Rakira Pak Reval ngapain ya di dalam restoran? Ada yang bisa menebak?
Reval melangkah masuk ke dalam restoran dengan perasaan hampa. Kepalan tangannya masih erat, seolah mencoba menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Sorot matanya tajam, tetapi di balik itu, ada luka yang tidak bisa ia sembunyikan. Di hadapannya, keluarganya sudah menunggu dengan ekspresi yang berbeda-beda. Alexa langsung bertepuk tangan kecil, wajahnya tampak sumringah melihat kakaknya kembali seorang diri. “Aku sudah bilang, kan? Kak Reval terlalu percaya diri. Lihat sekarang, buktinya dia tetap memilih Dion!” Reval menghela napas, tidak menanggapi. Ia menarik kursi dengan sedikit kasar, lalu duduk tanpa banyak bicara. Dari sudut lain meja, sang mama mengamati ekspresi putranya dengan sorot puas. Ia menyandarkan tubuhnya, menyesap anggur di tangannya dengan tenang sebelum berkata, “Bagaimana, Reval? Sekarang kamu tahu sendiri sifat asli Naura. Dia tidak benar-benar mencintaimu. Selama ini dia hanya memanfaatkan kelemahanmu.” Reval mengangkat kepalanya, menatap sang mama da
Deg! Naura merasakan sesuatu menyesak di dadanya. Ia mengerjap, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Mas ... kamu tidak percaya?” Dion berjalan mendekat, wajahnya masih sulit ditebak. “Jangan-jangan itu anak Reval?” Seperti ada tamparan keras yang menghantam pipinya. Naura menggeleng dengan mata berkaca-kaca. “Mas, ini anakmu. Bagaimana kamu bisa meragukannya? Aku yakin jika ini anak kita, Mas.” Dion menatapnya dalam diam, tetapi ada sesuatu di matanya. Sebuah keraguan. Keraguan yang begitu nyata dan menyakitkan. Suasana ruangan terasa begitu dingin, menusuk ke dalam hati Naura lebih dalam daripada udara malam di luar sana. Dion berbalik, menarik napas dalam-dalam, lalu mengepalkan tangannya. Pikirannya penuh dengan adegan yang terus menghantuinya. Hampir seminggu Naura tidak pulang ke rumah. Ia yakin jika istrinya tersebut pasti tinggal bersama Reval. Dan tidak mungkin Naura tidak melakukan apa-apa dengan lelaki itu. Naura menatap Dion penuh harap, tetapi pri
Dion terdiam sejenak. “Naura lebih banyak menghabiskan waktu dengan bosnya. Aku yakin itu anak Reval. Bukan anakku.” Lastri tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Dion! Istri kamu baru saja mengandung anak pertama kalian, dan alih-alih bersyukur, kamu malah menuduhnya?!” Dion menutup matanya sejenak. “Bu, aku tidak menuduh. Seminggu ini Naura tidak pulang ke rumah. Dia tidur bersama Reval, Bu. Bagaimana aku bisa yakin jika anak itu adalah anakku, Bu?” Lastri terdiam. Dion melanjutkan. “Aku melihat semuanya. Mereka selalu bertemu diam-diam, berbicara dengan cara yang berbeda. Dan lebih dari itu ....” Dion mengusap wajahnya dengan kasar. “Naura berubah sejak saat itu, Bu. Sejak dia mendapatkan uang untuk membayar operasi ibu. Dia yang mulai terlihat gelisah, pikirannya sering melayang. Dan malam ini, ketika dokter mengumumkan kehamilannya, aku melihat sesuatu di matanya.” Lastri mempersempit matanya. “Apa yang kamu lihat?” Dion menatap ibunya lurus-lurus. “Keraguan.” Dion me
