Ronald berdiri tegap di lobi mewah Hotel Aravelle De Louac. Setelan jas abu keperakan membingkai tubuhnya dengan baik, dan sepatu pantofel nya mengilap tanpa cela.
Di sebelahnya, Merin mengenakan gaun renda berwarna biru laut dengan tas tangan kecil yang tampak dipakai hanya di acara-acara spesial saja. Wajahnya menegang karena gugup, namun senyum lebarnya terus mengembang karena antusiasme yang tidak bisa disembunyikan. Di tangan mereka, sebuah kotak kado dibungkus dengan kertas berwarna emas pastel dan pita satin merah menyala. Mereka pikir itu cukup pantas untuk acara sebesar ini, setidaknya, itu yang mereka harapkan. Namun, dari tadi, Ronald tidak bisa berhenti melirik ponsel ditangannya. Berkali-kali dia membuka layar, mencari notifikasi, pesan, atau panggilan dari Elle. Tapi nihil. Tidak ada apa pun. Bahkan pesan terakhir yang ia kirim pun belum dibaca olehnya. “Jangan gelMerin menarik lengan Ronald cukup kuat, memaksanya kembali masuk ke dalam ruangan pesta, mengabaikan Elle yang kini hanya berdiri kaku tak jauh dari pintu masuk. “Ayo cepat, Ronald! Jangan buang waktu lagi!” ucap Merin, memaksa. Tatapan Ronald sesekali masih menoleh ke arah Elle, namun Merin terus menggiringnya, seolah ingin memastikan bahwa Ronald tidak akan kembali melihat ke belakang lagi. Sementara itu, Elle yang hampir terjatuh tadi gara-gara didorong oleh Merin. Tubuhnya nyaris kehilangan keseimbangan jika saja tak ada seseorang yang sigap menangkapnya tepat waktu. “Lain kali tolong hati-hati, Nona. Dunia ini belum siap kehilangan perempuan secantik dirimu,” ucap pria asing yang menolongnya, dengan senyum menggoda dan sorot mata yang tampak santai namun tajam, seolah sedang menilai Elle dari kepala hingga kaki. Elle mengangkat wajahnya, menoleh sedikit, dan menatap pria bertubuh tinggi besar yang kini berdiri tegak di hadapannya. Ada sorot mengejek dalam tatapan pria
Sejak hari itu, kafe milik Merin dan Ronald mengalami perubahan drastis. Meja-meja yang sebelumnya sering kosong kini selalu terisi. Antrean panjang terbentuk rapih setiap pagi, siang, hingga sore hari. Tak hanya orang-orang dari lingkungan sekitar, namun juga para pegawai kantoran, bahkan beberapa pelanggan dengan mobil mewah sesekali terlihat parkir di depan kafe sederhana itu. Merin hampir tidak percaya. Ia pun bisa menggunakan jasa pegawai part time untuk membantunya. Ia berdiri di belakang kasir, memandangi suasana kafe yang begitu hidup. Senyumnya tak pernah lepas sejak pagi tadi. Beberapa pelanggan bahkan memesan menu-menu dalam jumlah besar, atau sekadar duduk lama sambil bekerja dari laptop mereka, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Merin menepuk bahu Ronald dengan semangat. “Lihat! Ini semua pasti karena bantuan Erika. Dia bilang akan bantu promosikan kafe kita, dan sekarang… hasilnya luar biasa
