Di sebuah kafe bergaya modern yang nyaman, Emily dan William duduk berseberangan dengan seorang gadis muda bernama Anastasia, dia adalah gadis yang pernah ditolong oleh William dalam sebuah insiden yang kurang menyenangkan saat itu.
Dengan senyum lebar yang tak terucapkan, Anastasia tampak bersemangat mengajak mereka makan siang sebagai ungkapan terima kasih.“Aku benar-benar senang kalian mau memenuhi keinginan ku. Terimakasih banyak, ya...” Emily merasa tidak nyaman dengan paksaan Anastasia yang tampak terlalu memaksa, namun karena sifatnya yang tidak enakan dan tidak ingin menyakiti perasaan orang lain, ia hanya bisa menahan diri dan tersenyum sopan.“Terlalu aneh kalau disebut ramah dan baik hati,” pikir Emily.Sementara itu, William duduk dengan tenang, namun matanya sesekali menyapu wajah Emily yang tampak resah.“Kau tidak nyaman, ya?” tanya William, berbisik lirih.Emily pun memaksakan senyumnya. “MenurutmuKelly duduk di ruang kerjanya, tangannya mencengkeram ponselnya dengan dengan erat. Napasnya memburu setelah menerima kabar bahwa sebagian orang mulai mempertanyakan kepemimpinan William selama ini. Usahanya untuk menyebarkan keraguan akhirnya membuahkan hasil, meskipun belum maksimal. “William memang cerdas, tapi dia kan orang buta. Apa mungkin seseorang sepertinya bisa memimpin tanpa bantuan penuh dari orang-orang di sekitarnya?” Begitulah opini yang mulai berkembang di antara para petinggi perusahaan. Beberapa dari mereka bahkan mulai mempertimbangkan apakah William benar-benar pantas menduduki posisi CEO.Namun, banyak juga yang tidak ingin terhasut owlh opini tidak bertanggung jawab itu. Mereka yakin sepenuhnya pada kemampuan William. Di sisi lain, Robert mulai geram dengan rumor yang semakin meresahkan ini. James juga sudah menyarankan tindakan tegas. “Kita tak bisa membiarkan ini terus terjadi,
Isu mengenai kemampuan William dalam mengelola perusahaan semakin memanas. Banyak pihak mempertanyakan apakah seorang pria buta benar-benar bisa mempertahankan kejayaannya di dunia bisnis yang kejam ini. “... Isu ini benar-benar menganggu. Aku tidak ingin percaya dan mengabaikannya saja. Tapi, entah kenapa aku makin terpengaruh.”“Terserah saja mau bagaimana pendapat orang lain, aku cukup percaya pada Tuan William. Hingga detik ini, dia konsisten dalam berargumen dan pembuktian.” Namun, mereka yang telah bekerja langsung di bawah kepemimpinan William tahu bahwa tidak ada yang perlu diragukan dari pria itu. William adalah pemimpin yang tegas, cerdas, dan selalu mengambil keputusan yang tepat. Meski entah bagaimana caranya bekerja selama ini, nyatanya perusahaan tetap berdiri kokoh. Nama Tuan Xavier juga terus terseret dalam pusaran isu ini. Beberapa pihak menduga pria itu akan mulai meragukan William dan mungkin
Begitu pesawat mendarat dan pintu kabin terbuka, William langsung mengenakan kacamata hitamnya dan mengeluarkan tongkat penuntunnya yang akan langsung memajang begitu di telan tombolnya. Gerakannya begitu alami, seolah-olah dia benar-benar membutuhkan benda itu untuk berjalan. Emily yang berdiri di sampingnya hanya bisa menaikkan sebelah alis, setengah kesal sekaligus kagum. “Kau benar-benar berbakat dalam akting,” gumamnya pelan. “Aku benar-benar makin bangga dengan kemampuan akting mu.” William tersenyum kecil, tapi tetap menjaga ekspresi wajahnya. “Ini bukan akting, Sayang. Ini adaptasi. Aku terlalu menjiwai, tolong berikan apresiasi lewat kekaguman saja.” Emily mendengus pelan, lalu menggenggam tangan William, menuntunnya agar lebih cepat berjalan. “Ayo, suamiku yang buta... istrimu ini akan menjadi mata untukmu.”Mau tidak mau, dia harus ikut berakting juga. Lagipula, selama ini dia sudah terbiasa dengan permainan Wi
William duduk di tepi ranjang dengan ekspresi dingin, matanya menatap lurus ke depan tanpa fokus. Emily yang sedang mengeringkan rambutnya melihat perubahan ekspresi suaminya itu, lalu berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. “Ada apa? Terjadi sesuatu?” tanyanya pelan, menyentuh tangan William dengan lembut. William menghela napas panjang sebelum akhirnya menoleh ke arah istrinya. “Robert baru saja menelepon. Dia menyarankan agar kita tetap di dalam rumah untuk sementara waktu. Ada kemungkinan besar bahaya menunggu kita di luar.” Emily mengerutkan keningnya. “Apakah ini tentang Ibu Kelly?” William mengangguk, jemarinya secara refleks menggenggam tangan Emily lebih erat. “Iblis Kelly itu benar-benar sudah melewati batas. Bukan hanya aku, sekarang dia juga menargetkan mu.” Emily terdiam, hatinya mencelos mendengar itu. Dia tahu Kelly membenci William, tapi tidak menyangka wanita itu akan sampai ke tahap ini
