Ternyata belum siap. Awas! Nanti Naura pergi.... apalagi Adelia tidak menyukai Naura.
Naura menatapnya dengan mata berkabut. Napasnya masih tersengal, tetapi ia berhasil mengangguk. “Saya percaya.”Jemari Reval membelai pipi Naura.“Aku harus tahu, Naura ... apa kamu merasakan hal yang sama seperti aku?” tanya Reval, tatapannya begitu dalam hingga membuat Naura tidak bisa menghindar.Naura menatap mata Reval yang begitu dekat, dan bibirnya sedikit terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Jantungnya berdetak begitu cepat, seakan seluruh ruangan dipenuhi dengan ketegangan yang tidak terucapkan.“Saya ....” Naura menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian. “Saya tidak tahu, Pak Reval.” Suaranya terdengar ragu, tetapi ada kejujuran di sana, sebuah pengakuan yang bahkan membuat dirinya terkejut.Reval tersenyum kecil, tatapannya melunak. “Tidak tahu?” gumamnya sambil mengangkat satu alis. Jemarinya dengan lembut menyentuh dagu Naura, mengangkatnya sedikit agar wanita itu tetap menatapnya. “Apa yang kamu rasakan, Naura? Jangan takut untuk jujur.”Naura menghe
Naura berusaha melepaskan diri, tetapi Reval mempererat pelukannya.“Saya sudah menyiapkan sarapan,” ujar Naura, berharap bisa mengalihkan perhatian pria itu.Namun, bukannya melepaskan, Reval malah menariknya lebih dekat.“Aku sudah mendapatkan sarapan yang lebih manis,” gumam Reval seraya mencium pipi Naura lebih lama.Naura memutar bola matanya. “Kalau Bapak tidak segera bangun, saya akan makan sendiri.”Reval tertawa kecil, akhirnya melepas Naura dengan enggan. “Baiklah, baiklah. Aku akan bangun.”Beberapa menit kemudian, keduanya duduk di meja makan. Naura meletakkan piring di hadapan Reval, menunggu reaksi pria itu saat mencicipi masakannya.Reval mengambil sesendok nasi goreng, mengunyahnya perlahan. Alisnya terangkat sedikit, lalu ia mengangguk. “Hmm, enak.”Naura tersenyum lega. “Terima kasih.”Reval menatapnya dengan mata berbinar. “Kalau setiap pagi dimasakkan seperti ini, aku tidak keberatan untuk selalu bangun lebih pagi.”Naura terkekeh. “Saya tidak janji, Pak.”“Kenapa?
Naura berjalan cepat menuju ruangannya, langkahnya masih terasa ragu setelah percakapan pagi tadi dengan Reval di dalam mobil. Rasa hangat yang pria itu tinggalkan di bibirnya masih membekas, tetapi pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan yang belum terjawab.Saat hendak membuka pintu ruangan, suara seorang wanita terdengar tergesa-gesa dari belakangnya.“Naura! Ke mana saja kamu? Bukankah seharusnya kamu sudah mulai bekerja lebih awal?”Langkah Naura terhenti. Ia menoleh dan mendapati Dinda berjalan cepat ke arahnya. Wajah sahabatnya itu dipenuhi ekspresi khawatir, kedua alisnya bertaut rapat.Naura menarik napas dalam, mencoba memasang senyum santai. “Hai, Dinda. Maaf ya? Aku jadi merepotkanmu.”Dinda berhenti tepat di depannya, masih dengan tatapan menyelidik. “Apakah kamu tahu, aku sampai nekat bertanya kepada Pak Reval?”Naura menegang seketika. “Kamu bertanya pada Pak Reval?” ulangnya, berusaha terdengar santai meskipun dadanya mulai berdebar.Dinda mengangguk. “Tentu saja! Kamu
Naura menggeleng cepat. “Tidak apa-apa.”“Tadi lama sekali di depan. Kamu habis bertemu siapa?” bisik Dinda sambil meliriknya penuh selidik.“Tidak ada. Aku hanya ...” Naura menggigit bibirnya, mencari alasan. “Membaca pesan.”Dinda mengerutkan kening. “Pesan dari siapa?”Sebelum Naura bisa menjawab, rapat sudah dimulai.Namun, baru beberapa menit berjalan, ponsel Naura kembali bergetar.[Kamu tidak akan melirikku sekali saja?]Naura menegang. Ia mengangkat wajah dan melirik ke arah Reval sekilas.Pria itu tersenyum tipis.Naura langsung menunduk, merasakan panas di wajahnya.Sementara Reval masih menatapnya dengan ekspresi jahil.Rapat pun dimulai, tetapi Naura kesulitan berkonsentrasi.Reval sesekali meliriknya, bahkan pernah pura-pura mengatur dasinya hanya untuk menarik perhatiannya.Saat seorang kepala divisi sedang berbicara panjang lebar, Naura merasakan ponselnya bergetar lagi. Ia melirik layar.Tentu saja pesan dari Reval.[Kamu terlihat cantik hari ini.]Naura membelalakkan