Tiga bulan telah berlalu. Waktu yang terasa cepat bagi Elle, namun tanpa disadari perlahan menumpuk luka-luka kecil yang ia simpan rapi di dalam hatinya. Ia menyaksikan Ronald tersenyum lebih sering, dengan mata yang berbinar saat bercerita tentang kesuksesan kafenya yang kini merambah ke bisnis restoran. Setiap malam, setelah pulang kerja, Ronald menghitung omset dengan mata berbinar, penuh rasa puas. “Sepertinya, sebentar lagi kita bisa buka cabang di pusat kota,” kata Ronald suatu malam, matanya menatap grafik yang naik tajam di layar laptopnya. “Ibu juga makin semangat. Dia bahkan sudah bilang ingin beli mobil baru.” Elle hanya tersenyum. “Itu bagus. Kau memang sudah bekerja keras, kau dan Ibumu pantas mendapatkannya.” Ronald tertawa kecil. “Kau juga sudah banyak membantuku. Terimakasih banyak, ya.” Tapi di balik pujian itu, Ronald tak pernah tahu sebera
Elle melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, menyusuri trotoar yang lengang. Malam mulai turun, dan langit tampak kelabu seperti hatinya. Ia tahu ia bisa saja menolak, tapi hutang budi kepada Ronald dan perasaan yang masih tertambat membuatnya tidak bisa menolak permintaan Merin, sekalipun itu menyakitkan untuknya. Ia tiba di toko buah langganan dan mulai memilah buah kiwi yang tampak segar. Tangannya bergerak otomatis, tapi pikirannya melayang. Belum lagi dia merasa lelah dan mengantuk sekali. “Kenapa aku masih bertahan seperti ini, sih?” batinnya. “Lagi-lagi kau sendiri, cantik?” Suara lelaki itu memecah lamunannya. Elle menoleh, dan menghela napas begitu mengenali suara yang bicara, tidak asing juga. Lavine. Pria tinggi berwajah tampan itu tersenyum miring, mengenakan jas santai dengan rambut sedikit berantakan, khas pria Casanova yang tahu diri
Pada akhirnya, yang bisa Elle lakukan adalah menuruti apa maunya Ronald. Hatinya kesal, tapi apa boleh buat. “Ah, maaf, Sayang. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu. Tapi, apa salahnya kau membantu Erika? Bagaimanapun, dia sudah banyak membantuku.” Begitulah yang diucapkan Ronald tadi. Elle sudah mencoba untuk memberitahu, “Erika sama sekali tidak berkontribusi untuk semua ini!” Namun, Merin mematahkannya dengan berkata, “Terus? Kau mau bilang kalau kau yang sudah membuat kesuksesan ini? Hemp! Anakku bisa naik jabatan juga karena kerja keras dan kepintarannya. Kafe dan restoran milik kami juga sukses karena rasa makanan dan kerja keras kami yang dibantu Erika secara diam-diam!” Erika nampak canggung, namun senyum lebar di wajahnya itu seolah menyukai pengakuan itu. Hanya bisa tersenyum, Elle sudah tidak bisa menolong kebodohan Merin dan Ronald. Memang seorang manager utama Ayahnya Erika bisa bertindak sejauh itu? Hah... tentu saja tidak. Bisa menyewa gedung hotel m
Elle menoleh dan tersenyum, tangannya masih saling menggenggam erat dengan tangan Weren. Entah kenapa dia merasa lega karena masih ada orang yang tulus sehingga ia tidak berpikir bahwa orang dari kalangan ekonomi basah tidak semuanya miskin attitude. “Terima kasih, Bibi…” suaranya pelan namun tegas. “Bibi sudah benar-benar peduli, dan karena itu, aku akan berusaha menyudahi semua ini. Aku tidak ingin terus berada dalam lingkaran yang menyakitkan ini.” Weren mengangguk penuh dukungan. “Aku melihatnya... Kau gadis yang baik dan kuat, Elle. Aku tahu itu dari awal. Tapi menjadi kuat bukan berarti terus bertahan di tempat yang membuatmu tersiksa hanya karena perasaan bersalah.” Elle terdiam. Kata-kata itu menampar lembut kesadarannya yang selama ini dia abaikan. Weren melanjutkan, “Ronald memang anak yang baik, tapi sejak kecil dia sudah terbiasa menurut pad
