Tiga hari telah berlalu, di mana saat ini Bram sedang bersiap-siap menuju kantor pengadilan agama. Begitu juga dengan Tania, keduanya sudah sepakat untuk bercerai dengan catatan, Tania masih bisa tinggal di kediaman Wijaya."Mah, aku pergi dulu ya?" Bram mengecup kening Amel, lalu pergi meninggalkan kediaman Wijaya.Sementara Amel bergegas menuju ruang tamu, dibantu oleh Mbok Inem dan pelayan Mina. Selama tiga hari di dalam kamar membuat Amel bosan seperti dipenjara."Hem...."Suara itu terdengar dari pintu utama, Amel yang baru tiba di ruang tamu refleks memutar kepala. Ia melihat Bryan sedang melangkah ke arahnya. Wajah pria tampan itu terlihat dingin, sambil menatap Amel dengan tajam setajam silet."Apa kita bisa bicara?" ucap Bryan.Amel menjawab hanya dengan anggukan kepala. Mbok Inem dan Mina segera meninggalkan ruang tamu menuju dapur."Apa ada hal penting?" Akhirnya Amel membuka mulut setelah hening beberapa menit."Iya, itu sudah pasti," jawab Bryan dengan angkuh, "Bagaimana
"Bryan," ucap Bram.Ia menaruh kotak perhiasan di atas meja, melangkah menghampiri Bryan yang berdiri di bibir pintu dengan posisi kedua tangan terlipat di dada."Ayo masuk," ajak Bram yang langsung diikuti Bryan."Apa ada hal penting yang ingin kamu bicarakan?" Bram bertanya setelah mereka duduk di sofa."Iya Pah," jawab Bryan dengan santai."Apa itu? Katakan saja," desak Bram dengan wajah tersenyum ke arah bayi mungilnya."Aku ingin Papah membagi harta warisan.""Duk...." Jantung Bram berdegup kencang mendengar permintaan putranya.Kepalanya refleks menegak, ditatapnya Bryan dengan tatapan bingung. Apa yang terjadi dengan putranya? Kenapa dia tiba-tiba meminta harta warisan? Padahal sebelumnya anak tampan itu hanya meminta agar ia dan Ibunya tetap bersama dan tinggal di rumah itu."Membagi harta warisan?" tanya Bram untuk memperjelas."Iya," jawab singkat Bryan."Kenapa terburu-buru seperti ini?" Bram kembali bertanya."Karena Papah sudah memiliki anak dari wanita lain," jawabnya de
"Jika sampai terjadi sesuatu kepada putraku! Aku tidak akan pernah memaafkan kamu Amel, camkan itu." Kata-kata terakhir Tania sebelum pergi. Amel hanya bisa meneteskan air mata, ia sama sekali tidak membuka mulut untuk menjawab Tania. Setibanya di rumah sakit, Tania menghampiri Bram yang duduk di kursi besi di depan ruang UGD. "Apa yang terjadi dengan putraku, Bram? Di mana putraku?" tanya Tania disela-sela tangisan. "Kamu yang tenang ya, Bryan pasti baik-baik saja," ucap Bram untuk menenangkan Tania. Ia mengelus lengan mantan istrinya itu, walaupun Bram sangat membenci Tania saat ini! Tapi dalam keadaan seperti ini ia harus bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Tidak lama kemudian tiba-tiba pintu UGD terbuka, seorang wanita berseragam putih ke luar dari dalam sana. Bram dan Tania yang duduk di kursi, segera bangkit lalu menghampirinya. "Bagaimana keadaan putraku?" tanya Bram, begitu juga dengan Tania. "Pasien belum sadarkan diri Pak, Bu," jawab sang perawat, "Apa Bapak dan Ib
Setibanya di rumah sakit, Amel bergegas menuju resepsionis untuk menanyakan ruangan Dokter yang menangani Bryan."Terima kasih Mbak," ucap Amel yang langsung bangkit dari kursi, melangkah menuju ruangan Dokter."Tok....tok....tok...""Masuk." Terdengar suara dari dalam.Amel membuka pintu, "Selamat malam Dokter," ucapnya sambil menjulurkan kepala dari balik pintu."Silahkan duduk Nona." Pria berjubah putih itu mempersilahkan Amel untuk duduk di kursi tamu."Terima kasih Dokter," sambil menjatuhkan bokongnya, "Maaf sudah mengganggu waktunya," lanjutnya."Oh tidak apa-apa," sahut Dokter sambil tersenyum ramah."Dok, saya ingin mendonorkan darah untuk pasien yang bernama Bryan." Amel langsung bicara pada intinya, padahal Dokter belum bertanya maksudnya datang ke sana."Benarkah, Nona ingin mendonorkan darah?" Dokter bertanya untuk memperjelas.Wajahnya terlihat ceria dan tersenyum, karena sampai saat ini mereka belum menemukan darah untuk Bryan."Iya Dokter," jawab Amel sembari menganggu
