Haddeh, Pak Reval nih....
Naura menggeleng cepat. “Tidak apa-apa.” “Tadi lama sekali di depan. Kamu habis bertemu siapa?” bisik Dinda sambil meliriknya penuh selidik. “Tidak ada. Aku hanya ...” Naura menggigit bibirnya, mencari alasan. “Membaca pesan.” Dinda mengerutkan kening. “Pesan dari siapa?” Sebelum Naura bisa menjawab, rapat sudah dimulai. Namun, baru beberapa menit berjalan, ponsel Naura kembali bergetar. [Kamu tidak akan melirikku sekali saja?] Naura menegang. Ia mengangkat wajah dan melirik ke arah Reval sekilas. Pria itu tersenyum tipis. Naura langsung menunduk, merasakan panas di wajahnya. Sementara Reval masih menatapnya dengan ekspresi jahil. Rapat pun dimulai, tetapi Naura kesulitan berkonsentrasi. Reval sesekali meliriknya, bahkan pernah pura-pura mengatur dasinya hanya untuk menarik perhatiannya. Saat seorang kepala divisi sedang berbicara panjang lebar, Naura merasakan ponselnya bergetar lagi. Ia melirik layar. Tentu saja pesan dari Reval. [Kamu terlihat cantik hari ini.] Naura
Reval tersenyum miring. “Karena itu membuatku ingin melakukan sesuatu.” Jantung Naura hampir meloncat keluar dari dadanya. Ia tahu ia harus menjauh, harus menghentikan ini sebelum semuanya semakin lepas kendali. Tapi tubuhnya seolah membangkang, terpaku di tempat. Dan dalam sekejap, Reval menariknya ke dalam pelukan. Naura tersentak. Kedua tangannya otomatis terangkat, tapi sebelum ia bisa melakukan apa pun, Reval sudah menundukkan wajahnya. “Aku hanya ingin memastikan sesuatu,” bisiknya tepat di telinga Naura, membuat bulu kuduk wanita itu berdiri. “Me-memastikan apa?” suara Naura bergetar. Reval menatapnya dalam. “Bahwa kamu benar-benar milikku.” Sebelum Naura bisa memproses kata-kata itu, Reval sudah mendekatkan wajahnya. Napas hangat pria itu menyapu kulitnya, dan dalam sepersekian detik, bibirnya hampir menyentuh bibir Naura— Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuat mereka berdua tersentak. Naura langsung melangkah mundur dengan wajah memerah, sementara Reval mengumpat
Naura menatap layar komputernya dengan tatapan kosong. Dokumen yang seharusnya ia revisi sudah terbuka sejak tadi, tetapi tidak satu pun kata yang berhasil ia pahami. Jemarinya menggenggam mouse, tetapi tidak ada perintah yang ia jalankan. Fokusnya sepenuhnya terganggu. Pikirannya terus kembali ke satu hal. Siapa yang menemui Reval tadi? Yang membuat Naura resah adalah karena lelaki itu sama sekali tidak menyebutkan apa pun kepadanya. Naura menghela napas panjang, lalu melirik ponselnya yang tergeletak di meja. Layar masih gelap, tidak ada notifikasi dari Reval. Tidak ada pesan yang mengingatkan tentang makan siang atau menyelipkan kata-kata manis yang mungkin berhasil membuatnya tersenyum. Ia menggigit bibir, berusaha menepis kegelisahannya. “Naura.” Suara Dinda membuatnya tersentak. Ia buru-buru menoleh ke arah sahabatnya yang berdiri dengan kedua tangan menyilang. “Apa yang sedang kamu pikirkan?” Dinda mengangkat alis. “Sejak tadi aku melihatmu cuma duduk diam menatap
