“Ini...”
Emily merasa jantungnya hampir copot saat menatap alat uji kehamilan di tangannya. Hasilnya jelas ada dua garis merah yang terang. Positif. Dia sedang hamil sekarang. “Tidak, mungkin aku salah lihat.” Tangannya gemetar, ia menggelengkan kepala, menggosok matanya berkali-kali, takut jika ini hanya ilusi atau kesalahan penglihatan terganggu. Namun, tidak peduli seberapa banyak ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini mungkin hanya kesalahan, hasilnya tetap saja sama. Positif. Air matanya mulai jatuh, mengguyur pipinya yang sudah memerah sejak tadi. Isakannya tertahan, seolah-olah emosi yang meledak dalam dirinya tidak tahu harus dikeluarkan dalam bentuk apa. Ia bahagia, bahkan sangat bahagia, karena akhirnya ia benar-benar mengandung darah daging William. Namun, kebahagiaan itu bercampur dengan kesedihan yang begitu dalam. “William, andai dia tahu...” Emily tahu betapaDi kediaman Nyonya dan Tuan besar. Dua bulan telah berlalu, namun William belum melepaskan Nyonya besar untuk apa yang terjadi.Ruangan besar itu dipenuhi keheningan yang menyesakkan dada. William berdiri di depan Nyonya besar dengan tatapan penuh kebencian yang membara. Sementara itu, Tuan besar hanya bisa tertunduk lesu, wajahnya dipenuhi rasa kecewa yang dalam terhadap sikap istrinya. “Mulai hari ini, aku tidak akan pernah lagi menganggap mu sebagai Nenekku,” suara William dingin, menusuk seperti belati yang tajam. Tuan besar menghela napas berat, seolah sudah menduga kata-kata itu akan keluar. Dia sudah cukup lama mengenal cucunya itu. William bukan tipe orang yang akan marah sebentar lalu melupakan segalanya seiring waktu berjalan. Jika William sudah memutuskan sesuatu, itu berarti keputusan yang tidak akan bisa diubah. Namun, Nyonya besar tetap saja bersikap seperti biasanya. Dia duduk dengan tenang, masih memandang re
Emily menyeka air matanya dengan punggung tangan, matanya tak lepas dari layar monitor yang menampilkan gambar janin kecil di dalam perutnya. Detak jantungnya yang cepat dan kuat bergema di ruangan, membuat air mata Emily semakin deras. “Selamat, Nona Emily,” ujar dokter dengan senyum hangat. “Kehamilan anda sudah memasuki usia 12 minggu. Janin Anda juga berkembang dengan baik.” Emily pun terkejut mendengar itu. “12 minggu?” Dia benar-benar tidak menyadari kehamilannya selama ini. Dia pikir mungkin baru 6 atau 7 minggu. Yah... dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali datang bulan, itu wajar. Bagaimanapun, beberapa bulan terakhir ini pikirannya benar-benar dipenuhi dengan bermacam-macam masalah hingga tidak ada waktu untuk memikirkan dirinya sendiri. Tapi sekarang, semuanya tentu sudah berubah. Kehidupan kecil di dalam perutnya terasa seperti mimpi meski sudah satu bulan lebih Emily mengetahuinya. Detak jan
Brak! James membuka pintu kamar William dengan tergesa-gesa. Raut wajah yang khawatir nampak jelas. Seharian William tidak keluar kamar. “Tuan, anda...” James tertegun. William duduk di ujung kamar yang dibiarkan gelap. Pria itu nampak kacau balau karena pencarian Emily masih tidak membuahkan hasil. “Tuan, apa yang anda lakukan? Berhentilah, Saya mohon. Ada banyak hal yang perlu anda lakukan, jangan seperti ini terus hanya untuk wanita yang bahkan tidak menginginkan anda lagi,” ucap James yang tidak bisa menahan diri lagi. Benar. Dia merasa sangat kesal terhadap Emily. William sudah mati-matian mempertahankannya, mengabaikan perbuatan jahat orang tuanya Emily kepada pria itu, tapi masih saja Emily tidak tahu diri. James juga tahu, Emily pergi pasti karena tidak ingin William harus menanggung beban. Tapi, tetap saja semua ini salahnya Emily. Mendengar itu, William tersenyum pilu. Apapun yang dilakukannya untuk menemukan Emily rasanya percuma saja. Makin di c
William kembali ke rumah. Pria itu kehilangan kata-kata sejak mendengar ucapan Tuan Xavier. Cukup lega karena Emily dalam keadaan baik-baik saja, tapi juga kesal. Emily baik, tapi dia lah yang menderita sendirian. Apakah sejak awal cuma dia seorang yang begitu menginginkan hubungan ini? Semakin memikirkannya, ia merasa terdorong dalam sebuah keputusan yang seolah mau tak mau memang harus melupakan Emily. “Emily, karena kau benar-benar bertekad meninggalkan ku, maka kau juga pasti lega, kan? Baiklah... kalau kau menginginkan semua ini, maka aku akan mengabulkannya.” Pada akhirnya, Wiliam memaksakan dirinya untuk perlahan melupakan Emily. Meski namanya dan Emily masih tetap tercatat sebagai suami istri sekalipun. Karena Emily tidak menyingung soal perceraian, artinya Emily juga belum ada niat untuk menikah atau menjalin hubungan dengan pria lain. Waktu terus berlalu, Emily dan William bertaru
