Jam menunjukkan pukul 9:30 malam ketika Celine berjalan menuju balkon di ruang kerja Valdi. Dari jauh, dia bisa melihat Valdi sedang duduk di sofa, wajahnya terlihat seperti merenung, pandangannya lurus ke arah gelap malam yang terbentang di depan mereka. Celine, yang penasaran, segera menghampirinya dan duduk di sebelahnya dengan sikap santai.
"Val, kok jam segini udah pada tidur? Padahal masih awal malam," tanya Celine dengan nada bingung, sambil melirik ke arah pintu kamar yang tertutup.
Valdi, yang semula tenggelam dalam pikirannya, tersentak sedikit dari lamunannya. "Eh, Lin," katanya pelan, suaranya terdengar tenang namun sedikit berat.
"Pada kecapean kali, biarin aja," jawab Valdi santai, meskipun dalam pikirannya, dia tahu alasan sebenarnya. Dia telah memasukkan obat tidur ke dalam minuman Mayang dan Sarah s
Valdi menatap Celine dengan ekspresi yang agak bingung. "Dari kecil? Lo beda 6 tahun sama gue, itil. Gue kuliah ke Singapura, lo masih SMP," jawabnya, dia tak pernah membayangkan bahwa perasaan Celine ini sudah berkembang sejak dulu."Tau, anjing..." Celine menjawab cepat, emosinya semakin keluar. "Gue dari kecil mepet terus sama loe. Loe beneran nggak nyadar?" suaranya mulai terdengar getir, hampir seperti tangisan yang ditahan.Matanya berkaca-kaca, dan tanpa sadar, air mata mulai menetes di pipinya. "Loe nggak pernah liat gue?""Tau lah gue, balik dari Singapura pas loe mau kuliah," jawab Valdi, mencoba menjelaskan, meskipun ia terdengar ragu. "Cuman kan...""Cuman kenapa?" desaknya, suaranya penuh dengan emosi yang tak tertahankan.
"Valdi sayang cium gue, please…" bisiknya dengan putus asa, suaranya hampir tak terdengar di tengah desahannya yang semakin intens. Bibir mereka bertemu lagi, dan dalam sekejap, Valdi membalas ciuman itu dengan penuh gairah, mendalam dan panas. Ciuman mereka serasa membakar, napas mereka bercampur, tubuh mereka terus bergerak bersama, hingga akhirnya Celine tak bisa lagi menahan ledakan yang sudah lama ia rasakan.Tubuhnya melengkung, suara kenikmatan keluar dari bibirnya tanpa henti, sementara Valdi terus menghantam, membawanya melewati batas tertinggi dari kenikmatan itu.Celine terbaring dengan napas yang masih terengah-engah, tubuhnya bergetar halus di antara sisa-sisa kenikmatan yang baru saja ia capai. Matanya terpejam, merasakan denyut pelan di sekujur tubuhnya yang masih dipenuhi dengan sensasi luar biasa. Batang Valdi masih berada di dalam luban
Celine hanya mengerang pelan, tubuhnya bergetar, hampir tidak bisa memproses pertanyaan itu sepenuhnya."Ah... ahh... mmmhh... di dalem aja," jawabnya dengan suara serak, matanya terbuka sedikit, melihat Valdi dengan penuh keinginan.Valdi, meski sudah berada di ambang kenikmatan, masih merasa ragu. "Aman, berarti?" tanyanya sekali lagi, pinggulnya tetap bergerak, meski perlahan.Celine, sudah di ambang batas kesabarannya, mengerang lebih keras, tubuhnya menegang di bawah Valdi."Udah, jangan banyak omong... di dalem aja, please," pintanya, suaranya mendesak dan penuh gairah, seolah tidak ada yang lebih penting daripada Valdi yang menyelesaikan segalanya bersamanya.Namun Valdi masih ragu, meski tubuhnya semakin sulit d
Sudah beberapa hari, paket demi paket berdatangan ke rumah Valdi. Setiap kotak yang tiba membawa peralatan, dekorasi, dan perlengkapan khusus yang sudah ia rencanakan dengan detail. Semua itu untuk satu tujuan—menyiapkan sebuah ruangan istimewa di lantai tiga. Pengalaman intensnya bersama Sarah, terutama bagaimana ia bisa mendominasi sepenuhnya, memicu keinginan yang lebih besar dalam dirinya. Dia menginginkan lebih.Ruangan yang ia ciptakan bukan hanya ruang biasa; Namun ruangan dominasi dengan sentuhan artistik. Ia memastikan bahwa setiap detail terpenuhi dengan sempurna—mulai dari furnitur khusus hingga perlengkapan BDSM yang dirancang tidak untuk menyakiti, melainkan untuk menambah intensitas tanpa melukai.Furnitur yang ia pilih menonjolkan kesan otoritas; ada kursi besar dengan pengekang yang terletak di tengah ruangan, beberapa rantai yang di