Jari-jarinya mencengkeram kertas itu lebih erat. Perasaannya campur aduk antara keterkejutan, luka, dan amarah yang tak terbendung. Setiap kata yang ia baca terasa seperti belati yang menusuk ke dalam jantungnya. Surat itu penuh dengan pengakuan, kehangatan, dan cinta yang begitu dalam. Cinta yang Naura pikir hanya miliknya. Tetapi satu kalimat membuat seluruh tubuhnya menegang. “Aku hanya bisa berharap kita bertemu di waktu yang tepat, ketika aku bisa memilihmu tanpa ragu, tanpa batasan.” Napas Naura memburu. Siapa wanita yang dimaksud oleh Reval? Jantungnya terasa seperti ingin melompat keluar dari dadanya. Ia memandang surat itu dengan tatapan kosong sebelum menurunkannya perlahan. Tidak mungkin ini untuknya. Surat ini tidak mungkin ditujukan untuknya. Suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah lorong. Naura buru-buru menyembunyikan surat itu di balik tumpukan amplop lain. Jantungnya berdetak begitu keras sampai ia takut Reval bisa mendengarnya dari kejauhan. Ketika sos
“Bukan seperti itu, Naura.” Reval mendekatinya, meletakkan tangannya di bahu Naura. “Dia bagian dari masa laluku, kenangan yang tidak akan pernah hilang. Tapi kamu …” Ia menghentikan kalimatnya, matanya yang penuh penyesalan dan ketulusan menatap Naura dalam-dalam. “Kamu adalah masa kini dan masa depanku.” Naura terdiam. Kata-kata itu seharusnya membuatnya merasa lebih baik, tetapi luka yang baru saja tergores di hatinya membutuhkan waktu untuk sembuh. Ia tahu Reval tidak berbohong, tetapi ada bagian dari dirinya yang tidak bisa begitu saja menerima bahwa ia harus berbagi tempat di hati Reval dengan seseorang yang sudah tiada. Sungguh perasaan yang sulit dipahami. Rasa cemburu yang berbeda. “Kenapa Bapak tidak pernah membicarakan ini pada saya?” Naura berbisik, suaranya penuh luka. “Kenapa Pak Reval membuat saya merasa seperti orang asing dalam hidup Bapak?” “Karena aku takut.” Reval menarik napas dalam-dalam. “Aku takut kehilangan kamu, Naura. Takut kamu akan merasa bahwa kamu h
Reval melirik Naura dengan senyum misterius di sudut bibirnya. Naura menatapnya curiga. “Ke mana?” “Rahasia,” sahut Reval santai sambil menautkan jemarinya pada jemari Naura. Naura menoleh ke sekitar saat keluar dari ruangan CEO. Wanita itu buru-buru menarik tangannya dari genggaman Reval. “Pak Reval!” bisiknya panik. “Kita masih di kantor!” Reval mengangkat alisnya, tampak tak terganggu sama sekali. “Lalu?” Naura melotot kecil. “Lalu? Semua orang bisa melihat kita!” Reval terkekeh, tetapi akhirnya mengalah. Dengan berat hati, ia melepaskan genggamannya. “Baiklah, baiklah. Tapi ini bukan berarti aku menyerah.” Naura mendengkus, berusaha mengabaikan tatapan menggoda pria itu. Mereka berjalan keluar gedung, menuju parkiran. Reval membuka pintu mobil untuk Naura sebelum berjalan ke sisi lain dan masuk ke dalam. Mesin mobil dihidupkan, dan perjalanan dimulai. Naura hanya bisa pasrah. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Jika Reval yang mengajak, itu berarti waktu makan siang
Naura memperhatikan gerak-gerik Reval. Dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa itu?” Reval tidak langsung menjawab. Ia mengeluarkan ponselnya, membuka ikon kamera, dan mengangkatnya setinggi wajah mereka. “Apa yang Bapak lakukan?” tanya Naura, menyipitkan matanya curiga. Reval menoleh sekilas dengan ekspresi polos, yang jelas dibuat-buat. “Tidak ada salahnya kan jika kita mengabadikan momen hari ini?” “Maksudnya ... mengambil foto berdua?” Naura tampak terkejut. Tidak menyangka Reval bisa berpikir sampai ke sana. Reval mengangguk, senyum nakal tersungging di sudut bibirnya. “Tentu saja. Kalau bisa, banyak.” Naura mendengkus pelan. “Pak Reval, kita ini ...” “Kita ini apa?” potong Reval cepat. “Bukan pasangan suami-istri?” Pipi Naura memanas. “Bukan itu maksud saya.” “Kalau begitu, tidak ada alasan untuk menolak, kan?” Reval mengedipkan mata sebelum menarik Naura lebih dekat. “Pak Reval!” Naura berusaha menjauh, tapi pria itu justru mempererat genggamannya. “Kita sudah di tempat ya
