Siang itu, Kota Mauva diselimuti angin sejuk yang berembus lembut, mengurangi terik matahari yang bersinar cerah.Ziandra berjalan di samping Kenzo menuju kedai es krim yang dia ceritakan tadi. Mereka menyusuri trotoar yang bersih, dengan deretan bangunan klasik yang menambah nuansa hangat di kota itu.“Kakak suka es krim rasa apa?” Kenzo membuka percakapan dengan nada ringan.Ziandra tersenyum tipis. “Aku suka rasa stroberi.”Kenzo mengangguk-angguk. “Manis dan segar, kayak Kakak.”Ziandra menoleh sambil mengernyit, namun dia tahu ini bagian dari gaya godaan Kenzo yang sudah terbiasa dia dengar. Dia memilih untuk tidak terpancing.Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di sebuah kedai es krim kecil di pojokan taman kota.Bangunannya sederhana, tapi penuh warna, dengan bangku-bangku kayu di terasnya.Aroma wafel segar menyeruak dari dalam, bercampur dengan wangi vanilla yang membuat perut Ziandra langsung terasa lapar.“Selamat datang!” sapa seorang wanita tua pemilik kedai de
Ziandra terkejut ketika tangan Aldric menggenggam erat pergelangannya, menariknya menjauh dari Kenzo yang hanya bisa menatap dengan wajah yang susah ditebak.“Pak—” Ziandra mencoba protes, namun Aldric tak menghiraukan.Pria itu berjalan cepat, membawanya ke sebuah sudut di taman hotel yang sepi. Pepohonan rindang dan gemericik air mancur kecil menciptakan suasana tenang, namun jantung Ziandra justru berdegup kencang.“Apa-apaan ini, Pak?” bisik Ziandra, berusaha menahan ketegangan.Aldric berbalik, berdiri di hadapannya. Mata pria itu menyorot tajam.“Kamu benar-benar membuatku kesal hari ini,” kata Aldric sambil memperkecil jarak antara mereka.Mata mereka bertemu dengan intens.Hal itu membuat napas Ziandra memburu, antara takut dilihat orang dan terdominasi oleh sikap Aldric.Ziandra menarik napas dalam. “Maaf, Pak. Saya hanya—”“Kenzo.” Aldric memotong. “Selalu Kenzo. Kamu tahu, aku bukan pria yang suka berbagi.”Ziandra menunduk, merasa terjepit di antara ayah dan anak. “Kami han
DEG! DEG! DEG!Detak jantung Ziandra seolah berpacu lebih cepat. Ucapan Aldric menelusup ke relung hatinya yang rapuh.Perhatian pria itu selama ini, sentuhan lembut di saat-saat mereka bersama, dan kini pengakuan jujurnya—semua itu perlahan meruntuhkan benteng pertahanan Ziandra.“Pak Aldric...” Suaranya nyaris bergetar.“Sstt...” Aldric meletakkan jari telunjuk di bibir Ziandra, lalu menggenggam kedua tangan wanita itu. “Kamu boleh marah. Boleh benci aku. Tapi aku tidak bisa abai lagi. Aku ingin kamu merasa aman... di sisiku.”Ziandra menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan hatinya. Setelah sekian lama terjebak dalam pernikahan dingin dengan Dion, dia nyaris lupa bagaimana rasanya diperhatikan dengan tulus.“Aku... Saya takut, Pak,” ucapnya pelan. “Ini… ini salah.”Aldric mendekat, begitu dekat hingga Ziandra bisa merasakan napas hangat pria itu di wajahnya.“Kalau kamu takut, aku akan pegang tanganmu. Kita hadapi bersama,” bisiknya.Ziandra tak mampu berkata-kata. Sorot mata Ald
