Nina masih tertegun ketika kaca pintu depan mobil itu diturunkan, samar-samar terlihat seorang pria duduk di belakang kemudi, lalu terdengar suara yang tidak asing memanggilnya.
“Ayo cepat masuk, Nina! Mau aku ditangkap polisi ya karena masuk dan berhenti di jalur yang salah,” tegas pria di dalam mobil itu.
“Oh, i-iya, Pak!” Nina bergegas masuk dan duduk di kursi belakang.
“Kamu pikir aku sopir, kamu duduk di situ, hem.”
“Oh, i-iya, ma’af.” Nina segera pindah ke kursi depan, mobil itu pun segera melaju cepat keluar dari jalur khusus bus itu.
Nina masih terlihat gugup, ia sama sekali tidak menyangka kalau sang bos akan memintanya masuk ke mobilnya.
“Kamu kenapa, Nina. Disuruh masuk malah bengong, ketakutan seperti lihat hantu,” ujar Nathan sambil tetap fokus pada jalan di depannya.
“Saya … saya tidak tahu kalau itu bapak, saya kira …” Nina ragu-ragu meneruskan kata-katanya.
“Memang kamu kira apa?” desak Nathan.
“Saya kira penjahat yang mau menculik saya,” jawab Nina polos. Nathan tergelak medengar jawaban Nina yang masih terlihat ketakutan.
“Ya, kamu benar. Malam begini tidak aman bagi seorang gadis cantik seperti kamu keluyuran sendirian, makanya aku bergegas menyusul kamu,” ucap Nathan serius, “tapi aku memang akan menculik kamu kok, Nina.” Nathan tersenyum menggoda.
“Ha? Menculik saya?” Nina terkejut, refleks gadis itu menggeser duduknya ke tepi, Nathan tertawa terbahak-bahak melihat kegugupan Nina.
“Iya, aku akan menculik kamu Nina,” ulang Nathan sambil terkekeh, “menculik hatimu.” Nathan kembali menggoda.
“Ih, bapak. Becandanya nggak lucu.” Nina menghela napas lega, namun wajah gadis itu tersipu.
“Hahaha, aku serius Nina. Aku akan menculik hati kamu dari pacar kamu.”
“Ish, apaan sih, Pak. Siapa juga yang punya pacar.”
“Oh, kamu jomblo, Nina? Wah kebetulan sekali, nggak perlu di culik berarti ya.” Nathan tersenyum.
“Apaan sih, Pak?” Nina mengelak, wajahnya panas dan memerah, terlihat sangat menggemaskan bagi Nathan, pria itu tertawa sambil mencubit hidung Nina.
“Ih, Bapak genit.”
“Hahaha, ini bukan di kantor, Nina. Nggak usah formal begitu, panggil saja Nathan.”
“Saya nggak berani, Pak.” Nina menggeleng.
“Kalau aku yang minta gimana? Ayo panggil Nathan.”
Nina terdiam sebelum akhirnya berkata, “baik, N-Nathan.”
“Hahaha. Kedengarannya bagus, coba ulangi,” pinta Nathan.
“Nathan …” ucap Nina Pelan.
“Ahaaa, jadi mulai sekarang nggak diterima panggil Pak diluar kantor dan diluar urusan kerja, apalagi kalau berdua gini.” Nathan tersenyum.
Nina tidak menjawab, namun irama di dadanya bertalu-talu merdu. ‘Duh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi ini?’
“Kamu biasa tidur jam berapa, Nin?”
“Paling lambat jam sebelas,” jawab Nina. Nathan melihat arlojinya.
“Baru jam sembilan lewat lima belas menit, masih ada waktu buat belanja.”
“Ha? Belanja?” Nina bingung, “mau belanja apa malam-malam begini?”
“Ya, belanja bahan makanan buat kamu masak.”
“Apa? masak? Malam-malam begini? Bukannya tadi sudah makan?”
“Hahaha, ya bukan buat makan sekarang dong, ah. Tapi buat sarapan besok pagi.”
“Sarapan?” ulang Nina masih bingung.
“Hei, jangan bilang lupa, ya. Kamu kan mau masakin aku makanan, jadi besok pagi kamu buatkan aku sarapan, oke.”
“Bapak eh e-k-kamu mau sarapan apa, Nathany eh Nathan?” tanya Nina canggung.
“Apa? Nathany? Hmm, kedengarannya manis, panggilan khusus dari kamu.” Nathan tersenyum, “Anyway terserah kamu mau buatin apa, aku sudah bilang aku nggak pemilih soal makanan, tapi aku pemilih soal cewek,” imbuhnya, senyum pria itu semakin lebar.
Mereka menuju ke sebuah supermarket, Nina masih belum punya ide akan membuat masakan apa, namun ia mengambil beberapa bahan makanan, daging dan sayur-sayuran, serta bumbu-bumbu lengkap.
Setelah selesai, Nathan membayar semua belanjaan itu di kasir, lalu ia juga yang membawanya ke mobil. Nina berjalan di sisi pria itu seakan sedang berada di alam mimpi.
“Aku nggak sabar nih, nunggu besok pagi, menikmati sarapan buatan gadis cantik di sampingku ini,” goda Nathan sambil tersenyum.
“Kalau nggak enak, bagaimana?” tanya Nina merasa kurang percaya diri.
“Pasti ada hukumannya dong,” jawab Nathan sambil tersenyum.
“Hukumannya apa?”
“Apa ya …?” Nathan tersenyum, “ada deh …”
Mobil Nathan pun meluncur ke sebuah rumah sewa tempat Nina tinggal.
“Kamu tinggal di sini, Nin?” tanya Nathan sambil memperhatikan tempat itu.
“Iya, tapi aku ambil dua kamar yang di atas, karena Tante aku dan sepupu suka datang, selain itu di atas ada dapurnya, jadi aku bisa masak sendiri.”
Nathan mengangguk, Nina hendak turun namun Nathan menahannya.
“Nina … aku percaya kamu bisa menjaga rahasia kita.” Nathan berkata dengan serius, mata elangnya langsung menghujam ke dalam mata gadis itu.
“Rahasia …?” ulang Nina linglung.
Nathan mengangguk. “Semua yang terjadi diantara kita, kebersamaan kita, malam ini dan seterusnya adalah rahasia kita berdua, kamu mengerti?”
Nina perlahan mengangguk, sebelum akhirnya dia bertanya, “seterusnya?”
Nathan menghela napas. “Nina, kamu adalah salah satu karyawan terbaikku, itu sebabnya aku sangat ketat dan tegas kepadamu, suatu saat nanti kamu akan menangani proyek besar di perusahaan kita, itu sebabnya aku harus mempersiapkanmu diam-diam.”
Hening, sejenak keduanya terdiam. “Tapi ada masalah lain yang aku rasakan, Nina.”
“Apa?” tanya Nina singkat.
Nathan menghadap ke arah Nina, kedua tangannya memegang wajah gadis cantik yang masih terlihat bingung. Mata pria itu berbinar lembut, ia menatap Nina dengan tatapan mesra, ada sejuta rasa terpancar di sana.
“Aku menyukai kamu, Nina. Kamu adalah gadis yang sudah membuatku jatuh cinta.”
Kata-kata itu diucapkan Nathan dengan lembut dan penuh kesungguhan, membuat Nina tak berkutik. Bagaikan disambar petir di siang bolong, Nina bengong hingga tanpa sadar kedua bibirnya setengah terbuka, karena terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa.
Hal itu membuat gairah Nathan semakin bergejolak, gairah yang sudah lama terkubur bersama cerita kelam yang menerpanya. Gairah yang selalu tersembunyi dibalik sikap angkuh dan dinginnya.
