hmmm,...
“Terima kasih,” kata Reval, suaranya tetap tenang tetapi penuh penghargaan. “Kami tidak akan membuat keributan.”Naura, yang mendengarkan percakapan itu dengan jantung berdebar-debar, hampir tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Matanya memandang Reval dengan penuh rasa campur aduk. Antara kekaguman dan kebingungan yang sulit dijelaskan.Ketika mereka berbalik menuju lift, Reval menempatkan tangan di punggung Naura, membimbingnya dengan tenang tetapi mantap. “Mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Naura.Tetapi di dalam hatinya, badai mulai mengamuk.Langkah Naura semakin cepat saat ia menuju kamar 307. Derap sepatunya menggema di lorong yang sepi, membuat udara di sekitarnya terasa semakin berat. Jantungnya berdetak seperti genderang perang, menghantam keras di dalam dadanya, menciptakan denyut rasa sakit yang tak tertahankan.Ketika sampai di depan pintu kamar, tangannya yang gemetar terulur, hendak meng
“Saya … ingin mengajukan pinjaman, Pak.” Naura berdiri beberapa langkah dari meja, meremas jemarinya yang basah oleh keringat. Suaranya sedikit bergetar. Ucapan Naura membuat Reval menghentikan gerakan tangannya yang sedari tadi sibuk menandatangani berkas-berkas. Tatapannya langsung tertuju pada Naura, tatapan yang sulit diartikan. CEO duda itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tak berubah. “Berapa yang kamu butuhkan?” “Dua miliar, Pak.” Ruangan itu mendadak hening, seolah waktu berhenti. Naura menggigit bibir, menunggu reaksi yang tidak kunjung datang. Reval akhirnya tertawa kecil, suara yang tidak membawa kehangatan. “Kamu sadar betapa besar angka itu, kan?” “Saya sadar, Pak. Tapi saya tidak punya pilihan lain,” jawab Naura, nadanya memohon. Reval mengangguk pelan, lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke arah jendela besar di belakang meja, melihat pemandangan kota yang sibuk. “Kamu tahu, Naura, perusahaan tidak seperti lembaga amal. Kami tidak member
Naura harus ke rumah sakit ketika mendapatkan pesan dari Dion, suaminya, yang mengatakan kalau ibu mertuanya kritis di ICU. Saat di perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Naura berbunyi, menampilkan pemberitahuan bahwa uang sebesar empat miliar sudah dikirimkan ke rekening Naura. “I-ini … banyak sekali.” Naura menutup mulutnya, ia terkejut karena Reval memberikan dua kali lipat dari yang Naura pinjam. Selama di dalam taksi, Naura hanya bisa menangis, takdirnya kini sudah ada di depan mata. Sesampainya di ruang gawat darurat, Naura menemukan ibu mertuanya terbaring lemah di balik kaca ruang ICU. Perempuan tua itu adalah satu-satunya yang pernah memperlakukan Naura seperti keluarga sejak ia menikah dengan Dion. Hati Naura mencelos melihat kondisinya, tapi sebelum ia bisa mendekat lebih jauh, suara Dion terdengar dari belakang. “Uangnya mana?” tanyanya, tanpa basa-basi, tanpa sedikit pun empati di wajahnya. Naura berbalik, menyerahkan amplop tebal yang ia bawa. Dion langsung mera
Reval melangkah mendekati Naura tanpa ekspresi. “Aku di sini. Tidak ada yang perlu kamu sembunyikan,” ujar Reval singkat, sambil menyentuh bahu Naura dengan lembut, namun tidak menunjukkan kehangatan. Naura menatap Reval, terkejut oleh kata-kata itu. Sentuhan di bahunya terasa aneh, dingin, seolah tidak ada emosi di baliknya. Rasa cemas menyelimuti dirinya, namun ia tetap terdiam. Namun, ia merasa tak mampu menolak. Perlahan ia menarik napas, berusaha meredam gemuruh jantungnya yang semakin cepat. Pandangannya tetap tertunduk, enggan bertemu mata Reval. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Naura mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Setiap helai pakaian yang terlepas menambah rasa terpapar yang semakin dalam, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Namun tatapan dingin Reval tetap menembusnya, seolah menahan setiap niat untuk mundur. Ketika pakaian terakhir terlepas, Naura merasa tubuhnya hampir tidak terlindungi, meskipun hanya ada sedikit kain yang menutupi tubuhnya