Dalam keremangan ruangan, suasana semakin panas tanpa disadari oleh sebagian dari mereka. Sarah, yang duduk terpisah di sofa, mulai tak bisa mengendalikan dirinya. Tanpa sadar, tangannya perlahan-lahan mulai mengesek-gesek klitorisnya dengan jari, gerakannya pelan dan sembunyi-sembunyi. Bibir bawahnya tergigit, napasnya semakin memburu seiring dengan gairah yang mulai menguasainya. Keringat halus mulai muncul di dahinya, meskipun AC di ruangan itu terasa dingin, tapi seolah tak bisa menyejukkan suhu tubuh Sarah yang semakin memanas.Di sisi lain, Celine dengan pesonanya yang karismatik sudah berhasil mengendalikan Mayang. Mereka berdua duduk berdekatan, semakin terlibat dalam ciuman yang mesra. Namun, dari raut wajah Mayang, tampak ada sedikit keraguan yang masih tertinggal. Dia masih terjebak di antara ketidakpastian dan sensasi baru yang sedang ia rasakan.Va
Di kamar yang sunyi dan remang, kehangatan malam terasa menekan, membungkus mereka dalam suasana yang berat dan penuh ketegangan. Aroma parfum lembut bercampur dengan keringat, menciptakan hawa yang hampir menyesakkan. Tirai setengah terbuka membiarkan sinar bulan samar menerobos masuk, menyoroti seprai yang kusut di atas tempat tidur, yang kini menjadi saksi pergulatan fisik dan emosional di antara mereka.Tubuh Anya bergetar halus di bawah Valdi, mengikuti irama yang telah berlangsung terlalu lama. Matanya terpejam rapat, dan air mata mulai menggenang di sudut matanya, meskipun bibirnya terkatup rapat. Setiap gerakan Valdi terasa seperti beban yang semakin berat, mendorongnya ke titik di mana ia tak sanggup lagi bertahan. Anya mulai menggelengkan kepalanya perlahan, seolah menolak kenyataan yang tak bisa ia hindari."Cukup, Valdi... cukup..." bisiknya, suaranya terdengar serak dan penuh dengan keputusasaan.Valdi yang berada di ambang puncak kenikmatan, hampir tidak mendengar bisika
Suasana di rumah sakit terasa suram, dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh langkah-langkah kaki perawat. Valdi duduk di kursi ruang tunggu, menatap kosong ke depan, sementara di sebelahnya Mayang menangis tersedu-sedu, tubuhnya bergetar dalam kesedihan yang mendalam."Ibu... kenapa harus sekarang?" suara Mayang pecah, nyaris tak terdengar di antara isak tangisnya.Valdi menatapnya dengan penuh simpati, hatinya terasa berat."Mayang... om turut berduka," katanya lembut, mencoba menghibur gadis yang kini menjadi yatim piatu."Kenapa harus seperti ini, Om Valdi?" Mayang meratap, wajahnya basah oleh air mata."Kenapa Ibu harus pergi? Aku... aku sekarang sendirian..." Tangisnya semakin keras, dan Valdi merasakan dorongan kuat untuk menenangkannya."Om tahu ini berat, Mayang. Ini nggak adil, tapi kamu nggak sendirian. Ibumu... dia sudah berjuang sekuat tenaga," ujar Valdi sambil menghela napas panjang.Mayang menggeleng pelan, air mata terus mengalir di pipinya."Kenapa haru
“Apa yang aku pikirkan sih?” bisiknya pada dirinya sendiri, merasa malu dengan dorongan tersebut. Namun, rasa penasaran dan keingintahuan mulai menguasainya, membuat dia berjalan perlahan mendekati pintu kamar Mayang.Mayang, yang masih duduk di tempat tidur, mendengar langkah kaki mendekat ke kamarnya. Jantungnya berdegup kencang, menyadari bahwa Valdi mungkin akan mengetuk pintu. Di kepalanya, berbagai pikiran bercampur aduk—rasa tidak enak hati, kecanggungan, dan entah kenapa, ada juga sedikit rasa penasaran yang muncul.Valdi berdiri di depan pintu kamar Mayang, tangannya terangkat, siap untuk mengetuk. Namun, dia ragu-ragu, menahan diri. Suasana hening semakin mencekam. Pintu kamar itu menjadi penghalang tipis antara mereka, namun juga penghalang antara dorongan hati Valdi dan kesadarannya akan apa yang benar dan salah.Ketika akhirnya Valdi menurunkan tangannya, dia merasa kekuatan itu hampir menariknya kembali. Napasnya terasa berat, dan dia tahu, jika dia tidak berhati-hati, d