“Nina … maukah kamu menerima cintaku, Nin. Menjadikan aku orang yang spesial di hatimu?” Suara Nathan bergetar, begitu pun Nina, jantungnya berdegup keras. Belum sempat gadis itu menjawab, Nathan sudah menundukkan wajahnya, melumat bibir gadis itu dengan lembut. Entah mengapa, kali ini Nina pun tak kuasa lagi menahan diri untuk tidak membalasnya.
Gejolak di dalam diri Nina terus meronta, aliran darah ke wajahnya pun mengalir cepat, hingga ia merasakan wajahnya menghangat. Perlahan Nina memejamkan mata, merasakan kelembutan serta rasa manis dan kenyal pada bibir yang melumat bibir mungilnya itu. Kedua tangannya melingkari leher Nathan.
Gadis itu pun membalas melumat bibir pria itu dengan lembut, hal itu membuat Nathan sedikit terkejut, lalu pria itu memeluk gadis di hadapannya dengan erat. Ciuman itu pun menjadi semakin dalam berbalut hasrat hati keduanya yang selama ini tersembuyi.
Sebelum hasrat dan gairah keduanya makin meronta dan menguasai kesadaran mereka, Nathan perlahan melepaskan ciumannya, namun ia menempelkan dahinya pada dahi gadis di hadapannya yang masih terpejam.
“Nina … terima kasih ya Sayang, kamu sudah menerima dan membalas cintaku,” bisik Nathan lembut. Perlahan gadis itu membuka matanya.
“Nathany aku …”
“Aku tahu Sayang, tidak perlu diucapkan, tapi kamu sudah membuktikannya.” Nathan menempelkan hidung mancungnya ke hidung gadis itu, dan menggesekkannya perlahan sambil tersenyum, ia kembali menyapu bibir gadis itu dengan pagutan lembut dan ringan.
Nathan mengangkat wajahnya, lalu merengkuh Nina ke dadanya, gadis itu pun memejamkan mata, merasakan degup jantung pria itu.
“Nina … jaga dan rawat selalu cintaku dengan baik ya, Nin.” Nathan berkata sambil membelai rambut gadis itu, Nina mengangguk.
“Untuk sementara, kita akan merahasiakan hubungan kita ini, di kantor aku adalah bosmu, dan bersikaplah seperti biasa, apa kamu bisa, Nina?”
“Iya, Nathany, aku mengerti,” jawab Nina lembut.
“Terima kasih babe,” ucap Nathan seraya mencium kening Nina lembut, “sudah malam, kamu langsung tidur ya, jangan lupa buatkan aku sarapan special besok, titipkan sama Emy di pintu samping, oke.”
“Oke, kamu juga hati-hati di jalan ya,” pesan Nina sambil tersenyum manis. Gadis itu mencium pipi Nathan lembut lalu bergegas turun, Nathan segera melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.
Nina melambaikan tangan, wajahnya sumringah. Namun tanpa disadarinya, sepasang mata sejak tadi memperhatikan gadis itu.