Ziandra menegang. Tatapan tajam Aurelind menusuknya seperti belati dingin yang menyerang tanpa peringatan.Mereka berdiri di sudut lounge hotel yang cukup sepi, tempat Aurelind tiba-tiba menghadangnya saat dia baru saja kembali dari berjalan-jalan dengan Aldric. Wajah wanita itu datar, tapi ada ketidaksenangan yang jelas tergambar di sana."Bukankah sudah aku katakan sebelumnya seperti apa Aldric itu?" Aurelind melipat tangan di depan dada. "Tapi kulihat Anda malah semakin lengket dengannya."Ziandra tetap berusaha tenang, meskipun ada rasa tidak nyaman di dalam hatinya. "Saya tidak merasa seperti itu, Anda mungkin salah paham."Aurelind menyeringai kecil, jelas tidak percaya. "Oh, ayolah. Aku melihat bagaimana dia menatapmu, bagaimana kamu membiarkan dia menyentuhmu. Jangan bilang kau benar-benar berpikir dia mencintaimu?"Ziandra menggigit bibirnya. Apakah dia berpikir seperti itu? Dia tidak tahu. Yang jelas, setiap perhatian Aldric semakin membuatnya goyah."Aldric memang selalu se
"Anak saya mengidap leukemia, Dok? Kok bisa?"Ziandra Askara nyaris pingsan saat dokter spesialis anak memberitahu penyakit Clara, anaknya yang masih berusia 5 tahun. Dia sedang berada di dalam ruang dokter anak rumah sakit Mayapada.Dokter menjelaskan. "Berdasarkan hasil pemeriksaan, Clara mengidap Acute Lymphoblastic Leukemia atau ALL. Yaitu jenis leukemia akut yang biasa terjadi pada anak-anak."Di tangan Ziandra, terdapat dua kertas. Yaitu hasil pemeriksaan medis dari dokter Ilham dan satu lagi tagihan biaya rumah sakit Clara dari kasir. Dia mengerutkan kening saat membaca keduanya.Ziandra menatap dokter yang menangani anaknya. "Lalu, kenapa dia bisa pingsan, Dok?"Saat hendak pergi bekerja tadi, Clara jatuh pingsan. Dia panik dan membawanya ke rumah sakit dibantu ibu dan adiknya. Sedangkan Dionーsuaminya, tidak peduli.Dion kecanduan judi online selama satu tahun belakangan ini. Utang pinjaman online Dion menggunung. Tidak terasa, Ziandra mulai menangis. Hatinya benar-benar hancu
“Tolong … pinjami saya uang, Pak!” Ziandra mengulangi permohonannya karena tak juga dia mendengar sahutan dari Aldric. “Sa-satu miliar rupiah ….” Suaranya seperti mencicit karena gugup, malu, dan ragu ketika mengatakannya.Awalnya dia hendak meminjam Rp100 juta, tapi mendadak dia berubah pikiran dan menyatakan nominal Rp1 miliar ke Aldric. Dia pikir, uang sebanyak itu bisa mencukupi seluruh biaya pengobatan anaknya.‘Aku tak peduli dianggap terlalu serakah. Ini semua demi Clara!’ seru batinnya.Jantungnya berdegup kencang menanti jawaban bosnya. Dia tahu, permintaannya sangat keterlaluan. Mana ada karyawan meminjam sebanyak itu? Terlebih lagi, dia bukan jajaran eksekutif. Apakah dia akan menerima semburan marah bosnya? Ziandra ingin menangis. “Kenapa jumlahnya sebesar itu?” Suara Aldric meninggi tanpa berteriak. Tentu saja dia sangat terkejut mendengar nominal yang disebutkan kepala sekretarisnya. Mana ada bawahannya yang berani meminjam sebanyak itu?Ziandra meremas erat tangannya
‘Uff! Lelahnya! Bos sialan! Satu jam lebih dia mengerjai aku!’ rutuk Ziandra di hatinya sambil berjalan lunglai di lorong rumah sakit.Masih teringat jelas bagaimana Aldric sangat buas dan agresif ketika menyetubuhinya. Badannya terasa remuk akibat kegilaan sang Bos. Tadi mengendarai motor pun, nyaris menabrak beberapa kali.Dia kembali ke rumah sakit hanya untuk memastikan anaknya masuk ke ruang operasi dan kemudian pulang ke rumah untuk mandi. Untung saja Susan dan Namila mau menunggui Clara menjalani operasi.“Aku harus mandi … aku butuh mandi!” tegasnya, berbisik sambil mengemudikan motor ke rumah.Selama ini, dia masih menempati rumah orang tuanya bersama Dion dan Clara. Mereka belum memiliki rumah sendiri. Dulu dia hendak mengontrak sebuah rumah kecil agar mandiri, tapi Dion tak setuju. Dion lebih suka tinggal di rumah mertua yang cukup lapang dan nyaman.Tiba di rumah, dia melihat suaminya masih asyik bermain game online di sofa.Dia harus bersikap senormal mungkin di depan sua
‘Satu hal yang aku pelajari sekarang … jangan terburu-buru menilai seorang pria dari sikap baik yang ditampilkan di publik.’ Ziandra membatin, merasa tertipu.Dia berjalan gontai di lorong rumah sakit. Setiap selesai melayani Aldric, dia selalu merasa dirinya tak pantas ada di dunia ini. Malu kepada suami dan juga keluarga.Hanya karena tekad besar menyembuhkan anaknya yang membuat dia terus bertahan menjalani kegilaan yang sama sekali belum pernah dia rambah.“Kamu kenapa, Zia?” tanya Susan ketika putri sulungnya sudah tiba di depan ruang tunggu operasi. “Mukamu pucat begitu. Kamu sudah makan?”Ziandra lekas duduk di bangku panjang dan menjawab, “Sudah, Ma. Mukaku pucat … mungkin karena lelah, Ma.”Ya, dia lelah karena kegilaan Aldric.“Mila di mana?” tanya Ziandra ketika tidak melihat adiknya menemani Susan.“Dia baru saja pergi, katanya mau live di Tik Tak, makanya pulang lebih dulu.” Susan menyahut.Ziandra menghela napas. Tak habis pikir dengan kelakuan adiknya.“Bocah itu … dulu
Ziandra menegang. Tatapan tajam Aurelind menusuknya seperti belati dingin yang menyerang tanpa peringatan.Mereka berdiri di sudut lounge hotel yang cukup sepi, tempat Aurelind tiba-tiba menghadangnya saat dia baru saja kembali dari berjalan-jalan dengan Aldric. Wajah wanita itu datar, tapi ada ketidaksenangan yang jelas tergambar di sana."Bukankah sudah aku katakan sebelumnya seperti apa Aldric itu?" Aurelind melipat tangan di depan dada. "Tapi kulihat Anda malah semakin lengket dengannya."Ziandra tetap berusaha tenang, meskipun ada rasa tidak nyaman di dalam hatinya. "Saya tidak merasa seperti itu, Anda mungkin salah paham."Aurelind menyeringai kecil, jelas tidak percaya. "Oh, ayolah. Aku melihat bagaimana dia menatapmu, bagaimana kamu membiarkan dia menyentuhmu. Jangan bilang kau benar-benar berpikir dia mencintaimu?"Ziandra menggigit bibirnya. Apakah dia berpikir seperti itu? Dia tidak tahu. Yang jelas, setiap perhatian Aldric semakin membuatnya goyah."Aldric memang selalu se
DEG! DEG! DEG!Detak jantung Ziandra seolah berpacu lebih cepat. Ucapan Aldric menelusup ke relung hatinya yang rapuh.Perhatian pria itu selama ini, sentuhan lembut di saat-saat mereka bersama, dan kini pengakuan jujurnya—semua itu perlahan meruntuhkan benteng pertahanan Ziandra.“Pak Aldric...” Suaranya nyaris bergetar.“Sstt...” Aldric meletakkan jari telunjuk di bibir Ziandra, lalu menggenggam kedua tangan wanita itu. “Kamu boleh marah. Boleh benci aku. Tapi aku tidak bisa abai lagi. Aku ingin kamu merasa aman... di sisiku.”Ziandra menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan hatinya. Setelah sekian lama terjebak dalam pernikahan dingin dengan Dion, dia nyaris lupa bagaimana rasanya diperhatikan dengan tulus.“Aku... Saya takut, Pak,” ucapnya pelan. “Ini… ini salah.”Aldric mendekat, begitu dekat hingga Ziandra bisa merasakan napas hangat pria itu di wajahnya.“Kalau kamu takut, aku akan pegang tanganmu. Kita hadapi bersama,” bisiknya.Ziandra tak mampu berkata-kata. Sorot mata Ald
Ziandra terkejut ketika tangan Aldric menggenggam erat pergelangannya, menariknya menjauh dari Kenzo yang hanya bisa menatap dengan wajah yang susah ditebak.“Pak—” Ziandra mencoba protes, namun Aldric tak menghiraukan.Pria itu berjalan cepat, membawanya ke sebuah sudut di taman hotel yang sepi. Pepohonan rindang dan gemericik air mancur kecil menciptakan suasana tenang, namun jantung Ziandra justru berdegup kencang.“Apa-apaan ini, Pak?” bisik Ziandra, berusaha menahan ketegangan.Aldric berbalik, berdiri di hadapannya. Mata pria itu menyorot tajam.“Kamu benar-benar membuatku kesal hari ini,” kata Aldric sambil memperkecil jarak antara mereka.Mata mereka bertemu dengan intens.Hal itu membuat napas Ziandra memburu, antara takut dilihat orang dan terdominasi oleh sikap Aldric.Ziandra menarik napas dalam. “Maaf, Pak. Saya hanya—”“Kenzo.” Aldric memotong. “Selalu Kenzo. Kamu tahu, aku bukan pria yang suka berbagi.”Ziandra menunduk, merasa terjepit di antara ayah dan anak. “Kami han
Siang itu, Kota Mauva diselimuti angin sejuk yang berembus lembut, mengurangi terik matahari yang bersinar cerah.Ziandra berjalan di samping Kenzo menuju kedai es krim yang dia ceritakan tadi. Mereka menyusuri trotoar yang bersih, dengan deretan bangunan klasik yang menambah nuansa hangat di kota itu.“Kakak suka es krim rasa apa?” Kenzo membuka percakapan dengan nada ringan.Ziandra tersenyum tipis. “Aku suka rasa stroberi.”Kenzo mengangguk-angguk. “Manis dan segar, kayak Kakak.”Ziandra menoleh sambil mengernyit, namun dia tahu ini bagian dari gaya godaan Kenzo yang sudah terbiasa dia dengar. Dia memilih untuk tidak terpancing.Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di sebuah kedai es krim kecil di pojokan taman kota.Bangunannya sederhana, tapi penuh warna, dengan bangku-bangku kayu di terasnya.Aroma wafel segar menyeruak dari dalam, bercampur dengan wangi vanilla yang membuat perut Ziandra langsung terasa lapar.“Selamat datang!” sapa seorang wanita tua pemilik kedai de
“Astaga!” Ziandra sampai tak sadar memekik tertahan ketika dia mendengar suara Kenzo yang seriang matahari.Lekas saja dia mendorong Aldric.“Omak!” Aldric sampai menjerit tertahan.Bruk!Tubuh Aldric meluncur terjengkang ke lantai, sangat tidak elegan.“Kenapa ditendang, Zia?” Aldric mengusap-usap pantatnya sambil bangkit berdiri.Ziandra tak menggubis ucapan Aldric dan memilih untuk lari ke kamar mandi. Terlebih ketika bel pintu kamar suite Aldric terus berbunyi.Klak!“Apa maumu?” tanya Aldric pada putranya setelah pintu dibuka.Sedangkan di depan pintu, Kenzo menampilkan wajah jenaka sambil mengerling nakal ke ayahnya.“Pasti ada Kakak Cantik di dalam, iya kan?” tanya Kenzo.“Apa pedulimu? Sana kembali ke mamamu!” Wajah Aldric cemberut.Ketika dia sudah nyaris mendapatkan limitnya, tiba-tiba saja gangguan datang.Tak peduli hadangan ayahnya, Kenzo tetap merangsek masuk ke dalam kamar dan melongok ke kanan serta ke kiri, seakan mencari sesuatu.“Kakak Cantik? Yuhu, Kakak? Ziandra,
Aldric menghela napas, mencoba menenangkan anaknya. “Kenzo, ini urusan bisnis. Ziandra adalah asisten pribadiku.”Kenzo tidak percaya. “Bisnis? Pa, aku bukan bocah 10 tahun lalu yang mudah kamu perdaya. Aku tahu ada sesuatu yang lebih dari itu.”Aldric menatap Ziandra, matanya penuh arti. “Kenzo, kita akan membicarakan ini nanti. Sekarang, fokuslah pada pekerjaanmu yang aku berikan.”Setelah menutup ponsel, Aldric menatap Ziandra dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kenzo mulai curiga.”Tidak perlu diragukan lagi. Bahkan Aurelind pun sudah sejak awal mencurigai hubungan aneh mereka.Apakah memang terlalu kentara?Ziandra merasa tidak nyaman. “Mungkin kita harus menjaga jarak, Aldric. Saya tidak ingin menjadi masalah antara kalian.”Dia sudah hendak melepaskan diri dari rengkuhan Aldric, tapi pria itu semakin menariknya ke dekapan tanpa dia bisa melawan.Aldric menggeleng. “Tidak, Zia. Tidak akan ada satu pun orang yang bisa mengendalikanku kecuali diriku sendiri. Akan kupastikan Kenzo
“Hm….”Ziandra berdiri di balkon suite hotel mewah di tengah kota Mauva, menatap pemandangan kota yang diterangi lampu-lampu gemerlap.Udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya, tapi tidak mampu mendinginkan pikiran yang bergejolak.‘Oke, tenangkan diri, ingat kalau ini hanyalah perjalanan bisnis.’ Dia membatin.Tapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa ada lebih dari sekadar bisnis yang terjadi antara dia dan Aldric.Aldric, dengan arogansi dan karismanya yang tak terbantahkan, telah membawanya ke sini—bukan hanya sebagai asisten pribadi, tapi juga sebagai bagian dari perjanjian yang mengikat mereka.‘Tidak, tak boleh begitu. Bisa kacau semua nanti.’ Dia sambil menggelengkan kepala.Ziandra mencoba menolak, mencoba melawan perasaan yang mulai tumbuh, tapi setiap kali Aldric mendekat, dia merasa seperti terperangkap dalam jaring yang tak bisa dia lepaskan.Pintu suite terbuka, dan Ziandra tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang masuk. Langkah kaki yang mantap, aura yang kuat—itu pasti A
“Sshh….” Aldric justru tidak menginginkan adanya jawaban berikutnya dari Ziandra.Mungkin saja pria itu takut jika apa yang keluar dari mulut Ziandra bukanlah sesuatu yang bisa diterima oleh perasaannya.Maka, dia hanya perlu meneruskan cumbuan lembutnya. Pagutan demi pagutan… lumatan demi lumatan terus ada secara halus dan perlahan.Ini sungguh menghanyutkan Ziandra.‘Aku… entah kenapa, aku suka yang seperti ini dari Pak Aldric. Ya ampun! Apa yang aku pikirkan?! Aku masih istri Mas Dion! Aku… aku….’ Ziandra bahkan kehabisan kata-kata di benaknya.Alih-alih ingin mendorong Aldric agar menyudahi cumbuan berbahaya itu, dia justru memeluk pria itu dan mencengkeram bagian belakang jas Aldric seraya matanya masih terkatup, membawa nuansa kepasrahan hakiki.‘Bodoh! Bodoh! Tololnya aku!’ Dia terus merutuki dirinya sendiri.Perbuatannya tentu akan menimbulkan persepsi berbeda dari Aldric.Sesuai yang dia khawatirkan, Aldric mulai menginginkan lebih dari sekedar ciuman ketika Ziandra memberika
‘Ayo, otak! Cobalah berpikir! Aku tak mau salah menjawab yang bisa mengakibatkan hubungan kami makin aneh!’Angin laut berhembus kencang, membawa aroma asin yang khas. Suara deburan ombak di bawah tebing seolah menjadi latar dari ketegangan yang menguar di antara mereka.Ziandra menatap Aldric yang berdiri begitu dekat, matanya penuh dengan keteguhan yang dia coba pertahankan."Apa kamu masih akan memilih tetap berada di sisiku… setelah semua yang kamu dengar dari Aurelind?" Itu adalah pertanyaan dari Aldric.Ziandra merasakan dadanya bergetar. Pertanyaan itu menggantung di udara, menuntut jawaban yang seharusnya mudah dia berikan.Tidak!Seharusnya dia mengatakan tidak.Seharusnya dia mengingat semua yang telah dia dengar dari Aurelind. Bahwa Aldric bukan pria baik. Bahwa Aldric adalah pria yang senang bermain dengan wanita, bergonta-ganti tanpa merasa cukup dengan satu orang. Bahwa dia seharusnya menjauh sebelum dirinya ikut hancur.Namun, lidahnya kelu."Ziandra." Suara Aldric lebi