Ezra mengangguk. “Saya akan melakukannya supaya dia terstimulasi dan segera sadar kembali, tapi persentase harapan hidup istri saya masih ada kan?”Dokter tidak menggeleng ataupun mengangguk.“Keajaiban itu akan selalu ada bagi yang percaya kepadanya,” ucap dokter itu. “Saya dan tim akan selalu berusaha sebaik mungkin, hasilnya semoga sesuai dengan harapan.”Ezra mengangguk dan tidak berkata apa-apa lagi.Setelah mengganti seluruh pakaiannya dengan baju yang disediakan oleh pihak rumah sakit, Ezra masuk ke ruangan Kavita dan langsung disambut oleh kesunyian yang menusuk hati.Segera diraihnya tangan Kavita dan Ezra genggam erat seolah ingin mengalirkan energi yang dia pendam selama ini.“Saya tidak akan pernah lupa,” ucap Ezra dari sudut bibirnya. “Saat pertama kalinya kamu datang ke saya untuk menawarkan sebuah kontrak pernikahan.”Ezra menarik napas sejenak untuk melanjutkan. “Awalnya saya pikir kamu aneh, menawarkan kontrak pernikahan kepada saya sementara saat itu kamu suda
“... ingat tujuan kita, Kavita. Rencana saya tidak akan terwujud tanpa kamu,” bisik Ezra dengan suara tercekat di samping istrinya yang terbaring diam. “Saya menunggu kamu, nenek juga ... dia sudah menganggap kamu seperti cucunya sendiri .....” Ezra kemudian berdiri, sedikit membungkukkan badannya dan mengecup kening Kavita lembut. “Saya ... mencintai kamu ....” Belum juga dirinya menegakkan diri, Ezra merasakan sesuatu menyentuh punggungnya sekilas, lalu terkulai hingga menjulur ke samping melewati pembaringan. Ezra refleks berdiri dan menatap tangan Kavita yang berpindah posisi. “Kavita?!” Ezra menatap tak percaya selama beberapa detik, setelah itu dia cepat-cepat keluar ruangan untuk memberi tahu dokter yang menangani Kavita. “Ezra, kenapa kamu panik begitu?” Miranti sampai terkaget-kaget melihat tingkah cucunya. “Nanti aku ceritakan, Nek! Tunggu di sini, aku mau panggil dokter!” Miranti geleng-geleng kepala, dengan fisiknya yang sekarang tentu saja dia tidak bisa mengejar l
Shadan menurunkan ponselnya setelah selesai berbincang dengan seseorang. “Kenapa sama Pasha?” tanya Monic dengan kening berkerut. “Apa dia bikin masalah?” “Dia terlalu fokus mengurusi Ezra,” jawab Shadan dengan nada tidak puas. “Cuma karena akhir-akhir ini aku merasa dia kurang kompeten dan melimpahkan sebagian pekerjaan ke orang lain, jadi dia sering ke kantor Ezra.” Monic memegang ujung dagunya sembari berpikir. “Menurut aku, dia bisa saja punya rencana lain—siapa tahu kan?” “Rencana apa memangnya?” “Mencari perhatian Ezra, semacam dukungan.” Monic mengangkat bahu. “Bisa jadi,” sahut Shadan. “Aku ingat bagaimana Ezra membantu perusahaan Pasha sehingga bisa terpilih dalam kategori perusahaan berkembang di acara tender dulu ... Pintar juga Pasha, tapi dia tidak sadar sudah menciptakan jarak dengan keluarga besarnya sendiri.” Monic mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. “Entahlah, tapi aku merasa kalau Pasha memang sedikit memihak Ezra. Kelihatan dari cara dia berinteraksi de
Kavita mengangguk. “Mungkin Pak Ezra ditagih biaya perawatan rumah sakit yang pasti menggunung ....”“Jangan pikirkan soal itu, Ezra bukan orang susah.” Pasha mengingatkan sembari tersenyum singkat. “Apa pun akan dia lakukan untuk istrinya, Vit.”“Iya, Pak.” Kavita mengangguk.“Kamu mau pakai kursi roda, Vit?” tanya Siska sambil melangkah keluar untuk mencari benda incarannya.“Tidak usah, Sis. Kelihatannya aku cukup kuat untuk jalan ....”Siska menggeleng. “Kamu kan habis terluka parah, jadi sebaiknya kamu pakai kursi roda.”“Tapi, Sis.”“Saya setuju sama Siska,” timpal Pasha. “Saya akan minta kursi rodanya ke suster.”“Tidak perlu repot-repot, Pak Pasha!”“Saya tidak repot kok.”Kavita melirik ke arah Siska dengan tampang tidak enak, khawatir kalau-kalau sahabatnya itu salah paham.“Biar saja, Pak Pasha itu ringan tangan kok orangnya ....”“Jadi dia suka mukul kamu?” Kavita terbelalak.“Ringan tangan, suka membantu—bukan ringan tangan yang suka mukul orang!” sergah Sisk