Beberapa hari telah berlalu. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela besar, menciptakan pola-pola lembut di atas lantai. Aroma lembut parfum Reval memenuhi ruangan, menciptakan suasana tenang, tetapi ada ketegangan tipis yang menggantung di udara. Naura sedang bercermin seraya merapikan rambutnya. Wajahnya terlihat tenang setelah menghabiskan banyak waktu bersama Reval selama kurang lebih satu minggu. Reval yang berdiri di belakangnya. Sebuah lipstik berwarna pink tergenggam di tangan pria itu, jemarinya yang panjang dan kuat tampak santai, tetapi sorot matanya penuh konsentrasi. “Kamu tidak perlu bergerak,” bisik Reval, suaranya rendah, nyaris seperti perintah. Ia memiringkan kepalanya sedikit, matanya tajam namun lembut, seperti seseorang yang sedang menyusun karya seni. Naura mengangkat matanya perlahan, namun hanya untuk menemukan wajah Reval sudah begitu dekat dengannya. Dadanya seakan membeku sesaat. Ia merasakan hawa napas pria itu menyentuh pipinya, begitu hangat, hamp
Ekspresi Reval mengeras. “Itu bukan urusan kita, Naura.”“Tapi dia masih tak sadarkan diri—”“Dia akan baik-baik saja. Ada dokter dan perawat di sini. Naura, kamu tidak perlu merasa bertanggung jawab atas seseorang yang tidak pernah memikirkan perasaanmu.”Naura terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Reval yang membuat hatinya bergetar. Seakan pria itu bukan hanya berbicara tentang Callista, tetapi juga tentang Dion.Ia tahu Reval benar.Callista bukan tanggung jawabnya. Dion juga bukan.Namun, rasa iba itu tetap ada, menggantung di sudut hatinya.“Saya tidak ingin pergi dalam keadaan seperti ini,” gumamnya.Reval menghembuskan napas panjang. “Naura.” Ia meraih bahu gadis itu, menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu tetap di sini, apa yang akan berubah?”Naura menggigit bibir. Ia tidak bisa menjawab.“Kamu hanya akan terus terjebak dalam rasa sakit dan keraguan.” Suara Reval melembut.Kini Naura merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti perasaannya.Reval berbicara dengan nada sedikit
Sebuah tepuk tangan nyaring terdengar di ruangan itu. “Jadi ini semua perbuatan Mama?” ujar Reval, suaranya rendah tetapi penuh tekanan. Wanita paruh baya yang masih duduk itu tersentak. Wajahnya yang semula tenang kini dipenuhi keterkejutan. “Reval! Ka–kamu ...” “Kenapa, Ma?” Reval melangkah maju, ekspresinya dingin. “Terkejut karena aku dan Naura mendengar pembicaraan kalian?” Di belakang Reval, Naura berdiri dengan tubuh menegang. Jantungnya berdetak kencang, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata dokter dan mama Reval masih terngiang di telinganya. Dion dan Callista memang berselingkuh. Bukan jebakan. Mereka benar-benar mengkhianati dirinya. Mama Reval hanya berusaha menutupi fakta itu dengan kebohongan lain. Ruangan itu terasa semakin menyempit. Napas Naura tersengal, seakan udara mendadak menipis. Dadanya berdenyut, bukan hanya karena kekecewaan, tetapi juga karena rasa bodoh yang terus menyergap. “Jadi ...” Suara Naura bergetar. “Tidak ada yang menj