Pagi itu, Robert meninggalkan apartemennya menuju ke kantor. Tidak ke rumah William, pria itu masih harus tetap di rumah karena ada rencana besar yang harus dilakukannya. Saat berada di tengah jalan, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Robert menatap kaca spion mobilnya dengan tajam. Mobil hitam yang berada di belakangnya tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menyalip, tetapi juga tidak menjauh. Kecepatannya stabil, seolah-olah sedang menguntitnya. Itu nampak sengaja. Awalnya, Robert tidak ingin berpikiran buruk. Jalanan pagi ini memang lebih sepi dari biasanya, jadi mungkin itu hanya kebetulan saja. Namun, semakin lama, firasatnya menjadi semakin buruk. Tiba-tiba, sistem pendeteksi pada mobilnya berbunyi nyaring, memperingatkan adanya kendaraan besar yang melaju dari arah berlawanan, truk besar, dan kecepatannya tidak normal. Robert mengerutkan keningnya. Mata Robert menyipit. “Ini b
Robert tahu dia tidak punya pilihan lain. “Semoga saja selamat. Kalau tidak, aku juga tidak perlu kecewa.” Robert bersiap, dia akan mengambil tindakan nekat. Jika dia tetap berada di dalam mobil, nyawanya bisa melayang seketika. Dengan sisa tenaga dan perhitungan yang matang, dia membuka pintu dan melompat keluar dari kendaraan yang masih melaju cepat. Tubuhnya membentur pembatas jalan dengan keras sebelum akhirnya terguling ke rerumputan di pinggir jalan. “Akhhhh!!” pekiknya. Rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, seolah setiap tulangnya remuk. Namun, dia masih sadar, masih bisa merasakan denyut nyeri yang menyiksa seluruh tubuhnya. Sementara itu, di belakangnya, suara tabrakan keras menggema. Brak!!!! Mobilnya dihantam oleh truk yang se
Kabar tentang kecelakaan Robert menyebar dengan cepat, menggemparkan para petinggi perusahaan. Bahkan, sebagian dari mereka yang sebelumnya tenang oleh isu keraguan terhadap William jadi mulai gelisah. Dalam hitungan jam, mereka semua memutuskan untuk mengadakan rapat darurat di ruang konferensi utama, kompak mencari jalan keluar untuk kemungkinan yang terburuk. Di dalam ruangan itu, suasana terasa begitu tegang. Beberapa eksekutif senior berbicara dengan nada khawatir, membahas kemungkinan dampak besar bagi perusahaan jika Robert, tangan kanan William, benar-benar dalam kondisi serius dan tidak bisa bekerja dalam waktu lama. Bagaimanapun, Robert adalah pilar kokoh untuk William. “Kita semua tahu bagaimana peran Robert di perusahaan ini,” ujar salah satu petinggi dengan wajah yang nampak serius. “Tanpa dia, kita kehilangan keseimbangan. Dan Tuan William... dia...” “Dia itu kan buta,” potong seseorang dengan nada ragu. Rua
Suasana rapat darurat yang semula penuh ketegangan kini berubah menjadi kelegaan setelah pernyataan mengejutkan William barusan. “Tentu saja aku bisa melihat,” ucapnya tenang, namun penuh ketegasan yang tak terbantahkan. Para petinggi perusahaan yang hadir di ruangan itu terdiam sesaat, mencerna kata-kata William barusan. Kemudian, satu per satu ekspresi mereka berubah menjadi keterkejutan, lalu kelegaan yang mendalam. “Syukurlah, Tuan William!” seru salah satu eksekutif dengan wajah yang nampak sumringah. “Ini kabar yang sangat luar biasa!” “Tentu saja!” sahut yang lain. “Kami benar-benar senang mendengar ini! Kami harap, kedepannya anda akan selalu sehat.” William tersenyum tipis. “Aku tidak akan menjelaskan kapan dan bagaimana pengobatan itu berlangsung. Yang terpenting adalah aku telah kembali dengan penglihatan yang normal. Bisa bekerja dengan baik.” Para petinggi perusahaan m
Sore itu, langit tampak mendung ketika Lavine melangkah keluar dari gedung apartemennya. Dengan jas hitam dan kemeja yang sedikit terbuka di bagian atas, ia tampak seperti biasa, sangat santai, tapi menyimpan ketegangan yang jelas tidak akan tampak di permukaan. Di dalam mobil, Jordi menyetir tanpa banyak bicara. Lavine duduk bersandar, menatap keluar jendela sambil mengetukkan jari ke paha dengan irama acak. “Kira-kira kali ini dia ingin membahas apa lagi ya? Bisnis? Atau mungkin ada hubungannya dengan Elle? Hah! Tidak sabaran juga, aku jadi ingin cepat sampai.” katanya setengah bercanda, setengah kesal. Jordi melirik dari kaca spion. “Mungkin Tuan Ramon mulai sadar siapa yang sebenarnya punya andil besar dalam banyak hal akhir-akhir ini, Tuan.” Lavine hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ironi. “Hah! Kalau dia sadar, mungkin itu karena dia kepepet. Bukan karena dia benar-benar melihat.
