“Nathan ....” Wanita itu bergumam sambil menatap layar kaca tanpa berkedip, tatapan matanya rumit, binar netra coklat wanita itu berpendar sendu, ada sesal berpadu dengan kekesalan. Sampai acara itu berakhir wanita itu masih termangu, ia menyandarkan tubuhnya di sofa, ingatannya mengembara pada masa lalu, saat-saat dimana ia telah mengambil keputusan yang salah.Sonya, semua gara-gara Sonya yang sudah mempengaruhinya. Tiba-tiba ia kembali merasakan kerinduan pada sosok yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Ingin sekali ia menemui sosok yang dulu sangat mencintainya, lelaki yang dulu selalu memanjakannya. Namun wanita itu tidak mempunyai keberanian, karena ia pernah menorehkan luka pada laki-laki itu.Wanita itu menatap gambar pasangan yang sangat mesra dan berbahagia yang fotonya banyak beredar di media-media entertaintmen maupun di jejaring sosial. Ia menatap lekat pada wanita di foto itu, tatapannya dipenuhi kecemburuan dan kebencian.“Harusnya aku yang di samping Nathan, bukan k
“Apa itu, Sayang?” Nathan bertanya penasaran, wajahnya berubah serius, ia sangat khawatir sesuatu mengganggu istri tercintanya.Nina menghela napas, sebelum akhirnya dia berkata, “Nathanny, kemaren kita melakukan wawancara dengan berbagai media, foto kita tersebar kemana-mana, aku khawatir akan menimbulkan dampak negatif pada kita, aku khawatir membangkitkan amarah dan kecemburuan orang-orang yang selama ini mendambakanmu.”“Ya ampun, sayang. Siapa juga yang mendambakan laki-laki dingin, angkuh, arrogant dan kejam kayak Nathan ini, plus impotent lagi, hehe.” Nathan terkekeh sambil mencium pipi istrinya.“Aku serius Nathanny, selain yang kamu sebutkan tadi, kamu adalah pria idaman setiap wanita, tampan, gagah, pengusaha sukses yang kaya raya. Wanita mana yang tidak menginginkan hidup berkecukupan, dan menjadi wanita terhormat.”“Nyatanya ada, kok wanita yang seperti itu,” kilah Nathan.“Oh, ya? Siapa?” tanya Nina polos.“Namanya Nina Alice Maxwell Evans, seorang putri bangsawan keturun
“Anda ...” Nina terdiam sesaat, ia teringat saat insiden penabrakan itu, orang yang menolongnya juga memanggilnya dengan cara yang sama, sayangnya laki-laki ini mengenakan kaca mata gelap sehingga Nina tidak bisa melihat kedua bola matanya. Tapi suaranya sama. “Bagaimana Miss. Evans?” tanya lelaki itu membuyarkan kebingungan Nina. “Oh, tidak apa-apa, saya hanya sedikit terkejut. Karena saya sudah menikah, suami saya Nathan Wilson, biasanya orang memanggil saya dengan Nyonya wilson atau Nyonya Nathan, tapi Anda menyapa saya dengan nama keluarga saya.” “Oh, maaf, maaf Nyonya Wilson.” Lelaki itu segera mengoreksi, “Mari silahkan duduk.” Lelaki itu menarik kursi dan mempersilahkan Nina untuk duduk, lalu ia memutari meja besar itu, dan duduk di arah yang berlawanan dengan Nina, sehingga keduanya saling berhadapan. “Saya sudah mendengar reputasi perusahaan Anda, dan saya sudah memeriksa beberapa produk Nittany, dan berencana akan menggunakannya untuk program-program kami.” “Terima kasi
