Reno memarkir mobilnya dengan asal di depan sebuah kedai kopi yang terletak di sudut kota. Kedai itu terlihat tua namun terawat, dengan papan nama kayu yang sudah memudar termakan waktu. Tempat ini jauh dari kawasan elitenya—jauh dari kemungkinan bertemu orang-orang yang mengenalnya atau Alena. Mungkin itulah alasan mengapa Maya memilih tempat ini untuk bertemu.Setelah seminggu penuh bergulat dengan kemarahan dan rasa sakit yang membakar di dadanya, Reno akhirnya memutuskan untuk tidak hanya berdiam diri. Ia perlu tahu lebih banyak. Tentang Alena, tentang perselingkuhannya, dan terutama—tentang pria bernama Adrian yang telah merenggut segala yang ia anggap stabil dalam hidupnya.Ketika ia melangkah masuk, aroma kopi yang pekat langsung menyambutnya. Maya sudah duduk di pojok ruangan, tangan kirinya memegang sebuah tablet, sementara tangan kanannya sibuk membuat catatan di buku kecil. Tipikal Maya—selalu bekerja, bahkan di saat-saat santai."Masih saja workaholic seperti biasa," sapa
Di kantor, situasi semakin rumit. Sophia mulai menyebarkan lebih banyak rumor, mempermainkan ketegangan yang ada untuk memperburuk keadaan. Adrian mulai kehilangan kesabaran dan mencoba mencari cara untuk menyingkirkan Sophia sebelum ia menghancurkan semuanya.Pagi itu, Adrian tiba di kantor dengan wajah muram. Semalam, ia menerima tiga pesan dari rekan kerja yang berbeda, semuanya mengisyaratkan bahwa Sophia telah menghasut mereka dengan cerita-cerita yang meragukan integritas kepemimpinannya. Segelas kopi hitam pekat tergenggam erat di tangannya saat ia memasuki ruangannya, membanting pintu lebih keras dari yang ia inginkan."Selamat pagi, Adrian," sapa Diana, asisten eksekutifnya yang setia, masuk dengan tumpukan dokumen. "Sepertinya hari yang berat?"Adrian menghela napas panjang. "Sophia lagi. Sekarang dia menyebarkan rumor bahwa proyek Kennedy tertunda karena kecerobohanku, padahal jelas klien sendiri yang meminta perpanjangan waktu."Diana mengangguk simpati. "Dia juga mendekat
Buku yang terbuka di pangkuan Alena tidak berhasil menarik perhatiannya. Kata-kata itu seakan mengabur di depan matanya, tidak mampu menembus kabut yang menyelimuti pikirannya. Sudah hampir dua jam ia duduk di kafe yang sama, secangkir teh yang kini dingin terabaikan di hadapannya.Hujan rintik-rintik di luar jendela kafe seperti menggemakan suasana hatinya—tak pasti, tak menentu, dan penuh kelabu. Alena melirik ponselnya untuk kesekian kalinya. Pesan dari Reno masih terpampang di layar, seolah menantangnya untuk membuat keputusan."Aku ingin bicara. Untuk terakhir kalinya."Tujuh kata sederhana, namun mengandung beban yang begitu berat. Alena menghela napas panjang, menutup bukunya. Percuma saja berpura-pura membaca.Bayangan Adrian melintas di benaknya. Pria itu telah menjadi pelabuhan yang stabil dalam badai kehidupannya selama dua tahun terakhir. Hubungan mereka mungkin tidak dipenuhi gairah menggebu seperti yang ia miliki dengan Reno dulu, tetapi ada kedamaian dan keamanan yang n
