"Jika sampai terjadi sesuatu kepada putraku! Aku tidak akan pernah memaafkan kamu Amel, camkan itu." Kata-kata terakhir Tania sebelum pergi. Amel hanya bisa meneteskan air mata, ia sama sekali tidak membuka mulut untuk menjawab Tania. Setibanya di rumah sakit, Tania menghampiri Bram yang duduk di kursi besi di depan ruang UGD. "Apa yang terjadi dengan putraku, Bram? Di mana putraku?" tanya Tania disela-sela tangisan. "Kamu yang tenang ya, Bryan pasti baik-baik saja," ucap Bram untuk menenangkan Tania. Ia mengelus lengan mantan istrinya itu, walaupun Bram sangat membenci Tania saat ini! Tapi dalam keadaan seperti ini ia harus bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Tidak lama kemudian tiba-tiba pintu UGD terbuka, seorang wanita berseragam putih ke luar dari dalam sana. Bram dan Tania yang duduk di kursi, segera bangkit lalu menghampirinya. "Bagaimana keadaan putraku?" tanya Bram, begitu juga dengan Tania. "Pasien belum sadarkan diri Pak, Bu," jawab sang perawat, "Apa Bapak dan Ib
Setibanya di rumah sakit, Amel bergegas menuju resepsionis untuk menanyakan ruangan Dokter yang menangani Bryan."Terima kasih Mbak," ucap Amel yang langsung bangkit dari kursi, melangkah menuju ruangan Dokter."Tok....tok....tok...""Masuk." Terdengar suara dari dalam.Amel membuka pintu, "Selamat malam Dokter," ucapnya sambil menjulurkan kepala dari balik pintu."Silahkan duduk Nona." Pria berjubah putih itu mempersilahkan Amel untuk duduk di kursi tamu."Terima kasih Dokter," sambil menjatuhkan bokongnya, "Maaf sudah mengganggu waktunya," lanjutnya."Oh tidak apa-apa," sahut Dokter sambil tersenyum ramah."Dok, saya ingin mendonorkan darah untuk pasien yang bernama Bryan." Amel langsung bicara pada intinya, padahal Dokter belum bertanya maksudnya datang ke sana."Benarkah, Nona ingin mendonorkan darah?" Dokter bertanya untuk memperjelas.Wajahnya terlihat ceria dan tersenyum, karena sampai saat ini mereka belum menemukan darah untuk Bryan."Iya Dokter," jawab Amel sembari menganggu
Tanpa terasa satu Minggu telah berlalu, di mana hari ini genap 40 hari Amel setelah melahirkan. Wanita cantik itu sedikit terkejut saat ke luar dari kamar, ia melihat para pelayan sedang menghias mansion megah itu."Kenapa mereka menghias rumah ini? Apa ada acara ya? Tapi kenapa Papah gak memberitahuku?" Amel bertanya kepada dirinya sendiri.Ia kembali ke kamar, jari lentiknya meraih ponsel dari atas meja rias lalu menghubungi Bram."Iya sayang." Suara dari seberang sana."Pah, di rumah ada acara ya? Kok Papah gak bilang sih!" protes Amel."Oh.... Itu hanya acara makan bersama dengan klien. Maaf sayang aku lupa memberitahumu," jawab Bram."Tamu Papah banyak ya?" Amel kembali bertanya."Lumayan, makanya Mamah harus dandan ya."Bram baru saja selesai bicara, tiba-tiba Mbok Inem muncul di bibir pintu bersama tiga orang wanita."Permisi Nyonya," ucap Mbok Inem."Pah, aku tutup teleponnya dulu. Nanti kita sambung lagi." Amel memutuskan sambungan teleponnya."Iya Mbok," sahut Amel menjawab