"Dad ..." gumam Nina lirih, suaranya nyaris tidak terdengar, namun Aran cukup bisa mendengarnya. “Itu foto Dad dua puluh lima tahun lalu, mungkin saat itu kamu belum lahir, Alice. Tapi kata Dad beliau sudah menikah dengan ibumu.” Aran menjelaskan mengenai foto yang sedang digenggam Nina, Nina tidak bisa berkata-kata, wanita muda itu terisak. “Lalu kamu ...?” “Aku kakakmu Alice, dari ibu yang berbeda, tapi ayah kita sama.” Aran menjelaskan sambil tersenyum. “Kakak ...?” Nina menggeleng, ia sangat bingung. Aran mengangguk, ia menghela napas panjang lalu menceritakan mengenai asal usul ayah mereka. Arthur Maxwell Evans Ó Meisceall , adalah putra dari Henry Martin Maxwell Ó Meisceall , Baron Maxwell ke-lima. salah seorang bangsawan di Irlandia Utara. Sebagaimana aturan dalam keluarga, tuan Arthur dijodohkan dengan Saoirse Collin, yang juga seorang wanita keturunan bangsawan. Namun keduanya tidak saling mencintai, meskipun pernikahan mereka telah berjalan selama tiga tahun dan putra
“Jadi dia ...” Nathan terdiam, jika benar dia kakak Nina maka dia datang akan menjemput Nina, itu berarti ... Ah tidak, Nathan tidak akan sanggup membayangkan jika Nina dibawa ke Eropa dan meninggalkannya, apa pun yang terjadi dan bagaimana pun, ia harus bersama Nina.“Emmy, berikan kontak tuan Aran padaku,” perintah Nathan, ia ingin bicara langsung dengan pria yang mengaku kakak Nina itu.“Hallo selamat malam, saya Nathan Wilson, suami Nina Evans.”“Oh, tuan Nathan. Bagaimana? Apa Alice baik-baik saja?”“Alice?” Nathan sedikit bingung, karena tidak terbiasa dengan panggilan itu.“Ya, istri Anda. Nina Alice Maxwell Evans. Alice adalah panggilan kesayangan dari ayah kami.”“Apakah Anda yakin, jika istri saya adalah adik Anda?”Aran terdiam sesaat, ia menghela napas. “Begini saja tuan Nathan, besok kita bertemu di rumah sakit untuk melakukan test DNA, nanti kita bisa membuktikannya apa benar Alice adikku atau bukan.”“Baiklah, besok saya akan menemani istri saya melakukan test DNA,” j
“Oh Tuhan ...” Nina bergumam seraya menutup mulutnya, wanita itu tertegun membaca hasil test DNA antara dirinya dengan Brian Aran, lelaki asing yang sama sekali tidak dikenalnya.Nina tertegun cukup lama, ia seakan tidak percaya, hasil test itu menunjukan hubungan antara Brian Aran Maxwell Evans dengan Nina Alice Maxwell Evans adalah paternal half-sibling atau saudara satu ayah.Begitupun dengan Aran, meskipun pria itu sangat yakin kalau Nina adalah adiknya, tetap saja pria itu merasa takjub dan terkejut. Bukti ilmiah ini sangat akurat dan tidak bisa dibantah. Perlahan Aran mengangkat wajahnya, menatap Nina. Wanita itu juga sedang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.Tiba-tiba Nina menghambur ke arah Aran, “Kakak ...”Aran segera menyambut, memeluk sang adik, air mata keduanya tak bisa terbendung lagi. Aran memang sudah lama tahu jika ia mempunyai seorang adik perempuan, sang ayah telah menceritakan semuanya. Sedangkan bagi Nina, ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau dia mempunya
“Reb, tunggu! Kamu mau apa?” Sonya segera mengejar Rebecca dan menarik lengan wanita itu.“Apa yang akan kau lakukan?”“Aku mau bicara dengan perempuan itu, aku harus bertemu Nathan.”“Bodoh! Apa kamu pikir Nathan akan mendengarkanmu?” Sonya menghentikan Rebecca.“Maksudmu?”“Kalau kamu lapor ke Nathan mengenai perbuatan istrinya di belakang dia, sedangkan kamu tidak punya bukti bagaimana lelaki itu akan percaya? Yang ada dia akan menuntutmu karena sudah memfitnah nama baik istrinya.”Rebecca tertegun, ia menatap pasangan itu dari kejauhan. “Lalu apa yang akan kita lakukan, Sonya?”“Ikuti mereka, lalu ambil gambar dan videonya. Karena itu akan menjadi barang bukti.”Rebecca mengangguk, ia segera mengeluarkan ponselnya dan diam-diam merkam dan mengambil foto pasangan yang sedang asik melihat-lihat barang-barang di pusat perbelanjaan tersebut.Setelah merasa cukup, Rebecca kembali menemui Sonya yang sedang menunggunya. Sonya segera melihat-lihat, diam-diam ia takjub pada pria yang bersa