Dalam keremangan ruangan, suasana semakin panas tanpa disadari oleh sebagian dari mereka. Sarah, yang duduk terpisah di sofa, mulai tak bisa mengendalikan dirinya. Tanpa sadar, tangannya perlahan-lahan mulai mengesek-gesek klitorisnya dengan jari, gerakannya pelan dan sembunyi-sembunyi. Bibir bawahnya tergigit, napasnya semakin memburu seiring dengan gairah yang mulai menguasainya. Keringat halus mulai muncul di dahinya, meskipun AC di ruangan itu terasa dingin, tapi seolah tak bisa menyejukkan suhu tubuh Sarah yang semakin memanas.Di sisi lain, Celine dengan pesonanya yang karismatik sudah berhasil mengendalikan Mayang. Mereka berdua duduk berdekatan, semakin terlibat dalam ciuman yang mesra. Namun, dari raut wajah Mayang, tampak ada sedikit keraguan yang masih tertinggal. Dia masih terjebak di antara ketidakpastian dan sensasi baru yang sedang ia rasakan.Va
Sudah beberapa hari, paket demi paket berdatangan ke rumah Valdi. Setiap kotak yang tiba membawa peralatan, dekorasi, dan perlengkapan khusus yang sudah ia rencanakan dengan detail. Semua itu untuk satu tujuan—menyiapkan sebuah ruangan istimewa di lantai tiga. Pengalaman intensnya bersama Sarah, terutama bagaimana ia bisa mendominasi sepenuhnya, memicu keinginan yang lebih besar dalam dirinya. Dia menginginkan lebih.Ruangan yang ia ciptakan bukan hanya ruang biasa; Namun ruangan dominasi dengan sentuhan artistik. Ia memastikan bahwa setiap detail terpenuhi dengan sempurna—mulai dari furnitur khusus hingga perlengkapan BDSM yang dirancang tidak untuk menyakiti, melainkan untuk menambah intensitas tanpa melukai.Furnitur yang ia pilih menonjolkan kesan otoritas; ada kursi besar dengan pengekang yang terletak di tengah ruangan, beberapa rantai yang di
Celine hanya mengerang pelan, tubuhnya bergetar, hampir tidak bisa memproses pertanyaan itu sepenuhnya."Ah... ahh... mmmhh... di dalem aja," jawabnya dengan suara serak, matanya terbuka sedikit, melihat Valdi dengan penuh keinginan.Valdi, meski sudah berada di ambang kenikmatan, masih merasa ragu. "Aman, berarti?" tanyanya sekali lagi, pinggulnya tetap bergerak, meski perlahan.Celine, sudah di ambang batas kesabarannya, mengerang lebih keras, tubuhnya menegang di bawah Valdi."Udah, jangan banyak omong... di dalem aja, please," pintanya, suaranya mendesak dan penuh gairah, seolah tidak ada yang lebih penting daripada Valdi yang menyelesaikan segalanya bersamanya.Namun Valdi masih ragu, meski tubuhnya semakin sulit d
"Valdi sayang cium gue, please…" bisiknya dengan putus asa, suaranya hampir tak terdengar di tengah desahannya yang semakin intens. Bibir mereka bertemu lagi, dan dalam sekejap, Valdi membalas ciuman itu dengan penuh gairah, mendalam dan panas. Ciuman mereka serasa membakar, napas mereka bercampur, tubuh mereka terus bergerak bersama, hingga akhirnya Celine tak bisa lagi menahan ledakan yang sudah lama ia rasakan.Tubuhnya melengkung, suara kenikmatan keluar dari bibirnya tanpa henti, sementara Valdi terus menghantam, membawanya melewati batas tertinggi dari kenikmatan itu.Celine terbaring dengan napas yang masih terengah-engah, tubuhnya bergetar halus di antara sisa-sisa kenikmatan yang baru saja ia capai. Matanya terpejam, merasakan denyut pelan di sekujur tubuhnya yang masih dipenuhi dengan sensasi luar biasa. Batang Valdi masih berada di dalam luban
Valdi menatap Celine dengan ekspresi yang agak bingung. "Dari kecil? Lo beda 6 tahun sama gue, itil. Gue kuliah ke Singapura, lo masih SMP," jawabnya, dia tak pernah membayangkan bahwa perasaan Celine ini sudah berkembang sejak dulu."Tau, anjing..." Celine menjawab cepat, emosinya semakin keluar. "Gue dari kecil mepet terus sama loe. Loe beneran nggak nyadar?" suaranya mulai terdengar getir, hampir seperti tangisan yang ditahan.Matanya berkaca-kaca, dan tanpa sadar, air mata mulai menetes di pipinya. "Loe nggak pernah liat gue?""Tau lah gue, balik dari Singapura pas loe mau kuliah," jawab Valdi, mencoba menjelaskan, meskipun ia terdengar ragu. "Cuman kan...""Cuman kenapa?" desaknya, suaranya penuh dengan emosi yang tak tertahankan.