William duduk berseberangan dengan seorang wanita berambut pirang bergelombang yang tanpa anggun dalam balutan gaun elegan berwarna merah anggur. Di hadapannya, Anastasia tersenyum bahagia sambil mengangkat gelas sampanye, matanya berbinar penuh antusias. “Hari ini aku sangat bahagia, Sayang. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk merayakan ulang tahunku,” ujar Anastasia dengan nada menggoda. William hanya tersenyum tipis, mengangkat gelasnya sekedarnya sebelum meneguk sampanye itu tanpa ekspresi. Matanya dingin, tidak ada sedikitpun kehangatan di sana. Kembali mengingatkan, Anastasia adalah gadis yang pernah diselamatkan William pada saat sedang berlibur bersama dengan Emily. Anastasia datang setelah beberapa bulan kepergian Emily. Secara tidak sengaja bertemu dengan William di sebuah acara besar. Anastasia adalah putri dari pengusaha yang cukup besar. Sejak pertemuan itu, Anastasia selalu mencari alasan untuk bisa bertemu dengan W
Emily melangkah keluar dari pesawat dengan perasaan campur aduk. Hawa negara tempat Ia lahir langsung menyambutnya, membawa serta kenangan yang telah berusaha ia kubur selama bertahun-tahun belakangan ini. Tangan kecil Elle menggenggam erat jari-jarinya, seolah tahu bahwa ibunya sedang tidak baik-baik saja. “Ibu, ada apa?” suara Elle terdengar samar dari balik maskernya. Emily tersenyum, mesti hatinya masih bergetar. “Tidak apa-apa, Sayang Ibu. Hanya sedikit lelah saja, kok.” Ia sudah mempersiapkan semuanya sebagai tindakan antisipasi. Gigi palsu untuk sedikit mengubah struktur wajahnya, kacamata bulat untuk menyamarkan ekspresinya, serta masker yang menutupi sebagian besar wajahnya. Ia bahkan memilih pakaian sederhana, tanpa riasan yang mencolok. Bukan karena ia paranoid, tapi karena ia tahu, di tempat ini, ada seseorang yang tidak boleh mengenalinya. Arthur, atasannya yang selalu bersika
Emily memeluk Elle erat di dalam selimut, berusaha mencari ketenangan dari kehangatan putrinya. Namun, pikirannya terus melayang ke kejadian di lobby hotel tadi. William... Emily menggigit bibirnya. Rasanya seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Ia telah berusaha sebisa mungkin untuk menghindari pria itu, menyembunyikan dirinya dan Elle dari masa lalu yang ingin disimpan rapat. Tapi kini, segalanya terasa begitu dekat lagi. Emily menarik napas panjang, lalu menghembuskan perlahan. Dia tidak boleh panik. Dia akan menyelesaikan pekerjaan di sini secepat mungkin, lalu kembali. Tidak ada alasan untuk bertemu William lagi. Jika ia terus menghindar dan tetap fokus pada pekerjaannya, semuanya akan baik-baik saja. William sudah bisa hidup dengan tenang, tidak seharusnya Emily mengacaukan hubungan William dengan wanitanya yang sekarang. Menatap Elle yang tertidur pulas
Emily mengatur napasnya dengan hati-hati. Ia tidak boleh menunjukkan kegugupan atau kehilangan fokus di depan semua orang. Tangannya tetap berada di atas meja, jari-jarinya sedikit meremas lembaran desain, mencoba mencari pegangan untuk tetap tenang. Presiden direktur JB fashion masih berbicara dengan penuh semangat, menjelaskan detail konsep yang mereka inginkan. “Karena ini difokuskan untuk malam hari, aku harap kesan menonjol tapi tetap anggun, serta terjaga kesan mahalnya menjadi yang utama.” “Kesan sederhana, tapi aura mahalnya tidak bisa ditolak.” Emily mengangguk sesekali, mencatat poin-poin penting dalam pikirannya. Sementara itu, di sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan Anastasia yang beberapa kali mengarah padanya, seolah mencoba mengenali sesuatu. Namun, Emily tetap mencoba untuk tenang dan menolak untuk menanggapi. Ar
Sore itu, langit tampak mendung ketika Lavine melangkah keluar dari gedung apartemennya. Dengan jas hitam dan kemeja yang sedikit terbuka di bagian atas, ia tampak seperti biasa, sangat santai, tapi menyimpan ketegangan yang jelas tidak akan tampak di permukaan. Di dalam mobil, Jordi menyetir tanpa banyak bicara. Lavine duduk bersandar, menatap keluar jendela sambil mengetukkan jari ke paha dengan irama acak. “Kira-kira kali ini dia ingin membahas apa lagi ya? Bisnis? Atau mungkin ada hubungannya dengan Elle? Hah! Tidak sabaran juga, aku jadi ingin cepat sampai.” katanya setengah bercanda, setengah kesal. Jordi melirik dari kaca spion. “Mungkin Tuan Ramon mulai sadar siapa yang sebenarnya punya andil besar dalam banyak hal akhir-akhir ini, Tuan.” Lavine hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ironi. “Hah! Kalau dia sadar, mungkin itu karena dia kepepet. Bukan karena dia benar-benar melihat.