“Siapa itu tadi, Nin?” tanya seorang wanita, ia berdiri di samping Nina sambil menatap gadis itu keheranan. Nina baru menyadari jika ada orang lain yang memperhatikannya, ia menoleh dan terkejut melihat siapa yang berdiri di sampingnya. “Tante Sophi?” ujar Nina seakan tidak percaya, “kapan Tante datang? Kenapa nggak memberitahu Nina?” “Dari tadi sore Tante sudah sampai sini, Tante pikir kamu sudah pulang kerja, ternyata belum pulang, jadi Tante nungguin kamu di teras depan kamar kamu.” Wanita itu sedikit kesal, “Tante sudah telepon kamu berkali-kali, tapi ponsel kamu nggak aktif,” imbuhnya. “Oh, ma’af Tante, Nina hari ini harus lembur, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini juga.” Nina berkata seraya membuka tasnya dan mengambil ponselnya, “O Tuhan, ponselku lowbat, dari sore aku gak buka-buka ponsel, jadi nggak tahu kalau dayanya mati.” “Ngomong-ngomong siapa yang mengantar kamu tadi, Nina. Kalau dilihat dari mobilnya, bukan orang biasa, mobil orang-orang kelas atas
Nina tertegun, ia mencoba mengingat siapa saja yang tahu nomor pribadinya itu, karena ia telah memisahkan antara nomor pribadi dan nomor kerja.“Ah mungkin nomor salah sambung atau orang iseng,” gumamnya. Nina pun bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dan berganti pakaian. Namun ketika ia kembali hendak tidur, ponselnya kembali berdering, panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal tadi.Sejenak gadis itu tertegun, ia ragu untuk mengangkatnya, khawatir orang iseng atau marketing yang menawarkan barang atau jasa. Akhirnya Nina pun mengangkatnya, jika memang orang iseng ia siap akan memblokir.“Halo,” sapa Nina, “maaf ini siapa ya?”Hening, tidak terdengar jawaban dari seberang sana.“Hmm, ya sudah, mungkin Anda salah sambung, selamat malam.” Nina baru saja akan memutuskan panggilan ketika tiba-tiba terdengar tawa di ujung sana.“Halo, Anda siapa? Tolong jangan main-main!” hardik Nina kesal.“Iya-iyaa … galak banget sih, sayang.” Terdengar suara di ujung sana. Nina tertegun, sua
Laura terperanjat, sahabatnya diam mematung memperhatikan sosok seseorang dari kejauhan. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Nina? Laura kembali memperhatikan sosok yang sudah menyita perhatian sahabatnya itu. Sosok angkuh dan dingin, yang siap membekukan apa saja, lebih dingin dari es di kutub utara.“Pak Nathan ganteng ya, Nin. Tapi sayang …” Laura menggantung kata-katanya untuk memancing Nina.“Apa?” tanya Nina linglung, gadis itu seperti baru tersadar dari tidurnya. Laura terkekeh menggoda Nina, kalau Nina tertarik dengan gunung es itu. Namun diluar dugaan Laura justru sahabatnya itu melontarkan pertanyaan yang membuat bola matanya hampir keluar.“Ra, Pak Nathan itu sudah menikah belum sih?” tanya Nina santai.“What?!” respond Laura dengan full keterkejutannya, “Nina, kamu nggak salah minum obat kan, Nin?”Nina menggelengkan kepalanya dengan bingung, apa yang salah dengan pertanyaannya? Ia pun menjelaskan maksud pertanyaannya, pasalnya ia penasaran dengan sikap sang bos, bisa ja
Seorang pria yang sudah dikenal Nathan langsung masuk, ia nampak terkejut melihat Nathan yang terbatuk-batuk, ia melihat ke atas meja, terhidang beberapa potong sandwich yang terlihat menggugah selera. Nathan segera meraih gelas dan meneguk air putih untuk menetralisir tersedaknya. “Brengsek! Kenapa masuk nggak ketuk pintu dulu?” hardik Nathan. Lelaki yang baru datang itu menggaruk rambutnya sambil nyengir, “He he, sorry bos, aku lupa,” jawab Michael polos. Tanpa disuruh ia langsung duduk di samping Nathan. “Wah, sepertinya lezat, Tan. Aku nggak ditawari, nih?” Rengek Michael sambil menatap sandwich di meja. “Memang belum sarapan, Mike?” tanya Nathan melanjutkan makannya, Michael menggeleng. “Ya sudah, ambil sepotong aja, jangan lebih,” tegas Nathan. “Ha ha ha, sejak kapan bos yang satu ini pelit sama sarapan, biasanya kalau makanan langsung dikasih aku untuk dihabiskan.” Michael tertawa sambil menggerutu, namun tangannnya aktif meraih sepotong sandwich. “Ck, berisik! Ini beda,
Laura tertegun, mau apa lagi cowok julid ini ke mari, apa ada kaitannya dengan perubahan sikap Nina? Gadis itu masih berusaha menebak dan memahami situasi yang terjadi. Richard, lelaki yang disebut Laura julid itu tersenyum sarkastik. Laura paham, senyum itu ditujukan untuk sahabatnya Nina, karena mata pria itu tak pernah lepas dari menatap Nina.“Ehm, maaf Tuan Richard, sepertinya Anda ingin bergabung makan siang dengan kami,” ujar Laura sarkastik, “tapi maaf kami hanya ingin makan berdua, jadi tidak mengundang orang lain.”Pria itu menatap Laura dan tersenyum sinis. “Saya tidak butuh undangan kalian, justeru saya yang akan mengundang kalian untuk merayakan keberhasilan saya mendapatkan project baru dari bos.”Laura melirik Nina, gadis itu tidak bereaksi apa-apa, sedikit banyak ia bisa meraba situasinya.“Well, memang penting ya merayakan pekerjaan yang belum terlihat pasti hasilnya,” ujar Laura sinis.“Apa maksud kamu?” Richard terlihat jengkel.“Nggak ada maksud,” ketus Laura samb
Seorang lelaki berjalan dengan langkah panjang, bergegas menyusul Nina. Demi melihat Pak Ben, ia pun menghentikan langkahnya. “Selamat siang Pak, Ben.” Richard menyapa Pak Benjamin dengan sapaan yang ramah. Sebelumnya ia tidak tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir, tapi melihat lelaki paruh baya itu berdiri di sini, ia mengerti. Pak Benjamin, manager kawakan ini salah satunya. Richard sebenarnya merasa kesal, karena ia diberitahu mendadak, sehingga belum sempat mencari tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir. Padahal sebelum-sebelumnya ia diberi jeda 1 atau 2 hari, sehingga ia bisa melobi mereka untuk mendukungnya. “Siang Richard, jadi kamu dan Nina yang akan presentasi siang ini?” tanya lelaki paruh baya yang akrab dipanggil Ben itu. “Benar Pak Ben, Pak Nathan sendiri yang menyerahi tugas ini pada saya.” Richard berujar bangga. Pak Ben menatap Richard sambil mengerutkan kening, “Pak Nathan sendiri yang memberi tugas ini ke kamu?” ulangnya, Richard mengangguk sam
Semua orang terkejut, Nina pun berhenti dari presentasinya, mereka melihat ke arah sumber suara, Richard berdiri, dan berteriak dengan emosi bahwa Nina telah menjiplak laporannya. “Apa maksud Anda saudara Richard?” tanya salah seorang anggota komite. “Bapak-bapak dan ibu-ibu sudah melihat proposal saya, dan lihat! apa yang disampaikan perempuan ini, sama persis, dia menjiplak laporan saya.” Richard berkata dengan tajam, ia berjalan mendekat kepada Nina. “Bapak-bapak tahu, perempuan ini hanya anak kemaren sore yang belum mengerti apa-apa, tapi dia membuat laporan persis dengan milik saya, itu artinya dia menjiplak milik saya.” Kini semua mata menatap Nina, meminta penjelasan. suasana di ruang meeting itu menjadi tegang. Namun Nina tetap tenang, tak ada sedikit pun kepanikan di wajahnya. “Saudari Nina, apakah benar apa yang dikatakan saudara Richara?” tanya salah satu tim komite. Nina tetap tenang, ia menjawab dengan tegas, “saya tidak pernah me
Tidak lama setelahnya pintu terbuka, dua orang security masuk, Emy memberi kode ke arah Richard, kedua security itu pun memegang kedua tangan lelaki itu. “Hei tunggu! Apa yang kalian lakukan?” Richard berteriak. “Saya tidak ingin ada kekacauan di ruang ini, energy negatif harus dikeluarkan.” Nathan berkata dengan dingin. “M-maksudnya bagaimana, Pak?” tanya Richard gugup. “Apakah Anda lupa? Kemarin Anda datang ke ruangan saya, mengatakan kalau Nina tidak becus kerja dan pemalas, lalu Anda menawarkan diri agar Anda mengambil alih tugas itu, dan menjanjikan akan selesai besok pagi,” tegas Nathan. “Tapi, bukankah bapak setuju?” tanya Richard, ia merasa terpojok dan dikuliti. “Ya, saya mengangguk bukan berarti menyerahkan begitu saja tugas ini, untuk itu meeting ini diadakan, saya memberikan kesempatan kepada Anda untuk membuktikan kemampuan Anda.” Nathan menatap Richard dengan tajam. “Tapi apa? Anda bisa memaparkan tapi tidak bisa mempertanggung jawabkan, menjawab satu pertanyaan
Nathan tertegun, “Maaf, maksudnya bagaimana?” “Begini, Sir. Saya adalah president direktur di salah satu perusahaan di Belfast, jadi saya bisa dengan mudah memberikan Anda jabatan di perusahaan saya, sehingga Anda tidak menganggur di sini.” Pria itu berkata dengan bangga, ia adalah suami dari salah satu sepupu Nina yang tidak memiliki peranan di Kastil O’Meisceall, ia bisa hadir di acara itu karena sang istri mendapat undangan, sebab ayahnya adalah salah satu sepupu Lord Arthur. “Oh, terima kasih atas penawaran dan kebaikan Anda.” Nathan menjawab sambil tersenyum, meskipun jauh di hatinya ia kesal, karena secara tidak langsung mereka menuduh Nathan menumpang hidup pada keluarga istrinya. Secara kebetulan Aran mendengar pembicaraan lelaki itu, ia merasa berkewajiban meluruskan semuanya. “Haha, apa yang kau tawarkan pada Sir Nathan Wilson tadi?” Aran tertawa sambil mendekati Nathan dan pria tadi, tentu saja tawa Aran itu mengundang perhatian yang lain, sehingga mereka semua menoleh
“Tan, kamu harus segera kembali ke Philly.” Kakek Wilson meminta Nathan kembali. Nathan tertegun, mengapa kakeknya memintanya kembali. Sang kakek pun menjelaskan kalau ia sudah berunding dengan paman dan tante Nathan akan mengadakan perayaan atas kehamilan Nina. Karena ini adalah cicit pertamanya dan cucu pertama mereka. “Ya ampun aku kira ada apa, Kek.” Nathan tertawa mendengar penjelasan kakeknya. “Tapi maaf kek, aku dan istriku belum bisa kembali dalam waktu dekat ini, karena saat-saat ini adalah saat-saat rawan untuk kehamilan istriku, ia akan kelelahan melakukan penerbangan jauh.” Terdengar helaan napas kakek Wilson. “Apa kondisi Nina kurang bagus?” “Oh, semuanya bagus, kek. Di sini aku tidak perlu khawatir, karena di Kastil ini ada dokter dan perawat keluarga yang mengawasi dengan ketat, termasuk makanan untuk istriku pun dibuat khusus dengan nutrisi yang tepat untuk usia kehamilan istriku. Selain itu, di sini juga aku tidak perlu khawatir ada orang-orang yang berniat tidak b
