Di bab ini sedikit panas, jadi bijaklah dalam membaca. Terima kasih.Jantung Amel dak dik duk saat Bram memeluknya. Pria tampan itu mendaratkan dagunya di pundak Amel, yang membuat wanita cantik itu bergidik akibat hembusan napas yang menembus telinganya."Amel, aku mencintaimu," ucap Bram dengan lembut tepat di telinga istrinya.Amel tersenyum sambil tertunduk, "Aku juga mencintaimu Bram," balas Amel dengan wajah malu-malu."Bisakah aku menyentuhmu?" Lagi-lagi Bram berbisik. Amel mengangguk untuk menjawab pertanyaan suaminya. Keduanya bersikap seolah-olah malam ini adalah malam pertama mereka. Entah mengapa Amel merasa canggung, padahal sebelumnya mereka sudah sering melakukan hubungan suami istri, bahkan seorang bayi telah terlahir dari hasil hubungan itu.Bram membuka kancing dan pengikat gaun Amel. Menanggalkannya lalu menaruhnya di lantai, kini wanita cantik itu hanya mengenakan lingerie berwarna merah cerah.Begitu juga dengan Bram, pria tanpa itu sudah menanggalkan seluruh pak
Sepanjang perjalanan dari rumah sakit menuju kediaman Wijaya, Bryan tidak berhenti membahasa tentang harta warisan. "Apa Papah akan segera membagi warisan?" tanya Bryan yang duduk di bangku depan, di samping pengemudi."Iya, Papah akan membaginya setelah kamu sembuh total," jawab Bram."Aku sudah sembuh Pah, jadi tidak masalah jika Papah membaginya dalam waktu dekat." Bryan benar-benar mendesak Ayahnya untuk segera membagi harta."Iya, nanti Papah hubungi Notaris dan Pengacara," sahut Bram.Mobil itupun kembali hening hingga mereka tiba di kediaman Wijaya. Amel yang duduk di balkon, segera menuruni tangga setelah melihat mobil Bram masuk dari gerbang.Wanita cantik itu menunggu di teras, bibirnya tersenyum lebar menyambut kepulangan anak sambungnya. Namun senyuman manis itu dibalas dengan tatapan sinis dari Bryan.Bram yang melihat hal itu, langsung melingkarkan tangannya di pinggang Amel. Mengajak wanita cantik itu masuk ke dalam rumah."Bagaimana keadaan kamu?" tanya Amel.Saat ini
"Selamat sore Tuan Alex," sapa Lukas saat melihat Alex turun dari mobil."Sore Pak Lukas," sahut Alex dengan ramah, "Apa Bram ada di rumah?" lanjutnya bertanya."Ada Tuan, beliau sedang ada tamu.""Ow, kalau begitu aku menunggu di sini saja." Alex menjatuhkan bokongnya di sofa teras, ditemani oleh Lukas.Setelah 30 menit berlalu, akhirnya Notaris dan Pengacara ke luar dari pintu utama. Alex segera masuk, bergegas menaiki tangga menuju ruang kerja Bram di lantai tiga."Tok...tok...tok...""Masuk." Terdengar suara bariton dari dalam."Selamat sore Bro," sapa Alex sambil menjulurkan kepala dari balik pintu.Bram yang sedang menulis sesuatu, refleks memutar kepala ke arah datangnya suara."Alex, ayo masuk," sahut Bram, sembari mengajak sahabatnya untuk masuk.Alex melangkah dari pintu, duduk di sofa tamu yang ada di sana. Begitu juga dengan Bram, ia meninggal kursi kerjanya lalu menghampiri Alex ke sofa."Tumben, enggak biasanya," ucap Bram."Iya Bro, ada hal penting yang ingin aku bicara
"Ada apa Mbok? Ada apa?" tanya Bram setelah tiba di lantai dua.Begitu juga dengan Tania dan Bryan yang juga ke luar dari kamarnya, ikut bertanya."Di...di...di...kamar Tuan," sambil menunjuk ke arah kamar Ramel.Mbok Inem terlihat ketakutan, tangannya gemetar, wajahnya pucat seperti mayat, bahkan bibirnya sulit untuk bicara.Bram berlari, ia mendorong pintu membukanya lebar-lebar. Keningnya mengerut melihat setiap sudut ruangan itu, tak ada yang aneh dan tak ada apa-apa. Di sana hanya ada Ramel yang tertidur pulas di atas tempat tidur.Tentu Bram dan yang lainnya bingung! Kenapa Mbok Inem berteriak dan ketakutan, sedangkan di kamar tidak ada yang aneh. Bram dan Amel segera mengangkat Ramel dari tempat tidur, membawanya ke ruang tamu yang terletak di lantai dua, begitu juga dengan yang lainnya.Bram menyodorkan air minum kepada Mbok Inem, memintanya untuk menenangkan diri. Setelah itu baru Bram bertanya, apa yang sebenarnya terjadi hingga membuatnya berteriak dan ketakutan."Mbok ken