“Saya … ingin mengajukan pinjaman, Pak.” Naura berdiri beberapa langkah dari meja, meremas jemarinya yang basah oleh keringat. Suaranya sedikit bergetar. Ucapan Naura membuat Reval menghentikan gerakan tangannya yang sedari tadi sibuk menandatangani berkas-berkas. Tatapannya langsung tertuju pada Naura, tatapan yang sulit diartikan. CEO duda itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tak berubah. “Berapa yang kamu butuhkan?” “Dua miliar, Pak.” Ruangan itu mendadak hening, seolah waktu berhenti. Naura menggigit bibir, menunggu reaksi yang tidak kunjung datang. Reval akhirnya tertawa kecil, suara yang tidak membawa kehangatan. “Kamu sadar betapa besar angka itu, kan?” “Saya sadar, Pak. Tapi saya tidak punya pilihan lain,” jawab Naura, nadanya memohon. Reval mengangguk pelan, lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke arah jendela besar di belakang meja, melihat pemandangan kota yang sibuk. “Kamu tahu, Naura, perusahaan tidak seperti lembaga amal. Kami tidak member
Naura harus ke rumah sakit ketika mendapatkan pesan dari Dion, suaminya, yang mengatakan kalau ibu mertuanya kritis di ICU. Saat di perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Naura berbunyi, menampilkan pemberitahuan bahwa uang sebesar empat miliar sudah dikirimkan ke rekening Naura. “I-ini … banyak sekali.” Naura menutup mulutnya, ia terkejut karena Reval memberikan dua kali lipat dari yang Naura pinjam. Selama di dalam taksi, Naura hanya bisa menangis, takdirnya kini sudah ada di depan mata. Sesampainya di ruang gawat darurat, Naura menemukan ibu mertuanya terbaring lemah di balik kaca ruang ICU. Perempuan tua itu adalah satu-satunya yang pernah memperlakukan Naura seperti keluarga sejak ia menikah dengan Dion. Hati Naura mencelos melihat kondisinya, tapi sebelum ia bisa mendekat lebih jauh, suara Dion terdengar dari belakang. “Uangnya mana?” tanyanya, tanpa basa-basi, tanpa sedikit pun empati di wajahnya. Naura berbalik, menyerahkan amplop tebal yang ia bawa. Dion langsung mera
Reval melangkah mendekati Naura tanpa ekspresi. “Aku di sini. Tidak ada yang perlu kamu sembunyikan,” ujar Reval singkat, sambil menyentuh bahu Naura dengan lembut, namun tidak menunjukkan kehangatan. Naura menatap Reval, terkejut oleh kata-kata itu. Sentuhan di bahunya terasa aneh, dingin, seolah tidak ada emosi di baliknya. Rasa cemas menyelimuti dirinya, namun ia tetap terdiam. Namun, ia merasa tak mampu menolak. Perlahan ia menarik napas, berusaha meredam gemuruh jantungnya yang semakin cepat. Pandangannya tetap tertunduk, enggan bertemu mata Reval. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Naura mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Setiap helai pakaian yang terlepas menambah rasa terpapar yang semakin dalam, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Namun tatapan dingin Reval tetap menembusnya, seolah menahan setiap niat untuk mundur. Ketika pakaian terakhir terlepas, Naura merasa tubuhnya hampir tidak terlindungi, meskipun hanya ada sedikit kain yang menutupi tubuhnya
