“Betul, aku setuju sama istri aku. Kesannya memang seakan kita ini sedang menguji nasib, sedangkan yang sesungguhnya kita lakukan adalah mencari tahu kebenaran di balik opsi itu.” Ezra menatap Siska. “Mungkin kamu bisa membujuknya? Dia telanjur menganggap saja kejam soalnya ....” “Saya mengerti, Pak.” Siska mengangguk dan segera kembali ke kamar Kavita yang ternyata sudah kosong. “Vita hilang, Pak!” Siska muncul di ruang kerja Ezra dengan wajah panik. “Hilang? Maksud kamu?” “Saya tadi ke kamarnya dan Vita tidak kelihatan di sana, sudah kosong tidak ada siapa-siapa!” “Siska, pelan-pelan bicaranya.” Pasha menyela. “Mungkin Kavita sedang di toilet, bisa jadi kan?” Siska terdiam, membuat Ezra langsung pergi meninggalkan meja kerjanya. “Sudah kamu periksa dengan teliti belum?” tanya Ezra sembari berjalan cepat memimpin kedua orang di belakangnya. “Belum sempat, Pak ... Maaf, saya keburu panik tadi ...” ucap Siska tidak enak, dan Pasha menganggukkan kepala tanda mengerti situasi yan
“Dokter yang kamu cari sudah oke?” Kali ini Ezra yang bertanya. “Tentu saja, ayo ikuti aku.” Pasha memutar tubuhnya dan memimpin langkah mereka menuju poli ibu dan anak. Sementara itu dari arah yang berlawanan, terlihat Monic ditemani suaminya berjalan mendekat menuju bagian informasi. “Kenapa kita tidak ke klinik saja sih? Di sini terlalu ramai!” keluh Monic dengan raut wajah tidak senang. “Aku justru lebih suka di rumah sakit besar daripada klinik, Sayang. Sudahlah, nurut saja. Itu katanya perut kamu suka kram?” Monic tidak menjawab dan hanya menampakkan ekspresi cemberut di wajahnya. Dia terbiasa dengan pelayanan klinik yang bersifat privasi karena jumlah pasien yang terbatas. Berbeda dengan rumah sakit besar yang ramai dikunjungi banyak orang dan terkesan lebih sesak dari lautan manusia. “Ini anak jangan bikin susah ibunya kenapa?” gerutu Monic sambil mengusap-usap perutnya sementara sang suami mengurus pendaftaran dan macam-macam lagi. “Sudah bagus aku belajar perusahaan sua
“Sekarang ... apa keputusan kamu?” tanya Kavita dengan suara bergetar setelah mereka keluar dari ruangan konsultasi. “Apakah ... kamu akan tetap ... menggugurkan anak ini?” Ezra duduk dan tidak segera menjawab, kebisuannya itu lantas membuat Kavita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. “Jadi keputusan kamu tetap tidak berubah ya,” komentar Kavita, dia ikut duduk di samping Ezra dan menarik napas panjang. “Saya harap kamu memaklumi situasi saya saat ini,” balas Ezra tanpa memandang Kavita. “Saya tidak mungkin membiarkan kamu mengambil risiko sebesar itu, jadi ....” “Kalau begitu ceraikan saya,” pinta Kavita. “Lalu saya akan pergi jauh, dengan begitu kamu tidak perlu memikirkan keselamatan saya ataupun janin yang ada dalam kandungan saya ini.” Ezra menoleh dan terperangah tidak percaya. “Cerai, kamu bilang?” “Ya ....” “Lalu saya membiarkan kamu pergi dengan membawa serta risiko itu sendirian?” sela Ezra tidak setuju. “Saya tidak sekejam itu, Kavita.” “Kalau begitu pertahank
“Mana ada, aku baru sampai lima menit yang lalu!” tukas Pasha. “Apa yang terjadi sih?” Ezra terlihat seperti orang kebingungan. “Aku pikir Kavita sudah duluan jalan ke parkiran ....” “Yang benar saja, Zra! Ibu hamil mana bisa jalan cepat-cepat sih?” tukas Pasha, cepat-cepat menghabiskan minumannya dan mengajak Ezra untuk mencari Kavita. Sudah kamu hubungi ponselnya belum?” tanya Pasha setelah dia ikut berkeliling mencari Kavita di kantin, bagian informasi dan juga apotek rumah sakit. Namun, keberadaan Kavita sama sekali belum diketahui. “Aku sudah telepon ponselnya, tapi tidak diangkat.” Ezra memberi tahu sambil menjatuhkan dirinya di bangku panjang. “Entahlah, aku sudah benar-benar buntu ....” Pasha menjadi ikut kepikiran. “Memangnya apa yang terjadi? Kamu sudah dapat hasilnya dari konsultasi itu?” Ezra mengangguk dengan wajah muram. “Ya, mereka sependapat dengan Dokter Chika. Intinya sekarang ini bukanlah saat yang aman bagi Kavita untuk hamil.” Ezra menundukkan kepalanya,