Rayn meninggalkan gedung perkantoran MJW dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Pembicaraannya dengan Elle tidak berakhir seperti yang diinginkannya. Begitu sampai di dalam mobil, Rayn yang sangat kesal itu tidak lagi bisa menahan diri. Bukk!!! Dipukulnya kemudi mobilnya beberapa kali untuk melampiaskan amarah. “Badjingan!!!” teriaknya. “Kenapa... kenapa kau harus bisa melampaui ku, anak brengsek? Jelas-jelas yang mengalir di dalam tubuhmu adalah darah kotor dan rendahan, darah seorang pelacur yang menjijikan! Kau harusnya hidup dengan segala hinaan, berani sekali kau mengambil posisi yang harusnya menjadi milikku?!” Rayn merasa sudah benar-benar dikalahkan. Tatapan mata Elle saat bicara padanya tadi seolah telah menunjukkan bahwa Rayn bahkan tidak bisa lebih baik daripada Lavine. Grettt... Tangan Rayn terkepal erat. Matanya yang masih menyalak marah itu mulai bersia
Esok harinya, di gedung MJW. Elle menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya, memandangi Rose dengan ekspresi datar. “Kau yakin itu dari Rayn? Kakak tirinya Lavine?” tanyanya pelan. Rose mengangguk. “Ya, dikirim langsung atas nama Tuan Rayn. Dikirim pagi-pagi sekali, bahkan sebelum staff lengkap datang, Nona.” Elle menarik napas dalam, sedikit tidak nyaman. Dia tahu Rayn bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Elle kemudian berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. “Ayo, aku ingin lihat sendiri seperti apa lukisan yang dia berikan padaku,” ucapnya dingin. Sesampainya di lobi, matanya langsung tertuju pada lukisan besar yang diletakkan rapi di atas meja resepsionis. Pigura mewah, warna-warna kuat, dan goresan yang jelas menunjukkan keahlian pelukisnya. Namun, tidak ada yang membuat Elle terpikat walaupun dia sampai memicingkan matanya. “Cantik, tapi sayangnya sama sekali tidak menyentuh,” gumamnya,
Elle menatap Lavine dengan tatapan tak sabaran, “Bagaimana hasilnya?” Lavine menyandarkan tubuhnya santai di kursi, senyumnya masih mengembang seperti biasa, penuh godaan dan sedikit terlihat malas. “Kau benar-benar terlalu kaku dan serius, Elle,” katanya sambil mendorong gelas es kopi ke hadapan Elle sekali lagi. “Cobalah untuk membuat hidupmu sedikit lebih manis… seperti es kopi ini.” Elle menatap Lavine tajam, ekspresinya tetap dingin, tapi ada sedikit ketertarikan di balik sorot matanya. “Kau ini minum kopi atau gula? Sejak kapan kopi jadi manis? Lagi pula, aku tidak datang ke sini untuk membahas kopi,” jawabnya, suaranya datar namun tegas. “Aku benar-benar ingin tahu tentang hasilnya, Lavine. Fokus ku hanya ke situ saja.” Lavine tertawa pelan, memainkan sendok kecil di tangannya. “Hah, kau ini terlalu serius. Tapi baiklah… soal hasilnya, Zero tidak mudah dilunakkan, kau tahu itu. Apalagi kalau kau sendiri begini? Minum es kopi saja tidak mau. As
Hari itu, Merin dan Ronald datang ke gedung MJW untuk menemui Elle. Resepsionis itu sempat ragu, namun setelah melihat foto yang ditunjukkan Ronald, di mana Elle tampak berdiri di antara mereka dalam pakaian sederhana dan suasana kafe, wajah resepsionis itu langsung berubah. Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk sopan. Meskipun masih ada rasa tidak percaya, dia juga tahu kalau foto itu bukanlah foto editan. Dari pada nanti dia justru melakukan kesalahan, lebih baik diterima saja dulu tamunya. “Baik, tunggu sebentar. Saya akan menghubungi sekretarisnya Nona Elle terlebih dahulu,” ujarnya dengan nada lebih ramah. Ronald menarik napas lega, sementara Merin berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya sibuk memandangi interior kantor MJW yang begitu mewah dan jauh dari bayangan tempat kerja Elle sebelumnya. Tatapan matanya menajam, menyadari bahwa Elle benar-benar hidup dalam dun
Elle tersenyum lemah. “Begitu, ya? Lalu, kenapa kau masih tidak menghentikan ku?” Pertanyaan itu membuat Lavine tersenyum. “Karena meskipun kau memiliki maksud, aku masih bisa merasakan ketulusan darimu.” Elle melanjutkan kegiatannya, menikmati sarapan buatan Lavine tanpa bicara lagi. Tidak ada yang perlu dibahas saat ini. Mereka hanya perlu makan dengan baik, nanti bisa melanjutkan pembicaraannya lagi begitu selesai. Beberapa saat kemudian. Elle melihat jam tangannya, sejenak terdiam sambil berpikir. “Lavine, aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Apa aku boleh bicara yang sebenarnya padamu sekarang?” Lavine yang baru selesai mencuci piring tersenyum. Setelah mengeringkan tangannya, ia pun berjalan mendekati Elle yang masih duduk di meja makan sambil menatapnya dengan ekspresi yang serius. “Baiklah... dari pada bertele-tele seperti katamu tadi, lebih baik bicara den
Malam merayap pelan di balik jendela apartemen milik Lavine. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang begitu tenang. Elle duduk bersandar di sofa, matanya mulai terasa berat. Di sampingnya, Lavine masih tertidur dengan kompres di dahinya, napasnya sedikit berat namun mulai terdengar stabil. Elle melirik ke arah pria itu, memperhatikan wajah Lavine yang biasanya penuh senyum nakal itu kini terlihat begitu tenang dan polos. Untuk sesaat, dia lupa bahwa pria ini sering membuatnya kesal. Yang ada hanya rasa iba dan... entah, sesuatu yang membuat dadanya terasa cukup hangat. “Apa sebenarnya yang kau sembunyikan dariku, Lavine...” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Atau, apa yang sedang kau sembunyikan dari dunia ini?” Elle menghela napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya ke senderan sofa. Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah, matanya tertutup, dan napasnya mulai melambat. Suara detik
Elle duduk di ruang kerjanya sambil menatap layar laptop yang penuh dengan tab pencarian tentang pelukis bernama Zero. Setiap artikel, forum seni, dan catatan pameran sudah selesai ia baca. Namun semuanya hanya berisi spekulasi, gosip samar, atau informasi yang terlalu umum. Tidak satu pun yang bisa mengungkap siapa sebenarnya Zero, atau setidaknya memberi petunjuk yang cukup bisa menuju ke identitasnya. Orang-orang suruhannya juga sudah berusaha, namun hasilnya masih tetap sama. “Bagaimana bisa seseorang sepopuler itu tidak meninggalkan jejak digital sedikit pun?” gumam Elle kesal, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi dengan frustasi. Ia menutup laptopnya dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir. “Kenapa sulit sekali menemukan orang itu? Sekalinya bertemu, dia malah mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami. Ah..., aku jadi pusing.” Rose masuk membawa dokumen, namun langsung berhenti saat m
Elle tersenyum. “Putra anda memang cukup gila. Ah, aku tidak jadi membelamu.” Mendengar itu, Lavine pun tersentak kaget. “Hah! Kau ini cepat sekali berubah pikiran? Baru juga sedetik aku merasa terharu oleh sikapmu, kau ini benar-benar menggemaskan. Aku jadi ingin segera menikahimu, deh.” “Bahkan keong juga akan berpikir lagi saat tahu kalau akan dinikahi mu,” balas Elle. Lavine terkekeh. “Keong? Kau benar-benar banyak keterlaluannya, ya? Ngomong-ngomong, pergi makan yuk! Aku lapar sekali, tapi tidak ada uang untuk membeli makan.” Ucapan Lavine barusan membuat Rayn dan Ramon mengerutkan kening. Jelas Lavine dan Elle cukup dekat sebelumnya. Rose hanya berdiri diam di belakang Elle. “Kalian... sejak kapan saling kenal?” tanya Ramon yang tidak bisa menahan rasa penasarannya. Elle menoleh, dia hampir saja lupa dengan keberadaan Ramon dan juga Rayn. “Sejak