Dion mengerjap, matanya membesar. “Callista?” Wanita itu tersenyum miring, lalu dengan anggun memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan. “Apa kabar kamu, Dion? Sudah lama aku tidak melihatmu.” Dion melepaskan tangannya perlahan, membiarkan Callista berdiri tegak kembali. Matanya mengamati wanita itu dengan penuh kewaspadaan. Callista masih seperti dulu. Berpenampilan mewah, tubuhnya dibalut gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Parfum mahalnya masih tercium kuat, mengingatkan Dion pada masa-masa yang ingin ia lupakan. “Aku pikir kamu masih di luar negeri,” gumam Dion. Callista menyeringai. “Aku pulang beberapa bulan lalu. Kau tidak tahu?” Dion menggeleng. “Tentu saja kamu tidak tahu. Aku tidak menghubungimu.” Callista melipat tangan di depan dadanya. “Kamu terlalu sibuk dengan istrimu, kan?” Dion menatap Callista tajam. Wanita itu terkekeh pelan. “Kamu ingat, Dion? Waktu itu kamu membawa kabur uangku.” Dion mengepalkan tangan. “Aku tidak punya pilihan.” “Dan
Callista berusaha menarik tangannya, tetapi genggaman Dion terlalu kuat. “Lepaskan aku! Ini tidak termasuk dalam kesepakatan kita!” Dion terkekeh, matanya berkilat dengan sesuatu yang sulit diartikan. “Kata siapa?” Callista mendelik, wajahnya mengeras. “Aku tidak pernah menawarkan diriku, Dion. Aku hanya ingin menyelesaikan urusan denganmu, bukan melayani keinginan kotormu.” Dion menyipitkan matanya. “Oh, jadi kamu berani menentangku?” Callista berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu lebih cepat. Ia tahu Dion, mengenalnya lebih baik daripada siapa pun. Jika pria itu sudah menunjukkan sisi gelapnya, maka tidak ada gunanya melawan dengan keras kepala. Tetapi Callista bukan wanita lemah. Ia menarik napas panjang, mencoba melepaskan tangannya dengan sedikit lebih lembut. “Dion, dengarkan aku. Aku tidak mau ada masalah. Kita sudah punya kesepakatan, bukan?” Dion tidak bergeming. Matanya menatap Callista dengan penuh penilaian sebelum bibirnya melengkung dalam sen
Kedua mata Naura melirik jam digital di atas nakas. 01.45 AM. Malam sudah sangat larut. Naura menyingkap selimut, menurunkan kakinya ke lantai. Hawa dingin segera menyergap kulitnya, tetapi bukan itu yang mengganggunya. Ada perasaan tidak nyaman yang menekan dadanya, sebuah firasat yang sulit dijelaskan. Ia bangkit dan berjalan ke arah pintu, membuka perlahan. Koridor rumah gelap, hanya ada sedikit cahaya dari lampu di ruang tengah. Nafasnya tertahan saat menatap sekeliling. Rumah terasa terlalu sepi. “Mas Dion?” panggilnya pelan, suara seraknya nyaris tenggelam dalam keheningan malam. Tidak ada jawaban. Naura melangkah ke dapur, berharap suaminya ada di sana untuk mengambil minum seperti yang sering dilakukan. Namun, dapur kosong. Tidak ada jejak Dion di sana. Tidak ada gelas yang diletakkan di meja. Bahkan kulkas masih tertutup rapat, tidak menunjukkan tanda-tanda baru saja digunakan. Dadanya mulai terasa berat. Nafasnya tersendat. Matanya kemudian melirik ke arah