Naura memandangnya dengan ekspresi bingung, masih mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Ciuman mendadak itu, kehadiran Reval yang mendominasi, dan kalimat terakhirnya tentang malam esok membuatnya dilanda kegelisahan yang memuncak. “Tunggu … apa maksudmu besok malam adalah malam yang sesungguhnya?” tanya Naura, suaranya terdengar lemah, hampir berbisik. Reval menoleh sekilas, kemudian mendengus kecil. Ia berjalan menuju pintu kamar hotel tanpa menjawab langsung. Ketika ia membuka pintu untuk membuat Naura keluar dari kamarnya, ekspresinya masih sama, dingin dan penuh kontrol. “Kita belum selesai, Naura. Sampai apa yang kulakukan padamu setimpal dengan uang yang sudah kuberikan,” katanya dengan nada yang begitu tenang, namun penuh tekanan. Naura merasa seperti ditampar oleh kata-kata itu. Bibirnya sedikit terbuka, ingin membalas, tetapi ia tak menemukan kekuatan untuk melakukannya. Ia hanya berdiri mematung beberapa detik sebelum akhirnya berjalan keluar dengan langkah be
Naura menggeleng cepat. “Tidak apa-apa.”“Tadi lama sekali di depan. Kamu habis bertemu siapa?” bisik Dinda sambil meliriknya penuh selidik.“Tidak ada. Aku hanya ...” Naura menggigit bibirnya, mencari alasan. “Membaca pesan.”Dinda mengerutkan kening. “Pesan dari siapa?”Sebelum Naura bisa menjawab, rapat sudah dimulai.Namun, baru beberapa menit berjalan, ponsel Naura kembali bergetar.[Kamu tidak akan melirikku sekali saja?]Naura menegang. Ia mengangkat wajah dan melirik ke arah Reval sekilas.Pria itu tersenyum tipis.Naura langsung menunduk, merasakan panas di wajahnya.Sementara Reval masih menatapnya dengan ekspresi jahil.Rapat pun dimulai, tetapi Naura kesulitan berkonsentrasi.Reval sesekali meliriknya, bahkan pernah pura-pura mengatur dasinya hanya untuk menarik perhatiannya.Saat seorang kepala divisi sedang berbicara panjang lebar, Naura merasakan ponselnya bergetar lagi. Ia melirik layar.Tentu saja pesan dari Reval.[Kamu terlihat cantik hari ini.]Naura membelalakkan
Naura berjalan cepat menuju ruangannya, langkahnya masih terasa ragu setelah percakapan pagi tadi dengan Reval di dalam mobil. Rasa hangat yang pria itu tinggalkan di bibirnya masih membekas, tetapi pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan yang belum terjawab.Saat hendak membuka pintu ruangan, suara seorang wanita terdengar tergesa-gesa dari belakangnya.“Naura! Ke mana saja kamu? Bukankah seharusnya kamu sudah mulai bekerja lebih awal?”Langkah Naura terhenti. Ia menoleh dan mendapati Dinda berjalan cepat ke arahnya. Wajah sahabatnya itu dipenuhi ekspresi khawatir, kedua alisnya bertaut rapat.Naura menarik napas dalam, mencoba memasang senyum santai. “Hai, Dinda. Maaf ya? Aku jadi merepotkanmu.”Dinda berhenti tepat di depannya, masih dengan tatapan menyelidik. “Apakah kamu tahu, aku sampai nekat bertanya kepada Pak Reval?”Naura menegang seketika. “Kamu bertanya pada Pak Reval?” ulangnya, berusaha terdengar santai meskipun dadanya mulai berdebar.Dinda mengangguk. “Tentu saja! Kamu
Naura berusaha melepaskan diri, tetapi Reval mempererat pelukannya.“Saya sudah menyiapkan sarapan,” ujar Naura, berharap bisa mengalihkan perhatian pria itu.Namun, bukannya melepaskan, Reval malah menariknya lebih dekat.“Aku sudah mendapatkan sarapan yang lebih manis,” gumam Reval seraya mencium pipi Naura lebih lama.Naura memutar bola matanya. “Kalau Bapak tidak segera bangun, saya akan makan sendiri.”Reval tertawa kecil, akhirnya melepas Naura dengan enggan. “Baiklah, baiklah. Aku akan bangun.”Beberapa menit kemudian, keduanya duduk di meja makan. Naura meletakkan piring di hadapan Reval, menunggu reaksi pria itu saat mencicipi masakannya.Reval mengambil sesendok nasi goreng, mengunyahnya perlahan. Alisnya terangkat sedikit, lalu ia mengangguk. “Hmm, enak.”Naura tersenyum lega. “Terima kasih.”Reval menatapnya dengan mata berbinar. “Kalau setiap pagi dimasakkan seperti ini, aku tidak keberatan untuk selalu bangun lebih pagi.”Naura terkekeh. “Saya tidak janji, Pak.”“Kenapa?
Naura menatapnya dengan mata berkabut. Napasnya masih tersengal, tetapi ia berhasil mengangguk. “Saya percaya.”Jemari Reval membelai pipi Naura.“Aku harus tahu, Naura ... apa kamu merasakan hal yang sama seperti aku?” tanya Reval, tatapannya begitu dalam hingga membuat Naura tidak bisa menghindar.Naura menatap mata Reval yang begitu dekat, dan bibirnya sedikit terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Jantungnya berdetak begitu cepat, seakan seluruh ruangan dipenuhi dengan ketegangan yang tidak terucapkan.“Saya ....” Naura menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian. “Saya tidak tahu, Pak Reval.” Suaranya terdengar ragu, tetapi ada kejujuran di sana, sebuah pengakuan yang bahkan membuat dirinya terkejut.Reval tersenyum kecil, tatapannya melunak. “Tidak tahu?” gumamnya sambil mengangkat satu alis. Jemarinya dengan lembut menyentuh dagu Naura, mengangkatnya sedikit agar wanita itu tetap menatapnya. “Apa yang kamu rasakan, Naura? Jangan takut untuk jujur.”Naura menghe
Reval mengerutkan kening, menatap wanita itu dengan seksama. “Apa itu?”Naura menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata Reval.“Katakanlah.”Alis Reval semakin bertaut, tetapi ia tetap diam, menunggu kelanjutan ucapan Naura.“Saya ingin tahu … sebenarnya siapa Kirana itu? Apakah benar, Bapak sangat mencintainya?”Hening.Wajah Reval yang sebelumnya tenang berubah drastis. Matanya menajam, rahangnya mengeras. Udara di antara mereka seketika menjadi berat, seperti ada sesuatu yang menekan.Dalam sekejap, langkah Reval menghantam lantai, mendekati Naura dengan tatapan gelap. Sebelum wanita itu sempat mundur, tubuhnya sudah terdorong hingga punggungnya membentur dinding.“Tidak seharusnya kamu menanyakan hal itu kepadaku, Naura.”Suara Reval rendah, tetapi penuh tekanan. Napasnya terdengar berat, emosinya seperti bergejolak di dalam dadanya.Naura terkejut. Dadanya naik-turun cepat, tubuhnya membeku di tempat. Matanya membesar ketika merasak
Adelia meletakkan sendoknya dengan perlahan, tatapannya tajam menusuk ke arah putranya. Ruang makan yang sebelumnya dipenuhi suara alat makan kini mendadak sunyi.“Reval, apakah kamu serius?” suaranya datar, tetapi ada nada kekecewaan yang terselip di sana.Reval mengangguk mantap. “Aku tidak pernah seyakin ini dalam hidupku, Ma. Aku memilih Naura.”Adelia menghela napas panjang, tatapannya beralih ke arah Naura yang masih diam di tempatnya. “Wanita ini? Kamu yakin? Apa yang bisa dia berikan padamu?”Naura menelan ludah, merasakan tekanan dari tatapan wanita itu. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Reval lebih dulu berbicara.“Mama selalu melihat segalanya dari status dan latar belakang keluarga, tapi Mama lupa … perasaan dan kebahagiaan tidak bisa diukur dengan itu semua,” ujar Reval tegas. “Aku mencintai Naura bukan karena siapa dia di masa lalu, tetapi karena siapa dia di sisiku sekarang.”Adelia menatap putranya dalam diam. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada kilatan emosi yang suli
“Oh, aku diundang oleh mamamu untuk makan malam,” jawab Riko santai, tetapi ada nada licik di balik suaranya.Reval mengangguk kecil, meski ekspresinya tidak berubah. Ia kemudian menoleh ke Naura, memberikan senyuman lembut. “Ayo, kita ke ruang makan.”Naura menurut, meski pikirannya masih dipenuhi berbagai pertanyaan yang belum terjawab. Namun, ia tahu bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Satu hal yang pasti. Perasaannya terhadap Reval kini semakin bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasakan perhatian dan kehangatan dari pria itu. Tetapi di sisi lain, bayangan masa lalu Reval yang tidak ia ketahui tiba-tiba menyeruak dan terus menghantuinya.Reval melangkah ke arah meja makan dengan santai, tetapi matanya selalu memperhatikan Naura. Begitu mereka tiba di tempat duduk, tanpa banyak bicara, ia meraih salah satu kursi dan menariknya perlahan.Bunyi gesekan kayu dengan lantai terdengar lembut di ruangan yang cukup luas. Namun, yang lebih terasa dari itu adalah cara Reval m
Di dalam mobil, Naura tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang akan terjadi malam ini. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan, baik dan buruk. Tetapi setiap kali ia melirik ke arah Reval yang duduk di sebelahnya, ia merasa sedikit lebih tenang.Reval, di sisi lain, tampak santai. Tangan kanannya menggenggam kemudi, sementara tangan kirinya sesekali menyentuh tangan Naura yang ada di pangkuannya.“Naura,” panggilnya tiba-tiba, membuat Naura menoleh.“Ya, Pak Reval?”Reval menatapnya sekilas, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Jangan terlalu banyak berpikir. Semuanya akan baik-baik saja. Aku berjanji.”Naura hanya bisa mengangguk, meskipun kegugupannya belum sepenuhnya hilang. Ia hanya bisa berharap bahwa apa yang dikatakan Reval benar.***Langit malam terlihat jernih, tetapi udara di halaman depan rumah besar Adelia terasa berat, seperti membawa sebuah beban yang tidak terlihat. Naura berdiri di samping Reval, tangannya digenggam erat oleh pria itu. Ia bisa merasakan kehangata
Beberapa menit kemudian, Reval muncul kembali dengan sebuah totebag di tangannya. Ia berjalan mendekat sambil tersenyum penuh arti, membuat Naura semakin bingung. “Apa itu?” Naura bertanya, menunjuk totebag di tangan Reval. Reval mengangkat alis, matanya berbinar penuh semangat. “Ini untukmu. Aku sudah mempersiapkannya sejak tadi.” Naura memiringkan kepala, sedikit ragu. “Apa maksudnya untuk saya? Apa ini?” Reval menaruh totebag itu di meja dapur dan membuka isinya. Naura melihat kilasan warna merah dan material kain lembut yang mencuat dari dalam. Seketika wajahnya memanas. “Gaun?” gumamnya, nyaris berbisik. Reval mengangguk, lalu mengeluarkan gaun merah anggun itu sepenuhnya. “Ya, gaun ini. Aku ingin kamu memakainya malam ini.” Naura menatap gaun itu dengan campuran perasaan antara bingung, kagum, dan sedikit canggung. Gaun itu sederhana tetapi begitu elegan, dengan potongan yang pas dan aksen manik-manik di pinggangnya. “Tunggu,” ucap Naura sambil mengangkat tangan, berusaha