Keduanya bergandengan tangan layaknya pengantin, Amel melangkah sambil tertunduk. Rasanya gugup dan malu diperhatikan oleh para tamu undangan. Kepala Amel yang tadinya tertunduk, tiba-tiba ia tegakkan setelah menyadari sesuatu. Amel mengerutkan kening, ia bingung melihat seorang pria paruh baya duduk di hadapan mereka."Bagaimana Pak, apa acaranya sudah bisa kita mulai?" tanya pria itu."Sudah Pak," jawab Bram."Baiklah." Pria itu menjulurkan tangan yang langsung disambut tangan Bram."Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara ananda Bram Pratama Wijaya bin Nicolas Pratama Wijaya dengan Amel Rahayu dengan mas kawinnya 40 geram emas, tunai""Saya terima nikahnya dan kawinnya Amel Rahayu binti Suharjo Abu dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.""Bagaimana para saksi?""Sah, sah, sah." Semuanya serentak mengatakan sah.Sementara Amel hanya tercengang, matanya membulat tanpa berkedip. Bahkan ia tidak sadar kalau Bram sudah menyodorkan tangannya."Sayang," panggil Bram dengan lem
Di bab ini sedikit panas, jadi bijaklah dalam membaca. Terima kasih.Jantung Amel dak dik duk saat Bram memeluknya. Pria tampan itu mendaratkan dagunya di pundak Amel, yang membuat wanita cantik itu bergidik akibat hembusan napas yang menembus telinganya."Amel, aku mencintaimu," ucap Bram dengan lembut tepat di telinga istrinya.Amel tersenyum sambil tertunduk, "Aku juga mencintaimu Bram," balas Amel dengan wajah malu-malu."Bisakah aku menyentuhmu?" Lagi-lagi Bram berbisik. Amel mengangguk untuk menjawab pertanyaan suaminya. Keduanya bersikap seolah-olah malam ini adalah malam pertama mereka. Entah mengapa Amel merasa canggung, padahal sebelumnya mereka sudah sering melakukan hubungan suami istri, bahkan seorang bayi telah terlahir dari hasil hubungan itu.Bram membuka kancing dan pengikat gaun Amel. Menanggalkannya lalu menaruhnya di lantai, kini wanita cantik itu hanya mengenakan lingerie berwarna merah cerah.Begitu juga dengan Bram, pria tanpa itu sudah menanggalkan seluruh pak
Sepanjang perjalanan dari rumah sakit menuju kediaman Wijaya, Bryan tidak berhenti membahasa tentang harta warisan. "Apa Papah akan segera membagi warisan?" tanya Bryan yang duduk di bangku depan, di samping pengemudi."Iya, Papah akan membaginya setelah kamu sembuh total," jawab Bram."Aku sudah sembuh Pah, jadi tidak masalah jika Papah membaginya dalam waktu dekat." Bryan benar-benar mendesak Ayahnya untuk segera membagi harta."Iya, nanti Papah hubungi Notaris dan Pengacara," sahut Bram.Mobil itupun kembali hening hingga mereka tiba di kediaman Wijaya. Amel yang duduk di balkon, segera menuruni tangga setelah melihat mobil Bram masuk dari gerbang.Wanita cantik itu menunggu di teras, bibirnya tersenyum lebar menyambut kepulangan anak sambungnya. Namun senyuman manis itu dibalas dengan tatapan sinis dari Bryan.Bram yang melihat hal itu, langsung melingkarkan tangannya di pinggang Amel. Mengajak wanita cantik itu masuk ke dalam rumah."Bagaimana keadaan kamu?" tanya Amel.Saat ini
"Selamat sore Tuan Alex," sapa Lukas saat melihat Alex turun dari mobil."Sore Pak Lukas," sahut Alex dengan ramah, "Apa Bram ada di rumah?" lanjutnya bertanya."Ada Tuan, beliau sedang ada tamu.""Ow, kalau begitu aku menunggu di sini saja." Alex menjatuhkan bokongnya di sofa teras, ditemani oleh Lukas.Setelah 30 menit berlalu, akhirnya Notaris dan Pengacara ke luar dari pintu utama. Alex segera masuk, bergegas menaiki tangga menuju ruang kerja Bram di lantai tiga."Tok...tok...tok...""Masuk." Terdengar suara bariton dari dalam."Selamat sore Bro," sapa Alex sambil menjulurkan kepala dari balik pintu.Bram yang sedang menulis sesuatu, refleks memutar kepala ke arah datangnya suara."Alex, ayo masuk," sahut Bram, sembari mengajak sahabatnya untuk masuk.Alex melangkah dari pintu, duduk di sofa tamu yang ada di sana. Begitu juga dengan Bram, ia meninggal kursi kerjanya lalu menghampiri Alex ke sofa."Tumben, enggak biasanya," ucap Bram."Iya Bro, ada hal penting yang ingin aku bicara
"Ada apa Mbok? Ada apa?" tanya Bram setelah tiba di lantai dua.Begitu juga dengan Tania dan Bryan yang juga ke luar dari kamarnya, ikut bertanya."Di...di...di...kamar Tuan," sambil menunjuk ke arah kamar Ramel.Mbok Inem terlihat ketakutan, tangannya gemetar, wajahnya pucat seperti mayat, bahkan bibirnya sulit untuk bicara.Bram berlari, ia mendorong pintu membukanya lebar-lebar. Keningnya mengerut melihat setiap sudut ruangan itu, tak ada yang aneh dan tak ada apa-apa. Di sana hanya ada Ramel yang tertidur pulas di atas tempat tidur.Tentu Bram dan yang lainnya bingung! Kenapa Mbok Inem berteriak dan ketakutan, sedangkan di kamar tidak ada yang aneh. Bram dan Amel segera mengangkat Ramel dari tempat tidur, membawanya ke ruang tamu yang terletak di lantai dua, begitu juga dengan yang lainnya.Bram menyodorkan air minum kepada Mbok Inem, memintanya untuk menenangkan diri. Setelah itu baru Bram bertanya, apa yang sebenarnya terjadi hingga membuatnya berteriak dan ketakutan."Mbok ken
Ramel tidak membuka mulut, rasa terharu sekaligus sedih membuat bibirnya kaku."Jadi untuk sementara waktu...." Melisa belum selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari lantai dua. Sontak membuat keduanya refleks meninggalkan ruang tamu menuju arah datangnya suara."Tidak, tidak, tidak." Teriakan itu menyambut Ramel dan Melisa."Ibu, ibu, ada apa ibu?" Melisa merangkul ibunya, wajahnya terlihat khawatir.Begitu juga dengan Ramel, pria tampan itu menarik Bella lalu memeluknya dengan erat. Menungkupkan wajah wanita cantik itu di dada bidangnya, sambil mengecup ujung kepala Bella dengan penuh kasih sayang.Setelah Bella sedikit tenang, Ramel mengajaknya duduk di sisi ranjang. Memberinya air mineral sambil berbicara dengan lembut."Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, aku merasakan sesuatu saat memasuki kamar ini," ucap Bella dengan wajah bingung.Ramel tersenyum tipis, "Apa kamu mengingat sesuatu?"Bella menggeleng, "Aku hanya merasa tidak asing dengan kamar ini, padahal
Dua hari telah berlalu, Ramel dan Tania sedang bersiap-siap untuk menemui wanita itu. Selama ini ayah satu anak itu benar-benar sibuk karena kliennya datang dari Singapura. "Kenan, kamu gak jadi ikut?" tanya Ramel saat tiba di meja makan.Dua hari yang lalu pria tampan berusia 17 tahun itu berjanji untuk ikut. Namun pagi ini ia masih terlihat mengenakan baju santai."Enggak Pah," jawab Kenan."Kenapa?" Tentu Ramel bertanya, apa alasan putranya tidak ikut!"Kenan merasa tidak enak badan Pah, kepalaku sedikit pusing.""Yasudah, kamu istirahat aja di rumah." Kali ini Tania yang membuka mulut.Ruangan itupun seketika hening, semua sibuk menikmati sarapannya masing-masing. Setelah itu Ramel dan Tania meninggalkan kediaman Wijaya bersama Lukas sopir kepercayaan keluarga Wijaya.Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, akhirnya mereka tiba. Tania memperhatikan rumah sederhana yang berdiri kokok di hadapannya. "Ayo Oma," ajak Ramel.Keduanya melangkah secara bersamaan, Ramel mengangkat sat
Tepat pukul satu siang, Ramel dan teman-temannya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Villa dan kembali ke kota. Sebenarnya mereka masih memiliki satu tujuan lagi, tetapi Ramel tiba-tiba ada urusan mendadak. Kliennya dari Singapura besok pagi sudah tiba di Indonesia."Mel, dari tadi Melisa kok gak kelihatan ya? Apa dia gak kerja?" tanya Alex sambil membantu Ramel memasukkan barang-barang ke dalam mobil."Dia shift malam, jadi udah pulang tadi pagi," jawab Ramel dengan jujur."Oh, pantas itu anak gak kelihatan," sahut Alex, "Oh iya, kamu tahu dari mana?" lanjutnya."Tadi aku yang mengantarnya pulang." Ramel menceritakan semuanya kepada Alex, ia juga mengatakan merasakan sesuatu saat melihat ibunya Melisa berdiri di depan jendela."Kenapa kamu gak singgah dulu?" Tentu Alex bertanya!"Segan sama tetangganya, soalnya di rumah itu gak ada laki-laki," dalih Ramel."Iya juga sih, tapi Melisa dan ibunya kapan ke Jakarta? Bukannya kamu menawarinya untuk jadi asisten rumah tangga di kediaman W
"Kamu baru lulus sekolah ya?" Ramel kembali bertanya."Iya Om," sahut singkat Melisa."Kalau baru lulus sekolah jangan langsung nikah, lanjut kuliah dulu. Pernikahan itu tidak seindah yang dibayangkan." Ramel seketika menjadi seorang ayah yang sedang menasehati putrinya."Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya jadi tukang masak, lebih baik cari laki-laki yang mapan lalu nikah." Jawaban melihat membuat Ramel dan teman-temannya tercengang.Melisa bicara dengan wajah polos tanpa sedikitpun tersenyum. Wanita cantik berusia 18 tahun itu sungguh-sungguh ingin menikah, terlihat dari sorot matanya saat menatap Ramel.Entah apa yang membuatnya ingin segera menikah, padahal usianya masih sangat muda."Gimana Om? Mau nikah dengan saya?" lanjut Melisa sembari bertanya.Ramel tersenyum mengejek, "Anak zaman sekarang selalu bertindak tanpa berpikir dulu. Kamu pikir pernikahan itu mainan? Lagipula aku tak mungkin menikah denganmu.""Kenapa gak mungkin Om? Yang penting kan, suka sama suka," p
Tujuh belas tahun telah berlalu, selama itu juga Ramel hidup dalam kesendirian, ia membesarkan Kenan bersama Tania yang saat ini sudah menginjak usia 67 tahun. Wanita tua itu sudah sering kali meminta Ramel untuk menikah, tetapi permintaannya selalu ditolak.Tania sudah mencoba menjodohkan beberapa wanita dari golongan atas kepala Ramel, tetapi pria tampan itu sama sekali tidak tertarik. Ia masih berharap Bella hidup dan kembali ke pelukannya."Ken," panggil Ramel yang duduk di ruang tamu bersama Tania.Kenan yang melangkah menuju pintu utama, terpaksa memutar langkah menghampiri ayah dan buyutnya."Iya Pah," sahut Kenan sambil menjatuhkan bokongnya di samping Tania."Besok pagi Papah mau touring ke luar kota, tolong jaga Buyut dan jangan pulang larut malam," pesan Ramel kepada putranya."Baik Pah, Kenan gak diajak Pah?" jawab Kenan sembari balik bertanya."Fokus dengan sekolahmu." Setelah mengatakan itu, Ramel bergegas meninggalkan ruang tamu.Kenan pun berpamitan kepada buyutnya, an
"Pantas saja ini tempat favorit mas Ramel, selain pemandangannya yang indah, suasananya juga terasa tenang," ucap Bella dengan nada lembut dan nyaris tak terdengar.Wanita satu anak itu memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari hidung dengan lembut, sambil menikmati sejuknya hembusan angin."Bella."Bella refleks membuka mata saat mendengar seseorang memanggil namanya, ia baru saja akan memutar kepala untuk melihat orang yang memanggilnya, tetapi dua telapak tangan sudah terlebih dahulu mendorong punggungnya dari belakang."Aaaaaahh...." teriak Bella yang terguling ke jurang hingga jatuh ke aliran air terjun.Saat itu juga Ramel terbangun dari tidurnya, seluruh kening pria tampan itu terlihat mengkilat akibat tetesan keringat, sehingga membuat Tania bingung dan terkejut ketika melihatnya ke luar dari kamar."Ramel, kamu kenapa?" tanya Tania yang sedang memberikan susu formula pada Kenan."Bella di mana Oma?" Bukannya menjawab, Ramel justru balik bertanya.
Setelah melepas hasrat sebanyak dua kali, Ramel dan Bella meninggalkan rumah pohon dan kembali ke Villa. Setibanya di sana, Tania langsung mengajak mereka untuk makan siang bersama. Wanita tua itu sudah menyiapkan beberapa menu di atas meja bersama pelayan.Makan siang kali ini sedikit berbeda, biasanya suasana di meja makan pasti akan hening karena tak ada yang boleh berbicara. Tetapi saat ini Ramel, Bella dan Tania menikmati makan siangnya sambil berbincang-bincang."Mel, Bel, malam ini Kenan biar tidur sama Oma aja ya?" ucap Tania sambil mengunyah makanannya.Iya, Ramel dan Bella menamai putranya Kenan Alexander Wijaya."Kenan setiap malam sering minta susu, nanti Oma jadi terganggu," sahut Bella."Enggak apa-apa, Oma gak merasa terganggu kok," ucap Tania.Wanita tua itu sengaja meminta Kenan tidur di kamarnya, agar Bella dan Ramel bisa berduaan menikmati liburannya. Dari awal Tania sudah menolak untuk ikut ke Villa, tetapi Bella memaksa."Yaudah, terserah Oma aja." Kali ini Ramel
Empat puluh hari telah berlalu, hari ini keluarga Wijaya sedang bersiap untuk liburan. Ramel akan memboyong keluarganya ke villa, seperti permintaan Bella waktu itu. Rencananya mereka akan menginap di sana selama satu Minggu."Mas," panggil Bella.Ramel yang melangk menuju pintu, menghentikan langkahnya lalu berputar menghadap Bella."Iya sayang," sahut Ramel dengan lembut."Sebabnya ada yang ingin aku bicarakan, Mas," ucap Bella dengan wajah serius.Ramel melangkah menghampiri istrinya yang duduk di sisi ranjang tepat di samping wanita cantik satu anak itu."Bicara apa sayang? Apa tentang liburan kita?" todong Ramel.Bella menggeleng, "Tidak mas, aku ingin bicara tentang pak Bara dan Mbok Inem," ucapnya.Ramel menghela napas, ia meraih tangan Bella lalu menggenggamnya dengan erat. Walupun Bella belum mengatakan apapun, Ramel sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh istrinya itu.Tentu tentang kejadian beberapa bulan yang lalu, di mana pak Bara dan Mbok Inem tiba-tiba mengkhianatinya
"Kenapa sayang?" tanya Ramel yang langsung memeluk Bella."Mas tega," bisik Bella."Bukan tega sayang, tapi Mas hanya mengikuti saran dari dokter," sahut Ramel yang juga berbisik.Akhirnya Bella mengikuti kemauan suaminya, ia mengijinkan dokter untuk melakukan tugasnya. Bella menggigit ujung baju Ramel untuk menahan rasa sakit yang luar biasa, bahkan lebih sakit dari melahirkan."Sudah Dok, saya gak kuat lagi," keluh Bella, akhirnya wanita cantik itu menyerah."Sebentar lagi ya Bu, tinggal satu jahitan lagi," sahut dokter. Wanita berjubah putih itu sengaja mengajak Bella bicara, untuk mengalihkan rasa sakitnya.Setelah 60 menit berlalu, Bella dipindahkan ke ruang inap begitu juga dengan bayi mungilnya. Wanita cantik itu sudah pasti menempati kamar President Suite.Ramel tak sedetikpun meninggalkan istri dan anaknya. Tatapnya tak lepas dari wajah tampan putranya, bayi mungil itu benar-benar mirip dengannya. Sungguh Ramel tak menyangka memiliki anak diusianya yang masih sangat muda, ia