“Pak Nathan, tunggu!” terdengar suara seorang wanita memanggilnya, Nathan membalikan badan. Victoria bergegas ke arahnya. Nathan mengerutkan kening, mau apa lagi perempuan itu mencarinya? Masih sukur ia tidak memecatnya, kalau bukan permintaan Nina, sudah pasti Nathan akan memecat perempuan itu.Penampilan Victoria sekarang berubah jauh, karena ia diturunkan jabatannya menjadi karyawan biasa. Namun bagi Victoria itu lebih baik daripada kehilangan pekerjaan. Ia sangat bersyukur, Nina berlapang dada mau memaafkannya, dan menyarankan Nathan agar memberikan kesempatan sekali lagi pada Victoria.“Ada apa?” tanya Nathan sambil melihat arlojinya.“Maaf, Pak. Ada informasi yang ingin saya sampaikan,” sahut Victoria.“Informasi? Informasi apa?” ulang Nathan.“Tentang Sonya dan ...” Victoria ragu melanjutkan kata-katanya.“Dan apa? Tolong jangan bertele-tele, istri saya sedang menunggu,” tegas Nathan.“Dan Nona Rebecca Jones.” Victoria langsung ke inti pembicaraan, “tadi saya melihat Sonya ber
Nathan tertegun, “Maaf, maksudnya bagaimana?” “Begini, Sir. Saya adalah president direktur di salah satu perusahaan di Belfast, jadi saya bisa dengan mudah memberikan Anda jabatan di perusahaan saya, sehingga Anda tidak menganggur di sini.” Pria itu berkata dengan bangga, ia adalah suami dari salah satu sepupu Nina yang tidak memiliki peranan di Kastil O’Meisceall, ia bisa hadir di acara itu karena sang istri mendapat undangan, sebab ayahnya adalah salah satu sepupu Lord Arthur. “Oh, terima kasih atas penawaran dan kebaikan Anda.” Nathan menjawab sambil tersenyum, meskipun jauh di hatinya ia kesal, karena secara tidak langsung mereka menuduh Nathan menumpang hidup pada keluarga istrinya. Secara kebetulan Aran mendengar pembicaraan lelaki itu, ia merasa berkewajiban meluruskan semuanya. “Haha, apa yang kau tawarkan pada Sir Nathan Wilson tadi?” Aran tertawa sambil mendekati Nathan dan pria tadi, tentu saja tawa Aran itu mengundang perhatian yang lain, sehingga mereka semua menoleh
“Tan, kamu harus segera kembali ke Philly.” Kakek Wilson meminta Nathan kembali. Nathan tertegun, mengapa kakeknya memintanya kembali. Sang kakek pun menjelaskan kalau ia sudah berunding dengan paman dan tante Nathan akan mengadakan perayaan atas kehamilan Nina. Karena ini adalah cicit pertamanya dan cucu pertama mereka. “Ya ampun aku kira ada apa, Kek.” Nathan tertawa mendengar penjelasan kakeknya. “Tapi maaf kek, aku dan istriku belum bisa kembali dalam waktu dekat ini, karena saat-saat ini adalah saat-saat rawan untuk kehamilan istriku, ia akan kelelahan melakukan penerbangan jauh.” Terdengar helaan napas kakek Wilson. “Apa kondisi Nina kurang bagus?” “Oh, semuanya bagus, kek. Di sini aku tidak perlu khawatir, karena di Kastil ini ada dokter dan perawat keluarga yang mengawasi dengan ketat, termasuk makanan untuk istriku pun dibuat khusus dengan nutrisi yang tepat untuk usia kehamilan istriku. Selain itu, di sini juga aku tidak perlu khawatir ada orang-orang yang berniat tidak b
“Hal penting, hal penting apa Nathany?” tanya Nina bingung.“Sayang, sebulanan ini kita full bercinta, tidak ada libur semalam pun.”“Kamu bosan, Nathany? Atau lelah?” potong Nina cepat, keduanya adalah pasangan muda yang masih sangat bergairah dalam berhubungan intim.Nathan terkekeh mendengar komentar istrinya. “Bagaimana mungkin aku bosan, sayang. Kamu tahu sendiri kan, aku sering minta nambah.”“Hm, terus?” Nina bingung dengan sikap suaminya.“Aku hanya heran untuk bulan ini, buan-bulan sebelumnya aku biasa libur seminggu di awal bulan, menunggu tamu bulananmu selesai, tapi bulan ini ...”“Nathany.” Nina tersentak mendengar suaminya menyinggung soal tamu bulanan, ia segera bangun dan mengambil ponselnya untuk melihat kalender bulanannya.“Ya Tuhan! Nathany!” Nina terpekik seraya menutup mulutnya.“Kenapa, sayang?” Nathan bangun dan ikut tegang.“My Hubby Baby, aku sudah telat 6 hari,” ujar Nina gembira.“Oh, benarkah?” Nathan terkejut, Nina mengangguk sambil menunjukan jadwal kale
“Dad...” Aran bergumam, matanya berkaca-kaca melihat sang ayah terlihat gagah dan sehat. Sungguh suatu keajaiban. Sebelumnya, sang ayah terlihat tak berdaya, jangankan untuk bisa berjalan seperti itu, untuk bangun saja harus dipapah.Lord Arthur tersenyum pada Aran dan Nathan hangat, ia pun menuju kursi tempat duduknya di tengah-tengah, sedangkan Nina duduk di sebelah kanan di dekatnya, Nathan duduk di samping Nina. Aran duduk berseberangan dengan Nina, ia berada di sebelah kiri ayahnya.“Maaf ya kalau kalian lama menunggu, tadi babby Aliceku tertidur,” ucap Lord Arthur tersenyum sambil melihat Nina yang juga tersenyum malu.“Tidak apa-apa, Dad. Aku sangat bahagia melihat kondisi Daddy sekarang, sungguh suatu keajaiban.” Aran berkata dengan antusias.“Itu benar, Aran. Kita akan merayakan kedatangan Lady Maxwell, sekaligus pengukuhan gelarnya dan pencatatan namanya di daftar keluarga Maxwell.”Lord Arthur berkata dengan penuh semangat, ia memerintahkan Fred untuk mempersiapkan segala s
“Masalahnya, aku curiga dengan istriku, kak.” Nathan berujar sambil menatap kakak iparnya, wajah tampannya terlihat serius. Wajah Aran pun tak kalah serius melihat adik iparnya seperti itu, curiga? Curiga apa?“Maksudnya bagaimana? Curiga sama Alice? Curiga dalam hal apa?”Rentetan pertanyaan meluncur dari mulut bangsawan muda itu. Nathan menghela napas, ia menjelaskan kalau Nina masih muda, energik dan bukan tipikal wanita manja yang suka mengeluh. Sejak kecil, ibunya telah melatihnya untuk bisa mandiri. Ia selalu tahan menghadapi kesulitan apa pun tanpa pernah mengeluh. Kalau hanya naik turun tangga, itu bukan hal yang bisa membuatnya mengeluh.Dari semenjak Nathan mengenal Nina, tidak pernah wanita itu mengeluh hal apa pun padanya, mereka memang suka mendiskusikan berbagai hal, namun bukan sebagai keluhan. Namun, Nathan ingat, Nina pernah mengeluh sering lelah, gampang merasa capek dan inginnya bermalas-malasan di kamar. Dan itu terjadi beberapa hari sebelum insiden penabrakan terj
Nina dan Nathan tertegun, berita penting? Berita penting apa? Bukankah jamuan makan malam masih akan berlangsung satu jam lagi? Nina dan Nathan segera menemui tuan Fred, lelaki itu diutus secara pribadi oleh Lord Arthur untuk menjemput Nina ke ruangan pribadinya. Nina tertegun, jantungnya berdetak tak menentu, hal yang telah lama ia nanti-nantikan, bertemu langsung dengan sang ayah sebagai anak dan ayah. Nathan bisa merasakan kegelisahan sang istri, ia menepuk bahu Nina dengan lembut, lalu menggenggam erat tangan Nina yang mulai terasa dingin. Nathan mengangguk sambil tersenyum untuk memberikan dukungan. “Ayo sayang, ini waktu yang sekian lama kamu tunggu-tunggu. Aku akan menggendongmu sampai ke bawah.” Nathan mengelus sang istri dengan lembut, Nina mengangguk, support dari sang suami telah membuatnya tenang. Nathan menggendong Nina menuruni anak tangga, meskipun Nina menolak namun Nathan langsung membopong sang istri. “Silahkan sayang, aku akan menungggumu di depan paviliun ini s
Tiba-tiba, Nina merapatkan tubuh pada suaminya. “Nathany, apa aku bermimpi?” bisik Nina. “Kenapa, sayang?” balas Nathan heran. “Bangunan di depan kita ini seperti ilustrasi di cerita-cerita dongeng.” Nina menatap bangunan tinggi yang berdiri di hadapannya, ada beberapa menara menjulang di tiga sisi. Cahaya terpancar dari setiap jendela yang terlihat di keseluruhan bangunan yang terbuat dari batu alam yang kokoh itu. “Namanya kastil-kastil kuno Eropa ya begini, sayang. Para illustrator kan membuat gambar berdasarkan gambaran real yang pernah ada, lalu mereka menambahkan imajinasi untuk memperkaya kreasi mereka.” Nathan menjelaskan sambil ikut menatap bangunan kuno namun megah itu. “Lho kalian kenapa berdiri di sini?” Aran menghampiri mereka yang masih belum beranjak, padahal kendaraan yang mengantar mereka sudah pergi. “Kami takjub dengan pemandangan kastil ini, kak. Benar kan, sayang?” Nathan menjawab yang ditimpali dengan anggukan Nina. “Sepertinya, usia kastil ini sudah cukup t
“Takut? Takut kenapa, my love?” Nathan tertegun, ia menatap sang istri, dan terlihat kegugupan di wajah cantik itu. “Bukankah ini adalah saat-saat yang sudah lama kamu nantikan, bertemu dengan ayah kandungmu.” “Benar Nathany, aku memang sangat merindukan Daddy, tapi aku bingung apa yang harus aku lakukan nanti, apa yang harus aku katakan? Aku takut nanti malah menjadi asing dengan ayahku sendiri.” Nina menghela napas pelan, pertanyaan demi pertanyaan melintas di pikirannya. “Kamu tahu kan, Nathany. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya pelukan seorang ayah, aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi dan berbakti pada seorang ayah.” Nathan terdiam mendengar ucapan istrinya, bagaimanapun ia lebih beruntung dari Nina karena selama delapan belas tahun Nathan hidup dalam kasih sayang kedua orang tua lengkap, jadi ia bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Sedangkan Nina, ayahnya meninggalkannya saat ia baru berumur 1 tahun, belum ada memory yang tertinggal di ingatannya tentang sa
“Will, lihat itu!” tukas tuan Carter, matanya tak lepas dari sepasang anak muda yang sedang berdansa diantara pasangan-pasangan lainnya. Kakek Wilson pun mengikuti arah tatapan sahabatnya, kakek Nathan itu tertegun.“Christy? Siapa anak muda itu? Apa mungkin teman kuliahnya?” gumam kakek Wilson.“Itu cucu perempuanmu kan, Will?” tanya tuan Carter memastikan, kakek Wilson mengangguk.“Kamu tahu siapa pemuda yang sedang berdansa dengan cucumu?” tanya tuan Carter lagi, ada riak kegembiraan di wajahnya, sedangkan kakek Wilson hanya mengedikkan bahu.“Itu Bob, cucukku,” jawab tuan Carter sambil tersenyum.“Oh, itu yang namanya Bob?”“Yeah, benar Will. Aku memang belum sempat mengenalkan padamu, selama ini dia sibuk belajar di luar negeri, pas kembali langsung aku suruh memegang perusahaan dibawah bimbingan Nathan.”Kakek Wilson manggut-manggut, tapi bagaimana keduanya bisa saling mengenal dan terlihat langsung akrab begitu? Kedua kakek itu pun heran. Dulu mereka susah payah untuk menyatuka