"Aku takut Bram tidak memberinya warisan. Karena tak mungkin Bram memberi hartanya kepada yang bukan darah dagingnya, sedangkan dia sudah punya anak kandung," jawab Tania."Jangan berpikir seperti itu, walupun Ramel anak kandung Bram! Bukan berarti semua harta warisan Wijaya jatuh kepadanya. Bram pasti berbuat adil terhadap kedua putranya." Tentu Amel bicara seperti itu, karena dia sendiri lah yang meminta Bram untuk memberikan hak Bryan."Apa kamu yakin?" Tanya Tania."Iya, aku yakin. Bahkan Bram sudah meminta Notaris dan Pengacara untuk mengurusnya." Amel bicara yang sejujurnya."Apa kamu tahu berapa persen yang akan Bram berikan kepada Bryan?" Tania benar-benar tidak sabar untuk mengetahui seberapa banyak warisan Wijaya jatuh ke tangan putranya.Amel menggeleng, "Aku tidak tahu, karena aku tidak berhak menanyakan itu," jawabnya."Iya sih, secara kan kamu baru dua Minggu menjadi istri Bram. Sebenarnya yang lebih berhak itu aku, karena akulah yang menemani Bram mengembangkan perusaha
Keduanya sedang asik bercumbu, tiba-tiba Amel membuka mulut."Stop Pah, tunggu sebentar," ucap Amel untuk menghentikan gerakan suaminya."Ada apa sayang," tanya Bram dengan napas menderu."Tunggu sebentar," sambil mendorong Bram dari atas tubuhnya.Amel menurunkan kedua kaki dari atas tempat tidur, berlari masuk ke kamar mandi lalu menguncinya dari dalam."Ya ampun, dia benar-benar datang," ucap Amel sambil melihat cairan merah yang menempel di pakai dalamnya."Sayang, sayang," panggil Bram sambil mengetuk pintu kamar mandi."Tunggu sebentar Pah," sahut Amel dari dalam sana."Mamah kenapa?" Tentu Bram bertanya, karena Amel tiba-tiba saja berlari masuk ke kamar mandi lalu menguncinya dari dalam."Enggak kenapa-kenapa Pah." Suara lembut Amel dari dalam sana."Mah, bukan pintunya dong," desak Bram dengan rasa tidak sabar."Iya Pah." Amel membuka pintu setelah membersihkan tubuhnya, lalu melilitnya dengan handuk. "Kok mandi? Kan belum selesai! Masuk aja belum, baru gesek-gesek doang," uc
"Tidak sayang, kamu berhak mendapat warisan Wijaya. Karena kamu lah istriku saat ini sampai selamanya," bantah Bram."Iya, aku mengerti maksud Papah. Tapi aku ikhlas kok memberikannya kepada Bryan ataupun Tania." Amel memaksa ingin memberikan miliknya kepada Bram ataupun Tania."Yasudah, 10 persen dari milikmu akan saya berikan kepada Bryan," akhirnya Bram menerima permintaan istrinya."Sekarang Bryan mendapat 30 persen, sedangkan Mamah dan Tania mendapat 10 persen 10 persen. Sudah adil kan?" lanjut Bram."Tidak ada yang adil," geram Bryan.Ia bangkit dari tempatnya, bergegas menuju pintu utama lalu pergi meninggalkan kediaman Wijaya menuju kampus.Setibanya di kampus Bryan tidak sengaja bertemu dengan Riska di kantin. Pria tampan itu menatap Riska dengan tatapan tajam, yang membuat wanita cantik itu merasa risih dan langsung bertanya."Ada apa kak? Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Riska.Bram bangkit dari kursinya, melangkah menghampiri Riska yang duduk bersama teman-temannya."A
