“Mungkin setelah salah satu dari kita hancur lebur tak berbentuk,” jawab Ezra dengan wajah muram. “Hati-hati kalau bicara!” sahut Pasha tidak suka. “Semua ini akan berhenti kalau kedua belah pihak menghentikannya. Baik kamu atau dari pihak keluarga besar Danadyaksa.” Ezra mengangkat bahu. Selama ini dia sudah cukup menjaga jarak dengan keluarga besar yang tidak pernah mengakui keberadaannya, sampai kemudian Endrawan sendiri yang berusaha mengontaknya kembali. Selain itu Pasha juga .... “Kenapa kamu lihat-lihat aku seperti itu?” Pasha mengerutkan keningnya. “Jadi merinding.” Ezra mendengus. “Karena kamu juga termasuk, siapa yang suruh kamu kontak aku?” “Om Endrawan ....” “Kalau kalian berdua dari awal tidak mengganggu kehidupanku, Shadan tidak akan kebakaran jenggot seperti ini.” Ezra meneruskan. “Belum tentu, dia akan tetap bergerak kalau tahu pencapaian perusahaan yang kamu pimpin. Apalagi itu adalah perusahaan kecil yang awalnya diberikan Om Endrawan buat kamu,” bantah Pasha.
Di saat itulah Deryl seolah tersadar dan langsung bereaksi. “Apa? Me—merusak rahim?” “Ya, saya tahu kenapa Ezra menikahi Kavita—dia ingin mendapatkan keturunan.” Deryl memandang Shadan dengan tidak percaya. “Mendapatkan keturunan? Untuk?” “Untuk dijadikan batu loncatan lah,” jawab Shadan santai. “Ezra membutuhkan anak untuk bisa diakui oleh keluarga besar kami, paham?” Deryl menarik napas, pikirannya kacau setelah tahu bahwa Kavita pernah membohonginya tentang kontrak pernikahan dengan bosnya. Shadan ada benarnya, dia harus menuntut balas! “Ck, ck, ck, sepertinya kamu berhasil mencuci otak orang itu.” Monic berkomentar setelah Deryl pergi meninggalkan ruangan, kebetulan dia ada di sofa dan mendengarkan seluruh pembicaraan kakaknya. “Itu memang keahlianku,” sahut Shadan penuh percaya diri. “Padahal itu tadi cuma analisis saja, aku mana tahu soal kontrak pernikahan antara Kavita dan Ezra sebenarnya ....” “Gila, kamu bisa membuat fitnah yang kejam seandainya itu tidak benar!” ke
Kavita bahkan tidak sempat menjerit ketika cairan merah itu muncrat dari dirinya, Ezra langsung menangkap tubuh sang istri sebelum jatuh ke tanah. Terdengar suara jeritan dan langkah kaki yang berbaur menjadi satu di telinga Kavita. “Ambulan! Panggil ambulan!” Ezra berteriak lantang. Pasha segera berlari cepat sementara Kavita menyentuh sesuatu yang basah dan anyir di perutnya. “Kamu akan selamat, kamu pasti selamat!” ucap Ezra berulang-ulang. Kavita mengulurkan tangannya yang belepotan cairan merah itu dan menyentuh wajah rupawan Ezra yang kini menatapnya. “Saya ... saya masih ... punya utang,” ucap Kavita terbata, sementara Siska mati-matian menahan air matanya. “... sama kamu ....” “Jangan bahas apa pun dulu, oke?” tukas Ezra sembari menurunkan tangan Kavita. “Bagaimana saya ... akan membayar ... utang saya ke ... kamu kalau ... saya sudah tidak ... ada?” “Saya akan tetap tagih kamu meskipun sampai ke ujung dunia,” kata Ezra tegas. “Saya akan tetap kejar kamu, Kavita.” Sis
“Mengganggu saja,” gerutu Ezra sambil menarik napas. “Mereka itu siapa? Polisi?” “Menurutmu? Aku sepertinya dicurigai, sinting—mana mungkin aku mencelakai istriku sendiri ....” Pasha terlihat sama bingungnya dengan Ezra. “Ulah siapa lagi ini?” “Deryl, pasti dia pelakunya! Siapa lagi?” Pasha menarik napas panjang. “Sabar, Zra. Kita belum punya bukti apa pun, seluruh kamera pengawas juga pastinya sedang dibongkar pihak yang berwenang untuk diselidiki ... Belum lagi para saksi yang kebetulan berada di tempat kejadian.” Ezra mengepalkan tangan dengan dendam membara yang menyala-nyala seperti api. “Gara-gara interogasi itu, aku bahkan belum bisa memastikan bagaimana keadaan Kavita ....” “Tenang saja, Siska sudah berjaga di depan sana. Tepatnya di ruang tindakan, semoga tidak ada luka serius.” Pasha berharap. Setali tiga uang dengan Pasha, Ezra tentu juga berharap bahwa Kavita tidak menderita luka yang terlalu parah. Aku harus menemukan si keparat itu, batin Ezra penuh dendam. Siap
