Alena melangkah masuk ke kafe dengan langkah berat. Matanya mencari-cari sosok Adrian dan menemukannya di sudut ruangan, mengaduk-aduk kopinya dengan tatapan menerawang. Sesaat, Alena hampir berbalik dan pergi—namun kakinya tetap melangkah maju, seolah ada kekuatan yang mendorongnya untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai.Adrian mengangkat wajahnya dan senyumnya merekah, namun dengan cepat memudar saat melihat keadaan Alena. Rambut yang biasanya tertata rapi kini terlihat berantakan, mata yang biasanya berbinar kini tampak redup dengan lingkaran hitam di bawahnya. Adrian menarik kursi untuknya dan Alena duduk tanpa berkata apa-apa."Kau mau pesan sesuatu?" tanya Adrian lembut."Tidak," jawab Alena singkat, menarik napas panjang untuk menenangkan debaran jantungnya.Hening sejenak. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga Adrian akhirnya memecah keheningan."Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada khawatir, tangannya hampir terulur untuk menyentuh Alena, namun kem
Mendengar itu, ekspresi Adrian berubah. Sorot matanya yang semula penuh pengertian kini menggelap, rahangnya mengeras. Alena bisa merasakan perubahan atmosfer di antara mereka dalam sekejap."Jadi, kau menyesali semuanya?" tanya Adrian dengan nada dingin. Tangannya yang semula menggengam tangan Alena perlahan ditarik kembali.Alena terdiam. Pertanyaan itu menghantamnya seperti batu. Ia tidak bisa menjawabnya dengan mudah, karena yang ia rasakan jauh lebih kompleks dari sekadar penyesalan atau cinta. Lidahnya kelu, mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya."Adrian..." Alena akhirnya bersuara, namun kata-katanya tersendat. "Ini tidak sesederhana itu.""Sederhana bagiku," potong Adrian. Ia meneguk kopinya dengan cepat, seolah mencari sesuatu untuk dilakukan. "Kau mencintai Reno atau kau mencintaiku. Tidak ada pilihan ketiga."Alena menggelengkan kepalanya. "Kau tidak mengerti. Ini bukan tentang siapa yang lebih kucintai. Ini tentang hi
Reno memarkir mobilnya dengan asal di depan sebuah kedai kopi yang terletak di sudut kota. Kedai itu terlihat tua namun terawat, dengan papan nama kayu yang sudah memudar termakan waktu. Tempat ini jauh dari kawasan elitenya—jauh dari kemungkinan bertemu orang-orang yang mengenalnya atau Alena. Mungkin itulah alasan mengapa Maya memilih tempat ini untuk bertemu.Setelah seminggu penuh bergulat dengan kemarahan dan rasa sakit yang membakar di dadanya, Reno akhirnya memutuskan untuk tidak hanya berdiam diri. Ia perlu tahu lebih banyak. Tentang Alena, tentang perselingkuhannya, dan terutama—tentang pria bernama Adrian yang telah merenggut segala yang ia anggap stabil dalam hidupnya.Ketika ia melangkah masuk, aroma kopi yang pekat langsung menyambutnya. Maya sudah duduk di pojok ruangan, tangan kirinya memegang sebuah tablet, sementara tangan kanannya sibuk membuat catatan di buku kecil. Tipikal Maya—selalu bekerja, bahkan di saat-saat santai."Masih saja workaholic seperti biasa," sapa