"Itu ide bagus sayang. Ajak dia tinggal di rumah ini," jawab Bram."Yang benar Pah?" "Iya sayang," jawab Bram."Terima kasih Pah." Amel tersenyum bahagia.Setelah satu tahun terikat kontrak sebagai asisten rumah tangga, akhirnya Tia bisa bebas. Satu tahun yang lalu Tia menyodorkan dirinya sebagai asisten rumah tangga, untuk melunasi utang biaya pengobatan Ibunya. Dimana saat itu Amel pertama kalinya melarikan diri dari Bram, sehingga mereka tidak memiliki uang dan harus meminjam.Setelah Amel kembali kepada Bram, mereka sudah pernah berniat untuk mengeluarkan Tia dari sana dengan cara melunasi semua hutangnya. Tetapi ditolak, karena sang pemilik uang sedang membutuhkan asisten untuk merawat Ibunya yang sedang sakit.Akhirnya Tia pasrah menjalani sesuatu kontrak yang sudah ditandatangani. Bahkan wanita cantik itu tidak melihat Ibunya untuk yang terakhir kalinya, karena sang majikan tidak memberitahunya.Amel bergegas ke kamar, ia meraih ponsel dari atas meja rias lalu menghubungi adik
Ramel tidak membuka mulut, rasa terharu sekaligus sedih membuat bibirnya kaku."Jadi untuk sementara waktu...." Melisa belum selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari lantai dua. Sontak membuat keduanya refleks meninggalkan ruang tamu menuju arah datangnya suara."Tidak, tidak, tidak." Teriakan itu menyambut Ramel dan Melisa."Ibu, ibu, ada apa ibu?" Melisa merangkul ibunya, wajahnya terlihat khawatir.Begitu juga dengan Ramel, pria tampan itu menarik Bella lalu memeluknya dengan erat. Menungkupkan wajah wanita cantik itu di dada bidangnya, sambil mengecup ujung kepala Bella dengan penuh kasih sayang.Setelah Bella sedikit tenang, Ramel mengajaknya duduk di sisi ranjang. Memberinya air mineral sambil berbicara dengan lembut."Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, aku merasakan sesuatu saat memasuki kamar ini," ucap Bella dengan wajah bingung.Ramel tersenyum tipis, "Apa kamu mengingat sesuatu?"Bella menggeleng, "Aku hanya merasa tidak asing dengan kamar ini, padahal
Dua hari telah berlalu, Ramel dan Tania sedang bersiap-siap untuk menemui wanita itu. Selama ini ayah satu anak itu benar-benar sibuk karena kliennya datang dari Singapura. "Kenan, kamu gak jadi ikut?" tanya Ramel saat tiba di meja makan.Dua hari yang lalu pria tampan berusia 17 tahun itu berjanji untuk ikut. Namun pagi ini ia masih terlihat mengenakan baju santai."Enggak Pah," jawab Kenan."Kenapa?" Tentu Ramel bertanya, apa alasan putranya tidak ikut!"Kenan merasa tidak enak badan Pah, kepalaku sedikit pusing.""Yasudah, kamu istirahat aja di rumah." Kali ini Tania yang membuka mulut.Ruangan itupun seketika hening, semua sibuk menikmati sarapannya masing-masing. Setelah itu Ramel dan Tania meninggalkan kediaman Wijaya bersama Lukas sopir kepercayaan keluarga Wijaya.Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, akhirnya mereka tiba. Tania memperhatikan rumah sederhana yang berdiri kokok di hadapannya. "Ayo Oma," ajak Ramel.Keduanya melangkah secara bersamaan, Ramel mengangkat sat
Tepat pukul satu siang, Ramel dan teman-temannya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Villa dan kembali ke kota. Sebenarnya mereka masih memiliki satu tujuan lagi, tetapi Ramel tiba-tiba ada urusan mendadak. Kliennya dari Singapura besok pagi sudah tiba di Indonesia."Mel, dari tadi Melisa kok gak kelihatan ya? Apa dia gak kerja?" tanya Alex sambil membantu Ramel memasukkan barang-barang ke dalam mobil."Dia shift malam, jadi udah pulang tadi pagi," jawab Ramel dengan jujur."Oh, pantas itu anak gak kelihatan," sahut Alex, "Oh iya, kamu tahu dari mana?" lanjutnya."Tadi aku yang mengantarnya pulang." Ramel menceritakan semuanya kepada Alex, ia juga mengatakan merasakan sesuatu saat melihat ibunya Melisa berdiri di depan jendela."Kenapa kamu gak singgah dulu?" Tentu Alex bertanya!"Segan sama tetangganya, soalnya di rumah itu gak ada laki-laki," dalih Ramel."Iya juga sih, tapi Melisa dan ibunya kapan ke Jakarta? Bukannya kamu menawarinya untuk jadi asisten rumah tangga di kediaman W
"Kamu baru lulus sekolah ya?" Ramel kembali bertanya."Iya Om," sahut singkat Melisa."Kalau baru lulus sekolah jangan langsung nikah, lanjut kuliah dulu. Pernikahan itu tidak seindah yang dibayangkan." Ramel seketika menjadi seorang ayah yang sedang menasehati putrinya."Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya jadi tukang masak, lebih baik cari laki-laki yang mapan lalu nikah." Jawaban melihat membuat Ramel dan teman-temannya tercengang.Melisa bicara dengan wajah polos tanpa sedikitpun tersenyum. Wanita cantik berusia 18 tahun itu sungguh-sungguh ingin menikah, terlihat dari sorot matanya saat menatap Ramel.Entah apa yang membuatnya ingin segera menikah, padahal usianya masih sangat muda."Gimana Om? Mau nikah dengan saya?" lanjut Melisa sembari bertanya.Ramel tersenyum mengejek, "Anak zaman sekarang selalu bertindak tanpa berpikir dulu. Kamu pikir pernikahan itu mainan? Lagipula aku tak mungkin menikah denganmu.""Kenapa gak mungkin Om? Yang penting kan, suka sama suka," p
Tujuh belas tahun telah berlalu, selama itu juga Ramel hidup dalam kesendirian, ia membesarkan Kenan bersama Tania yang saat ini sudah menginjak usia 67 tahun. Wanita tua itu sudah sering kali meminta Ramel untuk menikah, tetapi permintaannya selalu ditolak.Tania sudah mencoba menjodohkan beberapa wanita dari golongan atas kepala Ramel, tetapi pria tampan itu sama sekali tidak tertarik. Ia masih berharap Bella hidup dan kembali ke pelukannya."Ken," panggil Ramel yang duduk di ruang tamu bersama Tania.Kenan yang melangkah menuju pintu utama, terpaksa memutar langkah menghampiri ayah dan buyutnya."Iya Pah," sahut Kenan sambil menjatuhkan bokongnya di samping Tania."Besok pagi Papah mau touring ke luar kota, tolong jaga Buyut dan jangan pulang larut malam," pesan Ramel kepada putranya."Baik Pah, Kenan gak diajak Pah?" jawab Kenan sembari balik bertanya."Fokus dengan sekolahmu." Setelah mengatakan itu, Ramel bergegas meninggalkan ruang tamu.Kenan pun berpamitan kepada buyutnya, an
"Pantas saja ini tempat favorit mas Ramel, selain pemandangannya yang indah, suasananya juga terasa tenang," ucap Bella dengan nada lembut dan nyaris tak terdengar.Wanita satu anak itu memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari hidung dengan lembut, sambil menikmati sejuknya hembusan angin."Bella."Bella refleks membuka mata saat mendengar seseorang memanggil namanya, ia baru saja akan memutar kepala untuk melihat orang yang memanggilnya, tetapi dua telapak tangan sudah terlebih dahulu mendorong punggungnya dari belakang."Aaaaaahh...." teriak Bella yang terguling ke jurang hingga jatuh ke aliran air terjun.Saat itu juga Ramel terbangun dari tidurnya, seluruh kening pria tampan itu terlihat mengkilat akibat tetesan keringat, sehingga membuat Tania bingung dan terkejut ketika melihatnya ke luar dari kamar."Ramel, kamu kenapa?" tanya Tania yang sedang memberikan susu formula pada Kenan."Bella di mana Oma?" Bukannya menjawab, Ramel justru balik bertanya.
Setelah melepas hasrat sebanyak dua kali, Ramel dan Bella meninggalkan rumah pohon dan kembali ke Villa. Setibanya di sana, Tania langsung mengajak mereka untuk makan siang bersama. Wanita tua itu sudah menyiapkan beberapa menu di atas meja bersama pelayan.Makan siang kali ini sedikit berbeda, biasanya suasana di meja makan pasti akan hening karena tak ada yang boleh berbicara. Tetapi saat ini Ramel, Bella dan Tania menikmati makan siangnya sambil berbincang-bincang."Mel, Bel, malam ini Kenan biar tidur sama Oma aja ya?" ucap Tania sambil mengunyah makanannya.Iya, Ramel dan Bella menamai putranya Kenan Alexander Wijaya."Kenan setiap malam sering minta susu, nanti Oma jadi terganggu," sahut Bella."Enggak apa-apa, Oma gak merasa terganggu kok," ucap Tania.Wanita tua itu sengaja meminta Kenan tidur di kamarnya, agar Bella dan Ramel bisa berduaan menikmati liburannya. Dari awal Tania sudah menolak untuk ikut ke Villa, tetapi Bella memaksa."Yaudah, terserah Oma aja." Kali ini Ramel
Empat puluh hari telah berlalu, hari ini keluarga Wijaya sedang bersiap untuk liburan. Ramel akan memboyong keluarganya ke villa, seperti permintaan Bella waktu itu. Rencananya mereka akan menginap di sana selama satu Minggu."Mas," panggil Bella.Ramel yang melangk menuju pintu, menghentikan langkahnya lalu berputar menghadap Bella."Iya sayang," sahut Ramel dengan lembut."Sebabnya ada yang ingin aku bicarakan, Mas," ucap Bella dengan wajah serius.Ramel melangkah menghampiri istrinya yang duduk di sisi ranjang tepat di samping wanita cantik satu anak itu."Bicara apa sayang? Apa tentang liburan kita?" todong Ramel.Bella menggeleng, "Tidak mas, aku ingin bicara tentang pak Bara dan Mbok Inem," ucapnya.Ramel menghela napas, ia meraih tangan Bella lalu menggenggamnya dengan erat. Walupun Bella belum mengatakan apapun, Ramel sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh istrinya itu.Tentu tentang kejadian beberapa bulan yang lalu, di mana pak Bara dan Mbok Inem tiba-tiba mengkhianatinya
"Kenapa sayang?" tanya Ramel yang langsung memeluk Bella."Mas tega," bisik Bella."Bukan tega sayang, tapi Mas hanya mengikuti saran dari dokter," sahut Ramel yang juga berbisik.Akhirnya Bella mengikuti kemauan suaminya, ia mengijinkan dokter untuk melakukan tugasnya. Bella menggigit ujung baju Ramel untuk menahan rasa sakit yang luar biasa, bahkan lebih sakit dari melahirkan."Sudah Dok, saya gak kuat lagi," keluh Bella, akhirnya wanita cantik itu menyerah."Sebentar lagi ya Bu, tinggal satu jahitan lagi," sahut dokter. Wanita berjubah putih itu sengaja mengajak Bella bicara, untuk mengalihkan rasa sakitnya.Setelah 60 menit berlalu, Bella dipindahkan ke ruang inap begitu juga dengan bayi mungilnya. Wanita cantik itu sudah pasti menempati kamar President Suite.Ramel tak sedetikpun meninggalkan istri dan anaknya. Tatapnya tak lepas dari wajah tampan putranya, bayi mungil itu benar-benar mirip dengannya. Sungguh Ramel tak menyangka memiliki anak diusianya yang masih sangat muda, ia