Tanpa terasa satu Minggu telah berlalu, di mana hari ini genap 40 hari Amel setelah melahirkan. Wanita cantik itu sedikit terkejut saat ke luar dari kamar, ia melihat para pelayan sedang menghias mansion megah itu."Kenapa mereka menghias rumah ini? Apa ada acara ya? Tapi kenapa Papah gak memberitahuku?" Amel bertanya kepada dirinya sendiri.Ia kembali ke kamar, jari lentiknya meraih ponsel dari atas meja rias lalu menghubungi Bram."Iya sayang." Suara dari seberang sana."Pah, di rumah ada acara ya? Kok Papah gak bilang sih!" protes Amel."Oh.... Itu hanya acara makan bersama dengan klien. Maaf sayang aku lupa memberitahumu," jawab Bram."Tamu Papah banyak ya?" Amel kembali bertanya."Lumayan, makanya Mamah harus dandan ya."Bram baru saja selesai bicara, tiba-tiba Mbok Inem muncul di bibir pintu bersama tiga orang wanita."Permisi Nyonya," ucap Mbok Inem."Pah, aku tutup teleponnya dulu. Nanti kita sambung lagi." Amel memutuskan sambungan teleponnya."Iya Mbok," sahut Amel menjawab
Keduanya bergandengan tangan layaknya pengantin, Amel melangkah sambil tertunduk. Rasanya gugup dan malu diperhatikan oleh para tamu undangan. Kepala Amel yang tadinya tertunduk, tiba-tiba ia tegakkan setelah menyadari sesuatu. Amel mengerutkan kening, ia bingung melihat seorang pria paruh baya duduk di hadapan mereka."Bagaimana Pak, apa acaranya sudah bisa kita mulai?" tanya pria itu."Sudah Pak," jawab Bram."Baiklah." Pria itu menjulurkan tangan yang langsung disambut tangan Bram."Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara ananda Bram Pratama Wijaya bin Nicolas Pratama Wijaya dengan Amel Rahayu dengan mas kawinnya 40 geram emas, tunai""Saya terima nikahnya dan kawinnya Amel Rahayu binti Suharjo Abu dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.""Bagaimana para saksi?""Sah, sah, sah." Semuanya serentak mengatakan sah.Sementara Amel hanya tercengang, matanya membulat tanpa berkedip. Bahkan ia tidak sadar kalau Bram sudah menyodorkan tangannya."Sayang," panggil Bram dengan lem
Di bab ini sedikit panas, jadi bijaklah dalam membaca. Terima kasih.Jantung Amel dak dik duk saat Bram memeluknya. Pria tampan itu mendaratkan dagunya di pundak Amel, yang membuat wanita cantik itu bergidik akibat hembusan napas yang menembus telinganya."Amel, aku mencintaimu," ucap Bram dengan lembut tepat di telinga istrinya.Amel tersenyum sambil tertunduk, "Aku juga mencintaimu Bram," balas Amel dengan wajah malu-malu."Bisakah aku menyentuhmu?" Lagi-lagi Bram berbisik. Amel mengangguk untuk menjawab pertanyaan suaminya. Keduanya bersikap seolah-olah malam ini adalah malam pertama mereka. Entah mengapa Amel merasa canggung, padahal sebelumnya mereka sudah sering melakukan hubungan suami istri, bahkan seorang bayi telah terlahir dari hasil hubungan itu.Bram membuka kancing dan pengikat gaun Amel. Menanggalkannya lalu menaruhnya di lantai, kini wanita cantik itu hanya mengenakan lingerie berwarna merah cerah.Begitu juga dengan Bram, pria tanpa itu sudah menanggalkan seluruh pak
Sepanjang perjalanan dari rumah sakit menuju kediaman Wijaya, Bryan tidak berhenti membahasa tentang harta warisan. "Apa Papah akan segera membagi warisan?" tanya Bryan yang duduk di bangku depan, di samping pengemudi."Iya, Papah akan membaginya setelah kamu sembuh total," jawab Bram."Aku sudah sembuh Pah, jadi tidak masalah jika Papah membaginya dalam waktu dekat." Bryan benar-benar mendesak Ayahnya untuk segera membagi harta."Iya, nanti Papah hubungi Notaris dan Pengacara," sahut Bram.Mobil itupun kembali hening hingga mereka tiba di kediaman Wijaya. Amel yang duduk di balkon, segera menuruni tangga setelah melihat mobil Bram masuk dari gerbang.Wanita cantik itu menunggu di teras, bibirnya tersenyum lebar menyambut kepulangan anak sambungnya. Namun senyuman manis itu dibalas dengan tatapan sinis dari Bryan.Bram yang melihat hal itu, langsung melingkarkan tangannya di pinggang Amel. Mengajak wanita cantik itu masuk ke dalam rumah."Bagaimana keadaan kamu?" tanya Amel.Saat ini