“Nina! Saya harap Anda tahu, mengapa saya panggil ke mari,” tegas Nathan. Suara bariton itu terdengar begitu menusuk di telinga Nina, seorang eksekutif muda yang menjadi bawahannya.
Di dalam ruang kantor yang elegan dan mewah itu, Nathan Wilson, seorang pria berusia 32 tahun, duduk di depan meja kerjanya yang dipenuhi dengan tumpukan dokumen yang harus ia perikasa. Wajah maskulinnya melengkapi keagungan sosok bos yang dijuluki bos killer oleh para karyawannya.
Betapa tidak, ia memimpin dengan tegas dan keras, selalu menuntut perfeksionis kepada bawahannya. Namun, berkat kepemimpinannya itu, kemajun yang cukup gemilang telah berhasil dicapai. Ia telah membawa perusahaannya menjadi salah satu perusahaan raksasa yang sangat diperhitungkan.
Sementara di hadapannya, Nina Evans, seorang gadis muda berusia 23 tahun, duduk dengan wajah tegang, tangannya berkeringat, ia tidak tahu lagi kesalahan apa yang telah dilakukannya.
Ini sudah menginjak bulan ke tujuh, sejak Nina bergabung dengan perusahaan besar yang dipimpin oleh Nathan. Awalnya ia sangat berambisi untuk bisa bergabung di perusahaan bergengsi itu, karena ia adalah salah satu lulusan universitas terbaik, dengan nilai-nilai dan bakat istimewa.
Namun, kenyataan tak seindah yang ia bayangkan. Nina harus bekerja ekstra keras untuk membuktikan kemampuannya. Meskipun kerap mendapati kesulitan, atau lebih tepatnya dipersulit oleh big bosnya ini, karena semua yang dilakukannya selalu mendapatkan kritikan. Tapi, Nina selalu berusaha bekerja secara profesional, semua itu ia hadapi sebagai bagian dari resiko sebuah pekerjaan.
“Saya tidak yakin, Pak. Apa yang sebenarnya terjadi?” jawab Nina berusaha untuk tenang, meskipun ia sangat tegang.
Nathan menatap gadis dihadapannya dengan tajam. “Ini tentang laporan yang Anda kirimkan kemarin, lihat! Begitu banyak kesalahan di dalamnya!” Pria itu membanting sebandel berkas di depan Nina, membuat gadis itu terkesiap.
Nina menghela napas, ia berusaha sedapat mungkin untuk tenang, diraihnya berkas itu dan dibukanya, ia terperanjat, seakan tidak percaya dengan penglihatannya.
“Tapi Pak, kemarin saya sudah mengeceknya dengan sangat ketat,” jawab Nina.
“Anda selalu saja berdalih, Nina. Saya tidak tahu mengapa Anda terus menerus melakukan kesalahan seperti ini.” Nathan mendengus, tatapannya menusuk pada gadis di depannya.
Nina berusaha mengumpulkan keberanian, ia mengangkat wajahnya dan tatapan keduanya pun bertemu. Sejurus keduanya terdiam sebelum akhirnya Nina berkata, “saya tidak sengaja melakukan kesalahan, Pak. Saya sudah mencoba melakukan yang terbaik.”
Nathan nampak tidak puas, matanya menatap semakin tajam, seakan sedang menguliti gadis itu.
“Anda tahu, Nina. Saya sangat menilai pekerjaan Anda, kesalahan-kesalahan seperti ini tidak boleh terulang lagi,” ujar Nathan dingin.
“Baik, Pak. Saya akan memeriksa kembali laporan ini dan segera memperbaikinya.”
“Hmm, Anda boleh kembali,” perintah Nathan datar, matanya kembali terfokus pada berkas-berkas di hadapannya.
“Baik, Pak. Saya permisi.” Nina berdiri, lalu berbalik meninggalkan Nathan. Lelaki itu mengangkat wajahnya, ia menatap punggung gadis itu, yang menghilang di balik pintu, sekilas senyum samar melintasi wajah tampannya.
Nina meninggalkan ruangan Nathan dengan perasaan campur aduk, ia telah bekerja keras membuat laporan itu, lalu memeriksanya dengan hati-hati sebelum diserahkan. Tapi mengapa jadi banyak kesalahan begini? Apa kemarin ia terlalu bersemangat sehingga menjadi kurang fokus?