Perlahan Elle membuka matanya saat tirai jendela sedikit bergerak karena hembusan angin sedikit kencang dari pendingin ruangan. Ia mengerang pelan, memegangi kepalanya yang terasa berat dan berdenyut hebat. Pandangannya masih buram, dan ruangan di sekitarnya terasa asing untuknya, sebuah kamar hotel yang cukup mewah, namun sama sekali tidak familiar untuknya. “Akhhh... di mana aku sekarang?” Ia pun bangkit perlahan, duduk sambil menahan sakit. Selimut yang menutupi tubuhnya melorot! “Ya ampun!” Elle panik, apalagi ketika ia menyadari dirinya tidak mengenakan pakaiannya lagi yang semalam. Nyatanya, rasa panik itu tidak berhenti sampai di situ saja. Seketika ia menyadari dirinya tidak mengenakan pakaiannya bahkan pada bagian bawahnya. Dengan gemetar, ia menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. “I–ini... apa-apaan?” Ia menoleh perlahan ke arah tempat tidur… dan matanya pun membelalak. Namun yang ia lihat bukan hal yang mengerikan seperti bayangannya, dia Lavine,
Pertanyaan dari Lavine membuat Elle mendesah sebal. “Kau sedang mengejek atau apa?” “Pft!” Lavine menahan tawanya. “Ah, iya maaf kalau kau merasa seperti itu. Aku cuma bertanya saja, kok.” Malas meladeni, Elle memilih untuk diam. “Ya sudah. Kau kan tidak menjawab, jadi aku bawa saja kau pulang ke apartemen ku,” ujar Lavine, santai. Elle menatap dengan kesal. “Siapa yang mau?! Pergi ke gedung MJW, ada sesuatu yang harus aku lakukan di sana.” Lavine terkekeh geli. “Oke oke, maaf... kau ini emosian sekali. Kalau aku kesal, aku bawa saja kau pergi ke kantor catatan sipil.” Sesampainya di depan gedung MJW, mobil Lavine perlahan berhenti. Elle segera membuka pintu namun tidak lupa menoleh sejenak. “Terima kasih sudah mengantarku,” ucapnya singkat namun sopan. Namun bukannya membalas dengan serius, Lavine justru memonyongka
Di dalam kafe yang biasanya ramai oleh percakapan pelanggan dan denting peralatan makan, suasana hari ini begitu sunyi. Merin duduk di sudut dapur dengan wajah kusut, air matanya terus mengalir. Ronald berdiri tak jauh dari ibunya, mencoba menenangkan dengan suara pelan meskipun kegelisahan juga tampak jelas di wajahnya. “Ibu, sudahlah... jangan terlalu dipikirkan. Mungkin besok akan lebih baik dari hari ini,” ucap Ronald dengan suara pelan, berusaha menyuntikkan harapan meski dalam hatinya pun ragu. Merin menggeleng lemah. “Kita sudah mengeluarkan modal besar-besaran dan sekarang semuanya jadi sia-sia. Pesanan itu batal, bahan-bahan tidak bisa dikembalikan, dan restoran hari ini sepi seperti tidak berpenghuni,” keluhnya lirih, lalu kembali menangis tertahan. Ronald menarik napas dalam-dalam. Ia menatap layar ponselnya yang kosong dari notifikasi para pelanggan.