Udara malam terasa dingin menembus jaket kulit yang dikenakan Reno saat ia turun dari taksi di depan Hotel Grandeur. Malam ini adalah gala amal tahunan untuk Dana Konservasi Metropolitan—acara eksklusif yang dihadiri oleh elite kota dan para dermawan kaya. Mendapatkan undangan ke acara ini bukanlah hal mudah, tetapi Reno memiliki koneksi yang tepat berkat karirnya sebagai fotografer yang telah meliput berbagai peristiwa dan tokoh penting."Namanya?" tanya resepsionis di meja pendaftaran dengan nada profesional."Reno Wijaya. Saya bersama majalah Horizon." Ia menyerahkan kartu identifikasi pers yang berhasil ia dapatkan dari editornya. Sebagai fotografer yang kerap meliput acara-acara sosial elite, ia punya cukup kredibilitas untuk tidak dicurigai.Resepsionis mengangguk setelah memeriksa daftar. "Silakan, Tuan Wijaya. Ruang utama ada di lantai dua."Reno melangkah masuk dengan percaya diri, meskipun jantungnya berdegup kencang. Ia bukan datang untuk meliput acara ini—ia datang untuk s
Saat acara berlangsung, Reno melihat Adrian menarik Alena ke sudut ruangan yang lebih sepi. Wajah Alena tampak ragu, tetapi ia tidak menolak saat Adrian berbicara padanya dengan nada lembut. Reno tidak bisa lagi menahan emosinya. Dengan langkah cepat, ia berjalan ke arah mereka dan berdiri di antara keduanya. "Jadi ini yang kau sembunyikan dariku, Alena?"Alena tersentak, matanya membelalak melihat Reno yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Tubuhnya menegang, jemarinya mencengkeram tas tangan hitam kecil yang dibawanya hingga buku-buku jarinya memutih."Reno, ini tidak seperti yang kau pikirkan," ucap Alena dengan suara bergetar. Matanya bergerak cepat antara Reno dan Adrian.Adrian mengangkat tangannya dalam gestur damai, tapi senyum tipis di wajahnya menyiratkan sesuatu yang berbeda. "Wow, tenanglah, sobat. Kami hanya sedang berbicara.""Berbicara?" Reno tertawa sinis. Lantai marmer di bawah kakinya seolah bergetar seiring dengan kemarahannya yang memuncak. "Di sudut tersembunyi? Den
Alena melangkah mendekat dan menyentuh wajah Reno dengan lembut. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi kau harus percaya padaku, Reno. Tidak ada apapun antara aku dan Adrian. Ini murni profesional.""Tapi dia—""Aku tidak peduli dengan apa yang Adrian pikirkan atau inginkan," potong Alena tegas. "Yang penting adalah apa yang aku rasakan. Dan hatiku hanya untukmu, Reno."Reno menatap mata Alena, mencari tanda-tanda kebohongan atau keraguan, tetapi yang dilihatnya hanyalah ketulusan. Perlahan, ketegangan di bahunya mulai mengendur."Maafkan aku," kata Reno akhirnya. "Aku bertindak seperti orang bodoh."Alena tersenyum tipis. "Ya, memang. Tapi aku mengerti. Kadang kita semua bisa bertindak bodoh saat menyangkut orang yang kita cintai."Reno menggenggam tangan Alena yang masih menyentuh wajahnya. "Aku mencintaimu, Alena. Dan mungkin terkadang cinta itu membuatku takut kehilanganmu.""Kau tidak akan kehilanganku," bisik Alena. "Tapi kau harus belajar untuk mempercayaiku."Mereka berdiri dalam dia
Alena membeku, sementara Adrian tetap tenang meskipun sorot matanya tajam. "Reno, ini bukan tempatnya," kata Alena dengan suara bergetar. Tetapi Reno sudah terlanjur marah. "Aku memberimu kesempatan untuk jujur, Alena. Tapi kau memilih untuk berbohong!" suaranya meninggi, menarik perhatian beberapa tamu.Ruangan yang semula riuh dengan percakapan dan denting gelas perlahan menjadi sunyi. Mata-mata penasaran mulai tertuju pada mereka bertiga. Adrian bergerak sedikit, tangannya masih berada di pinggung Alena, memberikan tekanan lembut—entah untuk menenangkan atau memperteguh."Reno, tolong jangan begini," bisik Alena. Matanya melirik ke sekeliling ruangan, melihat perhatian yang mulai terbangun di antara para tamu. "Kita bisa bicarakan ini di tempat lain.""Kenapa? Takut semua orang tahu kebenarannya?" Reno tertawa pahit. Wajahnya memerah, campuran kemarahan dan rasa malu yang semakin menjadi-jadi. "Selama ini aku mempercayaimu. Aku memberikan semuanya padamu, Alena."Adrian akhirnya ma
Adrian melangkah maju, berdiri di depan Reno. "Ini bukan urusanmu lagi," katanya dingin. Reno menatap Adrian dengan penuh amarah. "Bukan urusanku? Dia tunanganku!" Alena merasa dunia berputar, dadanya sesak. Ia tak pernah melihat Reno semarah ini sebelumnya."Tunangan?" Adrian mendengus sinis. "Kau masih menganggapnya begitu setelah apa yang terjadi?"Reno mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ada kilatan kemarahan yang belum pernah Alena lihat dalam matanya—bahkan setelah semua pertengkaran mereka selama ini."Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Cincin ini," Reno menunjuk cincin platinum yang masih melingkar di jari manis Alena, "adalah bukti bahwa kami masih terikat."Alena menggigit bibirnya, merasa terjepit di antara dua pria yang kini saling berhadapan dengan ketegangan yang nyaris bisa disentuh. Para pengunjung kafe mulai melirik ke arah mereka, beberapa bahkan terang-terangan menonton."Tolong," Alena akhirnya bersuara, meskipun nyaris seperti bisikan. "Jan
Dengan cepat, ia mengetik pesan untuk Alena: "Aku dengar kau tidak masuk hari ini. Ada apa? Kau baik-baik saja?"Pesan itu terkirim, tapi tidak ada tanda dibaca. Adrian menghela napas panjang, pikirannya berkecamuk. Ia tahu hubungannya dengan Alena mulai menjadi bahan pembicaraan di kantor. Meski selama ini mereka berusaha profesional dan menjaga jarak selama jam kerja, namun mata tajam Sophia dan beberapa karyawan lain tampaknya mulai menyadari perubahan dalam interaksi mereka.Yang lebih mengkhawatirkan adalah kabar tentang Reno. Adrian tahu Alena masih dalam proses mengakhiri hubungannya dengan pria itu, sesuatu yang tidak mudah setelah bersama selama sembilan tahun. Adrian selalu berusaha mengerti dan memberikan Alena ruang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, meski kadang ia tidak bisa menahan rasa cemburu membayangkan Alena masih terikat dengan pria lain.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Adrian. Ia berdeham untuk menjernihkan pikirannya. "Masuk," ucapnya.Pintu terb
"Aku selalu tahu ada yang tidak beres dalam beberapa bulan terakhir," kata Alena. "Tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya. Aku berpura-pura semuanya baik-baik saja, berharap apapun yang terjadi hanyalah fase yang akan segera berlalu.""Kau tidak melakukan kesalahan apapun, Kak," Mira mencoba menghibur. "Kadang, seseorang pergi bukan karena kita melakukan kesalahan, tapi karena mereka memutuskan untuk mencari jalan yang berbeda."Alena tersenyum getir. "Sembilan tahun, Mira. Sembilan tahun dan dia bisa dengan mudah mengakhirinya seperti ini.""Aku tahu, Kak. Ini berat, sangat berat. Tapi kau harus percaya bahwa suatu saat nanti, sakit ini akan mereda. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi suatu saat nanti, kau akan menemukan kekuatan untuk melangkah maju."Alena menatap adiknya, kagum dengan kebijaksanaan yang dimiliki Mira meski usianya masih muda. Ia mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia tak yakin akan pernah bisa sepenuhnya pulih dari luka ini."Ayo pula
Dengan berat hati, Alena melangkah pergi. Air mata mengalir di pipinya, tetapi ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah keadaan. Ia telah kehilangan Reno—seseorang yang telah menemaninya begitu lama.Langkahnya terasa berat, seolah seluruh beban dunia menindih bahunya. Jalanan kota di sore itu dipenuhi lalu lalang orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tidak seorang pun menyadari kepedihan yang tengah menghantam hati seorang wanita di antara mereka. Alena berjalan tanpa arah, membiarkan kakinya membawanya entah ke mana. Yang ia tahu, ia harus pergi sejauh mungkin dari tempat yang baru saja menjadi saksi bisu kehancuran hatinya."Sembilan tahun," bisiknya pada diri sendiri. Sembilan tahun bersama Reno, tertawa bersama, menangis bersama, merencanakan masa depan yang kini tak lagi mungkin terwujud. Sembilan tahun kenangan yang kini harus diikhlaskan dalam sekejap mata.Langit mulai menggelap ketika Alena sampai di taman kota. Ia mendudukkan diri di bangku
Alena akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menemui Reno di rumahnya. Namun, ketika ia sampai, Reno menolak membukakan pintu. Dari dalam, suaranya terdengar dingin. "Aku tidak butuh penjelasan, Alena. Aku hanya butuh kau untuk pergi."Pagi itu, Alena bangun dengan tekad baru. Sudah seminggu sejak insiden itu terjadi, dan ia tidak bisa lagi menunda-nunda. Ia harus menemui Reno, berbicara dengannya secara langsung, menjelaskan semuanya. Atau setidaknya, mencoba.Adrian, yang masih setia menemaninya selama ini, tampak khawatir ketika Alena memberitahukan rencananya."Kau yakin sudah siap?" tanyanya saat mereka duduk di ruang makan untuk sarapan.Alena mengangguk, menyesap kopi hangatnya. "Aku harus melakukannya, Adrian. Ini sudah terlalu lama.""Baiklah," Adrian menghela napas. "Mau kuantar?""Tidak perlu," tolak Alena lembut. "Ini sesuatu yang harus kuhadapi sendiri."Adrian mengangguk paham. Ia meraih tangan Alena di atas meja, meremasnya lembut sebagai bentuk dukungan. "Apapun yang t
Di sisi lain, Adrian tetap berada di sampingnya. Ia tidak memaksa Alena untuk cepat pulih, tetapi kehadirannya membuat Alena merasa sedikit lebih tenang. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa dirinya masih dipenuhi kebingungan.Sore itu, langit Jakarta tampak kelabu. Hujan rintik-rintik jatuh membasahi jendela kamar Alena yang masih tertutup rapat. Tiga hari telah berlalu sejak kejadian yang mengubah segalanya. Tiga hari yang terasa seperti selamanya.Adrian duduk di kursi samping tempat tidur, sesekali melirik ke arah Alena yang berbaring memandang langit-langit. Tangannya dengan telaten mengupas apel, kebiasaan yang selalu ia lakukan sejak mereka kecil. Alena masih ingat bagaimana Adrian selalu membawa buah untuk dirinya setiap kali ia sakit."Kau harus makan sesuatu," ujar Adrian lembut, menyodorkan sepotong apel. Alena melirik sebentar sebelum menggeleng lemah."Aku tidak lapar."Adrian menghela napas panjang, meletakkan piring berisi potongan apel di meja samping tempat tid
"Aku tahu. Hanya ingin memberitahumu agar kau tidak terkejut jika dia muncul." "Terima kasih, Adrian," ucap Alena tulus. "Untuk segalanya." Setelah menutup telepon, Alena berdiri diam di tengah kesibukan galeri. Pikiran bahwa Reno mungkin akan datang ke pamerannya membawa perasaan campur aduk—harapan, ketakutan, antisipasi, dan kekhawatiran bercampur menjadi satu. Sofia mendekatinya, mengamati ekspresi wajahnya dengan seksama. "Ada kabar?" "Reno mungkin akan datang ke pembukaan pameran," jawab Alena pelan. Sofia mengangguk, senyum kecil terbentuk di bibirnya. "Maka kita harus memastikan ini adalah pameran terbaikmu." Malam pembukaan pameran tiba dengan cepat. Galeri telah disulap menjadi ruang yang elegan namun intim, dengan pencahayaan yang sempurna untuk menyoroti setiap karya seni. Para tamu mulai berdatangan—kolektor, kritikus seni, seniman, dan pecinta seni yang penasaran. Alena berdiri di dekat pintu masuk, mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan. Matanya tidak bisa
Reno tidak menjawab telepon atau pesan dari Alena. Ia benar-benar menghilang dari hidupnya, dan itu membuat Alena merasa bersalah sekaligus kosong. Ia mencoba menghibur dirinya dengan berpikir bahwa ini adalah konsekuensi dari pilihannya, tetapi hatinya tetap terasa berat.Sudah seminggu berlalu sejak pertengkaran mereka. Tujuh hari yang terasa seperti tujuh tahun bagi Alena. Setiap dering telepon, setiap notifikasi ponsel, membuat jantungnya berdebar dengan harapan bahwa itu adalah Reno. Namun setiap kali, harapan itu pupus, digantikan oleh rasa hampa yang semakin dalam."Mungkin sudah waktunya berhenti menghubunginya," ucap Sofia sambil menyesap kopinya.Mereka sedang duduk di kafe kecil dekat galeri, menikmati istirahat singkat di tengah persiapan pameran. Alena menatap layar ponselnya yang menampilkan daftar panggilan tak terjawab—semua untuk Reno."Aku hanya ingin kesempatan untuk menjelaskan," Alena menjawab pelan. "Dia berhak tahu seluruh ceritanya."Sofia menghela napas, menya
Alena duduk di apartemennya, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya penuh dengan apa yang terjadi tadi malam. Reno pergi dengan kemarahan yang tak tertahankan, dan ia tahu bahwa perpisahan itu tidak akan mudah. Ia ingin menjelaskan segalanya, tetapi apakah Reno akan mau mendengarnya?Sudah hampir dua jam ia duduk di posisi yang sama, secangkir teh dingin terabaikan di meja kecil di sampingnya. Cahaya fajar perlahan merangkak masuk melalui jendela, menyinari apartemen yang berantakan—bukti nyata dari pertengkaran malam sebelumnya. Sebuah pigura foto tergeletak di lantai dengan kaca retak, dan beberapa buku tersebar tidak beraturan, terlempar dalam luapan emosi yang tak terkendali."Kau menyembunyikan ini dariku selama tiga bulan!" Teriakan Reno masih bergema di telinganya. "Tiga bulan, Alena! Dan aku harus mengetahuinya dari orang lain!"Alena memejamkan mata, berusaha menelan rasa sakit yang menghimpit dadanya. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa keputusannya untuk tidak bercerita
Alena merasa hatinya hancur, tetapi ia tahu bahwa semua ini adalah konsekuensi dari pilihannya. Adrian mendekatinya dan menyentuh bahunya. "Kau baik-baik saja?" Alena menatapnya dengan mata penuh air mata, tetapi ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Gerimis mulai turun di luar kafe, menciptakan tirai air yang mengaburkan dunia luar. Suasana kafe yang biasanya hangat terasa dingin bagi Alena. Aroma kopi yang mengepul dari cangkir di depannya tak mampu menghibur. Ia menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Adrian. Tidak, ia tidak baik-baik saja."Aku tidak tahu harus berkata apa," ucap Adrian lembut, menarik kursi di samping Alena. "Tapi kau tidak sendirian dalam hal ini."Alena mengusap air matanya dengan tisu yang sudah kusut di genggamannya. Tubuhnya terasa lelah setelah tiga hari tanpa tidur nyenyak. Keputusan yang ia ambil empat bulan lalu kini menghantam balik dengan kekuatan yang menghancurkan."Seharusnya aku tidak pergi malam itu," bisik Alena, suaranya bergeta