Naura tertawa kecil, getir. Matanya kembali menatap Dion. “Bukankah saya bodoh?” Suaranya bergetar. “Saya berusaha percaya bahwa dia pria yang baik, bahwa dia adalah orang yang bisa saya cintai tanpa takut dikhianati lagi. Tapi lihat sekarang ... ternyata saya tidak lebih dari seorang wanita bodoh yang terus saja berharap pada sesuatu yang sia-sia.” Suara Naura pecah di akhir kalimat. Dan saat itu, pertahanannya runtuh. Tangannya menutup wajahnya, tubuhnya bergetar hebat menahan isakan. Reval tak bisa lagi hanya diam. Tanpa ragu, ia menarik Naura ke dalam pelukannya. Naura semula memberontak, kedua tangannya mendorong dada Reval, tetapi pria itu tak goyah. “Lepaskan,” ucapnya lirih, suaranya teredam di dada Reval. “Tangismu tidak akan membuat semua ini berubah, Naura.” Reval semakin mengeratkan pelukannya. Naura kembali mencoba melawan, tetapi kekuatannya sudah habis. Ia akhirnya menyerah. Tangannya mengepal di dada Reval, lalu tanpa bisa ditahan lagi, ia menangis sejadi-jad
Koper milik Naura tergeletak begitu saja. Wanita itu tidak lagi peduli. Tangannya gemetar saat memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas, napasnya tersengal. Ia baru saja menerima sebuah kabar yang menghantamnya lebih keras dari apa pun. Dion. Ditemukan di kamar hotel. Bersama seorang wanita. Tak sadarkan diri. Keadaannya … tak berbusana. Perut Naura terasa seperti dipukul keras. Otaknya berusaha mencerna, tapi semuanya terasa begitu absurd, begitu menyakitkan. Tangannya melambai, menghentikan taksi yang melintas. Tanpa ragu, ia masuk dan menyebutkan satu tujuan. Rumah sakit. Sepanjang perjalanan, bayangan Dion berputar di pikirannya. Pria yang selama ini menjadi harapan terakhirnya, tempatnya berpulang setelah semua yang terjadi dengan Reval. Namun sekarang, seolah takdir kembali menertawakannya. Air mata sudah berlinang di pipinya. Ia tak peduli. Taksi berhenti dengan rem mendadak di depan rumah sakit. Naura bergegas keluar, hampir tersandung karena langkahnya yang terbu
Jantung Naura berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menegakkan duduknya, menatap wajah wanita paruh baya itu dengan perasaan tak menentu. “Ada apa dengan Mas Dion, Bu?” tanyanya hati-hati. Ibu Lastri menghela napas. Tangannya saling bertaut, pertanda bahwa ia sedang berusaha menyusun kata-kata. “Tadi Dion sempat menghubungi Ibu. Katanya dia sangat sibuk dengan pekerjaan, jadi tidak bisa menjemputmu.” Naura mengerutkan kening. “Kenapa Mas Dion nggak bilang langsung kepadaku, Bu? Dihubungi juga susah.” Ibu Lastri terdiam sesaat. “Em, itu….” Naura menangkap kegugupan di raut wajah wanita itu. Matanya yang biasanya lembut kini seperti menyimpan sesuatu. “Ada apa, Bu?” desaknya, nada suaranya sedikit lebih tinggi dari yang ia maksudkan. Ibu Lastri tersenyum tipis, tapi senyumnya terasa tidak natural. “Mungkin sinyalnya sedang buruk, Nak.” Naura terdiam, berusaha mencerna jawaban itu. Tapi sesuatu dalam dirinya berteriak bahwa ada yang janggal. Ia menatap wajah wanita itu le
Dinda menghela napas panjang, lalu memaksa bibirnya tersenyum meski matanya masih berlinang. “Hadiah kecil untukmu. Jangan pernah lupakan aku, ya?” Jemari Naura bergetar saat menerima kotak itu. Rasanya berat sekali untuk menggenggamnya, seolah kotak kecil itu membawa seluruh kenangan yang pernah mereka lalui bersama. Ia menatap Dinda, lalu Ervan. Keduanya memiliki ekspresi yang berbeda. Dinda yang emosional, sementara Ervan lebih menahan, tetapi sorot matanya jelas menunjukkan kepedulian yang mendalam. Naura tersenyum tipis, menahan sesak yang mengganjal di dadanya. “Terima kasih ... untuk segalanya,” ujar Naura pelan, tetapi cukup jelas untuk keduanya dengar. Dinda menggigit bibirnya, menahan tangis yang hendak pecah. “Kalau kamu butuh tempat pulang ... aku di sini, Naura.” Ervan mengangguk pelan, menambahkan, “Kami di sini.” Naura tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap mereka dalam diam, menghafal wajah mereka untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya melangkah mun