Gadis itu menjadi semakin kacau, banyak pertanyaan demi pertanyaan melintas di pikirannya, ia penasaran mengapa setiap laporan yang ia buat sering seperti ini, ‘apa ada yang sengaja merubah, ya? Tapi siapa? Dan apa mungkin?’ gumam Nina membathin.
Tiba-tiba …
Brukk!!
“Aww!” teriak seseorang. Nina menubruk seorang gadis hingga keduanya sama-sama terjatuh, barang-barang yang mereka bawapun berserakan di lantai.
“Ma-maaf, sa-saya tidak sengaja,” ucap Nina sambil membantu memunguti barang-barang gadis yang telah di tabraknya.
Gadis yang ditabrak Nina itu tertegun, ia tidak menyangka gadis bodoh yang menabraknya adalah Nina, sahabatnya sendiri. Padahal baru saja ia mau melabrak.
“Nina …” panggil Laura sambil menatap Nina yang masih tertunduk membereskan barang-barangnya.
Demi mendengar suara yang tidak asing menyebut namanya, Nina pun mengangkat wajah. Benar saja, Laura sahabat sekaligus rekan kerjanya sedang menatapnya dengan bingung.
“Oh, kamu rupanya, so sorry Laura, aku tidak fokus tadi.”
“Hei, kamu kenapa Nina? Ini masih di kantor, kamu jalan seperti orang bermimpi, coba kalau di luar sana, bukan orang yang kau tabrak, tapi mobil.” Laura langsung nyerocos.
“Iya maaf, aku memang sedikit melamun tadi,” jawab Nina seperlunya, ia segera menyerahkan barang-barang Laura yang tadi berantakan. “Nah, sekarang sudah beres, nggak ada yang rusak, jadi aku nggak harus ganti rugi, kan.”
“Tunggu-tunggu. Kamu kenapa, Nina?” tanya Laura cepat, ia melihat wajah Nina yang seperti orang linglung. Nina tidak menjawab, gadis itu hanya mengedikkan bahu.
“Oke-oke, kalau gitu kita minum kopi dulu yuk, kafein itu bagus, supaya tubuh menjadi fresh lagi,” ajak Laura.
“Tapi aku harus menyelesaikan pekerjaanku, Laura.” Nina berusaha berkelit, alih-alih menjawab Laura langsung menarik tangan Nina ke kafetaria yang ada di lingkungan kantor, untuk menikmati secangkir kopi.
Laura dan Nina duduk sambil menyesap secangkir kopi hangat. Laura sudah lama mengenal Nina, jadi ia tahu pasti gadis itu sedang menghadapi masalah, sehingga membuatnya linglung.
“Nah, sekarang coba ceritakan, kamu ada masalah apa, Nin?” tanya Laura penasaran.
“Tidak ada apa-apa kok, Ra.” Nina menjawab dengan santai, sambil kembali menyesap kopinya.
“Hei, Nina. Pliss deh, aku ini sahabat lama kamu, jangan bilang nggak ada apa-apa ya.” Laura nyerocos menggerutu.
“Iya-iyaa, Miss Bawel, aku akan cerita,” sahut Nina sambil menatap Laura.
“Nah gitu dong, ah. Bukan Laura namanya kalau nggak bawel.” Laura mengerucutkan bibirnya.
Nina menghela napas sambil memutar-mutar cangkirnya. “Aku barusan dipanggil pak Nathan,” ucapnya.
“What?!” seru Laura terkejut, “dipanggil lagi? Dimarahin?” cecarnya.
“Yah, entah apa namanya, dimarahin atau dikhotbahin, tapi kurang lebih seperti itu.”
“Tunggu-tunggu,” potong Laura, “masalah apa lagi, Nin? Bukannya kamu sudah menyelesaikan pekerjaan kamu dengan baik.”
“Ya, kamu lihat sendiri kan, Ra. Aku sudah berusaha keras menyelesaikannya, juga sudah memeriksanya sebelum aku serahkan, tapi setelah sampai ke tangan Pak Nathan, ada saja yang salah.” Nina menghela napas.
“Dan kali ini, kesalahannya fatal banget, hampir 50 persennya,” imbuhnya.