“Jangan sembarangan bicara!” gertak Ezra. “Aku tahu kalau kamu yang mencelakai istriku!” “Kakakku dari tadi ada bersamaku, Zra.” Monic menyela. “Kalau kamu mau fitnah orang, setidaknya tunjukkan bukti.” Ezra beralih menatap Monic yang bersikap lebih kalem daripada biasanya. “Aku punya alasan kuat kenapa mencurigai kalau kakak kamu yang mencelakai istri aku.” “Tapi Shadan memang bersama kami sejak tadi,” tukas Monic. “Bagaimana caranya dia mencelakai istri kamu yang bahkan kami tidak mengenalnya sama sekali.” Ezra mengepalkan tangannya. Mereka benar, dia tidak punya bukti sehingga Shadan bisa dengan mudah berkelit dari tuduhannya. “Sudah paham?” Shadan memandang Ezra dengan tatapan mencemooh. “Kalau sudah, cepat singkirkan mobilmu dari hadapanku. Jangan mimpi kalau kami akan menerima kamu di sini.” Ezra balas menatap Shadan. “Tenang saja, aku juga merasa diriku terlalu berharga untuk tetap berada di sini. Dan satu lagi, cepat atau lambat aku akan menemukan bukti bahwa kamu terliba
Deryl tentu saja tidak menolak peluang emas yang dengan rela hati diberikan istrinya. Dengan satu lompatan saja mereka berdua sudah berpindah tempat ke peraduan untuk menuntaskan gelora yang sudah menggebu-gebu ingin segera mereka selesaikan.“Karin, uang sekolah kamu bagaimana?”Ibu mendatangi anaknya yang sedang belajar di kamar.“Sudah dibereskan sama Kak Deryl, Bu.” Karin memberi tahu. “Kenapa?”“Ibu cuma ... heran kok kakak kamu tiba-tiba bisa punya banyak uang?”“Bukankah bagus, Bu? Itu artinya Kak Deryl membuktikan ucapannya untuk memperbaiki finansial keluarga, aku jadi nggak harus kerja kayak dulu lagi ....”Ibu Deryl mengangguk saja, meskipun hatinya merasa ada yang tidak beres dengan pencapaian yang telah diraih sang putra.“Ibu kenapa? Nggak senang sama keberhasilan Kak Deryl?” tanya Karin yang bisa melihat sorot mata berbeda dari ibunya. “Bukan begitu, tapi ... apa tidak terlalu aneh kalau tiba-tiba kakak kamu dapat uang banyak sampai bisa membeli rumah sebesar i
Ezra mengangguk. “Saya akan melakukannya supaya dia terstimulasi dan segera sadar kembali, tapi persentase harapan hidup istri saya masih ada kan?”Dokter tidak menggeleng ataupun mengangguk.“Keajaiban itu akan selalu ada bagi yang percaya kepadanya,” ucap dokter itu. “Saya dan tim akan selalu berusaha sebaik mungkin, hasilnya semoga sesuai dengan harapan.”Ezra mengangguk dan tidak berkata apa-apa lagi.Setelah mengganti seluruh pakaiannya dengan baju yang disediakan oleh pihak rumah sakit, Ezra masuk ke ruangan Kavita dan langsung disambut oleh kesunyian yang menusuk hati.Segera diraihnya tangan Kavita dan Ezra genggam erat seolah ingin mengalirkan energi yang dia pendam selama ini.“Saya tidak akan pernah lupa,” ucap Ezra dari sudut bibirnya. “Saat pertama kalinya kamu datang ke saya untuk menawarkan sebuah kontrak pernikahan.”Ezra menarik napas sejenak untuk melanjutkan. “Awalnya saya pikir kamu aneh, menawarkan kontrak pernikahan kepada saya sementara saat itu kamu suda
“... ingat tujuan kita, Kavita. Rencana saya tidak akan terwujud tanpa kamu,” bisik Ezra dengan suara tercekat di samping istrinya yang terbaring diam. “Saya menunggu kamu, nenek juga ... dia sudah menganggap kamu seperti cucunya sendiri .....” Ezra kemudian berdiri, sedikit membungkukkan badannya dan mengecup kening Kavita lembut. “Saya ... mencintai kamu ....” Belum juga dirinya menegakkan diri, Ezra merasakan sesuatu menyentuh punggungnya sekilas, lalu terkulai hingga menjulur ke samping melewati pembaringan. Ezra refleks berdiri dan menatap tangan Kavita yang berpindah posisi. “Kavita?!” Ezra menatap tak percaya selama beberapa detik, setelah itu dia cepat-cepat keluar ruangan untuk memberi tahu dokter yang menangani Kavita. “Ezra, kenapa kamu panik begitu?” Miranti sampai terkaget-kaget melihat tingkah cucunya. “Nanti aku ceritakan, Nek! Tunggu di sini, aku mau panggil dokter!” Miranti geleng-geleng kepala, dengan fisiknya yang sekarang tentu saja dia tidak bisa mengejar l
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay