“Video itu bukan rekayasa. Aku bisa pastikan kalau itu asli.”
Semua mata tertuju pada lelaki yang sedari tadi diam di sudut ruangan. Sosok tubuh jangkung, wajah tampan dengan tatapan penuh karisma itu sontak membuat para tamu yang ramai bagai kawanan lebah itu diam seketika saat ia melangkah maju. “Tentu saja asli. Kedua pelakunya juga masih ada di sini, dengan pakaian yang sama,” lanjut Aura sembari menunjuk Rona yang berdiri tak jauh dari Micho. Tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi Aura. Tamparan yang membuatnya tersentak kembali pada kenyataan. “Aura! Minta maaf sama keluarga Damarta sekarang juga!” perintah Linda. “Hah? Dia yang bernain gila, kenapa aku yang harus minta maaf?” bantah Aura. “Nggak usah ngarang! Micho nggak mungkin melakukan hal rendah seperti itu. Apalagi dengan Rona, sahabatmu sendiri,” ucap Linda, ibu tirinya, “minta maaf sekarang juga.” “Tapi Ma.” Linda mendekati Aura dengan mata melotot saking kesalnya. Wanita awal empat puluhan itu mendekatkan bibirnya di telinga Aura. “Jangan sampe gara-gara kamu, proyek yang mereka berikan untuk keluarga Dinata, dibatalkan. Kamu mau kita bangkrut? Perusahaan kita butuh uang itu buat bangkit setelah Papa kamu meninggal. Dan ingat, nenek kamu butuh banyak uang untuk perawatannya." “Hah? Jadi Mama lebih peduli sama uang daripada masa depanku?” kesal Aura, “papa nggak akan setuju jika tahu mama bahkan jual aku demi perusahaan ataupun demi nenek!” “Jangan bawa papa kamu yang sudah mati itu! Aku sudah besarin kamu. Sekarang giliran kamu melaksanakan kewajiban kamu sebagai anak.” “Tapi aku bukan anak kamu. Dan … aku nggak peduli dengan semua itu. Apa kamu masih belum puas bunuh kedua orang tuaku dan habisin semua aset keluarga Dinata.” Kali ini Aura tidak ingin lagi menjadi alas kaki ibu tirinya. Baginya sudah cukup penderitaannya ketika harus mengalah terus menerus, bahkan ketika ayahnya lebih mempercayakan perusahaannya pada Linda, alih-alih pada putri kandungnya sendiri. Mendengar jawaban itu, Linda semakin meradang. Kesabarannya telah habis menghadapi kekeraskepalaan putri tirinya. Dan tangannya kembali melayang. Tapi Rey segera berdiri di antara mereka dan menangkap tangan yang meluncur ke arahnya dan menghempas tangan yang hampir menyentuhnya itu. Linda memegang tangan kanannya. Rasa nyeri itu membuatnya semakin kesal. Ditambah lagi kenyataan bahwa rencananya mencari dukungan untuk menyelamatkan usaha keluarga Dinata akan gagal jika pernikahan dibatalkan. “Aura!” kesal Linda saat anak tirinya mengintipnya dari balik punggung tuan muda keluarga Damarta. “Proyek itu tidak ada hubungannya dengan pernikahan ini,” sela Rey, "aku cuma akan memberikan proyek kepada perusahaan yang kompeten." Kalimat itu membuat nyali Linda menciut. Ia tak menyangka Rey Damarta justru membela putri tirinya itu, alih-alih keponakannya sendiri. Tamu-tamu undangan terus berbisik memperbincangkan kejadian mengejutkan di hadapan mereka. Rekam video perselingkuhan itu seolah topik pembicaraan besar dalam ruangan itu. “Benar! Gaun putih itu, sama persis seperti yang dipakai pelacur di video tadi.” “Tentu saja itu mereka. Apa kalian ingin mendengar apa yang mereka bicarakan?” Aura menekan tombol pada remote di tangannya, tombol yang membuat suara sepasang sejoli di dalam video semakin terdengar dengan jelas. “Bukan … itu bukan aku.” Rona mundur selangkah demi selangkah. Ia merasa terpukul karena aibnya terbuka di hadapan semua orang. Apalagi ketika video yang mengekspos bagian tubuhnya yang polos itu terpampang dengan jelas dalam layar berukuran sangat besar itu. “Hentikan Aura!” Perintah Micho, “aku tahu, kamu sengaja melakukan ini untuk membatalkan pernikahan kita. Kamu nggak perlu memfitnah aku ataupun sahabatmu sendiri untuk itu.” “Apa? Memfitnah?” “Kamu sengaja mengatur semua ini. Bahkan membatalkan pernikahan kita, karena kamu mau mendekati Om Rey, kan?” tuduh Micho tanpa ragu. Melihat pamannya ikut campur, sudah cukup membuatnya kesal. “Kamu!” Aura mengepalkan tinjunya. Ia kesal karena Micho memutar balikkan fakta seolah dirinya yang bersalah. “Kita lanjutkan pernikahan dan kita bicarakan masalah kesalahpahaman ini nanti,” putus Micho sembari menarik tangan Aura. Tapi Aura justru mengelak dan bersembunyi di balik punggung Rey. Hal itu membuat Micho semakin geram. “Aku menolak menikah denganmu, Micho Damarta.” Aura menghempas buket bunga di tangannya. “Kenapa? Kamu pikir dia bisa memuaskanmu?” teriak Micho sembari menuding pamannya. Separuh tamu yang ada di ruangan itu memekik saat Rey dengan tiba-tiba menyarangkan tinjunya di wajah Micho. Pukulan yang membuat Micho terhuyung dan jatuh saking kerasnya. “Aku harap kamu bisa menjaga ucapanmu, bocah. Apa yang mau kamu sombongkan? Bahkan kamu nggak becus menghasilkan satu proyek pun untuk D’Amarta Group,” ucap Rey sembari merapikan kembali setelannya. Lelaki itu tanpa ragu menggenggam tangan Aura dan membawanya keluar dari ruangan itu. Aura yang masih syok dengan kejadian itu, hanya bisa mengikuti langkah lelaki itu dengan patuhnya. Bahkan ia tak memperdulikan berapa banyak wartawan yang mengarahkan kamera dengan kilatan cahaya penuh antusias saat ia dipaksa masuk ke dalam mobil tuan muda kedua keluarga Damarta. “Antar aku pulang, Arga.” Perintah Rey pada asistennya. ----- “Kenapa Om tadi bantu aku?” tanya Aura. “Kamu yang tarik aku ke dalam masalahmu. Lagipula … kamu tidak bisa meninggalkan apa yang sudah kamu mulai begitu saja, Nona.” “Memangnya apa yang sudah aku mulai?” batin Aura. Ia menatap lelaki yang kini sedang menatapnya dengan tegas. Otaknya secara otomatis memutar ulang semua detail kejadian yang terjadi hari ini. Dan sesaat kemudian ia pun menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Ia kembali mengingat kehangatan dan lembutnya bibir lelaki itu beberapa saat lalu. Rey memang terlalu matang baginya. Namun wajahnya yang tampan, tubuh atletisnya dan matanya yang penuh karisma sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Micho. Aura bahkan masih bisa mengingat kehangatan bibirnya dan jantungnya pun berdebar saat ingatan itu muncul. Tapi … semua itu dilakukannya karena terpaksa, karena ia ingin menghindar dari dua makhluk yang menjijikkan baginya. “Aku seorang pebisnis. Bukan seorang dermawan,” sahut Rey “Om … minta bayaran?” tebak Aura dengan ragu. Seorang mìlyuner sekelas Rey Damarta, tidak mungkin meminta uang beberapa juta yang bisa didapatkannya dengan mudah. “Setidaknya kamu masih butuh perlindunganku sekarang,” jawabnya sembari meletakkan sebuah berkas di depan gadis itu, “setelah kekacauan tadi, kamu kira semua orang tidak bakal membencimu?” Sepasang mata Aura membulat saat membaca kata bercetak tebal di atas kertas di hadapannya. “Surat perjanjian?” “Aku akan beri kamu perlindungan, dan juga memenuhi seluruh kebutuhan kamu, sementara kamu melakukan semua kewajiban yang aku tulis di dalam sana.” Aura semakin tercengang saat melihat isi di dalam perjanjian itu. Sebuah penawaran gila! Gadis itu meletakkan kertas itu di atas meja. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan perasaan tak karuan. “Om Rey, bukan … gay?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Aura. Ia masih bingung dengan situasi itu. Bahkan Micho pernah mengatakan bahwa pamannya tidak juga menikah dan tidak pernah dekat dengan wanita, karena dia penyuka sesama jenis. Tapi pada kenyataannya, kontrak yang ada di hadapannya adalah kontrak untuk …. “Aku laki-laki normal, tapi aku lebih suka sebuah hubungan yang tertutup, dan tanpa keterikatan. Aku tidak mau hubunganku terekspos dan menjadi konsumsi publik.” “Tapi, apa … Om mencintai aku?” “Aku cuma berhubungan badan.” “Om kira, aku perempuan macam apa?” “Baca, pertimbangkan dan kamu berhak mengajukan koreksi di bagian yang kamu rasa tidak kamu sukai,” ucapnya, “aku akan mentoleransinya.” Rey memutar badannya dan melangkah pergi meninggalkan gadis itu. “Tunggu!” Teriakan gadis itu membuat Rey langsung menghentikan langkahnya. Lelaki itu menoleh dan menatapnya. Tatapan yang membuat Aura kembali merasakan debaran hebat di jantungnya. “Tapi … aku belum pernah melakukannya.”“Tapi aku belum pernah melakukan itu. Aku belum pernah berhubungan dengan lelaki manapun. Mana mungkin aku tahu apa yang kusuka dan tidak.” Rey menatap gadis di hadapannya dengan rasa tak percaya. Tentu saja, di jaman yang semakin gila seperti sekarang, ia tak percaya masih ada gadis yang mempertahankan kesuciannya seperti Aura. “Maksudmu … kamu belum pernah berhubungan dengan keponakanku?” Sekali lagi Aura menggigit bibir bawahnya dengan gelisah sebelum akhirnya menundukkan kepalanya. Tatapan mata itu seperti hendak menelanjanginya. Lelaki itu seperti mempunyai kemampuan untuk membaca semua yang ada di dalam pikirannya. “Si bodoh itu belum pernah menyentuhmu? Maksudku … katakan padaku sejauh apa dia sudah menyentuhmu selama ini,” tanyanya lagi. Aura terdiam. Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya merasa tak nyaman, bahkan terlalu privacy untuk dibicarakan dengan orang yang masih termasuk asing baginya. “Aku tahu, hari ini cukup berat buat kamu. Istirahatlah, dan pikirkan tawara
“Bahagia? Apa mungkin aku bisa hidup bahagia kalau hanya menjadi budakmu?” Pikiran itu tiba-tiba saja muncul dan begitu kuat mengusiknya. Kalimat yang diucapkan oleh Rey, seakan sebuah bom yang memicu sebuah pergolakan dalam hatinya. Namun ia tak sanggup mengatakannya. Sepasang tangannya mendorong dada Rey menjauh. Namun lelaki itu justru memperkuat pelukannya dan kembali membakar gairahnya dengan kecupannya di leher jenjangnya. Kegelisahan semakin kuat mengguncang tubuh gadis itu. Tubuhnya menegang saat sentuhan intens berada tepat di titik-titik sensitifnya. Setiap sentuhannya bahkan membuatnya merasa ingin lebih dan lebih lagi. Sepasang tangannya yang semula mendorong, kini justru meremas kemeja Rey seakan keduanya sengaja mengkhianati pikirannya. Gestur tubuh yang dengan mudahnya ditangkap oleh Rey. Umpannya telah disambut! Lelaki itu melepaskan pagutannya. Ia merapikan pakaiannya dan mengatur kembali napasnya. “Aku tidak akan memaksamu, Aura. Aku suka kamu, dan kita akan me
Gadis itu menganggukkan kepalanya, membuat lelaki di hadapannya merasakan kelegaan dalam hatinya. Anggukkan itu seperti secercah harapan baginya untuk kembali memperjuangkan perasaannya. "Bagus kalau gitu," lirihnya sembari melepaskan cengkramannya, "tentang menu baru yang kita bicarakan, bagaimana kalau kita coba membuatnya malam nanti." Aura menatap lelaki itu dengan kesal. Setelah tutup toko, sama artinya dia terpaksa harus lembur malam ini. Dan Bu Natusha tidak menyukai karyawannya lembur. Tapi lagi-lagi ia tidak mungkin menolak perkataan Chef Farrel, atasannya itu. Penilaian kerjanya, tergantung pada kepuasan lelaki bermulut pisau ini. "Baik Chef." *** "Om Rey, ngapain booking tempat dadakan buat tamu yang nggak kira-kira banyaknya?" sambut Aura sesaat setelah melihat wajah Rey Damarta di ruang tertutup resto itu. "Aku cuma mau mempertegas pembicaraan kita pagi tadi. Pembicaraan yang terputus hanya karena kamu harus berangkat kerja." Lelaki itu menarik sudut bibirn
"Aura! Aura Dinata!" Suara desah maskulin itu tiba-tiba saja berubah menjadi suara cempreng yang sangat ia kenal. Dan wajah tampan penguasa D'Amartha Group itu lenyap begitu saja dari pelukannya digantikan wajah gadis berambut keriting yang sangat dikenalinya. Gubrak! Aura meringis kesakitan saat tubuhnya merasakan kerasnya lantai keramik dingin di bawahnya. Dan entah bagaimana caranya, selimutnya pun seolah ingin ikut campur untuk menghukumnya karena mimpi yang sangat aneh itu. Aura melepaskan diri dari lilitan selimutnya. Dihempasnya guling yang ada dipelukannya dengan kesal. Mimpi itu bahkan terasa begitu nyata baginya. Senyata guling yang berada di dalam pelukannya tadi dan rasa sakit di tubuhnya. "Kamu ngapain rebahan sambil selimutan di lantai?" tanya Jessy yang terkejut melihat ulah kawan yang sedari tadi tidak menjawab panggilannya, "kamu lagi cari tokek apa kadal?" "Ya ... gimana lagi. Kasurnya nggak mau aku tidurin. Dia malah lempar aku ke lantai." Gadis ber
"Aku tahu, ini pertama kalinya buat kamu," bisik Rey di telinga gadisnya, "aku akan memperlakukanmu dengan lembut, seperti bola kristal yang rapuh." Aura menghela napas panjang. Kali ini pikirannya kembali tak sejalan dengan hatinya. Setiap sentuhan lelaki itu membuatnya semakin menggila. Ia tak mampu lagi berpikir rasional. Tembok pertahanan yang selama ini dijaganya dengan baik, seakan runtuh begitu saja di tangan seorang Rey Damarta. Rey Damarta benar-benar penuh pesona. Bukan hanya itu, ia tahu bagaimana memperlakukannya dengan lembut. Lelaki itu tahu bagaimana meratukan gadisnya, melambungkan perasaannya dan membuainya dalam setiap sentuhannya. Sentuhan yang membuat Aura tak dapat berkata apapun untuk menolak. Bahkan tubuhnya pun mengkhianati pikirannya dan justru memperlihatkan reaksi sebaliknya. Ia sungguh menikmatinya. Jemari itu mulai menyentuh di bagian paling privacy nya. Bagian yang tak pernah terjamah lelaki manapun selama dua puluh tahun lebih itu, kini meras
Jantung Aura berdebar dengan kencang saat ledakan itu terdengar bersama suara pecahan kaca. Tubuhnya bahkan masih gemetar saat Farrel melepaskan dekapannya. Dekapan hangat yang telah menyelamatkannya dari bencana yang telah diciptakannya malam ini. Ditatapnya ruangan yang kini lebih pantas disebut kapal pecah itu dengan penuh sesal. Pecahan kaca bercampur dengan perlengkapan dapur itu terlihat tak karuan saat air dengan otomatis mengucur dari atas plafon dapur, memercik api yang keluar dari oven hingga ruangan itu mulai dipenuhi asap. "Rara, kamu nggak papa?" Suara lelaki itu sama bergetarnya dengan tubuh gadis di hadapannya. "Aku mengacaukan segalanya," lirih Aura yang masih shock dengan kejadian yang terjadi karena kecerobohannya. "Itulah aku katakan, kamu harus fokus dengan pekerjaanmu. Lupakan pernikahanmu yang gagal. Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dari si brengsek itu." Semua ucapan Farrel seperti sebuah dengungan keras di telinga Aura. Ia benar-benar mera
Dalam handuk berukuran besar, Aura merapatkan tubuhnya. Secangkir susu coklat hangat masih dipegangnya dengan erat. Rasa hangat dari cangkir itu seperti menghibur jari jemarinya dari dingin yang dirasakannya. "Jadi ... apa yang membuatmu kembali?" tanya lelaki itu sembari mengatupkan kedua tangannya, bersedekap di dada. Sesaat Aura merasa ragu. Seandainya saja ia mengatakan kesulitannya dan Rey mau membantunya, bukankah itu akan membuatnya terikat pada lelaki itu? Tapi ... rasanya sungguh tidak adil jika ia menerima kebaikan Farrel, seolah memberikan harapan padanya. Padahal ia tidak mempunyai perasaan apapun terhadapnya. "Apa ini tentang nenekmu?" tebaknya. "Bukan." "Atau ... kamu sudah memikirkan perjanjian itu? Atau justru bocah tengik itu berulah lagi?" Aura menggelengkan kepalanya. "Lalu?" "Aku ...." Aura mendesah dengan frustrasi. Ia kembali menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Jangan katakan kamu rindu sentuhanku," tebaknya lagi. Aura meletakkan
"Om Rey, apa keterlaluan jika aku menginginkan sebuah hubungan yang normal?" tanya Aura, "seperti layaknya sepasang kekasih. Bukan sekedar menghabiskan waktu di atas ranjang, tapi juga melakukan hal lain yang menyenangkan bersama." Rey mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya terlihat serius menanggapi permintaan gadisnya. "Baiklah, aku bisa menambahkan permintaanmu ke dalam surat perjanjian kita," sahutnya, "kita bisa nonton berdua, makan malam atau sekedar berkuda untuk saling mengenal. Aku akan menyisihkan waktuku untuk itu. Apa kamu menyukainya?" Aura menarik sudut bibirnya, memamerkan seuĺas senyumannya yang indah, walau dalam otaknya masih tidak bisa memahami apa yang membuat lelaki yang nyaris sempurna seperti Rey Damarta tidak bisa mempercayai suatu hubungan dengan nama cinta. "Sekarang tidurlah, ada banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu," perintahnya, "sementara orang kepercayaanku menambahkan permintaanmu pada poin tambahan dalam perjanjian itu, kita bisa mulai
Sepasang mata indah itu mengawasi setiap sudut ruangan. Tempat itu benar-benar tertutup, tersembunyi sementara berbagai alat aneh yang membuat siapapun yang melihatnya mengernyitkan keningnya. Gadis itu melangkah mendekati sebuah lemari kaca. Tampak di dalamnya berbagai ukuran borgol dengan beragam warna dan berbagai macam koleksi benda lain yang asing bagi Aura. Rey melangkah mendekati gadisnya. Perlahan ia membuka satu demi satu manik kancing kemejanya, menanggalkan dan menggantungnya di sudut ruangan. "Apa ... ini semua apa, Om?" tanyanya. Gadis itu mulai merinding membayangkan segala hal yang terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan dengan melihat tiang, rantai, cambuk dan beberapa set borgol saja, ia sudah merinding. Semua yang ada dalam pikirannya tidak salah. Rey Damartha -- sang penguasa kerajaan bisnis D'Amartha -- ternyata adalah seorang psikopat! "Koleksi mainanku, yang akan kunikmati bersamamu." Sepasang mata cantik itu membulat. Ia benar-benar tak menyangka ba
"Om Rey, apa keterlaluan jika aku menginginkan sebuah hubungan yang normal?" tanya Aura, "seperti layaknya sepasang kekasih. Bukan sekedar menghabiskan waktu di atas ranjang, tapi juga melakukan hal lain yang menyenangkan bersama." Rey mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya terlihat serius menanggapi permintaan gadisnya. "Baiklah, aku bisa menambahkan permintaanmu ke dalam surat perjanjian kita," sahutnya, "kita bisa nonton berdua, makan malam atau sekedar berkuda untuk saling mengenal. Aku akan menyisihkan waktuku untuk itu. Apa kamu menyukainya?" Aura menarik sudut bibirnya, memamerkan seuĺas senyumannya yang indah, walau dalam otaknya masih tidak bisa memahami apa yang membuat lelaki yang nyaris sempurna seperti Rey Damarta tidak bisa mempercayai suatu hubungan dengan nama cinta. "Sekarang tidurlah, ada banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu," perintahnya, "sementara orang kepercayaanku menambahkan permintaanmu pada poin tambahan dalam perjanjian itu, kita bisa mulai
Dalam handuk berukuran besar, Aura merapatkan tubuhnya. Secangkir susu coklat hangat masih dipegangnya dengan erat. Rasa hangat dari cangkir itu seperti menghibur jari jemarinya dari dingin yang dirasakannya. "Jadi ... apa yang membuatmu kembali?" tanya lelaki itu sembari mengatupkan kedua tangannya, bersedekap di dada. Sesaat Aura merasa ragu. Seandainya saja ia mengatakan kesulitannya dan Rey mau membantunya, bukankah itu akan membuatnya terikat pada lelaki itu? Tapi ... rasanya sungguh tidak adil jika ia menerima kebaikan Farrel, seolah memberikan harapan padanya. Padahal ia tidak mempunyai perasaan apapun terhadapnya. "Apa ini tentang nenekmu?" tebaknya. "Bukan." "Atau ... kamu sudah memikirkan perjanjian itu? Atau justru bocah tengik itu berulah lagi?" Aura menggelengkan kepalanya. "Lalu?" "Aku ...." Aura mendesah dengan frustrasi. Ia kembali menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Jangan katakan kamu rindu sentuhanku," tebaknya lagi. Aura meletakkan
Jantung Aura berdebar dengan kencang saat ledakan itu terdengar bersama suara pecahan kaca. Tubuhnya bahkan masih gemetar saat Farrel melepaskan dekapannya. Dekapan hangat yang telah menyelamatkannya dari bencana yang telah diciptakannya malam ini. Ditatapnya ruangan yang kini lebih pantas disebut kapal pecah itu dengan penuh sesal. Pecahan kaca bercampur dengan perlengkapan dapur itu terlihat tak karuan saat air dengan otomatis mengucur dari atas plafon dapur, memercik api yang keluar dari oven hingga ruangan itu mulai dipenuhi asap. "Rara, kamu nggak papa?" Suara lelaki itu sama bergetarnya dengan tubuh gadis di hadapannya. "Aku mengacaukan segalanya," lirih Aura yang masih shock dengan kejadian yang terjadi karena kecerobohannya. "Itulah aku katakan, kamu harus fokus dengan pekerjaanmu. Lupakan pernikahanmu yang gagal. Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dari si brengsek itu." Semua ucapan Farrel seperti sebuah dengungan keras di telinga Aura. Ia benar-benar mera
"Aku tahu, ini pertama kalinya buat kamu," bisik Rey di telinga gadisnya, "aku akan memperlakukanmu dengan lembut, seperti bola kristal yang rapuh." Aura menghela napas panjang. Kali ini pikirannya kembali tak sejalan dengan hatinya. Setiap sentuhan lelaki itu membuatnya semakin menggila. Ia tak mampu lagi berpikir rasional. Tembok pertahanan yang selama ini dijaganya dengan baik, seakan runtuh begitu saja di tangan seorang Rey Damarta. Rey Damarta benar-benar penuh pesona. Bukan hanya itu, ia tahu bagaimana memperlakukannya dengan lembut. Lelaki itu tahu bagaimana meratukan gadisnya, melambungkan perasaannya dan membuainya dalam setiap sentuhannya. Sentuhan yang membuat Aura tak dapat berkata apapun untuk menolak. Bahkan tubuhnya pun mengkhianati pikirannya dan justru memperlihatkan reaksi sebaliknya. Ia sungguh menikmatinya. Jemari itu mulai menyentuh di bagian paling privacy nya. Bagian yang tak pernah terjamah lelaki manapun selama dua puluh tahun lebih itu, kini meras
"Aura! Aura Dinata!" Suara desah maskulin itu tiba-tiba saja berubah menjadi suara cempreng yang sangat ia kenal. Dan wajah tampan penguasa D'Amartha Group itu lenyap begitu saja dari pelukannya digantikan wajah gadis berambut keriting yang sangat dikenalinya. Gubrak! Aura meringis kesakitan saat tubuhnya merasakan kerasnya lantai keramik dingin di bawahnya. Dan entah bagaimana caranya, selimutnya pun seolah ingin ikut campur untuk menghukumnya karena mimpi yang sangat aneh itu. Aura melepaskan diri dari lilitan selimutnya. Dihempasnya guling yang ada dipelukannya dengan kesal. Mimpi itu bahkan terasa begitu nyata baginya. Senyata guling yang berada di dalam pelukannya tadi dan rasa sakit di tubuhnya. "Kamu ngapain rebahan sambil selimutan di lantai?" tanya Jessy yang terkejut melihat ulah kawan yang sedari tadi tidak menjawab panggilannya, "kamu lagi cari tokek apa kadal?" "Ya ... gimana lagi. Kasurnya nggak mau aku tidurin. Dia malah lempar aku ke lantai." Gadis ber
Gadis itu menganggukkan kepalanya, membuat lelaki di hadapannya merasakan kelegaan dalam hatinya. Anggukkan itu seperti secercah harapan baginya untuk kembali memperjuangkan perasaannya. "Bagus kalau gitu," lirihnya sembari melepaskan cengkramannya, "tentang menu baru yang kita bicarakan, bagaimana kalau kita coba membuatnya malam nanti." Aura menatap lelaki itu dengan kesal. Setelah tutup toko, sama artinya dia terpaksa harus lembur malam ini. Dan Bu Natusha tidak menyukai karyawannya lembur. Tapi lagi-lagi ia tidak mungkin menolak perkataan Chef Farrel, atasannya itu. Penilaian kerjanya, tergantung pada kepuasan lelaki bermulut pisau ini. "Baik Chef." *** "Om Rey, ngapain booking tempat dadakan buat tamu yang nggak kira-kira banyaknya?" sambut Aura sesaat setelah melihat wajah Rey Damarta di ruang tertutup resto itu. "Aku cuma mau mempertegas pembicaraan kita pagi tadi. Pembicaraan yang terputus hanya karena kamu harus berangkat kerja." Lelaki itu menarik sudut bibirn
“Bahagia? Apa mungkin aku bisa hidup bahagia kalau hanya menjadi budakmu?” Pikiran itu tiba-tiba saja muncul dan begitu kuat mengusiknya. Kalimat yang diucapkan oleh Rey, seakan sebuah bom yang memicu sebuah pergolakan dalam hatinya. Namun ia tak sanggup mengatakannya. Sepasang tangannya mendorong dada Rey menjauh. Namun lelaki itu justru memperkuat pelukannya dan kembali membakar gairahnya dengan kecupannya di leher jenjangnya. Kegelisahan semakin kuat mengguncang tubuh gadis itu. Tubuhnya menegang saat sentuhan intens berada tepat di titik-titik sensitifnya. Setiap sentuhannya bahkan membuatnya merasa ingin lebih dan lebih lagi. Sepasang tangannya yang semula mendorong, kini justru meremas kemeja Rey seakan keduanya sengaja mengkhianati pikirannya. Gestur tubuh yang dengan mudahnya ditangkap oleh Rey. Umpannya telah disambut! Lelaki itu melepaskan pagutannya. Ia merapikan pakaiannya dan mengatur kembali napasnya. “Aku tidak akan memaksamu, Aura. Aku suka kamu, dan kita akan me
“Tapi aku belum pernah melakukan itu. Aku belum pernah berhubungan dengan lelaki manapun. Mana mungkin aku tahu apa yang kusuka dan tidak.” Rey menatap gadis di hadapannya dengan rasa tak percaya. Tentu saja, di jaman yang semakin gila seperti sekarang, ia tak percaya masih ada gadis yang mempertahankan kesuciannya seperti Aura. “Maksudmu … kamu belum pernah berhubungan dengan keponakanku?” Sekali lagi Aura menggigit bibir bawahnya dengan gelisah sebelum akhirnya menundukkan kepalanya. Tatapan mata itu seperti hendak menelanjanginya. Lelaki itu seperti mempunyai kemampuan untuk membaca semua yang ada di dalam pikirannya. “Si bodoh itu belum pernah menyentuhmu? Maksudku … katakan padaku sejauh apa dia sudah menyentuhmu selama ini,” tanyanya lagi. Aura terdiam. Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya merasa tak nyaman, bahkan terlalu privacy untuk dibicarakan dengan orang yang masih termasuk asing baginya. “Aku tahu, hari ini cukup berat buat kamu. Istirahatlah, dan pikirkan tawara