Kedua sahabat itu terdiam, wajah keduanya menjadi serius. Laura menyesap kopinya kembali, ia sendiri merasa heran, karena sahabatnya ini sering sekali mendapatkan teguran dari sang bigboss, padahal Nina selalu bekerja dengan sungguh-sungguh, ia juga salah satu karyawan yang cerdas dan berbakat.
“Sepertinya ini bukan pertama kali begini deh, Nin.”
“Kamu benar, Ra.” Nina membenarkan, “ini ketiga kalinya pekerjaanku ditolak, padahal aku sudah memeriksanya dengan teliti.”
“Hmm, apa mungkin ada yang melakukan sabotase …”
Ketika kedua gadis itu sedang menebak-nebak berbagai kemungkinan, tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan dan sindiran seseorang.
“Bagaimana mau hasil kerja bagus kalau ngerumpi terus.”
Nina dan Laura saling berpandangan, keduanya mengangkat wajah dan melihat ke arah sumber suara. Seorang pria mengenakan kemeja pink muda berdiri menatap mereka. Sebenarnya wajah pemuda itu bisa dikategorikan tampan, namun sayang wajah feminimnya itu selalu dihiasi dengan senyuman sinis, terutama kepada Nina. Pria itu adalah Richard, salah satu karyawan yang sudah cukup lama bekerja di perusahaan itu, ia berada satu divisi dengan Nina. Namun hubungan keduanya terlihat kurang sedap, karena Richard sering menyinggung atau menyindir Nina. “Richard, apa masalahnya denganmu?” sahut Laura ketus. “Ini masih jam kerja, tapi kalian berdua malah ngerumpi.” Richard bergaya bak seorang supervisor. “Aku tahu ini masih jam kerja, tapi peraturan di perusahaan ini tidak melarang kalau hanya sekedar minum kopi untuk mengurangi kepenatan,” sengit Laura, “yang penting, kami tidak melalaikan tugas dan pekerjaan kami.” “Oh, ya. Bagus dong kalau bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, dan boss puas de
Seorang pria tampan berdiri di samping Nina, ia mengamati gerak-gerik gadis itu yang sibuk pada pekerjaannya. Sesekali ia melihat ke layar komputer Nina, lalu mengangguk dan tersenyum, tatapanya pun kembali memperhatikan gadis cantik yang sangat energik itu. Sedangkan Nina sama sekali tidak menyadari kehadiran pria itu, ia benar-benar terbenam pada pekerjaannya, jari-jarinya yang lentik menari begitu lincah di keyboard. “Malam Nina, kamu belum pulang?” terdengar suara pria itu menyapanya, suara bariton itu terdengar ramah dan hangat. Sontak Nina terkejut, ia diam mematung sebelum akhirnya menoleh dan mengangkat wajahnya. Bagai disambar petir di siang bolong, jantung gadis itu hampir melompat demi melihat siapa yang berbicara tadi. “M-malam P-pak Nathan,” jawab Nina terbata-bata, suaranya bergetar. “Hei, kamu kenapa, Nina? Apa kamu melihat hantu?” Nathan terkekeh melihat reaksi Nina yang ketakutan, tapi sangat menggemaskan. “I-iya, Pak. S-saya tidak tahu kalau bapak ada di sini.”