Jam menunjukkan pukul 9:30 malam ketika Celine berjalan menuju balkon di ruang kerja Valdi. Dari jauh, dia bisa melihat Valdi sedang duduk di sofa, wajahnya terlihat seperti merenung, pandangannya lurus ke arah gelap malam yang terbentang di depan mereka. Celine, yang penasaran, segera menghampirinya dan duduk di sebelahnya dengan sikap santai."Val, kok jam segini udah pada tidur? Padahal masih awal malam," tanya Celine dengan nada bingung, sambil melirik ke arah pintu kamar yang tertutup.Valdi, yang semula tenggelam dalam pikirannya, tersentak sedikit dari lamunannya. "Eh, Lin," katanya pelan, suaranya terdengar tenang namun sedikit berat."Pada kecapean kali, biarin aja," jawab Valdi santai, meskipun dalam pikirannya, dia tahu alasan sebenarnya. Dia telah memasukkan obat tidur ke dalam minuman Mayang dan Sarah s
"Eh, anjing... buat loe, apa sih yang enggak?" balasnya, menggoda Valdi dengan cara yang hanya mereka berdua pahami."Ah, dari dulu cuma ngomong doang," balasnya santai, seolah menantang Celine untuk membuktikan kata-katanya.Namun, tawa Celine perlahan meredup, menggantinya dengan nada yang lebih serius. "Kasian gue liat lo sekarang, Val. Sampe segitunya ditinggal Anya, loe jatuh cinta banget sama dia, ya?" tanyanya, mencoba meraba perasaan Valdi yang sebenarnya, meskipun ia tahu Valdi benci menunjukkan kelemahannya.Wajah Valdi berubah sedikit dingin. "Udahhhh... males gue ngomongin. Bikin ngedrop aja," jawabnya, suaranya sedikit lebih keras, jelas tak ingin membahas Anya lagi.Tiba-tiba, Celine naik ke pangkuan Valdi, tanpa basa-basi, tangannya melingkar di leher Vald
Valdi menatap ponselnya yang masih berdering ketika ia sampai di lantai dua. Nama Celine muncul di layar, sepupu Valdi yang dikenal sebagai seorang model terkenal. Celine adalah seorang lesbian dengan kepribadian yang kuat, sisi feminimnya sangat menonjol, namun di balik itu, ada kecerdasan dan kedalaman yang membuatnya semakin menarik. Valdi mengangkat teleponnya dengan senyum kecil.Valdi: "Halo, Lin?"Celine: "Kampret, lama amat angkat telepon!"Valdi: "Sorry, tadi di bawah, HP gue taro di atas. Kenapa, Lin?"Celine: "Gue mau ke sana ya, mumpung lagi di Jakarta."Valdi: "Boleh, asal n
Mayang, yang sudah sepenuhnya terperangkap dalam gairah, merangkul Valdi erat sambil menggoyangkan tubuhnya semakin cepat. Dengan mata setengah terpejam, ia sengaja mempertontonkan kemesraan yang mereka lakukan kepada Sarah."Mas Valdi... aku sayang Mas... ahhh... ahh...," desah Mayang, suaranya manja dan penuh gairah. Tubuhnya menggeliat liar di atas Valdi, setiap gerakannya diatur untuk membuat Valdi semakin terhanyut.Valdi tersenyum tipis, menikmati bagaimana Mayang mempertontonkan dirinya dengan sengaja di hadapan Sarah, seolah ingin menunjukkan siapa yang paling berkuasa di antara mereka. Tangannya menggenggam erat pinggul Mayang, membimbingnya dengan setiap hentakan yang semakin kuat. Sementara itu, Valdi tetap memerhatikan Sarah yang kini sudah benar-benar terperangkap dalam hasratnya sendiri, Sarah yang tak mampu lagi menahan diri, kedua jarinya