Di kantor, situasi semakin rumit. Sophia mulai menyebarkan lebih banyak rumor, mempermainkan ketegangan yang ada untuk memperburuk keadaan. Adrian mulai kehilangan kesabaran dan mencoba mencari cara untuk menyingkirkan Sophia sebelum ia menghancurkan semuanya.Pagi itu, Adrian tiba di kantor dengan wajah muram. Semalam, ia menerima tiga pesan dari rekan kerja yang berbeda, semuanya mengisyaratkan bahwa Sophia telah menghasut mereka dengan cerita-cerita yang meragukan integritas kepemimpinannya. Segelas kopi hitam pekat tergenggam erat di tangannya saat ia memasuki ruangannya, membanting pintu lebih keras dari yang ia inginkan."Selamat pagi, Adrian," sapa Diana, asisten eksekutifnya yang setia, masuk dengan tumpukan dokumen. "Sepertinya hari yang berat?"Adrian menghela napas panjang. "Sophia lagi. Sekarang dia menyebarkan rumor bahwa proyek Kennedy tertunda karena kecerobohanku, padahal jelas klien sendiri yang meminta perpanjangan waktu."Diana mengangguk simpati. "Dia juga mendekat
Buku yang terbuka di pangkuan Alena tidak berhasil menarik perhatiannya. Kata-kata itu seakan mengabur di depan matanya, tidak mampu menembus kabut yang menyelimuti pikirannya. Sudah hampir dua jam ia duduk di kafe yang sama, secangkir teh yang kini dingin terabaikan di hadapannya.Hujan rintik-rintik di luar jendela kafe seperti menggemakan suasana hatinya—tak pasti, tak menentu, dan penuh kelabu. Alena melirik ponselnya untuk kesekian kalinya. Pesan dari Reno masih terpampang di layar, seolah menantangnya untuk membuat keputusan."Aku ingin bicara. Untuk terakhir kalinya."Tujuh kata sederhana, namun mengandung beban yang begitu berat. Alena menghela napas panjang, menutup bukunya. Percuma saja berpura-pura membaca.Bayangan Adrian melintas di benaknya. Pria itu telah menjadi pelabuhan yang stabil dalam badai kehidupannya selama dua tahun terakhir. Hubungan mereka mungkin tidak dipenuhi gairah menggebu seperti yang ia miliki dengan Reno dulu, tetapi ada kedamaian dan keamanan yang n
Udara malam terasa dingin menembus jaket kulit yang dikenakan Reno saat ia turun dari taksi di depan Hotel Grandeur. Malam ini adalah gala amal tahunan untuk Dana Konservasi Metropolitan—acara eksklusif yang dihadiri oleh elite kota dan para dermawan kaya. Mendapatkan undangan ke acara ini bukanlah hal mudah, tetapi Reno memiliki koneksi yang tepat berkat karirnya sebagai fotografer yang telah meliput berbagai peristiwa dan tokoh penting."Namanya?" tanya resepsionis di meja pendaftaran dengan nada profesional."Reno Wijaya. Saya bersama majalah Horizon." Ia menyerahkan kartu identifikasi pers yang berhasil ia dapatkan dari editornya. Sebagai fotografer yang kerap meliput acara-acara sosial elite, ia punya cukup kredibilitas untuk tidak dicurigai.Resepsionis mengangguk setelah memeriksa daftar. "Silakan, Tuan Wijaya. Ruang utama ada di lantai dua."Reno melangkah masuk dengan percaya diri, meskipun jantungnya berdegup kencang. Ia bukan datang untuk meliput acara ini—ia datang untuk s
Saat acara berlangsung, Reno melihat Adrian menarik Alena ke sudut ruangan yang lebih sepi. Wajah Alena tampak ragu, tetapi ia tidak menolak saat Adrian berbicara padanya dengan nada lembut. Reno tidak bisa lagi menahan emosinya. Dengan langkah cepat, ia berjalan ke arah mereka dan berdiri di antara keduanya. "Jadi ini yang kau sembunyikan dariku, Alena?"Alena tersentak, matanya membelalak melihat Reno yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Tubuhnya menegang, jemarinya mencengkeram tas tangan hitam kecil yang dibawanya hingga buku-buku jarinya memutih."Reno, ini tidak seperti yang kau pikirkan," ucap Alena dengan suara bergetar. Matanya bergerak cepat antara Reno dan Adrian.Adrian mengangkat tangannya dalam gestur damai, tapi senyum tipis di wajahnya menyiratkan sesuatu yang berbeda. "Wow, tenanglah, sobat. Kami hanya sedang berbicara.""Berbicara?" Reno tertawa sinis. Lantai marmer di bawah kakinya seolah bergetar seiring dengan kemarahannya yang memuncak. "Di sudut tersembunyi? Den