Nina masih tertegun ketika kaca pintu depan mobil itu diturunkan, samar-samar terlihat seorang pria duduk di belakang kemudi, lalu terdengar suara yang tidak asing memanggilnya. “Ayo cepat masuk, Nina! Mau aku ditangkap polisi ya karena masuk dan berhenti di jalur yang salah,” tegas pria di dalam mobil itu. “Oh, i-iya, Pak!” Nina bergegas masuk dan duduk di kursi belakang. “Kamu pikir aku sopir, kamu duduk di situ, hem.” “Oh, i-iya, ma’af.” Nina segera pindah ke kursi depan, mobil itu pun segera melaju cepat keluar dari jalur khusus bus itu. Nina masih terlihat gugup, ia sama sekali tidak menyangka kalau sang bos akan memintanya masuk ke mobilnya. “Kamu kenapa, Nina. Disuruh masuk malah bengong, ketakutan seperti lihat hantu,” ujar Nathan sambil tetap fokus pada jalan di depannya. “Saya … saya tidak tahu kalau itu bapak, saya kira …” Nina ragu-ragu meneruskan kata-katanya. “Memang kamu kira apa?” desak Nathan. “Saya kira penjahat yang mau menculik saya,” jawab Nina polos
“Siapa itu tadi, Nin?” tanya seorang wanita, ia berdiri di samping Nina sambil menatap gadis itu keheranan. Nina baru menyadari jika ada orang lain yang memperhatikannya, ia menoleh dan terkejut melihat siapa yang berdiri di sampingnya. “Tante Sophi?” ujar Nina seakan tidak percaya, “kapan Tante datang? Kenapa nggak memberitahu Nina?” “Dari tadi sore Tante sudah sampai sini, Tante pikir kamu sudah pulang kerja, ternyata belum pulang, jadi Tante nungguin kamu di teras depan kamar kamu.” Wanita itu sedikit kesal, “Tante sudah telepon kamu berkali-kali, tapi ponsel kamu nggak aktif,” imbuhnya. “Oh, ma’af Tante, Nina hari ini harus lembur, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini juga.” Nina berkata seraya membuka tasnya dan mengambil ponselnya, “O Tuhan, ponselku lowbat, dari sore aku gak buka-buka ponsel, jadi nggak tahu kalau dayanya mati.” “Ngomong-ngomong siapa yang mengantar kamu tadi, Nina. Kalau dilihat dari mobilnya, bukan orang biasa, mobil orang-orang kelas atas
Nina tertegun, ia mencoba mengingat siapa saja yang tahu nomor pribadinya itu, karena ia telah memisahkan antara nomor pribadi dan nomor kerja.“Ah mungkin nomor salah sambung atau orang iseng,” gumamnya. Nina pun bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dan berganti pakaian. Namun ketika ia kembali hendak tidur, ponselnya kembali berdering, panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal tadi.Sejenak gadis itu tertegun, ia ragu untuk mengangkatnya, khawatir orang iseng atau marketing yang menawarkan barang atau jasa. Akhirnya Nina pun mengangkatnya, jika memang orang iseng ia siap akan memblokir.“Halo,” sapa Nina, “maaf ini siapa ya?”Hening, tidak terdengar jawaban dari seberang sana.“Hmm, ya sudah, mungkin Anda salah sambung, selamat malam.” Nina baru saja akan memutuskan panggilan ketika tiba-tiba terdengar tawa di ujung sana.“Halo, Anda siapa? Tolong jangan main-main!” hardik Nina kesal.“Iya-iyaa … galak banget sih, sayang.” Terdengar suara di ujung sana. Nina tertegun, sua
Laura terperanjat, sahabatnya diam mematung memperhatikan sosok seseorang dari kejauhan. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Nina? Laura kembali memperhatikan sosok yang sudah menyita perhatian sahabatnya itu. Sosok angkuh dan dingin, yang siap membekukan apa saja, lebih dingin dari es di kutub utara.“Pak Nathan ganteng ya, Nin. Tapi sayang …” Laura menggantung kata-katanya untuk memancing Nina.“Apa?” tanya Nina linglung, gadis itu seperti baru tersadar dari tidurnya. Laura terkekeh menggoda Nina, kalau Nina tertarik dengan gunung es itu. Namun diluar dugaan Laura justru sahabatnya itu melontarkan pertanyaan yang membuat bola matanya hampir keluar.“Ra, Pak Nathan itu sudah menikah belum sih?” tanya Nina santai.“What?!” respond Laura dengan full keterkejutannya, “Nina, kamu nggak salah minum obat kan, Nin?”Nina menggelengkan kepalanya dengan bingung, apa yang salah dengan pertanyaannya? Ia pun menjelaskan maksud pertanyaannya, pasalnya ia penasaran dengan sikap sang bos, bisa ja
Seorang pria yang sudah dikenal Nathan langsung masuk, ia nampak terkejut melihat Nathan yang terbatuk-batuk, ia melihat ke atas meja, terhidang beberapa potong sandwich yang terlihat menggugah selera. Nathan segera meraih gelas dan meneguk air putih untuk menetralisir tersedaknya. “Brengsek! Kenapa masuk nggak ketuk pintu dulu?” hardik Nathan. Lelaki yang baru datang itu menggaruk rambutnya sambil nyengir, “He he, sorry bos, aku lupa,” jawab Michael polos. Tanpa disuruh ia langsung duduk di samping Nathan. “Wah, sepertinya lezat, Tan. Aku nggak ditawari, nih?” Rengek Michael sambil menatap sandwich di meja. “Memang belum sarapan, Mike?” tanya Nathan melanjutkan makannya, Michael menggeleng. “Ya sudah, ambil sepotong aja, jangan lebih,” tegas Nathan. “Ha ha ha, sejak kapan bos yang satu ini pelit sama sarapan, biasanya kalau makanan langsung dikasih aku untuk dihabiskan.” Michael tertawa sambil menggerutu, namun tangannnya aktif meraih sepotong sandwich. “Ck, berisik! Ini beda,
Laura tertegun, mau apa lagi cowok julid ini ke mari, apa ada kaitannya dengan perubahan sikap Nina? Gadis itu masih berusaha menebak dan memahami situasi yang terjadi. Richard, lelaki yang disebut Laura julid itu tersenyum sarkastik. Laura paham, senyum itu ditujukan untuk sahabatnya Nina, karena mata pria itu tak pernah lepas dari menatap Nina.“Ehm, maaf Tuan Richard, sepertinya Anda ingin bergabung makan siang dengan kami,” ujar Laura sarkastik, “tapi maaf kami hanya ingin makan berdua, jadi tidak mengundang orang lain.”Pria itu menatap Laura dan tersenyum sinis. “Saya tidak butuh undangan kalian, justeru saya yang akan mengundang kalian untuk merayakan keberhasilan saya mendapatkan project baru dari bos.”Laura melirik Nina, gadis itu tidak bereaksi apa-apa, sedikit banyak ia bisa meraba situasinya.“Well, memang penting ya merayakan pekerjaan yang belum terlihat pasti hasilnya,” ujar Laura sinis.“Apa maksud kamu?” Richard terlihat jengkel.“Nggak ada maksud,” ketus Laura samb
Nathan tertegun, “Maaf, maksudnya bagaimana?” “Begini, Sir. Saya adalah president direktur di salah satu perusahaan di Belfast, jadi saya bisa dengan mudah memberikan Anda jabatan di perusahaan saya, sehingga Anda tidak menganggur di sini.” Pria itu berkata dengan bangga, ia adalah suami dari salah satu sepupu Nina yang tidak memiliki peranan di Kastil O’Meisceall, ia bisa hadir di acara itu karena sang istri mendapat undangan, sebab ayahnya adalah salah satu sepupu Lord Arthur. “Oh, terima kasih atas penawaran dan kebaikan Anda.” Nathan menjawab sambil tersenyum, meskipun jauh di hatinya ia kesal, karena secara tidak langsung mereka menuduh Nathan menumpang hidup pada keluarga istrinya. Secara kebetulan Aran mendengar pembicaraan lelaki itu, ia merasa berkewajiban meluruskan semuanya. “Haha, apa yang kau tawarkan pada Sir Nathan Wilson tadi?” Aran tertawa sambil mendekati Nathan dan pria tadi, tentu saja tawa Aran itu mengundang perhatian yang lain, sehingga mereka semua menoleh
“Tan, kamu harus segera kembali ke Philly.” Kakek Wilson meminta Nathan kembali. Nathan tertegun, mengapa kakeknya memintanya kembali. Sang kakek pun menjelaskan kalau ia sudah berunding dengan paman dan tante Nathan akan mengadakan perayaan atas kehamilan Nina. Karena ini adalah cicit pertamanya dan cucu pertama mereka. “Ya ampun aku kira ada apa, Kek.” Nathan tertawa mendengar penjelasan kakeknya. “Tapi maaf kek, aku dan istriku belum bisa kembali dalam waktu dekat ini, karena saat-saat ini adalah saat-saat rawan untuk kehamilan istriku, ia akan kelelahan melakukan penerbangan jauh.” Terdengar helaan napas kakek Wilson. “Apa kondisi Nina kurang bagus?” “Oh, semuanya bagus, kek. Di sini aku tidak perlu khawatir, karena di Kastil ini ada dokter dan perawat keluarga yang mengawasi dengan ketat, termasuk makanan untuk istriku pun dibuat khusus dengan nutrisi yang tepat untuk usia kehamilan istriku. Selain itu, di sini juga aku tidak perlu khawatir ada orang-orang yang berniat tidak b