“Hal penting, hal penting apa Nathany?” tanya Nina bingung.“Sayang, sebulanan ini kita full bercinta, tidak ada libur semalam pun.”“Kamu bosan, Nathany? Atau lelah?” potong Nina cepat, keduanya adalah pasangan muda yang masih sangat bergairah dalam berhubungan intim.Nathan terkekeh mendengar komentar istrinya. “Bagaimana mungkin aku bosan, sayang. Kamu tahu sendiri kan, aku sering minta nambah.”“Hm, terus?” Nina bingung dengan sikap suaminya.“Aku hanya heran untuk bulan ini, buan-bulan sebelumnya aku biasa libur seminggu di awal bulan, menunggu tamu bulananmu selesai, tapi bulan ini ...”“Nathany.” Nina tersentak mendengar suaminya menyinggung soal tamu bulanan, ia segera bangun dan mengambil ponselnya untuk melihat kalender bulanannya.“Ya Tuhan! Nathany!” Nina terpekik seraya menutup mulutnya.“Kenapa, sayang?” Nathan bangun dan ikut tegang.“My Hubby Baby, aku sudah telat 6 hari,” ujar Nina gembira.“Oh, benarkah?” Nathan terkejut, Nina mengangguk sambil menunjukan jadwal kale
“Dad...” Aran bergumam, matanya berkaca-kaca melihat sang ayah terlihat gagah dan sehat. Sungguh suatu keajaiban. Sebelumnya, sang ayah terlihat tak berdaya, jangankan untuk bisa berjalan seperti itu, untuk bangun saja harus dipapah.Lord Arthur tersenyum pada Aran dan Nathan hangat, ia pun menuju kursi tempat duduknya di tengah-tengah, sedangkan Nina duduk di sebelah kanan di dekatnya, Nathan duduk di samping Nina. Aran duduk berseberangan dengan Nina, ia berada di sebelah kiri ayahnya.“Maaf ya kalau kalian lama menunggu, tadi babby Aliceku tertidur,” ucap Lord Arthur tersenyum sambil melihat Nina yang juga tersenyum malu.“Tidak apa-apa, Dad. Aku sangat bahagia melihat kondisi Daddy sekarang, sungguh suatu keajaiban.” Aran berkata dengan antusias.“Itu benar, Aran. Kita akan merayakan kedatangan Lady Maxwell, sekaligus pengukuhan gelarnya dan pencatatan namanya di daftar keluarga Maxwell.”Lord Arthur berkata dengan penuh semangat, ia memerintahkan Fred untuk mempersiapkan segala s
“Masalahnya, aku curiga dengan istriku, kak.” Nathan berujar sambil menatap kakak iparnya, wajah tampannya terlihat serius. Wajah Aran pun tak kalah serius melihat adik iparnya seperti itu, curiga? Curiga apa?“Maksudnya bagaimana? Curiga sama Alice? Curiga dalam hal apa?”Rentetan pertanyaan meluncur dari mulut bangsawan muda itu. Nathan menghela napas, ia menjelaskan kalau Nina masih muda, energik dan bukan tipikal wanita manja yang suka mengeluh. Sejak kecil, ibunya telah melatihnya untuk bisa mandiri. Ia selalu tahan menghadapi kesulitan apa pun tanpa pernah mengeluh. Kalau hanya naik turun tangga, itu bukan hal yang bisa membuatnya mengeluh.Dari semenjak Nathan mengenal Nina, tidak pernah wanita itu mengeluh hal apa pun padanya, mereka memang suka mendiskusikan berbagai hal, namun bukan sebagai keluhan. Namun, Nathan ingat, Nina pernah mengeluh sering lelah, gampang merasa capek dan inginnya bermalas-malasan di kamar. Dan itu terjadi beberapa hari sebelum insiden penabrakan terj
Nina dan Nathan tertegun, berita penting? Berita penting apa? Bukankah jamuan makan malam masih akan berlangsung satu jam lagi? Nina dan Nathan segera menemui tuan Fred, lelaki itu diutus secara pribadi oleh Lord Arthur untuk menjemput Nina ke ruangan pribadinya. Nina tertegun, jantungnya berdetak tak menentu, hal yang telah lama ia nanti-nantikan, bertemu langsung dengan sang ayah sebagai anak dan ayah. Nathan bisa merasakan kegelisahan sang istri, ia menepuk bahu Nina dengan lembut, lalu menggenggam erat tangan Nina yang mulai terasa dingin. Nathan mengangguk sambil tersenyum untuk memberikan dukungan. “Ayo sayang, ini waktu yang sekian lama kamu tunggu-tunggu. Aku akan menggendongmu sampai ke bawah.” Nathan mengelus sang istri dengan lembut, Nina mengangguk, support dari sang suami telah membuatnya tenang. Nathan menggendong Nina menuruni anak tangga, meskipun Nina menolak namun Nathan langsung membopong sang istri. “Silahkan sayang, aku akan menungggumu di depan paviliun ini s