Naura sontak sedikit menjauhkan kepalanya. Ada sesuatu yang terasa janggal. Ia menarik napas pelan, mencoba meredakan kegelisahan dalam hatinya. “Kenapa mendadak, Mas?” tanya Naura menatap Dion melalui cermin. Dion tersenyum samar. “Nggak ada alasan khusus, Sayang. Aku hanya ingin menebus waktu yang terbuang. Selama ini aku terlalu sibuk dengan urusan kerja, sampai lupa membahagiakanmu.” Naura mengerutkan kening. Sejak kapan Dion sibuk kerja? Setahu Naura, Dion lebih sering menghilang tanpa kabar. Malam-malam pulang larut atau bahkan tidak pulang sama sekali. Sekarang, tiba-tiba berbicara soal liburan berdua? Naura menatap bayangan suaminya di cermin. Ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami dari sikap Dion pagi ini. “Jadi bagaimana? Kamu mau kan?” Dion berbisik lagi, tangannya kini bergerak naik, menyentuh bahu Naura dengan lembut. Naura mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi tanda tanya. “Kita lihat nanti saja, Mas. Aku juga perlu mempersiapkan semuanya. Selain itu, aku be
Naura menarik napas dalam, mencoba mengontrol gejolak yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Ia menatap Dinda dengan ekspresi setenang mungkin. Dinda menatap Naura dengan mata berbinar, tampak begitu bersemangat menceritakan gosip yang tengah hangat diperbincangkan di kantor. “Nona Callista.” Kata itu seperti palu godam yang menghantam dada Naura. Seketika, suara di sekitarnya memudar. Udara yang tadi bisa ia hirup dengan leluasa kini seakan menipis, menyisakan rongga kosong di dadanya. Callista? Tangannya mencengkeram tali tas lebih erat, berusaha menstabilkan dirinya yang tiba-tiba merasa limbung. Seharusnya ia tidak terkejut. Callista memang selalu berada di sekitar Reval, dan wanita itu bukan orang asing di kehidupan mereka. Tapi mendengarnya langsung seperti ini … tetap saja membuatnya sesak. “Naura, kamu kenapa?” suara Dinda membuyarkan lamunannya. Naura segera menampilkan senyum tipis. “Em, tidak apa-apa kok, Din. Aku masuk dulu ya?” Ia melangkah cepat menuju lift, berhara
“Paman Riko?”Reval merasakan amarah membakar seluruh tubuhnya. Ia mengepalkan tangan, nyaris melayangkan pukulan ke wajah Dion, tetapi pria itu dengan santai menjauh, mengangkat ponselnya lebih tinggi.“Tenang, Reval. Kalau kau menyentuhku, aku bisa saja menyuruh Riko melakukan sesuatu yang lebih buruk pada Naura,” katanya dengan seringai puas. Reval mengertakkan giginya. “Apa yang kau inginkan?”Dion menoleh ke Callista dan tertawa kecil.“Gampang. Akui bahwa anak dalam kandungan Callista adalah milikmu, nikahi dia, dan aku akan melepaskan Naura,” katanya santai.Reval mencibir. “Mimpi.”Callista mendekat dengan tatapan penuh kemenangan. “Reval, kau tahu kau tidak punya pilihan, kan?” ujarnya manja, tangannya berusaha menyentuh dada Reval.Reval menepisnya kasar. “Kalian pikir aku bisa percaya pada kalian? Bahkan jika aku menuruti permintaan kalian, tidak ada jaminan Naura akan selamat.”Dion terkekeh. “Tentu saja ada jaminannya. Tapi kalau kau membangkang…” Ia memutar video lain.