“Hal penting, hal penting apa Nathany?” tanya Nina bingung.“Sayang, sebulanan ini kita full bercinta, tidak ada libur semalam pun.”“Kamu bosan, Nathany? Atau lelah?” potong Nina cepat, keduanya adalah pasangan muda yang masih sangat bergairah dalam berhubungan intim.Nathan terkekeh mendengar komentar istrinya. “Bagaimana mungkin aku bosan, sayang. Kamu tahu sendiri kan, aku sering minta nambah.”“Hm, terus?” Nina bingung dengan sikap suaminya.“Aku hanya heran untuk bulan ini, buan-bulan sebelumnya aku biasa libur seminggu di awal bulan, menunggu tamu bulananmu selesai, tapi bulan ini ...”“Nathany.” Nina tersentak mendengar suaminya menyinggung soal tamu bulanan, ia segera bangun dan mengambil ponselnya untuk melihat kalender bulanannya.“Ya Tuhan! Nathany!” Nina terpekik seraya menutup mulutnya.“Kenapa, sayang?” Nathan bangun dan ikut tegang.“My Hubby Baby, aku sudah telat 6 hari,” ujar Nina gembira.“Oh, benarkah?” Nathan terkejut, Nina mengangguk sambil menunjukan jadwal kale
“Dad...” Aran bergumam, matanya berkaca-kaca melihat sang ayah terlihat gagah dan sehat. Sungguh suatu keajaiban. Sebelumnya, sang ayah terlihat tak berdaya, jangankan untuk bisa berjalan seperti itu, untuk bangun saja harus dipapah.Lord Arthur tersenyum pada Aran dan Nathan hangat, ia pun menuju kursi tempat duduknya di tengah-tengah, sedangkan Nina duduk di sebelah kanan di dekatnya, Nathan duduk di samping Nina. Aran duduk berseberangan dengan Nina, ia berada di sebelah kiri ayahnya.“Maaf ya kalau kalian lama menunggu, tadi babby Aliceku tertidur,” ucap Lord Arthur tersenyum sambil melihat Nina yang juga tersenyum malu.“Tidak apa-apa, Dad. Aku sangat bahagia melihat kondisi Daddy sekarang, sungguh suatu keajaiban.” Aran berkata dengan antusias.“Itu benar, Aran. Kita akan merayakan kedatangan Lady Maxwell, sekaligus pengukuhan gelarnya dan pencatatan namanya di daftar keluarga Maxwell.”Lord Arthur berkata dengan penuh semangat, ia memerintahkan Fred untuk mempersiapkan segala s
“Masalahnya, aku curiga dengan istriku, kak.” Nathan berujar sambil menatap kakak iparnya, wajah tampannya terlihat serius. Wajah Aran pun tak kalah serius melihat adik iparnya seperti itu, curiga? Curiga apa?“Maksudnya bagaimana? Curiga sama Alice? Curiga dalam hal apa?”Rentetan pertanyaan meluncur dari mulut bangsawan muda itu. Nathan menghela napas, ia menjelaskan kalau Nina masih muda, energik dan bukan tipikal wanita manja yang suka mengeluh. Sejak kecil, ibunya telah melatihnya untuk bisa mandiri. Ia selalu tahan menghadapi kesulitan apa pun tanpa pernah mengeluh. Kalau hanya naik turun tangga, itu bukan hal yang bisa membuatnya mengeluh.Dari semenjak Nathan mengenal Nina, tidak pernah wanita itu mengeluh hal apa pun padanya, mereka memang suka mendiskusikan berbagai hal, namun bukan sebagai keluhan. Namun, Nathan ingat, Nina pernah mengeluh sering lelah, gampang merasa capek dan inginnya bermalas-malasan di kamar. Dan itu terjadi beberapa hari sebelum insiden penabrakan terj