Rayn meninggalkan gedung perkantoran MJW dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Pembicaraannya dengan Elle tidak berakhir seperti yang diinginkannya. Begitu sampai di dalam mobil, Rayn yang sangat kesal itu tidak lagi bisa menahan diri. Bukk!!! Dipukulnya kemudi mobilnya beberapa kali untuk melampiaskan amarah. “Badjingan!!!” teriaknya. “Kenapa... kenapa kau harus bisa melampaui ku, anak brengsek? Jelas-jelas yang mengalir di dalam tubuhmu adalah darah kotor dan rendahan, darah seorang pelacur yang menjijikan! Kau harusnya hidup dengan segala hinaan, berani sekali kau mengambil posisi yang harusnya menjadi milikku?!” Rayn merasa sudah benar-benar dikalahkan. Tatapan mata Elle saat bicara padanya tadi seolah telah menunjukkan bahwa Rayn bahkan tidak bisa lebih baik daripada Lavine. Grettt... Tangan Rayn terkepal erat. Matanya yang masih menyalak marah itu mulai bersia
Esok harinya, di gedung MJW. Elle menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya, memandangi Rose dengan ekspresi datar. “Kau yakin itu dari Rayn? Kakak tirinya Lavine?” tanyanya pelan. Rose mengangguk. “Ya, dikirim langsung atas nama Tuan Rayn. Dikirim pagi-pagi sekali, bahkan sebelum staff lengkap datang, Nona.” Elle menarik napas dalam, sedikit tidak nyaman. Dia tahu Rayn bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Elle kemudian berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. “Ayo, aku ingin lihat sendiri seperti apa lukisan yang dia berikan padaku,” ucapnya dingin. Sesampainya di lobi, matanya langsung tertuju pada lukisan besar yang diletakkan rapi di atas meja resepsionis. Pigura mewah, warna-warna kuat, dan goresan yang jelas menunjukkan keahlian pelukisnya. Namun, tidak ada yang membuat Elle terpikat walaupun dia sampai memicingkan matanya. “Cantik, tapi sayangnya sama sekali tidak menyentuh,” gumamnya,
Elle menatap Lavine dengan tatapan tak sabaran, “Bagaimana hasilnya?” Lavine menyandarkan tubuhnya santai di kursi, senyumnya masih mengembang seperti biasa, penuh godaan dan sedikit terlihat malas. “Kau benar-benar terlalu kaku dan serius, Elle,” katanya sambil mendorong gelas es kopi ke hadapan Elle sekali lagi. “Cobalah untuk membuat hidupmu sedikit lebih manis… seperti es kopi ini.” Elle menatap Lavine tajam, ekspresinya tetap dingin, tapi ada sedikit ketertarikan di balik sorot matanya. “Kau ini minum kopi atau gula? Sejak kapan kopi jadi manis? Lagi pula, aku tidak datang ke sini untuk membahas kopi,” jawabnya, suaranya datar namun tegas. “Aku benar-benar ingin tahu tentang hasilnya, Lavine. Fokus ku hanya ke situ saja.” Lavine tertawa pelan, memainkan sendok kecil di tangannya. “Hah, kau ini terlalu serius. Tapi baiklah… soal hasilnya, Zero tidak mudah dilunakkan, kau tahu itu. Apalagi kalau kau sendiri begini? Minum es kopi saja tidak mau. As
Hari itu, Merin dan Ronald datang ke gedung MJW untuk menemui Elle. Resepsionis itu sempat ragu, namun setelah melihat foto yang ditunjukkan Ronald, di mana Elle tampak berdiri di antara mereka dalam pakaian sederhana dan suasana kafe, wajah resepsionis itu langsung berubah. Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk sopan. Meskipun masih ada rasa tidak percaya, dia juga tahu kalau foto itu bukanlah foto editan. Dari pada nanti dia justru melakukan kesalahan, lebih baik diterima saja dulu tamunya. “Baik, tunggu sebentar. Saya akan menghubungi sekretarisnya Nona Elle terlebih dahulu,” ujarnya dengan nada lebih ramah. Ronald menarik napas lega, sementara Merin berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya sibuk memandangi interior kantor MJW yang begitu mewah dan jauh dari bayangan tempat kerja Elle sebelumnya. Tatapan matanya menajam, menyadari bahwa Elle benar-benar hidup dalam dun
