Ia melangkah ke teras depan, sangat kelelahan setelah mengawasi rumahnya semalaman. Ia tertidur sekitar jam empat pagi. Ketika terbangun, matahari sudah di atas kepala dan bau masakan istrinya sudah menggelitik indra penciumannya.Semua ini pasti akan berakhir. Entah dengan cara apa. Dan ia yakin, tidak akan lama lagi, ia tidak perlu merasa lebih cemas dari sekarang. Dan aku tidak perlu begadang semalaman lagi. Saat ia melangkah masuk ke dalam rumah, ia melihat istrinya berdiri di belakang sofa, matanya memerah karena menangis dan tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. “Ada apa?”“Sebastian ada disini. Henry, dia meninggal.”“Apa? Henry sudah ditemukan? Dia... meninggal?”Istrinya menatapnya, bibirnya gemetaran. “Seseorang menggantungnya di atas pohon Ek di depan rumahnya. Dia... Dia tergantung dengan tidak memakai pakaian sehelai pun dan... wajahnya...” kalimat istrinya terhenti. Saat Sebastian tiba-tiba muncul di samping ibunya, tangis wanita itu pecah.Andrian menunduk, terlalu lel
“Kalian suka hadiahku? Oh, jangan terlalu senang dulu, ini baru permulaan. Pertunjukan yang sebenarnya sebentar lagi akan kalian nikmati.” Sebastian kembali melipat surat itu lalu kembali memasukkannya ke dalam amplop.Ferdinand menatap surat itu sambil bergidik. “Aku tidak percaya sesuatu seperti ini bisa menimpa keluarga kita.”Andrian menatap poto Henry beserta istri dan putrinya yang tergantung di dinding sebelum matanya mulai berat dan ia buru-buru mengalihkan pandangan matanya. Bodoh. Dasar pria tua bangka yang bodoh. Andrian membuka mulutnya sedemikian rupa tanpa mengatakan apa-apa.Elaine, istri Henry, sudah tidak sadarkan diri sejak tadi. Seorang dokter, dua asisten rumah tangga dan adiknya sudah membawanya beristirahat di kamarnya. Mereka tidak lagi mendengar suara tangis pilu wanita malang itu, ia sudah tenang. Dokter menyuntikkan obat penenang dan menunggunya di pinggir tempat tidur kalau-kalau Elaine bangun dan menangis histeris lagi.“Elaine mencakar George,” ucap Sebast
Dengan sebuah senter, mereka menaiki tangga darurat menuju atap dengan hati-hati melewati tepat penembak jitu mereka menunggu sasarannya.“Tapi, jika cucu pria itu ditembak, bukankah seharusnya ia sudah melapor pada polisi? Mengapa ia menyelidiki lokasi seorang diri?” Sebastian memusatkan pandangannya ke depan. Matanya menatap awas pada setiap benda yang ia lihat.“Anak pria tua itu pernah meninggal di siksa oleh seorang detektif dalam penjara. Hingga saat ini, polisi ia anggap sebagai hama yang menjijikkan. Akan saya selidiki berita ini nanti, Tuan. Kita tidak bisa mengenyampingkan kemungkinan bahwa pria tua itu mengarang cerita.”“Atau ia menjadi salah satu suruhan penembak jitu kita,” ucap Sebastian pelan. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa geramnya saat menyebutkan kalimat terakhir.Saat sampai di atap, Sebastian tersenyum puas. “Kau lihat itu, Ed? Tidak sia-sia kita naik sampai ke atas sini.”Edward memandangi sebuah cangkir plastik yang terletak di lantai atap. Hatinya menari-nar
“Apakah ada yang tinggal di rumah?” gumam Zoe. “Sepertinya seluruh kota hadir disini.”“Sepertinya begitu,” tukas Angela. Berdiri di pemakaman di belakang Gereja Baptis Pertama Toronto. Angela di apit Sebastian, dan Edward di sisi kirinya dan Zoe di sisi kanannya. Pendeta Gilbert mengambil posisi diantara hadirin, mengawasi, didukung sepuluh orang polisi berpakaian preman.“Kau melihat seseorang yang kau kenal?” gumam Sebastian.“Hanya orang-orang tua yang juga ku kenal darimu. Kau tahu, kau tidak banyak memperkenalkan keluargamu padaku.”“Kau benar. Apa kau tahu siapa yang memimpin misa?”“Kau bercanda, tentu saja aku tahu. Itu pastor Gilbert,” jawab Angela pelan, dan Sebastian menunduk mendekatkan kepalanya supaya mendengar lebih jelas. Wangi Sebastian seperti pohon pinus, pikir Angela, bau kebakaran dan kematian sudah hilang.Angela menarik nafas, mengisi kepalanya dengan bau parfum Sebastian sebelum akhirnya kembali fokus ke pemakaman. Pemakaman pertama yang ia hadiri sejak mereka
Dalam sekejap Angela terlempar ke tanah, nafasnya terhenti saat Sebastian menindihnya dan terjadi kepanikan di pemakaman. Di sekelilingnya, orang-orang berteriak dan berlarian saat polisi menenangkan keadaan.Dalam keadaan linglung, Angela mengangkat kepalanya, tatapannya tertuju pada seorang wanita yang berdiri diam di antara hiruk-pikuk di sekelilingnya. Wanita itu mengenakan pakaian serba hitam, mulai dari topi berkerudung, jahitan gaun yang ketinggalan zaman sampai sarung tangannya.Renda hitam dari kerudung menutupi wajahnya sampai ke dagu, tapi Angela tahu wanita itu sedang menatap seseorang. Menatap dirinya.Dan Angela menatap balik, untuk sesaat terpana.Bibir merah. Dia berbibir merah, bibir merah. Warna merah terlihat dari balik renda hitam, memberi efek menakutkan. Lalu wanita itu menyelinap ke keramaian dan menghilang.“Ya Tuhan, kamu tidak apa-apa, Angela?” teriak Sebastian di antara teriakan kepanikan“Aku baik-baik saja.”“Tetap menunduk beberapa... Oh, sialan,” Sebasti
Pria itu menurunkan camera, sebuah seringai tampak di wajahnya. Ia tadi memang berada di pemakaman dan saat suasana memungkinkan ia segera kembali ke mobilnya dan mengamati tiap peristiwa melalui kameranya.Ia memang sudah menduga bahwa mereka akan saling serang, ia hanya tidak menduga bahwa itu akan terjadi begitu cepat. Setiap salah satu dari mereka pergi ke luar kota bulan kemarin, pria itu membuntutinya.Biasanya akan mendapatkan hadiah dari perjalanannya berupa rahasia-rahasia baru yang ia tahu tidak akan diungkapkan mereka, dan malam ini bukanlah pengecualian.“Malam ini adalah malam keberuntunganku.”Sekarang jumlah mereka tinggal sedikit. Apa yang telah mereka lakukan saat ini justru mempermudah pekerjaannya. Ia tahu, ia akan menjadi satu-satunya target tersangka. Tapi ia berani bertaruh, hingga beberapa puluh tahun kedepan, baik Sebastian apalagi kepolisian tidak akan tahu tentang identitas aslinya.Pria itu memandangi hasil foto yang baru saja ia ambil di kameranya. “Rencana
Sudah ada sekitar selusin gadis cantik di bar, tapi pria itu tahu persis mana yang akan diajaknya pulang. Ia sudah mengetahuinya selama lima tahun yang sangat panjang, sejak keluarga itu mengambil satu-satunya orang yang paling berharga dalam hidupnya.Mereka mengambil nyawanya saat menghancurkan hidup Liza. Mereka mengira mereka begitu pintar, begitu cerdas. Tapi John,Viona, dan Henry sudah mati. Dan gadis itu juga sebentar lagi akan menyusul mereka.Hasrat membakar kulit pria itu kala ia langkah kakinya mulai mendekat. Apapun respon wanita itu, akhirnya tetap akan sama. Dia tetap akan mati di tangannya.“Permisi,”kata pria itu di tengah kerasnya lagu yang dimainkan oleh band.Wanita itu menoleh, tangannya terangkat mencegah tiga orang penjaga keamanan yang mendekat siaga. Sorot matanya menyipit, memandangi pria itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sorot matanya menajam karena hatinya mulai tertarik.Wanita itu memiringkan kepalanya. “Oh my God! I know you, Handsome. You... Zoe,
Sebastian mengantar Angela sampai ke depan pintu rumah. Pria itu merasa bahwa tidak seharusnya ia pergi malam ini, minimal ia harus menemani sampai Angela terlelap. Tapi, beberapa hal terlalu mendesak untuk bisa ia abaikan. Ia bahkan meminta supir pribadinya untuk pulang dan menyetir sendiri.“Kamu yakin tidak mau menemaniku dulu sebentar malam ini?” tanya Angela. “Ada wine enak yang belum kubagi denganmu.”Sebastian menghela nafas. Ia membingkai wajah Angela dengan tangan kokohnya lalu membelainya lembut. “Keinginanku lebih besar dari yang kamu tahu, Sayang. Tapi, kamu tahu, hal ini tidak bisa ditunda.”Wanita itu terlihat kecewa tapi ia pandai menutupinya dengan senyuman. “Baiklah, segera pulang setelah urusanmu selesai.”Apa yang kau lakukan, Angela? Maki Angela dalam hatinya. Ia tidak terbiasa merasa kecewa ketika Sebastian lebih memilih pekerjaannya dibandingkan dirinya. Tapi situasi malam ini begitu buruk. Ya, Angela lebih tahu dari siapapun di dunia ini.Sebastian mendekapnya l