Nina dan Nathan tertegun, berita penting? Berita penting apa? Bukankah jamuan makan malam masih akan berlangsung satu jam lagi? Nina dan Nathan segera menemui tuan Fred, lelaki itu diutus secara pribadi oleh Lord Arthur untuk menjemput Nina ke ruangan pribadinya. Nina tertegun, jantungnya berdetak tak menentu, hal yang telah lama ia nanti-nantikan, bertemu langsung dengan sang ayah sebagai anak dan ayah. Nathan bisa merasakan kegelisahan sang istri, ia menepuk bahu Nina dengan lembut, lalu menggenggam erat tangan Nina yang mulai terasa dingin. Nathan mengangguk sambil tersenyum untuk memberikan dukungan. “Ayo sayang, ini waktu yang sekian lama kamu tunggu-tunggu. Aku akan menggendongmu sampai ke bawah.” Nathan mengelus sang istri dengan lembut, Nina mengangguk, support dari sang suami telah membuatnya tenang. Nathan menggendong Nina menuruni anak tangga, meskipun Nina menolak namun Nathan langsung membopong sang istri. “Silahkan sayang, aku akan menungggumu di depan paviliun ini s
Tiba-tiba, Nina merapatkan tubuh pada suaminya. “Nathany, apa aku bermimpi?” bisik Nina. “Kenapa, sayang?” balas Nathan heran. “Bangunan di depan kita ini seperti ilustrasi di cerita-cerita dongeng.” Nina menatap bangunan tinggi yang berdiri di hadapannya, ada beberapa menara menjulang di tiga sisi. Cahaya terpancar dari setiap jendela yang terlihat di keseluruhan bangunan yang terbuat dari batu alam yang kokoh itu. “Namanya kastil-kastil kuno Eropa ya begini, sayang. Para illustrator kan membuat gambar berdasarkan gambaran real yang pernah ada, lalu mereka menambahkan imajinasi untuk memperkaya kreasi mereka.” Nathan menjelaskan sambil ikut menatap bangunan kuno namun megah itu. “Lho kalian kenapa berdiri di sini?” Aran menghampiri mereka yang masih belum beranjak, padahal kendaraan yang mengantar mereka sudah pergi. “Kami takjub dengan pemandangan kastil ini, kak. Benar kan, sayang?” Nathan menjawab yang ditimpali dengan anggukan Nina. “Sepertinya, usia kastil ini sudah cukup t
“Takut? Takut kenapa, my love?” Nathan tertegun, ia menatap sang istri, dan terlihat kegugupan di wajah cantik itu. “Bukankah ini adalah saat-saat yang sudah lama kamu nantikan, bertemu dengan ayah kandungmu.” “Benar Nathany, aku memang sangat merindukan Daddy, tapi aku bingung apa yang harus aku lakukan nanti, apa yang harus aku katakan? Aku takut nanti malah menjadi asing dengan ayahku sendiri.” Nina menghela napas pelan, pertanyaan demi pertanyaan melintas di pikirannya. “Kamu tahu kan, Nathany. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya pelukan seorang ayah, aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi dan berbakti pada seorang ayah.” Nathan terdiam mendengar ucapan istrinya, bagaimanapun ia lebih beruntung dari Nina karena selama delapan belas tahun Nathan hidup dalam kasih sayang kedua orang tua lengkap, jadi ia bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Sedangkan Nina, ayahnya meninggalkannya saat ia baru berumur 1 tahun, belum ada memory yang tertinggal di ingatannya tentang sa
“Will, lihat itu!” tukas tuan Carter, matanya tak lepas dari sepasang anak muda yang sedang berdansa diantara pasangan-pasangan lainnya. Kakek Wilson pun mengikuti arah tatapan sahabatnya, kakek Nathan itu tertegun.“Christy? Siapa anak muda itu? Apa mungkin teman kuliahnya?” gumam kakek Wilson.“Itu cucu perempuanmu kan, Will?” tanya tuan Carter memastikan, kakek Wilson mengangguk.“Kamu tahu siapa pemuda yang sedang berdansa dengan cucumu?” tanya tuan Carter lagi, ada riak kegembiraan di wajahnya, sedangkan kakek Wilson hanya mengedikkan bahu.“Itu Bob, cucukku,” jawab tuan Carter sambil tersenyum.“Oh, itu yang namanya Bob?”“Yeah, benar Will. Aku memang belum sempat mengenalkan padamu, selama ini dia sibuk belajar di luar negeri, pas kembali langsung aku suruh memegang perusahaan dibawah bimbingan Nathan.”Kakek Wilson manggut-manggut, tapi bagaimana keduanya bisa saling mengenal dan terlihat langsung akrab begitu? Kedua kakek itu pun heran. Dulu mereka susah payah untuk menyatuka