Alena melangkah mendekat dan menyentuh wajah Reno dengan lembut. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi kau harus percaya padaku, Reno. Tidak ada apapun antara aku dan Adrian. Ini murni profesional.""Tapi dia—""Aku tidak peduli dengan apa yang Adrian pikirkan atau inginkan," potong Alena tegas. "Yang penting adalah apa yang aku rasakan. Dan hatiku hanya untukmu, Reno."Reno menatap mata Alena, mencari tanda-tanda kebohongan atau keraguan, tetapi yang dilihatnya hanyalah ketulusan. Perlahan, ketegangan di bahunya mulai mengendur."Maafkan aku," kata Reno akhirnya. "Aku bertindak seperti orang bodoh."Alena tersenyum tipis. "Ya, memang. Tapi aku mengerti. Kadang kita semua bisa bertindak bodoh saat menyangkut orang yang kita cintai."Reno menggenggam tangan Alena yang masih menyentuh wajahnya. "Aku mencintaimu, Alena. Dan mungkin terkadang cinta itu membuatku takut kehilanganmu.""Kau tidak akan kehilanganku," bisik Alena. "Tapi kau harus belajar untuk mempercayaiku."Mereka berdiri dalam dia
Alena akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Reno, aku... aku tidak berniat menyakitimu. Tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri," suaranya hampir berbisik, tetapi cukup jelas untuk membuat hati Reno hancur.Reno menatap wanita yang dulu ia yakini akan menjadi pendamping hidupnya itu dengan pandangan nanar. Ekspresinya berubah dari kemarahan menjadi kepedihan yang mendalam. Untuk sesaat, ia hanya diam, mencoba mencerna kata-kata Alena."Membohongi dirimu sendiri?" Reno akhirnya bersuara, suaranya parau. "Artinya selama ini kau terpaksa bersamaku? Begitu?"Adrian mengepalkan tangannya, ingin menyela tapi memutuskan untuk tetap diam. Ini adalah percakapan yang harus diselesaikan oleh Alena dan Reno."Bukan begitu," Alena menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku mencintaimu, Reno. Sungguh. Tapi mungkin... mungkin bukan dengan cara yang kita berdua butuhkan."Angin sore berembus lembut, membawa keheningan yang menyesakkan di antara mereka. Di kejauhan, Kayla masih men
"Tidak," Adrian menyela. "Kami memang berbicara banyak. Tentang Alena, tentang kau, tentang hubungan kalian. Dan saat itulah Alena mulai menyadari bahwa mungkin kalian tidak cocok satu sama lain."Ekspresi Reno mengeras. "Jadi ini semua karena hasutanmu?""Bukan seperti itu!" Alena cepat-cepat menjelaskan. "Adrian hanya membantuku melihat hal-hal yang selama ini kuabaikan—bahwa kita berdua menginginkan hal yang berbeda dalam hidup, Reno.""Dan kebetulan sekali, apa yang kau inginkan sekarang lebih mirip dengan apa yang Adrian inginkan, begitu?" Reno tertawa hambar. "Alena, aku mengenalmu selama tiga tahun. Kita bersama-sama melewati masa-masa sulit. Apa itu semua tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan tiga minggu bersama dia?"Pertanyaan itu menohok Alena. Ia menunduk, menatap cincin di jarinya. Cincin yang selama tiga minggu terakhir sering ia lepas dan pasang kembali dalam kebimbangan."Tentu saja berarti, Reno. Itu sebabnya ini sangat sulit untukku." Alena mendongak, menatap mat
