Malam itu, Emily menggeliat dengan gelisah di tempat tidurnya.
Emily berkeringat meskipun udara di kamar begitu dingin akibat hujan deras yang mengguyur di luar. Suara petir yang menggelegar seolah menjadi latar bagi mimpinya yang semakin terasa aneh seakan nyata. Dalam mimpinya, Emily berdiri di sebuah taman yang asing.Hujan turun deras, membasahi tubuhnya hingga menggigil.Di kejauhan, ada seorang wanita berambut panjang yang mengenakan dress merah terang, berjalan mendekat perlahan.Payung berwarna hitam ada di tangan wanita itu.Wanita itu tersenyum, tapi senyumnya bukanlah senyum ramah. Itu adalah senyum yang dipenuhi kebencian dan kejahatan. Di samping wanita itu, berdiri seorang anak kecil laki-laki, wajahnya tak jelas karena terhalang bayangan. Anak itu memeluk seekor anjing kecil yang tubuhnya kotor dan penuh luka, terkapar tak bergerak di tanah yang basah.Namun, ada serEmily menatap adegan di depannya dengan mata yang membelalak terkejut. Elizabeth berada di atas William, wajah mereka begitu dekat, jelas itu tidak boleh!Tubuh William tampak lunglai, sementara Elizabeth terlihat seperti seseorang yang tengah menikmati keintiman yang sedang terjadi. “Dokter Elizabeth! Apa yang sedang kau lakukan?!” suara Emily memecah keheningan, meluncur tajam seperti pisau. Elizabeth tersentak, wajahnya langsung berubah pucat pasi. Dengan tergesa, dia bangkit dari posisi yang mencurigakan itu, merapikan bajunya sambil berusaha menjelaskan. “Maaf, Nyonya muda Emily. Ini hanya kesalahpahaman saja. Saya tadi sedang membantunya duduk, tapi tidak sengaja terjatuh... dan, ya, posisi kami jadi seperti itu.” Emily memicingkan matanya, tatapannya penuh dengan amarah serta kecurigaan yang terpendam. Penjelasan Elizabeth barusan terdengar terlalu sempurna, seperti sudah disiapkan sebelumnya.
Hari itu benar-benar terasa lebih panjang dari biasanya bagi Emily. Kamar yang biasanya terasa hangat kini seolah mencekam dengan keheningan. Emily berjalan mondar-mandir di ruang tengah, menggigit bibirnya untuk menahan rasa gelisah yang terus merayapi pikirannya. William tidak biasanya seperti ini. Jika memang dia sibuk sekalipun, dia akan menyempatkan diri untuk mengirim pesan atau menelepon, setidaknya memberi tahu keadaannya maupun aktivitasnya. Tapi kali ini, benar-benar tidak ada sepatah kata pun sejak pagi tadi. Emily mencoba menenangkan dirinya. Mungkin dia sedang benar-benar sibuk. Ada rapat mendadak, atau sesuatu yang tidak bisa dia tinggalkan. Dia berusaha menanamkan pemikiran itu dalam benaknya, tapi kegelisahannya tidak juga mereda. Menjelang malam, kekhawatiran Emily semakin menjadi. Ia duduk di sofa dengan ponsel di tangannya, mengamati layar yang tetap kosong dari notifikasi apa pun d
Pagi itu langit terlihat begitu mendung, seolah menggambarkan suasana hati Emily yang tengah dirundung kekhawatiran. Saat ia bangun dari tidurnya, matanya langsung melirik ke sisi ranjang. Kosong. Lagi-lagi, William tidak ada di sana. Emily duduk di tepian ranjang, tangannya mengusap wajahnya yang terlihat mulai lelah. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa William terus menjauh darinya? Meski ia berusaha terus berpikir positif, semua ini mulai terasa seperti sebuah pola yang sengaja diciptakan untuk menjauhkan mereka berdua. Emily bangkit, menarik napas panjang. Dia ingin mencari William di rumah, memastikan bahwa suaminya benar-benar pulang semalam. Namun, langkahnya terhenti ketika ponselnya berdering di meja samping ranjang. Nama Tuan Xavier terpampang jelas di layar. “Paman Xavier?” gumam Emily sambil meraih ponselnya cepat. Segera menjawab
Pagi itu, Emily berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Tangannya menggenggam gagang tas dengan erat, pikirannya dipenuhi perasaan campur aduk. Permintaan mereka agar dia pulang sebentar akhirnya dia kabulkan setelah mereka berjanji tidak akan menahannya lebih lama. “Hah...... sebenarnya aku malas, tapi yah...” Emily melangkah masuk dan mendapati Johan dan Julia, duduk di ruang keluarga. Wajah mereka terlihat lesu, seolah ada banyak beban pikiran. “Ayah tidak pergi bekerja?” tanya Emily, keheranan. Johan menggelengkan kepalanya. “Tidak, Ayah sedang tidak ada mood.” Emily memilih duduk di seberang mereka, suasana hening sesaat sebelum Johan membuka pembicaraan. “Emily,” Johan memulai dengan suara rendah, “Ayah rugi hampir satu juta dolar karena skandal Hendrick. Semua ini menghancurkan hubungan kerja sama yang selama ini menopang bisnis
Masih tidak berani keluar, Emily bertahan di dalam lemari. Tubuhnya kehilangan energi, habis untuk menangis. Kenyataan yang tidak masuk akal ini rasanya enggan untuk ia terima. Tapi, siapa yang akan bisa mengelak kebenaran? Sudah tidak perlu lagi menutup mulutnya karena takut akan menimbulkan suara, bahkan Emily tidak memiliki secuil tenaga guna membuka mulutnya. “William, aku mengerti aku pernah melakukan kesalahan sebelumnya. Tapi, kenapa kau juga seperti itu? Sekarang, siapa yang bisa aku percaya? Aku tidak tahu siapa yang tulus dan jujur padaku. Kalian semua... apakah sangat menikmati kebodohanku selama ini?” ucap Emily pilu, di dalam hatinya. Hanya sebuah boneka, Emily jelas tidak lebih dari itu. Keluarganya Hendrick, keluarganya Emily sendiri, William, Jessica dan Ayahnya, mereka semua yang dekat dengannya hanya memanfaatkannya saja.
Emily menyeka air matanya. Menghentikan tawanya dan tinggal isak tangisnya saja. William mencengkram tingkat penuntun. Perasaannya begitu tidak tenang. Ingin sekali melihat ekspresi wajah Emily, tapi dia juga tidak berani melakukan itu di dekat Nyonya besar. Nyonya besar masih menatap Emily dengan tatapan kesal. “Nek, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Kalau Nenek dan William mau melakukan itu, maka lakukan saja,” ungkap Emily pasrah. “Aku tidak mau mengatakan apapun lagi sekarang.” Nyonya besar memukul meja, namun tuda kuat mengingat ia sudah cukup tua untuk itu. Brak! “Lancang!” kesalnya. “Apa ini caramu untuk protes? Apakah kau ingin William buta selamanya?!” Emily lagi-lagi tersenyum. Menggeleng kepala keheranan. “Masih bagus aku tidak menghalangi pernikahan kalian dulu, jadi jangan banyak tingkah!” peringat Nyonya besar. “Nek, tolong jangan memulai pembicaraan itu lagi,” c
William baru saja akan meninggalkan ruang rapat terakhirnya untuk hari itu. Dia ingin segera sampai di rumah, menemui Emily. “Aku harus bicara dengannya,” batin William. Pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Emily. Untungnya dia benar-benar berkonsentrasi untuk semua pekerjaan hari ini. Perasaan bersalah terus menghantui setiap langkahnya, membuat dia semakin tidak sabar untuk segera pulang ke rumah. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Robert menjawab panggilan telepon dengan ekspresi yang serius. Wajah Robert berubah menjadi pucat. Setelah menutup telepon, dia mendekati William dengan wajah cemas itu. “Tuan William,” suara Robert terdengar gugup, “Nyonya Emily... jatuh dari tangga rumah. Kondisinya cukup parah, dan sekarang dia sudah dilarikan ke rumah sakit oleh para pelayan.” Dunia William seolah berhenti berputar. Kata-kata itu seperti palu baja yang menghantam jantun
Di rumah keluarga William, Emily berada di sana setelah kedua orang tuanya menitipkan sebentar untuk melakukan sesuatu yang penting. Ruangan itu penuh dengan nada-nada indah yang dimainkan dengan jemari kecil Emily yang lincah di atas tuts piano. Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu begitu menikmati setiap alunan melodi yang tercipta oleh lihainya jarinya. Senyumnya lebar, mencerminkan kebahagiaan murni dari seorang anak yang tenggelam dalam dunia musiknya sendiri. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Dari kejauhan, suara anjingnya menggonggong dengan keras, memecah konsentrasi Emily saat itu.“Lucky, apa dia lapar?” pikirnya. Gonggongan itu pun berubah menjadi suara rintihan kesakitan. Emily berhenti bermain, alisnya berkerut. “Lucky?” panggilnya.Tidak ada jawaban, hanya rintihan yang semakin terdengar lirih. Emily segera turun dari kursi pianonya, kakinya yang kecil melangkah
Setelah memastikan Elle tertidur lelap, Emily dan William akhirnya berbaring di tempat tidur mereka. Ruangan terasa sunyi, hanya ada suara napas mereka yang terdengar samar. Emily menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “William... apa tidak apa-apa memperlakukan Anastasia seperti itu?”William yang tengah berbaring dengan mata terpejam menghela napas panjang. Dia membuka matanya perlahan lalu menoleh ke arah Emily. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya dan menyentil dahi wanita itu. “Aduh!” Emily meringis kesal, memegangi dahinya yang baru saja disentil. “Kenapa menyentil ku?” tanyanya dengan nada merajuk. William menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara yang datar, “Kalau saja kau tidak kabur 4 tahun lebih yang lalu... kalau saja kau tidak berkata bahwa aku sebaiknya mencari wanita lain yang lebih pantas mendampingiku... mana mungkin aku membiarkan Anastasia tetap berada di sisiku?”Emily terdiam. Kata-kata
Anastasia mencengkram setir kemudi mobilnya erat-erat. Tangannya gemetar, begitu pula tubuhnya yang terasa lemah seolah tidak ada lagi tenaga. Matanya memanas, dan tidak butuh waktu lama hingga air mata mulai berjatuhan tanpa bisa ia kendalikan lagi. Pada akhirnya, Anastasia menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala rasa sakit yang menghantam hatinya. Ia memukuli setir mobil dengan frustrasi, dadanya terasa sesak seakan udara enggan masuk ke dalam paru-parunya. Kata-kata William terus terngiang di kepalanya, kalimat yang menusuknya lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. “Istriku sudah kembali. Aku akan menjalani hidupku seperti sebelumnya.”Itu bukan sekedar pernyataan. Itu adalah penegasan, pengakuan yang membuat semua harapan Anastasia runtuh dalam sekejap. Bertahun-tahun ia menunggu, bertahun-tahun ia berharap, rela menghabiskan waktunya hanya untuk mengemis cinta dari pria itu. Dan kini, semua itu terasa sia-sia.
William meraih tangan Emily, sementara resletingnya sudah ia buka. Emily benar-benar kesal, tapi juga tidak bisa melakukan apapun. Kegilaan William hanya bisa dia tahan saja. “William, malam itu kau membawa Rose pergi di depan banyak pegawai JB fashion, kau sudah menciptakan kesalahpahaman,” ujar Anastasia. Mendengar itu, William pun hanya bisa memaksakan senyumnya. Sejatinya, dia sedang merasa kesal kepada Emily karena masih saja diam. Apa wanita itu tidak paham apa yang harus dilakukan padahal William jelas saja sudah membuka resletingnya. “Kau tidak ingin memberikan tanggapan apapun karena itu, William?” tanya lagi Anastasia yang masih belum mendapatkan tanggapan apapun dari William.. William menghela napasnya. “Yah... mau bagaimana lagi? Aku cukup bergairah melihat wanita itu.” Jawaban dari William barusan membuat Anastasia mengerutkan keningnya. “Sebenarnya, kenapa kau jadi seperti ini,
Mendengar itu, Sebastian pun tersenyum sinis. “Kau pikir apa yang akan dilakukan jika sudah sampai di pesisir pantai, hah? Tidak ada kapal yang melintas melewati Pulau ini. Usaha itu hanya akan sia-sia saja.” Kelly tertunduk lesu. Entah Bagaimana caranya dia bisa sedikit berguna untuk Hendrick. Hendrick membuang napas kasarnya. Dia benar-benar sudah pasrah. Bahkan entah sudah berapa kali saja dia mencoba untuk bunuh diri meski gagal karena dia tidak sanggup dengan rasa sakitnya. ****Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya di JB fashion, Emily langsung menuju kantor William. Kedatangannya sudah dikabarkan oleh salah satu pegawai, sehingga ia tidak menemui hambatan apapun.Saat tiba di depan pintu kantor William, Emily mengetuk pintu sekali sebelum langsung masuk. William sudah memperbolehkannya sebelumnya. namun begitu ia masuk, hal pertama yang dicari adalah Elle. “Hari ini kau pulang lebih cepat, ya?”
Pertanyaan dari Robert barusan membuat William tersenyum. “Apa yang berani dia lakukan kalau Elle tidak mau berpisah dariku?” Mendengar itu, Robert pun menganggukkan kepalanya. “Saya berharap, anda tidak akan merasakan yang sama lagi.” William menganggukkan kepalanya. “Kali ini, Aku cukup yakin bisa membuat wanita itu terus menempel padaku.” “Baiklah, Saya berharap seperti itu,” ujar Robert. William mengarahkan tatapan matanya kepada Robert, memperhatikan pria itu dengan apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Pada akhirnya, Ia pun menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. “Robert, ini sudah cukup. Apa kau masih harus bersikap sinis kepada Azura?” Ada perasaan aneh yang sulit untuk diungkapkan Robert saat ini. Tapi, dia juga tidak ingin William berpikir terlalu jauh. “Sebenarnya, aku sendiri tidak memperlakukan Nona Azura dengan sinis. Tapi, dia yang melakukan sebaiknya. Saya sudah mencoba untuk lunak
Di ruangan kerja Anastasia, wanita itu dan Emily duduk berhadapan, beseberangan meja. Emily terdiam, menunggu Anastasia memulai pembicaraan. Sejak tadi, wanita itu terus saja mengarahkan tatapan tajamnya kepada Emily. ”Kenapa kau tidak datang ke kantor kemarin?” tanya Anastasia. Jangan tanya apakah tatapan tajamnya sudah mereda, sama sekali tidak. “... Maaf. Ada beberapa hal yang terjadi, namun saya tidak bisa menyampaikannya kepada anda,” jawab Emily. Mendengar jawaban itu, Anastasia pun tersenyum kesal. Ia menggigit bibir, sementara ia sendiri juga tengah mengatur emosinya agar tidak meledak-ledak. “Dengarkan aku baik-baik, Rose. William itu adalah kekasihku. Kenapa kau bisa melakukan semua itu bahkan di hadapanku?” tanya Anastasia. Suaranya memang terdengar datar, tapi jelas penuh tekanan. Emily menunduk sejenak sebelum dia menjawab pertanyaan itu. “Nona Anastasia, Anda juga melihat sendiri dengan sep
Setelah percakapan panjang dan melelahkan itu, akhirnya William pun mengalah. Ia membiarkan Emily menyelesaikan proyeknya di perusahaan JB fashion. Namun, tentu saja, William tidak akan menyerah begitu saja tanpa mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. “Karena aku sudah memberikan persetujuan yang harganya sangat mahal, maka kau harus membayarnya kembali,” kata William dengan tatapan penuh maksud. “Kau harus melayaniku sampai aku tidak bisa bangun besok pagi.”Emily menelan ludah, merasa wajahnya mulai memanas. Ia ingin menolak, tapi ia tahu William tidak akan menerima penolakan apapun. Namun, rencana William gagal total. Elle tiba-tiba masuk ke kamar dengan mata mengantuk, menyeret boneka yang ada di kamarnya tadi. “Ayah...” panggilnya pelan sebelum langsung naik ke tempat tidur dan memeluk William erat-erat. William membeku. Ia menatap bocah kecil itu yang dengan nyaman menempel padanya, lalu melirik Emily yang justru terseny
“William, maaf... Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Aku salah, maafkan aku,” ucap Emily, suaranya gemetar. Benar, dia sama sekali tidak pernah memikirkan soal apa yang dikatakan oleh William barusan. Mendengar itu, William pun membuang napas kasarnya yang terasa begitu berat. “Aku tidak bohong bahwa aku membenci keputusanmu, kau yang begitu sembrono. Apakah yang aku lakukan dan pengorbananku masih belum cukup untuk membuat hatimu teguh berada di sisiku? Kenapa kau mudah sekali terpengaruh oleh ucapan Nenek ku, tapi tidak terpengaruh oleh semua yang aku lakukan?”Emily menggigit bibir bawahnya, merasa semakin bersalah. Kepergiannya bukan hanya menyiksa dirinya sendiri, tapi menyiksa William dan juga, Elle. “Emily, aku tidak bohong bahwa aku bahagia dengan kenyataan kau baik-baik saja. Bahkan, kau juga memberikan putri yang cantik dan cerdas untukku. Tapi, kenapa aku harus menunggu selama ini? Bahkan, kau juga masih ingin kab
William membawa Emily dan Elle pulang ke rumah mereka. Sesampainya di sana, Elle nampak bersemangat karena rumah William besar dan mewah, halamannya luas, ada taman samping juga. “Ini rumah kita, Yah?” tanya Elle, matanya berbinar bahagia. William tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Bagaimana? Kau suka?” Elle mengangguk cepat, nampak begitu bahagia. “Iya, suka!” Emily tersenyum. Dia tidak menyangka kalau pada akhirnya dia akan kembali ke rumah itu, bertambah anggota keluarga juga. Rasanya, bertahun-tahun meninggalkan William tidak ada perubahan apapun di dalam hidupnya secara signifikan. William menurunkan Elle dari gendongan, membiarkan putri kecilnya itu mengeksplor ruangan. Pelayan yang ada di rumah langsung sigap menemani Elle. Mereka sempat merasa terkejut. Padahal, kembalinya Emily cukup membuat mereka kaget, sek