“Sebenarnya ... ini bukan hal yang penting.”Naura tidak tahu harus menjawab apa.“Naura, ada apa? Apapun itu, aku akan mendengarkannya.”Naura menatap Reval, lalu mengambil secarik kertas. “Surat cerai saya sudah resmi. Saya dan Mas Dion … bukan suami-istri lagi.”Reval menatap surat itu. Rasanya seperti beban besar terangkat dari dadanya. Ia merasa lega dan informasi itu adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu olehnya. Bagaimana mungkin Naura mengatakan bahwa itu tidak penting?Namun, ekspresi Naura masih terlihat berat dan seolah sedang dilanda gelisah yang mendalam.“Ada apa lagi?” tanya Reval lembut.Naura menggigit bibirnya. “Saya mendengar sesuatu dari Bu Lastri belakangan ini.”Reval mengernyit. “Apa?”Naura menghela napas, lalu menatap Reval dalam-dalam. “Callista. Sebenarnya dia tidak benar-benar tinggal di rumah Mas Dion. Waktu itu dia hanya kebetulan ada di sana saat saya mengajukan cerai dan dia sengaja memanas-manasi saya.”Reval menegang.“Dan satu lagi.” Naura mene
Reval berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang. Firasat buruk terus menghantui pikirannya. Ponselnya di saku bergetar. Dengan malas, ia meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar. Dahi Reval mengernyit. Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana ia melihat Callista duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Mata wanita itu tampak merah seolah habis menangis. Reval menutup pintu dan berjalan mendekat. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu yang ada di sini?” Callista menundukkan kepalanya, menggenggam ujung selimut dengan erat. “Aku … aku hamil, Reval.” Jantung Reval seperti berhenti berdetak sejenak. Ia menatap Callista dengan tatapan tajam. “Apa hubungannya denganku? Lalu di mana Naura? Aku ingin bertemu dengannya.” “Tentu saja ada hubungannya denganmu, Reval.” Callista mengangkat kepalanya, menatapnya dengan mata penuh harap. “Ini adalah anakmu.” Reval m
Ruang tamu dipenuhi keheningan yang menegangkan. Adelia duduk di sofa dengan tatapan dingin, sementara Reval berdiri di depannya, menatapnya dengan penuh ketegasan. “Apa kamu bilang?” suara Adelia meninggi, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. Reval menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. “Aku ingin mama meminta maaf kepada Naura.” Adelia tertawa kecil, namun tidak ada kehangatan dalam tawanya. “Kenapa tiba-tiba kamu meminta hal itu, Reval? Mama tidak merasa punya urusan dengan perempuan itu.” Reval mengepalkan tangan, berusaha tetap tenang. “Karena mama telah menyakitinya.” Adelia menyipitkan mata. “Jangan membesar-besarkan masalah, Reval. Lagipula, perempuan itu bukan siapa-siapa bagi mama.” Reval mendekat, menatap ibunya dengan tajam. “Bukan siapa-siapa? Dia adalah wanita yang sedang mengandung anakku, Ma!” Adelia terdiam sesaat. Matanya membulat, tapi ia segera menyembunyikan keterkejutannya dengan tawa sinis. “Jadi, itu alasan kamu membelanya mati-matian
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dion, meninggalkan jejak kemerahan yang jelas. Kepala pria itu sedikit tergeleng, namun bukan karena sakitnya tamparan itu, melainkan karena keterkejutannya. Callista berdiri di hadapannya dengan mata membelalak, napasnya memburu penuh amarah. “Ini semua gara-gara kamu, Dion!” suara Callista menggema di seluruh ruangan. Dion mengusap pipinya yang perih, ekspresinya berubah dingin. “Kenapa kamu menamparku, Callista? Kita melakukannya atas dasar suka sama suka.” Callista mendengkus kasar. Ia memeluk tubuhnya sendiri, seakan merasa jijik dengan situasi yang sedang terjadi. “Sial! Aku hanya ingin bersenang-senang, bukan mendapatkan ini!” Suaranya bergetar, dan matanya menatap Dion dengan kebencian. Dion menyipitkan mata. “Maksudmu?” “Aku hamil, Dion! Aku mengandung anak sialan ini gara-gara kamu!” Callista berteriak frustrasi, tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dion terdiam sejenak. Pikirannya berputar cepat, menc
Beberapa minggu telah berlalu. Naura berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia tinggali sebagai istri Dion. Pintu rumah itu masih sama seperti terakhir kali Naura melihatnya. Cat cokelat tua yang mulai memudar, gagang pintu berwarna perak yang kini tampak lebih kusam. Namun, bagi Naura, rumah ini sudah kehilangan maknanya sejak lama. Tangannya menggenggam erat amplop cokelat berisi surat cerai. Dalam hati, ia menguatkan dirinya. Ia harus menyelesaikan semuanya. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan di dalam pernikahan yang telah hancur sejak lama. Dengan napas panjang, Naura mengetuk pintu. Dadanya berdebar, bukan karena ragu, tetapi karena ia ingin semua ini segera berakhir. Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu terbuka. “Naura!” Suara itu begitu akrab. Hangat. Seakan tidak ada luka yang pernah mengisi kehidupan mereka. Bu Lastri berdiri di ambang pintu dengan mata berbinar, seolah-olah kehadiran Naura adalah sesuatu yang ia rindukan sejak la
Reval menghela napas, lalu menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu, Naura,” ucapnya serius. “Aku tidak akan menikahimu hanya karena tanggung jawab. Aku ingin bersamamu karena aku memang menginginkannya. Lebih dari apapun.” Naura menatap mata Reval, mencari kepastian di sana. Dan ia menemukannya. Kejujuran. Ketulusan. Tapi tetap saja... “Tidak semudah itu, Pak Reval,” bisiknya. “Ada banyak hal yang harus saya pikirkan.” Reval melepaskan tangannya dari wajah Naura, kemudian menghela napas panjang. “Lalu berapa lama lagi kamu mau berpikir?” tanya Reval dengan nada frustrasi. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. “Apa kamu takut?” tanya Reval lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap Reval dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Ya,” jawabnya jujur. Reval terdiam. Naura menghela napas berat, suaranya lirih ketika berkata, “Saya takut mengambil keputusan yang salah. Takut jika perasaan ini hanya sesaat. Takut jika nanti saya justru menyakiti B
Naura mengangguk cepat. Reval mendesah, lalu melambai pada pelayan. “Pesan satu es krim cokelat.” “Tunggu, Pak Reval! Saya maunya yang stroberi.” Reval terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Oke, stroberi.” Tak butuh waktu lama, es krim datang. Naura langsung menyendoknya dengan bahagia, tapi tiba-tiba ia mengernyit. Reval memperhatikan ekspresinya dengan waspada. “Kenapa lagi?” Naura menggigit bibirnya. “Sepertinya saya ingin yang cokelat.” Reval menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa lepas. Naura menatapnya kesal. “Bapak kenapa tertawa?” “Kamu mulai bertingkah seperti ibu hamil pada umumnya.” Naura mendelik. “Saya memang hamil, kan?” Reval mengangkat bahu dengan senyum lebar. “Ya, tapi sekarang kamu benar-benar kelihatan seperti bumil yang sering ngidam aneh-aneh.” Naura mendengkus, tapi diam-diam pipinya merona. Reval memperhatikannya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Naura di atas meja. “Apa?” tanya Naura bingung. Reval te
Naura menggeleng cepat. “Tidak. Saya sudah ganti baju yang lebih nyaman. Masa Bapak tetap dengan pakaian basah seperti itu? Saya tidak bisa membiarkan itu.” Reval menatapnya lama, menyadari bahwa wanita di depannya ini benar-benar keras kepala. “Jadi kalau aku tidak ganti baju, kamu tidak mau makan?” tanya Reval sekali lagi untuk memastikan. Naura mengangguk mantap. Reval mendesah panjang. “Baiklah,” ujar Reval pasrah. Naura tersenyum puas. “Ayo kita cari baju untuk Bapak.” Mereka kembali berkeliling dan kali ini, Naura yang mengambil alih pencarian. Ia dengan serius memilihkan pakaian untuk Reval, membandingkan warna dan bahan dengan ekspresi sangat fokus, seolah sedang mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Reval hanya bisa mengamati dari belakang, tersenyum kecil melihat keseriusan Naura. “Bagaimana dengan ini?” Naura mengangkat sebuah kaus berwarna hitam dengan gambar kelapa dan tulisan besar Life’s a Beach. Reval melirik kaus itu, lalu menaikkan satu alisnya. “Aku t