Adrian melangkah maju, berdiri di depan Reno. "Ini bukan urusanmu lagi," katanya dingin. Reno menatap Adrian dengan penuh amarah. "Bukan urusanku? Dia tunanganku!" Alena merasa dunia berputar, dadanya sesak. Ia tak pernah melihat Reno semarah ini sebelumnya."Tunangan?" Adrian mendengus sinis. "Kau masih menganggapnya begitu setelah apa yang terjadi?"Reno mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ada kilatan kemarahan yang belum pernah Alena lihat dalam matanya—bahkan setelah semua pertengkaran mereka selama ini."Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Cincin ini," Reno menunjuk cincin platinum yang masih melingkar di jari manis Alena, "adalah bukti bahwa kami masih terikat."Alena menggigit bibirnya, merasa terjepit di antara dua pria yang kini saling berhadapan dengan ketegangan yang nyaris bisa disentuh. Para pengunjung kafe mulai melirik ke arah mereka, beberapa bahkan terang-terangan menonton."Tolong," Alena akhirnya bersuara, meskipun nyaris seperti bisikan. "Jan
Alena membeku, sementara Adrian tetap tenang meskipun sorot matanya tajam. "Reno, ini bukan tempatnya," kata Alena dengan suara bergetar. Tetapi Reno sudah terlanjur marah. "Aku memberimu kesempatan untuk jujur, Alena. Tapi kau memilih untuk berbohong!" suaranya meninggi, menarik perhatian beberapa tamu.Ruangan yang semula riuh dengan percakapan dan denting gelas perlahan menjadi sunyi. Mata-mata penasaran mulai tertuju pada mereka bertiga. Adrian bergerak sedikit, tangannya masih berada di pinggung Alena, memberikan tekanan lembut—entah untuk menenangkan atau memperteguh."Reno, tolong jangan begini," bisik Alena. Matanya melirik ke sekeliling ruangan, melihat perhatian yang mulai terbangun di antara para tamu. "Kita bisa bicarakan ini di tempat lain.""Kenapa? Takut semua orang tahu kebenarannya?" Reno tertawa pahit. Wajahnya memerah, campuran kemarahan dan rasa malu yang semakin menjadi-jadi. "Selama ini aku mempercayaimu. Aku memberikan semuanya padamu, Alena."Adrian akhirnya ma
Alena melangkah mendekat dan menyentuh wajah Reno dengan lembut. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi kau harus percaya padaku, Reno. Tidak ada apapun antara aku dan Adrian. Ini murni profesional.""Tapi dia—""Aku tidak peduli dengan apa yang Adrian pikirkan atau inginkan," potong Alena tegas. "Yang penting adalah apa yang aku rasakan. Dan hatiku hanya untukmu, Reno."Reno menatap mata Alena, mencari tanda-tanda kebohongan atau keraguan, tetapi yang dilihatnya hanyalah ketulusan. Perlahan, ketegangan di bahunya mulai mengendur."Maafkan aku," kata Reno akhirnya. "Aku bertindak seperti orang bodoh."Alena tersenyum tipis. "Ya, memang. Tapi aku mengerti. Kadang kita semua bisa bertindak bodoh saat menyangkut orang yang kita cintai."Reno menggenggam tangan Alena yang masih menyentuh wajahnya. "Aku mencintaimu, Alena. Dan mungkin terkadang cinta itu membuatku takut kehilanganmu.""Kau tidak akan kehilanganku," bisik Alena. "Tapi kau harus belajar untuk mempercayaiku."Mereka berdiri dalam dia
Saat acara berlangsung, Reno melihat Adrian menarik Alena ke sudut ruangan yang lebih sepi. Wajah Alena tampak ragu, tetapi ia tidak menolak saat Adrian berbicara padanya dengan nada lembut. Reno tidak bisa lagi menahan emosinya. Dengan langkah cepat, ia berjalan ke arah mereka dan berdiri di antara keduanya. "Jadi ini yang kau sembunyikan dariku, Alena?"Alena tersentak, matanya membelalak melihat Reno yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Tubuhnya menegang, jemarinya mencengkeram tas tangan hitam kecil yang dibawanya hingga buku-buku jarinya memutih."Reno, ini tidak seperti yang kau pikirkan," ucap Alena dengan suara bergetar. Matanya bergerak cepat antara Reno dan Adrian.Adrian mengangkat tangannya dalam gestur damai, tapi senyum tipis di wajahnya menyiratkan sesuatu yang berbeda. "Wow, tenanglah, sobat. Kami hanya sedang berbicara.""Berbicara?" Reno tertawa sinis. Lantai marmer di bawah kakinya seolah bergetar seiring dengan kemarahannya yang memuncak. "Di sudut tersembunyi? Den
Udara malam terasa dingin menembus jaket kulit yang dikenakan Reno saat ia turun dari taksi di depan Hotel Grandeur. Malam ini adalah gala amal tahunan untuk Dana Konservasi Metropolitan—acara eksklusif yang dihadiri oleh elite kota dan para dermawan kaya. Mendapatkan undangan ke acara ini bukanlah hal mudah, tetapi Reno memiliki koneksi yang tepat berkat karirnya sebagai fotografer yang telah meliput berbagai peristiwa dan tokoh penting."Namanya?" tanya resepsionis di meja pendaftaran dengan nada profesional."Reno Wijaya. Saya bersama majalah Horizon." Ia menyerahkan kartu identifikasi pers yang berhasil ia dapatkan dari editornya. Sebagai fotografer yang kerap meliput acara-acara sosial elite, ia punya cukup kredibilitas untuk tidak dicurigai.Resepsionis mengangguk setelah memeriksa daftar. "Silakan, Tuan Wijaya. Ruang utama ada di lantai dua."Reno melangkah masuk dengan percaya diri, meskipun jantungnya berdegup kencang. Ia bukan datang untuk meliput acara ini—ia datang untuk s
Buku yang terbuka di pangkuan Alena tidak berhasil menarik perhatiannya. Kata-kata itu seakan mengabur di depan matanya, tidak mampu menembus kabut yang menyelimuti pikirannya. Sudah hampir dua jam ia duduk di kafe yang sama, secangkir teh yang kini dingin terabaikan di hadapannya.Hujan rintik-rintik di luar jendela kafe seperti menggemakan suasana hatinya—tak pasti, tak menentu, dan penuh kelabu. Alena melirik ponselnya untuk kesekian kalinya. Pesan dari Reno masih terpampang di layar, seolah menantangnya untuk membuat keputusan."Aku ingin bicara. Untuk terakhir kalinya."Tujuh kata sederhana, namun mengandung beban yang begitu berat. Alena menghela napas panjang, menutup bukunya. Percuma saja berpura-pura membaca.Bayangan Adrian melintas di benaknya. Pria itu telah menjadi pelabuhan yang stabil dalam badai kehidupannya selama dua tahun terakhir. Hubungan mereka mungkin tidak dipenuhi gairah menggebu seperti yang ia miliki dengan Reno dulu, tetapi ada kedamaian dan keamanan yang n
Di kantor, situasi semakin rumit. Sophia mulai menyebarkan lebih banyak rumor, mempermainkan ketegangan yang ada untuk memperburuk keadaan. Adrian mulai kehilangan kesabaran dan mencoba mencari cara untuk menyingkirkan Sophia sebelum ia menghancurkan semuanya.Pagi itu, Adrian tiba di kantor dengan wajah muram. Semalam, ia menerima tiga pesan dari rekan kerja yang berbeda, semuanya mengisyaratkan bahwa Sophia telah menghasut mereka dengan cerita-cerita yang meragukan integritas kepemimpinannya. Segelas kopi hitam pekat tergenggam erat di tangannya saat ia memasuki ruangannya, membanting pintu lebih keras dari yang ia inginkan."Selamat pagi, Adrian," sapa Diana, asisten eksekutifnya yang setia, masuk dengan tumpukan dokumen. "Sepertinya hari yang berat?"Adrian menghela napas panjang. "Sophia lagi. Sekarang dia menyebarkan rumor bahwa proyek Kennedy tertunda karena kecerobohanku, padahal jelas klien sendiri yang meminta perpanjangan waktu."Diana mengangguk simpati. "Dia juga mendekat