Naura memandangnya dengan ekspresi bingung, masih mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Ciuman mendadak itu, kehadiran Reval yang mendominasi, dan kalimat terakhirnya tentang malam esok membuatnya dilanda kegelisahan yang memuncak. “Tunggu … apa maksudmu besok malam adalah malam yang sesungguhnya?” tanya Naura, suaranya terdengar lemah, hampir berbisik. Reval menoleh sekilas, kemudian mendengus kecil. Ia berjalan menuju pintu kamar hotel tanpa menjawab langsung. Ketika ia membuka pintu untuk membuat Naura keluar dari kamarnya, ekspresinya masih sama, dingin dan penuh kontrol. “Kita belum selesai, Naura. Sampai apa yang kulakukan padamu setimpal dengan uang yang sudah kuberikan,” katanya dengan nada yang begitu tenang, namun penuh tekanan. Naura merasa seperti ditampar oleh kata-kata itu. Bibirnya sedikit terbuka, ingin membalas, tetapi ia tak menemukan kekuatan untuk melakukannya. Ia hanya berdiri mematung beberapa detik sebelum akhirnya berjalan keluar dengan langkah be
“Naura! Mana sarapan? Apa kau mau aku kelaparan?” teriak Dion dari ruang tamu, nadanya penuh kemarahan. Suara teriakan Dion di pagi hari membangunkan Naura dari tidurnya. Naura membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lemah, dan setiap gerakan memunculkan rasa nyeri yang tajam. Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Rasa nyeri di selangkangan menjadi pengingat pahit akan tadi malam, sebuah malam yang ia jalani dengan terpaksa, tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh beban yang tak kasatmata, beban dari perasaan hampa yang terus-menerus menghantuinya. ‘Aku harus bertahan,’ pikirnya, menguatkan diri meski hatinya terasa semakin remuk. Ia menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan letih. Air dingin mengalir di kulitnya, tapi tidak cukup untuk menghapus perasaan hampa yang terus menghantuinya. Setelah selesai, Naura mengenakan pakaian sederhana dan segera ke dapur untuk m
Dion merasakan bahwa ucapan lelaki di hadapannya ini tidak main-main. Dilihat dari penampilannya, Reval bukan lelaki sembarangan. Seketika nyali suami Naura tersebut menciut. Ia menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba untuk menghindar.“Sial!” umpat Dion seraya mundur selangkah. Namun tatapan matanya kepada Naura menunjukkan kemarahan.Lelaki itu segera melangkah pergi dari sana dengan perasaan kalut. “Apa yang kalian lihat? Bubar!” teriaknya frustrasi kepada beberapa pengunjung rumah sakit yang masih menjadi penonton setia.Sementara Naura berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir.“Pak Reval ... kenapa Bapak ada di sini?” tanya Naura merasa serba salah. Ia sedikit merasa malu dan merasa trenyuh.“Memangnya hanya kamu yang memiliki kepentingan di rumah sakit?” Reval tersenyum meremehkan. Wajah dinginnya membuat Naura merasa kesal. Ia pikir lelaki itu ...Naura menggeleng perlahan menatap punggung Reval yang semakin menjauh. Angannya sempat melayang. Terbuai akan kepedulian
“Kamu kelihatan gemetar,” ujar Reval, suaranya datardan rendah, tanpa emosi yang tampak. Ia menatap Naura dengan intens, seolahmenilai tanpa perlu bertanya. “Kedinginan atau takut?”Naura terdiam sejenak, berusaha menguatkan diri.“Seharusnya saya tidak berada di sini,” jawabnya dengan suara yang hampirbergetar.Reval hanya mengangkat alis, tetap diam, tangannyabertahan di pinggang Naura tanpa gerakan berlebih. Tatapannya tetap tenang,seolah tidak ada urgensi untuk menjawab atau menanggapi lebih jauh.Naura mencoba mundur, namun punggungnya sudahmenyentuh pintu yang tertutup rapat. Detak jantungnya makin cepat, namun Revaltetap tak bergerak, tetap mengawasi.“Apa yang anda inginkan?” tanya Naura, nada suaranyategas meski ada kecemasan di dalamnya.Reval meraih kedua bahunya dengan gerakan lambat,namun tidak pernah terburu-buru. “Jangan lari, Naura.” Nada suaranya tetapdatar, namun perintah itu jelas.Naura merasa terperangkap, meski tanpa kata-kata, iatidak bisa menarik dir
“Terima kasih,” kata Reval, suaranya tetap tenang tetapi penuh penghargaan. “Kami tidak akan membuat keributan.”Naura, yang mendengarkan percakapan itu dengan jantung berdebar-debar, hampir tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Matanya memandang Reval dengan penuh rasa campur aduk. Antara kekaguman dan kebingungan yang sulit dijelaskan.Ketika mereka berbalik menuju lift, Reval menempatkan tangan di punggung Naura, membimbingnya dengan tenang tetapi mantap. “Mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Naura.Tetapi di dalam hatinya, badai mulai mengamuk.Langkah Naura semakin cepat saat ia menuju kamar 307. Derap sepatunya menggema di lorong yang sepi, membuat udara di sekitarnya terasa semakin berat. Jantungnya berdetak seperti genderang perang, menghantam keras di dalam dadanya, menciptakan denyut rasa sakit yang tak tertahankan.Ketika sampai di depan pintu kamar, tangannya yang gemetar terulur, hendak meng