Elle tersenyum lemah. “Begitu, ya? Lalu, kenapa kau masih tidak menghentikan ku?” Pertanyaan itu membuat Lavine tersenyum. “Karena meskipun kau memiliki maksud, aku masih bisa merasakan ketulusan darimu.” Elle melanjutkan kegiatannya, menikmati sarapan buatan Lavine tanpa bicara lagi. Tidak ada yang perlu dibahas saat ini. Mereka hanya perlu makan dengan baik, nanti bisa melanjutkan pembicaraannya lagi begitu selesai. Beberapa saat kemudian. Elle melihat jam tangannya, sejenak terdiam sambil berpikir. “Lavine, aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Apa aku boleh bicara yang sebenarnya padamu sekarang?” Lavine yang baru selesai mencuci piring tersenyum. Setelah mengeringkan tangannya, ia pun berjalan mendekati Elle yang masih duduk di meja makan sambil menatapnya dengan ekspresi yang serius. “Baiklah... dari pada bertele-tele seperti katamu tadi, lebih baik bicara den
Malam merayap pelan di balik jendela apartemen milik Lavine. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang begitu tenang. Elle duduk bersandar di sofa, matanya mulai terasa berat. Di sampingnya, Lavine masih tertidur dengan kompres di dahinya, napasnya sedikit berat namun mulai terdengar stabil. Elle melirik ke arah pria itu, memperhatikan wajah Lavine yang biasanya penuh senyum nakal itu kini terlihat begitu tenang dan polos. Untuk sesaat, dia lupa bahwa pria ini sering membuatnya kesal. Yang ada hanya rasa iba dan... entah, sesuatu yang membuat dadanya terasa cukup hangat. “Apa sebenarnya yang kau sembunyikan dariku, Lavine...” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Atau, apa yang sedang kau sembunyikan dari dunia ini?” Elle menghela napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya ke senderan sofa. Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah, matanya tertutup, dan napasnya mulai melambat. Suara detik
Elle duduk di ruang kerjanya sambil menatap layar laptop yang penuh dengan tab pencarian tentang pelukis bernama Zero. Setiap artikel, forum seni, dan catatan pameran sudah selesai ia baca. Namun semuanya hanya berisi spekulasi, gosip samar, atau informasi yang terlalu umum. Tidak satu pun yang bisa mengungkap siapa sebenarnya Zero, atau setidaknya memberi petunjuk yang cukup bisa menuju ke identitasnya. Orang-orang suruhannya juga sudah berusaha, namun hasilnya masih tetap sama. “Bagaimana bisa seseorang sepopuler itu tidak meninggalkan jejak digital sedikit pun?” gumam Elle kesal, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi dengan frustasi. Ia menutup laptopnya dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir. “Kenapa sulit sekali menemukan orang itu? Sekalinya bertemu, dia malah mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami. Ah..., aku jadi pusing.” Rose masuk membawa dokumen, namun langsung berhenti saat m
Elle tersenyum. “Putra anda memang cukup gila. Ah, aku tidak jadi membelamu.” Mendengar itu, Lavine pun tersentak kaget. “Hah! Kau ini cepat sekali berubah pikiran? Baru juga sedetik aku merasa terharu oleh sikapmu, kau ini benar-benar menggemaskan. Aku jadi ingin segera menikahimu, deh.” “Bahkan keong juga akan berpikir lagi saat tahu kalau akan dinikahi mu,” balas Elle. Lavine terkekeh. “Keong? Kau benar-benar banyak keterlaluannya, ya? Ngomong-ngomong, pergi makan yuk! Aku lapar sekali, tapi tidak ada uang untuk membeli makan.” Ucapan Lavine barusan membuat Rayn dan Ramon mengerutkan kening. Jelas Lavine dan Elle cukup dekat sebelumnya. Rose hanya berdiri diam di belakang Elle. “Kalian... sejak kapan saling kenal?” tanya Ramon yang tidak bisa menahan rasa penasarannya. Elle menoleh, dia hampir saja lupa dengan keberadaan Ramon dan juga Rayn. “Sejak