Ruang kerja Adrian tampak berbeda hari ini. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kaca besar seolah-olah tidak mampu menghangatkan atmosfer dingin yang menyelimuti ruangan. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja besar dari kayu mahoni, layar-layar komputer menampilkan grafik dan laporan yang penuh dengan tanda-tanda peringatan.
PT Global Inovasi kini berada dalam tekanan luar biasa. Kompetitor utamanya, PT Horizon Teknologi, telah melancarkan serangan bertubi-tubi yang dirancang untuk melemahkan posisi mereka di pasar.
Bocoran informasi internal telah menjadi senjata utama Horizon. Dokumen-dokumen rahasia yang entah bagaimana bocor—atau dengan sengaja disebar—mulai bermunculan di berbagai media bisnis. Setiap detail, setiap kelemahan strategis yang pernah dimiliki Global Inovasi kini terbuka untuk publik.
Adrian membaca artikel terbaru di salah satu portal bisnis terkemuka. Judulnya menusuk: "Krisis Kepercayaan: Apakah Global Inovasi Kehilanga
Kantor Adrian kini terasa seperti benteng yang dikepung. Setiap sudut ruangan memamerkan jejak pertempuran yang tidak kunjung usai. Tumpukan dokumen berserakan, layar komputer penuh dengan grafik merah yang menandakan kerugian, dan secangkir kopi hitam yang sudah lama dingin—simbol dari malam-malam panjang yang dihabiskan untuk bertahan.Kompetitor PT Global Inovasi, PT Horizon Teknologi, tidak main-main dalam menyerang. Mereka tidak sekadar mencoba mengalahkan perusahaan, melainkan ingin menghancurkan Adrian secara total. Setiap proyek yang sedang dikerjakan kini dipenuhi dengan tantangan yang seolah-olah dirancang untuk membuatnya kehilangan kendali.Adrian yang biasa tenang, kini berubah. Matanya kehilangan cahaya yang dulu selalu menunjukkan keyakinan. Ia mulai bicara dengan nada yang lebih tinggi, lebih cepas, lebih defensif."Ini tidak bisa dibiarkan," gumamnya suatu malam kepada Alena, "Mereka sengaja melakukan ini."Alena memperhatikan perub
Ruang rapat di lantai 30 gedung Permata Plaza tampak hening, meski di dalamnya berkumpul lebih dari selusin eksekutif perusahaan PT Mitra Sejahtera. Hanya suara Adrian Prasetyo yang terdengar, suaranya tenang namun menyimpan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan. Di belakangnya, layar proyektor menampilkan grafik tren penjualan yang menunjukkan penurunan signifikan dalam tiga bulan terakhir."Avalon Corp telah mengakuisisi tiga pemasok utama kita dalam kuartal ini," ujar Adrian sambil menunjuk ke arah bagan yang menampilkan nama-nama perusahaan dengan tanda silang merah. "Mereka juga telah menawarkan harga yang jauh lebih rendah pada klien-klien besar kita. Kalau terus begini, kita akan kehilangan 40% pangsa pasar dalam enam bulan ke depan."Ruangan itu tetap hening. Beberapa eksekutif saling melirik dengan ekspresi cemas. Budi Santoso, Direktur Keuangan yang telah hampir dua dekade bekerja di perusahaan ini, akhirnya angkat bicara."Adrian, strategi Avalon jelas-jelas predatory pri
"Berikan aku proposal lengkapnya," kata Adrian akhirnya. "Akan kupertimbangkan."Rapat berlanjut dengan diskusi teknis tentang restrukturisasi dan potensi investor. Selama dua jam penuh, strategi bisnis dibahas, perdebatan terjadi, dan akhirnya beberapa keputusan awal dibuat. Namun, pikiran Adrian tidak sepenuhnya hadir. Sebagian dirinya masih memikirkan Alena dan pembicaraan mereka semalam.Setelah rapat usai, Adrian kembali ke kantornya. Ia mengambil ponselnya dan menatap foto Alena yang menjadi wallpapernya. Foto yang diambil saat ulang tahun Alena tahun lalu, di mana ia tampak begitu bahagia dengan kue ulang tahun di hadapannya dan Adrian memeluknya dari belakang.Ia menekan tombol panggil."Halo?" suara Alena terdengar ragu."Alena, maaf soal semalam," kata Adrian langsung. "Aku tidak bermaksud mengatakan apa yang kukatakan."Hening sejenak sebelum Alena menjawab. "Aku mengerti kamu sedang stres, Adrian. Tapi aku juga butuh kamu hadir dalam hubungan ini.""Aku tahu," Adrian menghe