Reval mendesah kasar, meninju setir dengan frustrasi. Lampu lalu lintas berubah hijau, klakson dari kendaraan di belakang mulai berbunyi keras, memaksa mobil untuk bergerak. Dengan gerakan tajam, ia menepikan mobil ke sisi jalan, memutar balik secepat mungkin sebelum kehilangan jejak Naura.Sementara itu, langkah Naura terasa seperti berlomba dengan detak jantungnya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring rasa takut dan harapan yang bercampur aduk di benaknya. Matanya terus mencari-cari sosok yang tadi dilihatnya. “Mas Dion ... itu pasti dia. Aku tidak mungkin salah.”Pintu hotel berputar dengan halus ketika ia mendorongnya masuk. Udara di dalam terasa hangat dan penuh dengan aroma parfum mahal. Lantai marmer memantulkan cahaya lampu gantung yang megah di atasnya, tetapi semua kemewahan itu tidak berarti apa-apa baginya. Naura hanya melihat satu hal. Punggung tegap dengan jas hitam yang kini berbelok di ujung lorong bersama seorang wanita cantik.Ia mempercepat langkahnya, h
Nada suaranya datar, tetapi Naura menangkap sesuatu yang lain. Sesuatu yang disembunyikannya dengan hati-hati. Emosi yang terpendam, entah amarah, entah sesuatu yang lebih dalam lagi.Pernyataan itu menusuk Naura. Ia menggigit bibir bawahnya, rasa hangat mulai menyeruak di balik kelopak matanya. Mengapa Reval bertindak seperti itu? Ia tampak begitu peduli padanya. Sorot matanya saat melihat Naura dalam bahaya, nada khawatir di suaranya ketika menolongnya, bahkan kemarahan yang jelas ia rasakan saat menyebut nama Riko. Semua itu bukan sikap seseorang yang hanya peduli secara sepintas.Tetapi sekarang? Sekarang dia menyuruhnya kembali kepada Dion, seolah-olah yang mereka alami tidak berarti apa-apa. Naura memalingkan wajah, bahunya turun, hatinya terasa berdenyut nyeri. “Apakah aku hanya beban untuk semua orang? Apakah semua perhatian yang aku terima hanyalah sebuah kebohongan?”Namun, sebelum ia bisa memutuskan untuk berbicara atau tetap diam, Reval melangkah mendekat. Langkahnya ma
Sinar matahari yang hangat menembus celah-celah tirai kamar hotel, namun suasana di dalam ruangan tetap dingin. Naura duduk di tepi tempat tidur dengan kepala tertunduk. Ujung jarinya terus-menerus meremas sudut selimut, seolah ingin menenangkannya dari badai perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Tatapan matanya kosong, tetapi keningnya berkerut, menunjukkan gelombang pikiran yang tak beraturan.Reval berdiri di dekat meja, memandang ke luar jendela dengan rahangnya yang mengeras. Suara kota yang mulai bergeliat terdengar sayup-sayup, namun tidak cukup untuk memecah kesunyian di antara mereka. Ia memijit pelipisnya, menahan amarah yang mendidih dalam dada.“Pak Reval ....” suara Naura terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang diterbangkan angin. “Maafkan saya.”Reval menoleh perlahan. Sorot matanya tajam, penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan. “Untuk apa?”Naura mengangkat wajahnya, matanya berkabut. Ia menggigit bibir bawahnya hingga pucat sebelum akhirnya menjawab, “Untuk
Reval membeku sesaat, matanya menatap penuh pertanyaan, tetapi tangannya segera menggenggam lebih erat jemari Naura, menariknya dengan lembut namun penuh ketegasan. “Naura, fokus. Kita harus keluar dari sini.” Wanita itu mulai terhuyung, tetapi Reval meraih pinggangnya, menopang tubuhnya yang lemah namun penuh energi yang membingungkan. Ia menuntun Naura dengan cepat ke luar ruangan, bertekad membawanya ke rumah sakit sebelum keadaan menjadi semakin buruk. Saat Reval membuka pintu mobil dan membantunya masuk, Naura terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Duduk di kursi depan dengan napas yang tersengal, ia menggigit bibir bawahnya, matanya yang kabur dari hasrat dan kepanikan tertuju lurus ke arah Reval yang baru saja duduk di sampingnya. “Naura, bertahanlah … kita akan sampai di rumah sakit sebentar lagi,” suara Reval penuh kepanikan, tetapi jemarinya tetap kuat saat menyentuh pundak Naura, berusaha menenangkan gejolak di tubuh wanita itu. Namun, Naura sudah tidak lagi mend
Napas Naura memburu, dadanya naik-turun dengan ritme yang menyakitkan. Pandangannya semakin kabur, tetapi ia menolak menyerah. Tetesan keringat mengalir di pelipisnya, bercampur dengan rasa takut yang menyelimuti setiap inci tubuhnya. Suara Riko semakin dekat, tetapi ia tidak peduli. Ia harus bertahan, harus terus berlari. Tangannya meraih dinding untuk menjaga keseimbangan, kuku-kukunya meninggalkan bekas goresan saat ia mencoba bertahan dari rasa pusing yang menyerang. “Naura!” Suara Riko terdengar marah dan semakin dekat. Naura menggigit bibirnya lebih keras lagi. Saat ia mencapai pintu lain di lantai bawah, ia membukanya dengan paksa, melompat ke luar dan terjatuh ke lantai yang dingin. Ia merasakan lututnya tergores, tetapi ia segera bangkit lagi, memaksa kakinya bergerak. Riko keluar dari pintu tangga, matanya liar mencari mangsanya. Naura melihat ke sekeliling, mencari tempat untuk bersembunyi atau jalan keluar yang lain. Langkah kaki Riko terdengar semakin keras, suara na
“Aku… aku merasa… ada yang aneh.” Suara Naura bergetar, bibirnya terasa kering meskipun ia baru saja minum. Tubuhnya mulai menggigil meski udara di ruangan itu tidak berubah.Naura mencoba berdiri, tetapi lututnya terasa lemas. Jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya, keringat dingin mulai muncul di pelipisnya, tetapi yang paling membuatnya panik adalah rasa panas yang mulai menjalar di tubuhnya. Sensasi itu aneh dan asing, membakar dari dalam, menggerogoti kendali atas pikirannya.Suaranya tercekat di tenggorokan saat rasa aneh itu kian intens, membuat napasnya tersengal. Rasa sesak itu bukan dari ketakutan semata, tetapi dari sesuatu yang lebih … mendesak, seperti hasrat yang dipaksakan tumbuh di luar keinginannya sendiri.Ia menggenggam meja dengan erat, kuku-kukunya mencengkeram permukaan kayu. “Apa yang ... Paman berikan kepadaku?” tanya Naura dengan susah payah, matanya menatap Riko dengan kecurigaan yang kini berubah menjadi ketakutan nyata.Riko menatapnya dengan se
Reval tersenyum tipis, matanya menyiratkan rahasia yang belum terungkap. “Nanti kamu akan tahu,” jawabnya dengan nada yang mengandung arti lebih. Naura tidak dapat menanggapi lebih lanjut, hanya mengikutinya dengan langkah pelan. Mereka berjalan menuju sebuah bangunan besar yang tidak jauh dari tempat mereka berhenti. Begitu sampai, Naura melihat sebuah hotel mewah di depan mata, dengan lampu yang menyinari pintu utama. Keheranan mulai muncul di benaknya. Ini bukan tempat yang ia bayangkan akan mereka tuju. Reval membimbingnya melewati pintu masuk hotel, dan mereka langsung menuju ke bagian lift. “Masuk, kita akan ke lantai atas,” kata Reval dengan nada yang tenang. Naura mengikuti, meskipun hatinya semakin bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Begitu mereka sampai di lantai yang dimaksud, Reval menghampiri sebuah pintu hotel dan mengetuknya. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Seorang pria paruh baya muncul di balik pintu, mengenakan pakaian yang tampak mewah da
Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka. Waktu seolah berhenti, membiarkan hanya detak jantung dan napas yang terdengar di ruangan itu. Reval mengerutkan alis, ekspresinya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut namun penuh kebingungan. Ia menatap Naura seperti seseorang yang baru saja mendengar sebuah rahasia. Matanya menyapu wajah Naura, mencari arti di balik permintaan sederhana yang terasa berat itu. Ada kerentanan yang terpancar dari matanya, sorot yang mencoba menutupi ketakutan kecil yang merayap di sudut hatinya. Dan Reval tahu, meski Naura tidak berkata-kata lebih banyak, permintaan itu bukan tentang kehadirannya semata. Itu tentang rasa aman yang dia cari, perlindungan yang dia butuhkan, bahkan jika hanya untuk malam ini. “Kenapa?” tanya Reval pelan, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Naura masih menggenggam tangan Reval, tetapi ia tak segera menjawab. Reval terdiam, merasakan gravitasi yang menarik dirinya lebih dekat ke dunia yang Naura coba sembunyik