Tiba-tiba, Nina merapatkan tubuh pada suaminya. “Nathany, apa aku bermimpi?” bisik Nina. “Kenapa, sayang?” balas Nathan heran. “Bangunan di depan kita ini seperti ilustrasi di cerita-cerita dongeng.” Nina menatap bangunan tinggi yang berdiri di hadapannya, ada beberapa menara menjulang di tiga sisi. Cahaya terpancar dari setiap jendela yang terlihat di keseluruhan bangunan yang terbuat dari batu alam yang kokoh itu. “Namanya kastil-kastil kuno Eropa ya begini, sayang. Para illustrator kan membuat gambar berdasarkan gambaran real yang pernah ada, lalu mereka menambahkan imajinasi untuk memperkaya kreasi mereka.” Nathan menjelaskan sambil ikut menatap bangunan kuno namun megah itu. “Lho kalian kenapa berdiri di sini?” Aran menghampiri mereka yang masih belum beranjak, padahal kendaraan yang mengantar mereka sudah pergi. “Kami takjub dengan pemandangan kastil ini, kak. Benar kan, sayang?” Nathan menjawab yang ditimpali dengan anggukan Nina. “Sepertinya, usia kastil ini sudah cukup t
“Takut? Takut kenapa, my love?” Nathan tertegun, ia menatap sang istri, dan terlihat kegugupan di wajah cantik itu. “Bukankah ini adalah saat-saat yang sudah lama kamu nantikan, bertemu dengan ayah kandungmu.” “Benar Nathany, aku memang sangat merindukan Daddy, tapi aku bingung apa yang harus aku lakukan nanti, apa yang harus aku katakan? Aku takut nanti malah menjadi asing dengan ayahku sendiri.” Nina menghela napas pelan, pertanyaan demi pertanyaan melintas di pikirannya. “Kamu tahu kan, Nathany. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya pelukan seorang ayah, aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi dan berbakti pada seorang ayah.” Nathan terdiam mendengar ucapan istrinya, bagaimanapun ia lebih beruntung dari Nina karena selama delapan belas tahun Nathan hidup dalam kasih sayang kedua orang tua lengkap, jadi ia bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Sedangkan Nina, ayahnya meninggalkannya saat ia baru berumur 1 tahun, belum ada memory yang tertinggal di ingatannya tentang sa
“Will, lihat itu!” tukas tuan Carter, matanya tak lepas dari sepasang anak muda yang sedang berdansa diantara pasangan-pasangan lainnya. Kakek Wilson pun mengikuti arah tatapan sahabatnya, kakek Nathan itu tertegun.“Christy? Siapa anak muda itu? Apa mungkin teman kuliahnya?” gumam kakek Wilson.“Itu cucu perempuanmu kan, Will?” tanya tuan Carter memastikan, kakek Wilson mengangguk.“Kamu tahu siapa pemuda yang sedang berdansa dengan cucumu?” tanya tuan Carter lagi, ada riak kegembiraan di wajahnya, sedangkan kakek Wilson hanya mengedikkan bahu.“Itu Bob, cucukku,” jawab tuan Carter sambil tersenyum.“Oh, itu yang namanya Bob?”“Yeah, benar Will. Aku memang belum sempat mengenalkan padamu, selama ini dia sibuk belajar di luar negeri, pas kembali langsung aku suruh memegang perusahaan dibawah bimbingan Nathan.”Kakek Wilson manggut-manggut, tapi bagaimana keduanya bisa saling mengenal dan terlihat langsung akrab begitu? Kedua kakek itu pun heran. Dulu mereka susah payah untuk menyatuka