Hujan deras mengguyur Jakarta sore itu, menimbulkan suara berderak ketika tetesan air menghantam kaca jendela apartemen Adrian dan Alena. Cuaca yang gelap seolah merefleksikan suasana di dalam apartemen yang biasanya hangat tersebut. Alena berdiri di depan jendela besar ruang tamu, menatap kota yang terlihat kabur di balik tirai hujan. Ia menunggu Adrian pulang—sebuah rutinitas yang akhir-akhir ini terasa semakin berat.Jarum jam menunjukkan pukul 8 malam ketika pintu apartemen akhirnya terbuka. Adrian masuk dengan langkah berat, jasnya sedikit basah, dan wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Ia melemparkan tas kerjanya ke sofa dan melonggarkan dasi yang terasa mencekik."Hai," sapa Alena, berusaha terdengar ringan meski ada ketegangan yang tak terkatakan di antara mereka. "Aku sudah menyiapkan makan malam."Adrian mengangguk tanpa menatap Alena. "Aku mau mandi dulu.""Baiklah." Alena berusaha meredam kekecewaan dalam suaranya. Sudah hampir seminggu sejak makan siang mereka di
Alena duduk di tepi tempat tidur, tangannya gemetar saat ia meraih ponselnya. Ia ingin menghubungi seseorang—Sofia, mungkin—tetapi apa yang akan ia katakan? Bahwa hubungannya dengan Adrian yang selama ini ia banggakan sebagai 'berbeda' ternyata sama saja dengan yang lain? Bahwa ketika dihadapkan pada pilihan antara pekerjaan dan hubungan, Adrian memilih pekerjaan?Pintu kamar terbuka perlahan. Adrian berdiri di ambang pintu, ragu untuk masuk."Boleh aku masuk?" tanyanya pelan.Alena hanya mengangguk, tidak mempercayai suaranya untuk berbicara tanpa pecah.Adrian duduk di sampingnya, menjaga jarak yang cukup untuk menunjukkan bahwa ia menghormati ruang pribadi Alena. "Aku tidak bermaksud menyakitimu," ujarnya setelah beberapa saat."Aku tahu," jawab Alena, menatap keluar jendela. "Tapi itu tidak membuat kata-katamu kurang menyakitkan.""Apa yang harus kulakukan, Alena? Aku bertanggung jawab atas ratusan karyawan, atas legasi keluargaku. Aku tidak bisa melepaskan tanggung jawab itu begit
Hujan yang turun di luar jendela apartemen seolah menggemakan keheningan di dalam ruangan tempat Alena duduk sendiri. Sudah dua jam ia menunggu Adrian pulang. Ponselnya tergeletak di atas meja, layarnya gelap—tidak ada pesan, tidak ada panggilan yang terlewat. Jam dinding terus berdetak, setiap detiknya seolah menggetarkan keheningan yang kian mencekam.Dengan tatapan kosong, Alena memandang keluar jendela, melihat tetesan air hujan yang menari-nari di permukaan kaca. Tiga bulan yang lalu, mereka masih tertawa dan berbincang hingga larut malam di balkon apartemen ini. Tiga bulan yang lalu, Adrian masih pulang dengan wajah berbinar dan cerita-cerita tentang pencapaian di kantornya. Tiga bulan yang lalu, mereka masih memiliki mereka."Di mana kita salah?" bisiknya pada diri sendiri.Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Alena. Adrian melangkah masuk dengan wajah lelah. Jasnya kusut, dasinya dilonggarkan, dan rambutnya berantakan—pertanda hari yang berat di kantor."Kau masih ba
Alena meremas tangan Adrian. "Dengar, apa pun yang terjadi di masa lalu, apa pun yang dilakukan ayahmu, itu bukan kau. Kau adalah orang yang kukenal dan kucintai—orang yang bekerja keras, jujur, dan memiliki integritas.""Bagaimana jika ternyata semua kesuksesanku dibangun di atas kebohongan? Bagaimana jika perusahaan yang kuwarisi dari ayah sebenarnya berasal dari kegiatan yang tidak bersih?" Suara Adrian terdengar hampa."Maka kau akan menghadapinya," Alena menyentuh pipi Adrian, memaksa pria itu menatap matanya. "Kita akan menghadapinya bersama. Tapi kau harus mulai mempercayaiku, Adrian. Mempercayai kita."Adrian menutup matanya, menikmati kehangatan tangan Alena di pipinya. "Aku mencoba. Tapi setiap kali aku memikirkan tentang kehilangan segalanya—perusahaanku, reputasiku—aku juga takut kehilanganmu.""Kau tidak akan kehilanganku karena masalah ini," Alena meyakinkan. "Tapi kau mungkin akan kehilanganku jika terus menutup diri seperti ini."Kata-kata itu menohok Adrian. Ia membuk
Langit Jakarta yang kelabu menyambut Alena saat ia memasuki gedung pencakar langit tempat ia bekerja. Sudah hampir seminggu berlalu sejak pertemuannya dengan Manuel Rivera, dan dokumen-dokumen itu masih tersimpan rapat dalam laci meja kerjanya—seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.Lift berdenting pelan saat mencapai lantai 24. Alena menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar. Beberapa karyawan yang berpapasan dengannya tersenyum sopan, namun Alena tidak bisa mengabaikan tatapan penuh arti dan bisik-bisik yang mengikutinya."Selamat pagi, Alena," sapa Dina, resepsionis yang selalu ceria. "Pak Adrian sudah menunggu di ruang konferensi. Rapat pagi dimulai sepuluh menit lagi.""Terima kasih, Dina," Alena memaksakan senyum. Nama Adrian membuat jantungnya berdegup lebih cepat—campuran antara antisipasi dan kecemasan yang tak bisa ia jelaskan.Alena bergegas ke mejanya, meletakkan tasnya, dan membuka laptop. Email yang masuk semalam membutuhkan perhatian segera, tetapi piki
"Apa yang ibumu katakan?" tanya Alena, takut mendengar jawabannya.Adrian terdiam sejenak, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Dia... terkejut, tentu saja. Tapi dia ingin bertemu denganmu sebelum membuat penilaian.""Bertemu denganku? Kapan?""Akhir pekan ini. Dia akan datang ke Jakarta khusus untuk ini." Adrian menggenggam tangan Alena. "Tidak apa-apa jika kau belum siap. Aku bisa menjelaskan pada ibu—""Tidak," potong Alena. "Aku akan bertemu dengannya. Aku ingin dia tahu bahwa aku serius denganmu, Adrian."Adrian tersenyum, kelegaan terpancar dari wajahnya. "Terima kasih, Alena. Ini berarti banyak untukku."Alena mengangguk, meski di dalam hatinya, ketakutan mulai merayap. Bertemu dengan ibu Adrian, Nyonya Wijaya yang terkenal karena ketegasannya, bukanlah hal yang mudah. Terlebih dalam situasi seperti ini, di mana banyak yang meragukan keseriusan hubungan mereka."Oh, satu hal lagi," Adrian terlihat ragu sejenak. "Aku mendapat kabar bahwa Reno kembali ke Jakarta."Nama
"Tunggu aku di sana. Lima menit lagi aku sampai," Adrian berkata tegas. "Kita akan hadapi ini bersama, oke?"Alena mengangguk meski tahu Adrian tidak bisa melihatnya. "Oke," jawabnya lirih.Sambungan terputus, dan Alena kembali sendirian dengan pikirannya. Ia menatap foto di layar komputernya—foto dirinya dan Adrian yang diambil secara sembunyi-sembunyi. Mereka memang berusaha merahasiakan hubungan mereka, bukan karena malu, tapi karena ingin menghindari gosip seperti ini. Namun kini, rahasia itu telah terbongkar dengan cara yang paling buruk.Alena memikirkan perjalanan hidupnya sampai ke titik ini. Dua tahun lalu, ia berada di titik terendah hidupnya ketika Reno, pria yang ia cintai dan telah bertunangan dengannya, memutuskan untuk meninggalkannya demi wanita lain yang lebih kaya dan berpengaruh. Saat itu, Alena merasa dunianya hancur. Tapi kemudian ia bangkit, fokus pada karirnya, dan takdir membawanya bekerja di perusahaan Adrian.Pertemuan pertama mereka tidak istimewa. Adrian ad