Ezra menarik napas. “Dengar Kavita, saya hampir saja kehilangan kamu saat nyawa kamu ada di ujung tanduk ... Apakah kamu ingin mengulangi hal yang serupa dengan menempatkan saya di posisi yang sama?” “Saya kan cuma kerja di kantor, bukan di tempat orang lain.” Kavita masih berusaha membujuk, tapi Ezra tetap tidak memberinya izin untuk beraktivitas di luar rumah. “Kamu kelihatan jenuh,” komentar Miranti ketika berpapasan dengan Kavita di pembatas tangga. “Saya ingin bekerja lagi seperti dulu Nek, tapi ....” “Tapi Ezra pasti tidak memberi izin kan?” Kavita mengangguk. “Iya, padahal saya juga ingin membantunya untuk cari nafkah.” Betapa herannya Kavita ketika Miranti justru tersenyum geli mendengar jawabannya. “Kamu mau bantu Ezra mencari nafkah?” Wanita itu mengulang jawaban Kavita. “Iya, Nek.” “Kavita, tanpa bermaksud meremehkan kemampuan kamu selama ini, tapi Ezra tidak perlu kamu bantu. Sebagai suami, dia bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga kalian termasuk anak kalian nanti
“Setidaknya berbaringlah, jangan berdiri terus.” Ezra meraih pinggang Kavita dan memberinya kecupan singkat di kening. “Saya mau kerja lagi,” pinta Kavita saat Ezra menarik tangannya. “Saya jenuh di rumah ....” “Kamu masih harus istirahat,” potong Ezra tegas. “Ingat apa yang Dokter Chika katakan ....” “Memangnya Dokter Chika bilang apa lagi selain saya harus minum obat?” tanya Kavita ingin tahu. Ezra terdiam dan tidak segera menjawab. “Dokter Chika ... minta saya untuk lebih memperhatikan kamu,” jawab Ezra sembari membawa Kavita ke dalam dekapan, dia tidak pintar berkata-kata sehingga lebih memilih untuk mengungkapkan keinginannya lewat bahasa tubuh. Ezra berharap kalau Kavita mampu mengetahui niat baiknya tanpa harus banyak bertanya atau dijelaskan. Mendapati Ezra hanya diam, Kavita mengurungkan niatnya untuk berbicara lebih jauh. Dia bisa merasakan bagaimana detak jantung Ezra yang iramanya teratur, meski terasa ada banyak gejolak yang harus dipendamnya. Sejak percakapan mala
“Saya tahu, lukanya saja sedalam itu. Tapi tidak masalah kalau saya lihat, biar saya bisa mencari rujukan dokter kulit yang bagus buat kamu.” Kavita berdiri ragu, tapi kemudian dia menyingkap bagian atas piyamanya dan menunjukkan bekas luka itu. Ekspresi wajah Ezra tidak berubah sama sekali saat dia melihatnya, hanya saja dia langsung menutupi kembali bekas luka itu dengan menurunkan piyama Kavita. “Sekarang tidurlah,” suruh Ezra dengan wajah letih. “Sibuk ya? Biarkan saya bantu-bantu di kantor,” pinta Kavita. “Kebetulan Pasha sudah kembali ke Danadyaksa Grup, tapi saya masih bisa mengatasinya karena ada Tantri dan Rena.” “Oh!” tanggap Kavita datar. Dia sudah lama kenal Tantri dan Reni yang sudah lama jadi sekretaris Ezra, tapi tetap saja rasanya cukup tak mengenakkan saat tahu bahwa posisi dirinya sebagai istri tidak bisa menggantikan posisi sekretaris di kantor. Mungkin perasaanku cuma sedang sensitif, pikir Kavita saat dia berbaring di samping Ezra. Tidak membutuhkan waktu y
Kavita tidak segera menjawab, hal privasi yang ingin dia bahas terasa tabu meskipun untuk pasangan suami istri seperti mereka. “Apa kamu ... masih menginginkan anak?” Ezra langsung terpaku, seakan tidak siap dengan pertanyaan Kavita yang tiba-tiba membahas soal anak. “Itu ... bisa kita bicarakan lagi di lain waktu,” kata Ezra sambil menganggukkan kepalanya. “Yang terpenting adalah kesembuhan kamu dulu.” “Bukankah saya sudah sembuh?” sahut Kavita heran. “Ini cuma soal bekas luka yang belum bisa bilang sepenuhnya saja.” Ezra terdiam sebentar, raut wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak ingin buru-buru berbicara. “Syukurlah kalau kamu sudah sembuh, tapi sebaiknya kita tunggu waktu yang tepat untuk melakukannya. Kebetulan Dokter Chika juga berpesan kalau kita tidak boleh buru-buru mengingat luka dalam yang ada di perut kamu ....” Kavita mengangguk singkat, berusaha memaklumi alasan logis yang dikemukakan oleh suami kontraknya itu. Yang ada di pikiran Kavita hanyalah durasi kontrak yan
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay