar komputernya—foto dirinya dan Adrian yang diambil secara sembunyi-sembunyi. Mereka memang berusaha merahasiakan hubungan mereka, bukan karena malu, tapi karena ingin menghindari gosip seperti ini. Namun kini, rahasia itu telah terbongkar dengan cara yang paling buruk.Alena memikirkan perjalanan hidupnya sampai ke titik ini. Dua tahun lalu, ia berada di titik terendah hidupnya ketika Reno, pria yang ia cintai dan telah bertunangan dengannya, memutuskan untuk meninggalkannya demi wanita lain yang lebih kaya dan berpengaruh. Saat itu, Alena merasa dunianya hancur. Tapi kemudian ia bangkit, fokus pada karirnya, dan takdir membawanya bekerja di perusahaan Adrian.Pertemuan pertama mereka tidak istimewa. Adrian ad
Adrian menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Pikirannnya berpacu mencari tahu siapa yang tega melakukan hal ini. Ia baru saja akan menghubungi Alena ketika sosok yang tidak asing muncul dari balik pilar marmer besar di lobby."Selamat sore, Adrian sayang. Sudah melihat berita terbaru?" Suara lembut namun menusuk itu terdengar dari belakangnya.Adrian menoleh dan mendapati Sophia berdiri dengan anggun dalam balutan dress merah maroon yang membalut sempurna tubuh moleknya. Rambut hitam panjangnya tersisir rapi, dan bibirnya yang semerah delima tersenyum penuh arti."Sophia," Adrian mendesis, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski darahnya serasa mendidih. "Apa yang kau lakukan di sini?"Sophia melangkah mendekat, aroma parfum mahalnya tercium kuat. "Hanya ingin melihat bagaimana ekspresimu saat dunia mulai mengetahui rahasia kecilmu," jawabnya santai, seolah mereka sedang membicarakan cuaca.Adrian menatap tajam mata Sophia. Mereka pernah dekat dulu, sangat dekat bahka
Adrian mengangguk perlahan, memutuskan untuk langsung ke pokok permasalahan. "Alena, aku menyadari ada sesuatu yang terjadi di kantor. Tatapan, bisikan, perubahan sikap beberapa karyawan terhadapmu. Aku ingin kau tahu bahwa apa pun itu, kau bisa berbicara denganku."Alena terdiam sejenak, menatap kopinya. Ketika ia mengangkat wajahnya, Adrian melihat campuran kelelahan dan penerimaan di matanya."Aku sudah terbiasa dinilai seperti ini," ujarnya dengan senyum pahit. "Sebagai perempuan dalam industri yang didominasi pria, dengan latar belakang yang tidak se-elite kebanyakan eksekutif, ini bukan pertama kalinya aku menghadapi prasangka dan rumor.""Apa tepatnya yang kau dengar?" tanya Adrian, meskipun ia sudah bisa menebak."Oh, yang biasa," Alena mengangkat bahu, berusaha terlihat tidak terpengaruh meskipun Adrian bisa melihat ketegangan di bahunya. "Bahwa aku mendapatkan proyek ini karena 'kedekatan spesial' denganmu. Bahwa aku hanya memanfaatkan posisimu untuk keuntungan pribadi. Bebe
Adrian Ramadhani mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja kerjanya yang terbuat dari kayu jati. Di hadapannya terbentang kota Jakarta yang berkilauan di bawah cahaya matahari senja, namun pemandangan yang biasanya membuatnya kagum itu kini tak mampu mengalihkan kegelisahannya. Sebagai CEO Adrian Corp, ia terbiasa menghadapi tantangan bisnis dan tekanan pasar. Namun situasi yang berkembang di kantornya belakangan ini terasa... berbeda. Lebih personal. Lebih mengganggu.Selama seminggu terakhir, ia merasakan perubahan atmosfer yang subtil namun nyata di perusahaannya. Pandangan-pandangan aneh. Bisikan-bisikan yang terhenti ketika ia mendekat. Dan yang paling mengganggu, perlakuan yang diterima oleh Alena Wijaya—konsultan berbakat yang dipercayanya untuk memimpin proyek revitalisasi teknologi perusahaan.Adrian pertama kali menyadari ada yang tidak beres saat rapat departemen kemarin. Ketika Alena berbicara, beberapa eksekutif senior yang biasanya antusias dengan idenya kini terlihat ragu
Sophia Santiago memutar-mutar pena mahalnya dengan jari-jari lentik berhiaskan cat kuku merah menyala. Ia duduk di ruang kerjanya yang elegan di lantai 40 gedung Adrian Corp, dengan pemandangan kota metropolitan yang terbentang luas di balik jendela kaca besar. Namun perhatiannya tidak tertuju pada pemandangan megah itu. Mata tajamnya terfokus pada layar komputer yang menampilkan foto Alena Wijaya—wanita yang belakangan ini terlalu sering mendapatkan perhatian Adrian Ramadhani, CEO perusahaan tempat ia bekerja dan pria yang sejak lama diincarnya."Dia tidak lebih dari seorang oportunis," gumam Sophia pada dirinya sendiri, sembari menyesap kopi hitam dari cangkir porselen mahal. "Adrian terlalu baik untuk melihat motif aslinya."Sophia telah bekerja selama tujuh tahun sebagai Direktur Pemasaran di Adrian Corp. Selama itu pula, ia telah dengan sabar membangun citranya sebagai perempuan cerdas, ambisius, dan tentu saja—calon pendamping sempurna bagi Adrian Ramadhani. Namun kedatangan Ale
Dengan cepat, ia mengetik pesan untuk Alena: "Aku dengar kau tidak masuk hari ini. Ada apa? Kau baik-baik saja?"Pesan itu terkirim, tapi tidak ada tanda dibaca. Adrian menghela napas panjang, pikirannya berkecamuk. Ia tahu hubungannya dengan Alena mulai menjadi bahan pembicaraan di kantor. Meski selama ini mereka berusaha profesional dan menjaga jarak selama jam kerja, namun mata tajam Sophia dan beberapa karyawan lain tampaknya mulai menyadari perubahan dalam interaksi mereka.Yang lebih mengkhawatirkan adalah kabar tentang Reno. Adrian tahu Alena masih dalam proses mengakhiri hubungannya dengan pria itu, sesuatu yang tidak mudah setelah bersama selama sembilan tahun. Adrian selalu berusaha mengerti dan memberikan Alena ruang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, meski kadang ia tidak bisa menahan rasa cemburu membayangkan Alena masih terikat dengan pria lain.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Adrian. Ia berdeham untuk menjernihkan pikirannya. "Masuk," ucapnya.Pintu terb
"Aku selalu tahu ada yang tidak beres dalam beberapa bulan terakhir," kata Alena. "Tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya. Aku berpura-pura semuanya baik-baik saja, berharap apapun yang terjadi hanyalah fase yang akan segera berlalu.""Kau tidak melakukan kesalahan apapun, Kak," Mira mencoba menghibur. "Kadang, seseorang pergi bukan karena kita melakukan kesalahan, tapi karena mereka memutuskan untuk mencari jalan yang berbeda."Alena tersenyum getir. "Sembilan tahun, Mira. Sembilan tahun dan dia bisa dengan mudah mengakhirinya seperti ini.""Aku tahu, Kak. Ini berat, sangat berat. Tapi kau harus percaya bahwa suatu saat nanti, sakit ini akan mereda. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi suatu saat nanti, kau akan menemukan kekuatan untuk melangkah maju."Alena menatap adiknya, kagum dengan kebijaksanaan yang dimiliki Mira meski usianya masih muda. Ia mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia tak yakin akan pernah bisa sepenuhnya pulih dari luka ini."Ayo pula
Dengan berat hati, Alena melangkah pergi. Air mata mengalir di pipinya, tetapi ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah keadaan. Ia telah kehilangan Reno—seseorang yang telah menemaninya begitu lama.Langkahnya terasa berat, seolah seluruh beban dunia menindih bahunya. Jalanan kota di sore itu dipenuhi lalu lalang orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tidak seorang pun menyadari kepedihan yang tengah menghantam hati seorang wanita di antara mereka. Alena berjalan tanpa arah, membiarkan kakinya membawanya entah ke mana. Yang ia tahu, ia harus pergi sejauh mungkin dari tempat yang baru saja menjadi saksi bisu kehancuran hatinya."Sembilan tahun," bisiknya pada diri sendiri. Sembilan tahun bersama Reno, tertawa bersama, menangis bersama, merencanakan masa depan yang kini tak lagi mungkin terwujud. Sembilan tahun kenangan yang kini harus diikhlaskan dalam sekejap mata.Langit mulai menggelap ketika Alena sampai di taman kota. Ia mendudukkan diri di bangku