Adrian menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Pikirannnya berpacu mencari tahu siapa yang tega melakukan hal ini. Ia baru saja akan menghubungi Alena ketika sosok yang tidak asing muncul dari balik pilar marmer besar di lobby."Selamat sore, Adrian sayang. Sudah melihat berita terbaru?" Suara lembut namun menusuk itu terdengar dari belakangnya.Adrian menoleh dan mendapati Sophia berdiri dengan anggun dalam balutan dress merah maroon yang membalut sempurna tubuh moleknya. Rambut hitam panjangnya tersisir rapi, dan bibirnya yang semerah delima tersenyum penuh arti."Sophia," Adrian mendesis, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski darahnya serasa mendidih. "Apa yang kau lakukan di sini?"Sophia melangkah mendekat, aroma parfum mahalnya tercium kuat. "Hanya ingin melihat bagaimana ekspresimu saat dunia mulai mengetahui rahasia kecilmu," jawabnya santai, seolah mereka sedang membicarakan cuaca.Adrian menatap tajam mata Sophia. Mereka pernah dekat dulu, sangat dekat bahka
Adrian mengangguk perlahan, memutuskan untuk langsung ke pokok permasalahan. "Alena, aku menyadari ada sesuatu yang terjadi di kantor. Tatapan, bisikan, perubahan sikap beberapa karyawan terhadapmu. Aku ingin kau tahu bahwa apa pun itu, kau bisa berbicara denganku."Alena terdiam sejenak, menatap kopinya. Ketika ia mengangkat wajahnya, Adrian melihat campuran kelelahan dan penerimaan di matanya."Aku sudah terbiasa dinilai seperti ini," ujarnya dengan senyum pahit. "Sebagai perempuan dalam industri yang didominasi pria, dengan latar belakang yang tidak se-elite kebanyakan eksekutif, ini bukan pertama kalinya aku menghadapi prasangka dan rumor.""Apa tepatnya yang kau dengar?" tanya Adrian, meskipun ia sudah bisa menebak."Oh, yang biasa," Alena mengangkat bahu, berusaha terlihat tidak terpengaruh meskipun Adrian bisa melihat ketegangan di bahunya. "Bahwa aku mendapatkan proyek ini karena 'kedekatan spesial' denganmu. Bahwa aku hanya memanfaatkan posisimu untuk keuntungan pribadi. Bebe
Adrian Ramadhani mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja kerjanya yang terbuat dari kayu jati. Di hadapannya terbentang kota Jakarta yang berkilauan di bawah cahaya matahari senja, namun pemandangan yang biasanya membuatnya kagum itu kini tak mampu mengalihkan kegelisahannya. Sebagai CEO Adrian Corp, ia terbiasa menghadapi tantangan bisnis dan tekanan pasar. Namun situasi yang berkembang di kantornya belakangan ini terasa... berbeda. Lebih personal. Lebih mengganggu.Selama seminggu terakhir, ia merasakan perubahan atmosfer yang subtil namun nyata di perusahaannya. Pandangan-pandangan aneh. Bisikan-bisikan yang terhenti ketika ia mendekat. Dan yang paling mengganggu, perlakuan yang diterima oleh Alena Wijaya—konsultan berbakat yang dipercayanya untuk memimpin proyek revitalisasi teknologi perusahaan.Adrian pertama kali menyadari ada yang tidak beres saat rapat departemen kemarin. Ketika Alena berbicara, beberapa eksekutif senior yang biasanya antusias dengan idenya kini terlihat ragu