Di dapur restoran, Merin mondar-mandir dengan wajah yang tegang. Para pegawai hanya saling berpandangan, enggan bersuara karena mereka memahami bahwa Merin sedang dalam keadaan yang emosi. Sudah sejak satu jam yang lalu, Merin gelisah. Telepon genggamnya terus menempel di telinga, namun yang terdengar hanya nada sambung panjang, hingga akhirnya sambungan terputus dengan sendirinya tanpa penjelasan apapun. “Masih belum bisa dihubungi, Bu Merin?” tanya salah satu koki dengan hati-hati. “Sudah dua hari! Dua hari penuh! Dan mereka hanya memberikan uang muka sebesar 5 persennya saja!” jawab Merin dengan nada tinggi, lalu mendesah keras. “Pesanan sebesar ini membutuhkan modal yang. Menurutmu uangnya dari mana? Aku bahkan sudah memesan bahan-bahan mahal dan membayar penginapan untuk timnya!” Pegawai yang bertanya itu pun seketika menutup mulutnya, tidak enak mendengar jawaban dari Merin
Lavine menyandarkan tubuhnya di kursi balkon apartemennya yang menghadap langsung ke kota yang mulai redup diselimuti malam. Di tangan kanannya, sebatang rokok menyala perlahan, mengeluarkan asap tipis yang melayang di udara. Tatapan mata Lavine kosong, menembus langit malam yang berganti suasana sunyi, tapi pikirannya semakin penuh. Ia kembali teringat pada momen siang tadi, ketika ia melihat sendiri Elle dibawa pergi meninggalkan rumah sakit oleh William dan Emily. Ekspresi William begitu masih menahan marah, dan Emily terlihat khawatir sambil terus menggenggam tangan putrinya. Tapi di balik semua peristiwa itu, Lavine justru merasa sangat lega. Bukan karena ia senang Elle dibawa menjauh, tapi karena akhirnya Elle terbebas dari tempat yang perlahan-lahan menghancurkan dirinya. Elle telah menunjukkan hatinya yang amat lembut dan baik, tapi diremehkan seperti itu sangat tidak pantas rasan
William tidak bisa lagi bersabar. Sungguh, kepalanya seperti ingin meledak karena menahan marah di sepanjang perjalanan. Elle mengeratkan pelukannya kepada ayahnya itu, tidak ingin melepaskan. “Ayah, aku sudah tahu bahwa aku salah. Aku tahu aku bodoh karena tidak mengutamakan akal sehatku. Maaf... Aku benar-benar meminta maaf untuk kesalahan besar yang aku lakukan ini.” Emily hanya bisa terdiam. Air matanya jatuh. Dia tahu benar bagaimana William sangat mencintai Elle. Apapun yang menyangkut dengan putrinya itu, William pasti maka sangat mudah kehilangan kendali. Namun, Emily juga tahu bahwa William juga sudah berusaha dengan sangat keras untuk menahan diri. Pria itu jelas tersiksa dengan perasaan gelisah selama ini. “Ayah…” suara Elle gemetar, namun ia tetap menatap ayahnya. “Berikan aku satu kesempatan lagi. Aku akan menyelesaikan semua ini dengan hasi
Andreas melangkah keluar dari ruang observasi dengan ekspresi serius. Ia menarik napas panjang sebelum menghampiri Erika, Merin, dan Ronald yang menunggu di bangku rumah sakit sejak tadi. Mereka jelas terlihat sangat gelisah. Sudah 1 jam lebih, bahakan hampir 2 jam mereka menunggu di sana. Merin langsung berdiri. “Bagaimana hasilnya, Dokter?” Erika dan juga Ronald ikut bangkit untuk mendengarkan penjelasan dari Andreas. Andreas menatap mereka satu per satu. “Saya sudah mendapatkan hasil awal pemeriksaannya,” ucapnya pelan, nada suaranya dingin dan penuh tekanan. “Sama seperti yang anda inginkan tadi, pemeriksaan darahnya.” Ronald meneguk ludah. Erika mencengkram ujung jaketnya. “Dan… hasilnya cocok, bukan?” Andreas menggeleng perlahan. “Tidak. Golongan darah Nona Elle dan Nona Erika berbeda. Tidak kompatibel sama sekali. Bahkan, Nona Elle memiliki golongan darah yang sangat langka, dan tubuhnya tergolong sensitif ter
Di ruang pemeriksaan rumah sakit swasta itu, suasana terasa begitu tegang. Elle masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pasien, wajahnya agak pucat dan tubuhnya dingin. Seorang dokter muda, mengenakan jas putih dan mengenakan name tag bertuliskan “Dr. Andreas”, berdiri di dekat monitor sambil menatap hasil pemeriksaan awal dengan alis berkerut. “Pasien ini... dalam kondisi tidak sadar dan tidak ada surat persetujuan. Saya tidak bisa melakukan pemeriksaan lanjut, apalagi untuk kecocokan donor organ, tanpa persetujuan atau izin tertulis dari yang bersangkutan,” ucap Dr. Andreas, suaranya tegas tapi tenang. Bagaimanapun, dia tidak boleh terkena masalah karena hal ini. Erika melangkah cepat ke depan, wajahnya dingin. “Kau tahu siapa pamanku, kan? Beliau adalah manajer rumah sakit ini. Kalau kau tidak ingin karirmu berakhir malam ini juga, sebaiknya lakukan saja. Kami hanya meminta pemeriksaa
Elle membuka mata perlahan. Cahaya lampu yang ada dari ruang kerjanya menyambut pandangan yang masih sedikit buram. Tubuhnya terasa pegal, terutama bagian punggung dan leher, efek dari tidur dua jam lebih di sofa yang agak sempit. Namun tak ada keluhan keluar dari bibirnya, hanya helaan napas kecil dan gerakan ringan untuk meregangkan tubuh. Pandangan Elle tertuju pada meja kecil di samping sofa. Di sana telah tersedia segelas air mineral dan sebotol minuman pereda mabuk, lengkap dengan catatan kecil bertuliskan, “Saya tidak ingin mengganggu istirahat Anda, tapi tubuh Anda perlu perhatian juga. Ada bau alkohol yang terendus pagi tadi, semoga segera membaik. Rose” Elle tersenyum tipis. Rose, asisten sekretarisnya, memang selalu memahami waktunya, tidak hanya sebagai bawahan yang andal, tapi juga sebagai seseorang yang tahu kapan harus diam dan kapan harus segeralah bertindak. “Dia benar-benar bisa membaca situasi bahkan saat aku tid
Pertanyaan dari Lavine membuat Elle mendesah sebal. “Kau sedang mengejek atau apa?” “Pft!” Lavine menahan tawanya. “Ah, iya maaf kalau kau merasa seperti itu. Aku cuma bertanya saja, kok.” Malas meladeni, Elle memilih untuk diam. “Ya sudah. Kau kan tidak menjawab, jadi aku bawa saja kau pulang ke apartemen ku,” ujar Lavine, santai. Elle menatap dengan kesal. “Siapa yang mau?! Pergi ke gedung MJW, ada sesuatu yang harus aku lakukan di sana.” Lavine terkekeh geli. “Oke oke, maaf... kau ini emosian sekali. Kalau aku kesal, aku bawa saja kau pergi ke kantor catatan sipil.” Sesampainya di depan gedung MJW, mobil Lavine perlahan berhenti. Elle segera membuka pintu namun tidak lupa menoleh sejenak. “Terima kasih sudah mengantarku,” ucapnya singkat namun sopan. Namun bukannya membalas dengan serius, Lavine justru memonyongka
Perlahan Elle membuka matanya saat tirai jendela sedikit bergerak karena hembusan angin sedikit kencang dari pendingin ruangan. Ia mengerang pelan, memegangi kepalanya yang terasa berat dan berdenyut hebat. Pandangannya masih buram, dan ruangan di sekitarnya terasa asing untuknya, sebuah kamar hotel yang cukup mewah, namun sama sekali tidak familiar untuknya. “Akhhh... di mana aku sekarang?” Ia pun bangkit perlahan, duduk sambil menahan sakit. Selimut yang menutupi tubuhnya melorot! “Ya ampun!” Elle panik, apalagi ketika ia menyadari dirinya tidak mengenakan pakaiannya lagi yang semalam. Nyatanya, rasa panik itu tidak berhenti sampai di situ saja. Seketika ia menyadari dirinya tidak mengenakan pakaiannya bahkan pada bagian bawahnya. Dengan gemetar, ia menarik selimut lebih erat ke tubuhnya. “I–ini... apa-apaan?” Ia menoleh perlahan ke arah tempat tidur… dan matanya pun membelalak. Namun yang ia lihat bukan hal yang mengerikan seperti bayangannya, dia Lavine,