Naura memejamkan mata, menolak perasaan yang menggumpal di dadanya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha mengendalikan getaran emosi yang berkecamuk. Tapi, getar suara Reval menembus pertahanannya. “Aku tidak peduli siapa ayah dari bayi yang kamu kandung. Yang kuinginkan... hanya kamu, Naura.” Sebuah bulir air mata jatuh di pipi Naura, entah karena keterkejutan atau rasa yang tak mampu dia jelaskan. Reval terdiam melihatnya, tatapannya melunak. Perlahan, jemarinya terangkat, menghapus jejak air mata itu dengan sentuhan yang begitu lembut seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. “Saya... tidak bisa.” Suara Naura lirih namun tegas, meski dadanya terasa sesak. “Saya istri orang lain, Pak Reval. Dan sebentar lagi Bapak akan menikah dengan Callista.” Reval tersenyum pahit, matanya menyimpan luka yang tak terucapkan. “Pernikahan itu tidak pernah kuinginkan. Hanya kamu... sejak awal, hanya kamu yang mengisi ruang kosong dalam hatiku, Naura.” Reval terdiam sejenak. Lalu, tanpa p
Hari yang dinanti telah tiba. Hari ini adalah hari terakhir Naura menjejakkan kakinya di perusahaan besar milik Reval. Ia akan segera meninggalkan kota yang penuh kenangan itu. Untuk terakhir kalinya, Naura ingin meminta maaf dan berterima kasih kepada Reval. Langkah kaki Naura menggema pelan di lantai marmer kantor. Setiap langkahnya terasa berat, seolah setiap jejak yang ia tinggalkan adalah perpisahan dengan semua kenangan yang pernah terukir di tempat ini. Jantungnya berdetak tak menentu saat ia berdiri di depan pintu ruangan yang sudah begitu familiar. Ruangan di mana banyak kisahnya dengan Reval tercipta. Tangannya terangkat, mengetuk pintu kayu itu dengan ragu. Tok. Tok. Tok. Tak ada jawaban. Naura menunggu sejenak, berharap mendengar suara yang selama ini mampu menggetarkan hatinya. Namun, keheningan tetap menyelimuti ruangan di balik pintu itu. Perlahan, ia memutar kenop pintu. Tidak terkunci. Naura mendorong pintu dan melangkah masuk. Udara di dalam terasa sedikit
Rintik hujan turun pelan, mengetuk dedaunan dan memercik tanah merah yang masih basah. Udara di pemakaman terasa lembap, bercampur aroma tanah yang khas setelah hujan pertama. Angin semilir membawa desah dedaunan, seolah menjadi bisikan dari mereka yang beristirahat abadi di bawahnya. Di antara barisan nisan berwarna abu-abu, seorang pria berdiri diam. Jas hitam membungkus tubuhnya, tetapi dingin tetap merasuk hingga ke tulang. Rambutnya yang basah menempel di dahi, sementara tetesan air mengalir pelan di sepanjang rahangnya yang tegas. Sepasang mata kelamnya menatap nisan di depannya. Tatapan yang menyimpan luka tak terucap. Nama yang terukir di sana terasa seperti belati yang menusuk jantungnya setiap kali ia membacanya. Kirana A. Wijaya Reval berjongkok perlahan, membiarkan lututnya menyentuh tanah yang basah. Jemarinya terulur, menyentuh ukiran nama itu seolah berharap kehangatan masa lalu dapat merembes melalui batu yang dingin. Bibirnya bergerak, tetapi tak ada suara