Sophia Santiago memutar-mutar pena mahalnya dengan jari-jari lentik berhiaskan cat kuku merah menyala. Ia duduk di ruang kerjanya yang elegan di lantai 40 gedung Adrian Corp, dengan pemandangan kota metropolitan yang terbentang luas di balik jendela kaca besar. Namun perhatiannya tidak tertuju pada pemandangan megah itu. Mata tajamnya terfokus pada layar komputer yang menampilkan foto Alena Wijaya—wanita yang belakangan ini terlalu sering mendapatkan perhatian Adrian Ramadhani, CEO perusahaan tempat ia bekerja dan pria yang sejak lama diincarnya."Dia tidak lebih dari seorang oportunis," gumam Sophia pada dirinya sendiri, sembari menyesap kopi hitam dari cangkir porselen mahal. "Adrian terlalu baik untuk melihat motif aslinya."Sophia telah bekerja selama tujuh tahun sebagai Direktur Pemasaran di Adrian Corp. Selama itu pula, ia telah dengan sabar membangun citranya sebagai perempuan cerdas, ambisius, dan tentu saja—calon pendamping sempurna bagi Adrian Ramadhani. Namun kedatangan Ale
Dengan cepat, ia mengetik pesan untuk Alena: "Aku dengar kau tidak masuk hari ini. Ada apa? Kau baik-baik saja?"Pesan itu terkirim, tapi tidak ada tanda dibaca. Adrian menghela napas panjang, pikirannya berkecamuk. Ia tahu hubungannya dengan Alena mulai menjadi bahan pembicaraan di kantor. Meski selama ini mereka berusaha profesional dan menjaga jarak selama jam kerja, namun mata tajam Sophia dan beberapa karyawan lain tampaknya mulai menyadari perubahan dalam interaksi mereka.Yang lebih mengkhawatirkan adalah kabar tentang Reno. Adrian tahu Alena masih dalam proses mengakhiri hubungannya dengan pria itu, sesuatu yang tidak mudah setelah bersama selama sembilan tahun. Adrian selalu berusaha mengerti dan memberikan Alena ruang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, meski kadang ia tidak bisa menahan rasa cemburu membayangkan Alena masih terikat dengan pria lain.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Adrian. Ia berdeham untuk menjernihkan pikirannya. "Masuk," ucapnya.Pintu terb
"Aku selalu tahu ada yang tidak beres dalam beberapa bulan terakhir," kata Alena. "Tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya. Aku berpura-pura semuanya baik-baik saja, berharap apapun yang terjadi hanyalah fase yang akan segera berlalu.""Kau tidak melakukan kesalahan apapun, Kak," Mira mencoba menghibur. "Kadang, seseorang pergi bukan karena kita melakukan kesalahan, tapi karena mereka memutuskan untuk mencari jalan yang berbeda."Alena tersenyum getir. "Sembilan tahun, Mira. Sembilan tahun dan dia bisa dengan mudah mengakhirinya seperti ini.""Aku tahu, Kak. Ini berat, sangat berat. Tapi kau harus percaya bahwa suatu saat nanti, sakit ini akan mereda. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi suatu saat nanti, kau akan menemukan kekuatan untuk melangkah maju."Alena menatap adiknya, kagum dengan kebijaksanaan yang dimiliki Mira meski usianya masih muda. Ia mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia tak yakin akan pernah bisa sepenuhnya pulih dari luka ini."Ayo pula
Dengan berat hati, Alena melangkah pergi. Air mata mengalir di pipinya, tetapi ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah keadaan. Ia telah kehilangan Reno—seseorang yang telah menemaninya begitu lama.Langkahnya terasa berat, seolah seluruh beban dunia menindih bahunya. Jalanan kota di sore itu dipenuhi lalu lalang orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tidak seorang pun menyadari kepedihan yang tengah menghantam hati seorang wanita di antara mereka. Alena berjalan tanpa arah, membiarkan kakinya membawanya entah ke mana. Yang ia tahu, ia harus pergi sejauh mungkin dari tempat yang baru saja menjadi saksi bisu kehancuran hatinya."Sembilan tahun," bisiknya pada diri sendiri. Sembilan tahun bersama Reno, tertawa bersama, menangis bersama, merencanakan masa depan yang kini tak lagi mungkin terwujud. Sembilan tahun kenangan yang kini harus diikhlaskan dalam sekejap mata.Langit mulai menggelap ketika Alena sampai di taman kota. Ia mendudukkan diri di bangku