Selesai konsultasi, Kavita terlihat murung dan tidak bersemangat dengan kehamilannya yang penuh dengan risiko ini. “Kamu masuk dulu ke mobil,” suruh Ezra sambil membukakan pintu. “Ada yang telepon sebentar ....” Kavita tidak membantah dan segera masuk ke mobil sesuai dengan instruksi Ezra, tapi setelah selesai menelepon itulah Ezra menyadari kalau Kavita sudah tidak ada lagi di dalam mobil. “Bagaimana bisa? Kejadiannya seperti apa?” tanya Pasha heran. “Aku juga tidak tahu,” geleng Ezra dengan wajah sekeruh lumpur. “Aku berusaha mencarinya, tapi ... kamu sudah tahu bagaimana kelanjutannya.” Pasha ikut merasakan kebingungan yang Ezra alami. “Kalau begitu aku akan coba tanya Siska, siapa tahu Kavita sempat menelepon ....” Ezra mengangkat bahu, dari raut wajahnya terlihat jika dia sudah nyaris putus asa menghadapi Kavita yang sedang dalam keadaan mengandung calon anaknya. “Bagaimana?” tanya Ezra ketika Pasha selesai menelepon Siska. “Istri aku juga tidak tahu,” jawab Pasha apa adan
“Apa kata polisi?” tanya Pasha setelah dia menemani Ezra untuk menindaklanjuti laporan mereka tempo hari. “Seperti biasa, mereka akan berusaha mencari Kavita. Aku ... sebetulnya punya dugaan, tapi sayangnya aku tidak punya bukti sama sekali.” “Kamu mencurigai seseorang?” tanya Pasha terkejut. “Siapa dia?” Ezra memijat pelipisnya sejenak. “Aku merasa kalau Shadan ada hubungannya dengan menghilangnya Kavita, entah dia atau Monic—entahlah.” Pasha yang tadinya ingin segera pergi meninggalkan halaman kantor polisi, jadi mengurungkan niatnya. Dia menepuk bahu Ezra yang duduk di sampingnya dan menyahut, “Aku bukannya membela siapa-siapa, kamu bebas berpendapat, tapi masalahnya Shadan akhir-akhir ini ada di kantor seharian. Monic ... dia sedang sibuk sama kehamilannya sendiri.” Ezra mengangkat bahu. “Entahlah, sekalian lama mengenal mereka membuat aku tahu kalau mereka tidak harus mengotori tangan mereka kalau ingin berbuat sesuatu. Jadi tidak butuh keberadaan Shadan atau Monic di tempat
“Apa pun yang akan kamu lakukan, saya tidak akan membantu sedikit pun!” tegas Kavita berani. “Kamu tidak usah melakukan apa-apa, cukup diam saja di sini. Tenang, aku sudah siapkan fasilitas yang bisa kamu gunakan selama menjadi tamu istimewa. Aku tidak sekejam yang kamu pikirkan, bukan?” Kavita tidak menjawab. Dia percaya bahwa Ezra bukan orang bodoh, sehingga akan sulit bagi Shadan untuk melaksanakan rencana jahatnya apa pun itu. Setelah Shadan pergi, muncul seorang wanita yang mengenakan masker dan dia melepas ikatan yang membelenggu tangan Kavita. “Kamu makan dulu, ya?” kata wanita itu, tidak bisa disebut ramah dan juga tidak ketus. “Pak Shadan mempercayakan seluruh kebutuhan kamu kepada saya.” “Kalau begitu ... bisa tolong keluarkan saya dari sini?” pinta Kavita meskipun dia tidak yakin kalau wanita itu mau membantunya. “Saya tidak mungkin menyalahi perintah Pak Shadan,” geleng wanita itu tegas. “Kalau kamu mau nyawa kamu selamat, sebaiknya kamu ikuti saja apa perintahnya.”
“Anda tidak apa-apa, Pak?” tanya satpam seraya memegangi Shadan. “Tidak, dia sepupu saya.” Shadan menjelaskan sambil merapikan jasnya yang sempat merosot.“Serius dia sepupu Anda?” tanya si satpam tidak yakin. “Kenapa dia menyerang Anda?”“Dia memang temperamen,” jawab Shadan asal. “Lepaskan saja, biar saya antar pulang dia ke rumah.”Ezra mendengus ketika satpam tadi melepasnya, tapi dia tidak siap ketika tiba-tiba Shadan menyeretnya masuk ke dalam mobilnya sendiri.“Untuk apa kamu memasukkan aku ke mobil?” tanya Ezra sambil mengernyitkan dahinya. “Aku bawa mobil sendiri ....”“Aku tidak tahu di mana istrimu berada,” potong Shadan dengan sorot kemenangan yang terpancar dari matanya.“Kamu ... kamu bilang kamu punya informasi tentang istri aku?” protes Ezra, yang disambut senyum mengejek dari sudut bibir Shadan.“Bodoh juga kamu ternyata, gampang sekali diakali soal istri ... Kamu benar-benar mencintai perempuan itu ya, sungguh menggelikan.”Tangan Ezra mengepal keras, terin
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay