"Oh, nggak apa-apa, Bu. cuma sedikit kedinginan," jawab Mayang sambil tersenyum lemah di balik maskernya, berusaha menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. Di dalam dirinya, getaran itu semakin kuat, membuatnya basah dan semakin gelisah.
Mayang merasa tubuhnya hampir meledak dari dalam. Getaran lembut dari wireless egg vibrator di dalam dirinya terus membesar, menggoda saraf-sarafnya hingga ia hampir tidak bisa berdiri tegak. Saat mereka duduk di kios jagung itu, Valdi terus memainkan alat tersebut, menyalakan dan mematikannya secara acak, membuat Mayang tidak bisa tenang.
“Mas…,” desah Mayang dengan suara pelan saat ia memberikan kopi kepada Valdi, tubuhnya gemetar halus.
Valdi hanya tersenyum, menerima kopi i
"Mayang...," desah Valdi, suaranya terdengar serak. Tubuhnya bergetar saat merasakan kehangatan dari bibir Mayang yang perlahan membungkus dirinya. Satu tangannya masih memegang kemudi, sementara tangan lainnya secara otomatis terbenam di rambut Mayang, mengarahkan gerakannya dengan lembut namun penuh hasrat.Mayang, yang sudah terlalu tenggelam dalam hasratnya, mulai bergerak lebih intens. Bibir dan lidahnya bekerja dengan terampil, menikmati setiap respons yang ia terima dari Valdi. Ia tahu bahwa Valdi ingin menahan diri, namun kali ini, Mayang yang mengambil kendali. Setiap gerakan yang ia lakukan membuat Valdi semakin mendesah, semakin sulit menahan diri.Valdi, yang kini merasakan setiap inci dari gairah Mayang, mendesah lebih keras, tubuhnya merespons setiap sentuhan yang diberikan gadis itu."Sayang...
Sepanjang waktu di restoran, Valdi tidak henti-hentinya menggoda Mayang. Setiap kali Mayang mencoba menikmati makanan atau berbicara dengan pelayan, Valdi dengan diam-diam menyalakan wireless egg vibrator yang tersembunyi di dalam tubuh gadis itu. Getaran yang tiba-tiba itu membuat Mayang tersentak kecil, menahan desahan yang nyaris terdengar. Namun, ketika ia berbalik menatap Valdi dengan pandangan memohon, Valdi hanya menatapnya dengan senyum nakal dan pura-pura tidak bersalah.“Mas… please… jangan sekarang,” bisik Mayang dengan suara pelan, sambil berusaha keras menjaga wajahnya tetap tenang.Valdi hanya mengedipkan mata. “Nggak apa-apa, Sayang. Mas cuma mau bikin kamu enak,” balasnya, lalu kembali menyalakan getaran itu tepat saat May
Hari itu adalah awal perkuliahan bagi Mayang, meski masih dalam situasi PPKM, sehingga semua kegiatan belajar dilakukan secara online melalui Z00m. Dengan penuh semangat, Mayang mempersiapkan diri. Senyum cerah menghiasi wajahnya, karena hari ini adalah langkah pertama menuju dunia baru sebagai mahasiswi. Untuk sementara, ia menggunakan laptop milik Valdi, yang dengan perhatian khusus telah menyiapkan ruang tersendiri agar Mayang bisa fokus mengikuti perkuliahan.Pagi itu, Valdi berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikan Mayang yang tengah serius menyimak materi dari dosennya. Sambil menyeruput kopi, ia tersenyum melihat antusiasme Mayang. Sesekali, tatapan mata Mayang dan Valdi bertemu, dan mereka saling melempar senyum kecil—semacam isyarat keakraban di antara mereka.Namun, di tengah ketenangan suasana pagi itu, mata Valdi tertarik ke arah kaki Mayan
"Mayang... kamu bener-bener nggak bisa nunggu, ya?" bisik Valdi dengan nada menggoda, sementara tangannya memegang erat pinggul Mayang, menariknya lebih dekat. Matanya penuh dengan ketertarikan, mengamati bagaimana Mayang benar-benar telah menyerah pada hasratnya.Mayang tidak menjawab, hanya merespons dengan tatapan penuh keinginan yang mendalam. Ia mulai menggoyangkan pinggulnya perlahan di atas pangkuan Valdi, menikmati sensasi yang perlahan memenuhi setiap bagian tubuhnya. Setiap gerakan terasa seperti pelepasan dari semua rasa malu dan ketegangan yang tadi ia rasakan di depan laptop.Tubuh Mayang terus menggeliat di atas pangkuan Valdi. Gerakannya semakin liar, napasnya semakin tersengal. Tangan Valdi mencengkeram erat pinggul Mayang, memandu setiap gerakan dengan sentuhan yang dalam dan memabukkan. Kenikmatan yang ia rasakan telah melampaui batas logika;
Mayang memang memiliki sifat pelupa, dan salah satunya adalah ketika ia sering kali lupa mematikan laptop setelah digunakan. Suatu hari, Valdi melihat laptop yang digunakan Mayang masih menyala, meski seharusnya sudah dimatikan sejak tadi. Ia menghela napas panjang, lalu memanggil Mayang yang berada di ruangan lain.“Mayang, sini deh,” panggil Valdi dengan nada tegas.Mayang yang sedang sibuk merapikan barang-barang di ruang tamu segera menghampirinya. “Iya, Mas? Ada apa?”Valdi menunjuk ke arah laptop yang masih menyala di meja. “Ini kenapa laptop-nya nggak dimatikan lagi? Udah beberapa kali loh aku ingetin,” tegurnya dengan lembut namun serius, menatap Mayang yang terlihat sedikit bingung.“Oh... iya, aduh maaf, Mas. Aku lupa l
Malam itu, setelah seharian penuh dengan tugas kuliah dan pekerjaan rumah, Mayang terlihat sedikit kelelahan. Saat mereka berdua duduk di sofa, Mayang menyandarkan kepalanya di dada Valdi. Matanya setengah terpejam, tubuhnya bersandar lemas, mencari kenyamanan dalam kehangatan tubuh Valdi yang selalu membuatnya merasa tenang.Valdi merasakan kelelahan Mayang dan dengan lembut membelai rambutnya. “Sayang capek ya?” tanyanya dengan suara lembut, mencoba memahami apa yang Mayang rasakan.“Sedikit, Mas,” jawab Mayang, nadanya terdengar sedikit lesu, menandakan kelelahan yang ia rasakan setelah seharian bekerja tanpa henti.“Mas tuh sebetulnya nggak tega, lihat kamu ngepel, cuci baju, terus harus masak lagi,” katanya dengan nada penuh perhatian, jarinya masih bermain lembut di rambut M
Sugeng yang duduk di sisi lain hanya tersenyum sambil sesekali melirik Valdi dan Sarah, seolah mengetahui sesuatu yang Mayang tidak paham. Sementara itu, Sarah terus memfokuskan pandangannya pada Valdi, tatapannya seperti undangan terselubung, membuat suasana di ruangan itu terasa lebih panas meski udara di luar tidaklah sepanas itu.Valdi, meskipun terkesan tenang, bisa merasakan ketegangan yang mulai muncul dari Mayang di sampingnya. Namun, ia tetap melanjutkan pertanyaannya, sengaja membiarkan situasi ini berkembang. “Tentu saja, saya harap kamu juga bisa rukun dengan Mayang. Dia akan jadi teman kerjamu di sini.”Sarah menatap Mayang sejenak, senyum tipis yang penuh arti masih menempel di bibirnya. “Oh, saya yakin kita akan bisa rukun. Saya siap melakukan apapun untuk membuat semuanya berjalan lancar,” jawabnya, tapi tatapannya kembal
Valdi menatap Mayang dengan lembut namun penuh makna, senyum tipis yang tak pernah benar-benar hilang dari wajahnya. “Nggak ada yang kurang, Sayang, beneran,” jawab Valdi. Mayang semakin mendesak, perasaan cemasnya tak lagi bisa ditahan.“Ayo donk mas.. kasih tahu Mayang.. please, kalau enggak Mayang perkosa nihh" lirih Mayang sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya membuat batang valdi mengeras.Valdi hanya tertawa kecil, menikmati setiap gerakan berani Mayang di pangkuannya. Tangannya bergerak perlahan, membelai rambut gadis itu dengan penuh kelembutan, sementara matanya tetap terpaku pada wajah Mayang yang kini dipenuhi dengan tekad dan keinginan yang sulit disembunyikan.“Mayang, sayang... nggak perlu sampai seperti itu,” bisiknya lembut, nada suaranya penuh dengan ketenangan y
Dalam keremangan ruangan, suasana semakin panas tanpa disadari oleh sebagian dari mereka. Sarah, yang duduk terpisah di sofa, mulai tak bisa mengendalikan dirinya. Tanpa sadar, tangannya perlahan-lahan mulai mengesek-gesek klitorisnya dengan jari, gerakannya pelan dan sembunyi-sembunyi. Bibir bawahnya tergigit, napasnya semakin memburu seiring dengan gairah yang mulai menguasainya. Keringat halus mulai muncul di dahinya, meskipun AC di ruangan itu terasa dingin, tapi seolah tak bisa menyejukkan suhu tubuh Sarah yang semakin memanas.Di sisi lain, Celine dengan pesonanya yang karismatik sudah berhasil mengendalikan Mayang. Mereka berdua duduk berdekatan, semakin terlibat dalam ciuman yang mesra. Namun, dari raut wajah Mayang, tampak ada sedikit keraguan yang masih tertinggal. Dia masih terjebak di antara ketidakpastian dan sensasi baru yang sedang ia rasakan.Va
Sudah beberapa hari, paket demi paket berdatangan ke rumah Valdi. Setiap kotak yang tiba membawa peralatan, dekorasi, dan perlengkapan khusus yang sudah ia rencanakan dengan detail. Semua itu untuk satu tujuan—menyiapkan sebuah ruangan istimewa di lantai tiga. Pengalaman intensnya bersama Sarah, terutama bagaimana ia bisa mendominasi sepenuhnya, memicu keinginan yang lebih besar dalam dirinya. Dia menginginkan lebih.Ruangan yang ia ciptakan bukan hanya ruang biasa; Namun ruangan dominasi dengan sentuhan artistik. Ia memastikan bahwa setiap detail terpenuhi dengan sempurna—mulai dari furnitur khusus hingga perlengkapan BDSM yang dirancang tidak untuk menyakiti, melainkan untuk menambah intensitas tanpa melukai.Furnitur yang ia pilih menonjolkan kesan otoritas; ada kursi besar dengan pengekang yang terletak di tengah ruangan, beberapa rantai yang di
Celine hanya mengerang pelan, tubuhnya bergetar, hampir tidak bisa memproses pertanyaan itu sepenuhnya."Ah... ahh... mmmhh... di dalem aja," jawabnya dengan suara serak, matanya terbuka sedikit, melihat Valdi dengan penuh keinginan.Valdi, meski sudah berada di ambang kenikmatan, masih merasa ragu. "Aman, berarti?" tanyanya sekali lagi, pinggulnya tetap bergerak, meski perlahan.Celine, sudah di ambang batas kesabarannya, mengerang lebih keras, tubuhnya menegang di bawah Valdi."Udah, jangan banyak omong... di dalem aja, please," pintanya, suaranya mendesak dan penuh gairah, seolah tidak ada yang lebih penting daripada Valdi yang menyelesaikan segalanya bersamanya.Namun Valdi masih ragu, meski tubuhnya semakin sulit d
"Valdi sayang cium gue, please…" bisiknya dengan putus asa, suaranya hampir tak terdengar di tengah desahannya yang semakin intens. Bibir mereka bertemu lagi, dan dalam sekejap, Valdi membalas ciuman itu dengan penuh gairah, mendalam dan panas. Ciuman mereka serasa membakar, napas mereka bercampur, tubuh mereka terus bergerak bersama, hingga akhirnya Celine tak bisa lagi menahan ledakan yang sudah lama ia rasakan.Tubuhnya melengkung, suara kenikmatan keluar dari bibirnya tanpa henti, sementara Valdi terus menghantam, membawanya melewati batas tertinggi dari kenikmatan itu.Celine terbaring dengan napas yang masih terengah-engah, tubuhnya bergetar halus di antara sisa-sisa kenikmatan yang baru saja ia capai. Matanya terpejam, merasakan denyut pelan di sekujur tubuhnya yang masih dipenuhi dengan sensasi luar biasa. Batang Valdi masih berada di dalam luban
Valdi menatap Celine dengan ekspresi yang agak bingung. "Dari kecil? Lo beda 6 tahun sama gue, itil. Gue kuliah ke Singapura, lo masih SMP," jawabnya, dia tak pernah membayangkan bahwa perasaan Celine ini sudah berkembang sejak dulu."Tau, anjing..." Celine menjawab cepat, emosinya semakin keluar. "Gue dari kecil mepet terus sama loe. Loe beneran nggak nyadar?" suaranya mulai terdengar getir, hampir seperti tangisan yang ditahan.Matanya berkaca-kaca, dan tanpa sadar, air mata mulai menetes di pipinya. "Loe nggak pernah liat gue?""Tau lah gue, balik dari Singapura pas loe mau kuliah," jawab Valdi, mencoba menjelaskan, meskipun ia terdengar ragu. "Cuman kan...""Cuman kenapa?" desaknya, suaranya penuh dengan emosi yang tak tertahankan.
Jam menunjukkan pukul 9:30 malam ketika Celine berjalan menuju balkon di ruang kerja Valdi. Dari jauh, dia bisa melihat Valdi sedang duduk di sofa, wajahnya terlihat seperti merenung, pandangannya lurus ke arah gelap malam yang terbentang di depan mereka. Celine, yang penasaran, segera menghampirinya dan duduk di sebelahnya dengan sikap santai."Val, kok jam segini udah pada tidur? Padahal masih awal malam," tanya Celine dengan nada bingung, sambil melirik ke arah pintu kamar yang tertutup.Valdi, yang semula tenggelam dalam pikirannya, tersentak sedikit dari lamunannya. "Eh, Lin," katanya pelan, suaranya terdengar tenang namun sedikit berat."Pada kecapean kali, biarin aja," jawab Valdi santai, meskipun dalam pikirannya, dia tahu alasan sebenarnya. Dia telah memasukkan obat tidur ke dalam minuman Mayang dan Sarah s
"Eh, anjing... buat loe, apa sih yang enggak?" balasnya, menggoda Valdi dengan cara yang hanya mereka berdua pahami."Ah, dari dulu cuma ngomong doang," balasnya santai, seolah menantang Celine untuk membuktikan kata-katanya.Namun, tawa Celine perlahan meredup, menggantinya dengan nada yang lebih serius. "Kasian gue liat lo sekarang, Val. Sampe segitunya ditinggal Anya, loe jatuh cinta banget sama dia, ya?" tanyanya, mencoba meraba perasaan Valdi yang sebenarnya, meskipun ia tahu Valdi benci menunjukkan kelemahannya.Wajah Valdi berubah sedikit dingin. "Udahhhh... males gue ngomongin. Bikin ngedrop aja," jawabnya, suaranya sedikit lebih keras, jelas tak ingin membahas Anya lagi.Tiba-tiba, Celine naik ke pangkuan Valdi, tanpa basa-basi, tangannya melingkar di leher Vald
Valdi menatap ponselnya yang masih berdering ketika ia sampai di lantai dua. Nama Celine muncul di layar, sepupu Valdi yang dikenal sebagai seorang model terkenal. Celine adalah seorang lesbian dengan kepribadian yang kuat, sisi feminimnya sangat menonjol, namun di balik itu, ada kecerdasan dan kedalaman yang membuatnya semakin menarik. Valdi mengangkat teleponnya dengan senyum kecil.Valdi: "Halo, Lin?"Celine: "Kampret, lama amat angkat telepon!"Valdi: "Sorry, tadi di bawah, HP gue taro di atas. Kenapa, Lin?"Celine: "Gue mau ke sana ya, mumpung lagi di Jakarta."Valdi: "Boleh, asal n
Mayang, yang sudah sepenuhnya terperangkap dalam gairah, merangkul Valdi erat sambil menggoyangkan tubuhnya semakin cepat. Dengan mata setengah terpejam, ia sengaja mempertontonkan kemesraan yang mereka lakukan kepada Sarah."Mas Valdi... aku sayang Mas... ahhh... ahh...," desah Mayang, suaranya manja dan penuh gairah. Tubuhnya menggeliat liar di atas Valdi, setiap gerakannya diatur untuk membuat Valdi semakin terhanyut.Valdi tersenyum tipis, menikmati bagaimana Mayang mempertontonkan dirinya dengan sengaja di hadapan Sarah, seolah ingin menunjukkan siapa yang paling berkuasa di antara mereka. Tangannya menggenggam erat pinggul Mayang, membimbingnya dengan setiap hentakan yang semakin kuat. Sementara itu, Valdi tetap memerhatikan Sarah yang kini sudah benar-benar terperangkap dalam hasratnya sendiri, Sarah yang tak mampu lagi menahan diri, kedua jarinya