“Tapi aku belum pernah melakukan itu. Aku belum pernah berhubungan dengan lelaki manapun. Mana mungkin aku tahu apa yang kusuka dan tidak.”
Rey menatap gadis di hadapannya dengan rasa tak percaya. Tentu saja, di jaman yang semakin gila seperti sekarang, ia tak percaya masih ada gadis yang mempertahankan kesuciannya seperti Aura. “Maksudmu … kamu belum pernah berhubungan dengan keponakanku?” Sekali lagi Aura menggigit bibir bawahnya dengan gelisah sebelum akhirnya menundukkan kepalanya. Tatapan mata itu seperti hendak menelanjanginya. Lelaki itu seperti mempunyai kemampuan untuk membaca semua yang ada di dalam pikirannya. “Si bodoh itu belum pernah menyentuhmu? Maksudku … katakan padaku sejauh apa dia sudah menyentuhmu selama ini,” tanyanya lagi. Aura terdiam. Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya merasa tak nyaman, bahkan terlalu privacy untuk dibicarakan dengan orang yang masih termasuk asing baginya. “Aku tahu, hari ini cukup berat buat kamu. Istirahatlah, dan pikirkan tawaran itu.” *** “Kamu sudah gila? Kabur dengan Rey Damarta di hari pernikahanmu sendiri,” teriak Jessy sesaat setelah panggilannya diterima oleh Aura. “Aku nggak ada pilihan, Jess,” sahut Aura lirih saking takutnya suaranya terdengar oleh sang pemilik rumah, “cuma dia satu-satunya yang mau menolongku.” “Kamu yakin nggak mau balik lagi sama si Micho?” “Justru, aku beruntung karena tahu semua ini sebelum terlambat,” keluh Aura, “kenapa aku begitu naif dan percaya begitu saja sama mereka? Tentang Rona … seharusnya aku mendengar nasehatmu dulu.” “Lalu Rey Damarta, apa dia baik sama kamu?” “Sejauh ini, dia baik.” “Syukurlah. Aku yakin kamu aman sama dia. Dia nggak bakal sentuh kamu,” sambung Jessy, “aku dengar dia nggak suka sama perempuan. Bahkan aku nggak pernah lihat foto dia dengan perempuan manapun. Aku percaya gosip kalau dia itu penyuka sesama jenis.” “Tapi … dia bukan homo sex, Jess,” balas Aura pelan. Ia masih ingat surat kontrak yang ditawarkan oleh Rey semalam. Surat kontrak yang isinya sangat aneh bagi Aura. “Upsy! Kalo memang dia bukan gay, aku rasa itu lebih baik lagi,” balas Jessy, “dia termasuk salah satu penguasa di kota ini. Tampan dan memiliki banyak aset, yang bahkan para pembesar negeri ini pun enggan untuk membuat masalah dengannya.” “Jika kamu bisa mendapatkan hatinya,” lanjutnya, “kamu adalah gadis paling beruntung. Melepaskan pecundang seperti Micho dan mendapatkan Rey Damarta sebagai gantinya.” “Jess, aku nggak mau manfaatin dia buat ….” “Kamu pikirkan saja dulu masak-masak. Jangan sampai kamu salah ambil keputusan seperti saat menerima lamaran Micho ke–.” Klik! Aura segera menutup panggilan itu saat menyadari seseorang masuk ke dalam kamarnya. Ia berusaha menutupi kegugupan dengan meletakkan ponselnya dan meneguk cepat air putih dari atas nakas. “Nona, Tuan menunggu Anda di ruang kerjanya,” ucap wanita paruh baya itu dengan sopan. “Ruang kerjanya?” “Aku akan mengantar Anda ke sana.” Perempuan itu menatap Aura dari ujung rambut hingga ujung kaki seakan sedang menghakimi penampilan gadis yang kali ini dibawa pulang oleh majikannya. Tapi Aura mengabaikan tatapan anehnya. Diikutinya langkah perempuan itu tanpa bersuara sedikitpun hingga mereka sampai di depan sebuah ruangan. “Dia menunggumu di dalam.” Wanita itu berbalik dan berlalu begitu saja setelah mengatakan pesan itu. Suara ketukan yang terdengar, membuat perhatian Rey teralihkan. Ia menatap sosok wanita ayu yang muncul dari balik pintu. Wajah pucat dalam kemeja putih oversize itu, justru memperlihatkan kecantikan alaminya. Kecantikan yang telah jarang dijumpai karena membanjirnya produk kosmetika yang selalu sukses menipu dalam setiap polesannya. Lelaki itu menelan kasar salivanya. Ditatapnya gadis dengan rambut hitam terurai dalam kemeja yang tak bisa menyembunyikan gumpalan kenyal yang menonjol di dadanya, hingga sepasang pahanya yang mulus. Setiap gerakannya terlihat sensual di mata Rey. “Apa kamu sudah mempertimbangkan tawaranku semalam?” tanya lelaki tampan itu dari balik mejanya. Ia berusaha menyembunyikan hasratnya sebagai seorang lelaki. Aura menghela napas panjang. Ditatapnya sepasang manik gelap di depannya dengan perasaan bimbang. Jantungnya berdebar, saking gelisahnya ia kembali menggigit bibir bawahnya. “Aku tidak akan menyakitimu. Kenapa kamu terus menggigit bibirmu?” ucapnya sembari berdiri dari kursinya dan melangkah. Langkahnya terhenti tepat di depan Aura. “A–aku ….” sahutnya semakin gugup. “Aku tidak akan memaksamu. Kalau kamu tidak mau melakukannya.” “Om Rey, maaf kalau pertanyaan ini membuatmu kesal, tapi … kenapa aku harus menandatangani perjanjian itu? Kenapa aku harus merahasiakan semuanya?” “Itu adalah aturanku. Aturan yang bakal menjamin supaya tidak ada kejadian yang tidak kita inginkan. Kamu bisa menambahkan apa yang kamu inginkan dan yang tidak kamu inginkan di dalamnya,” tuturnya, “semacam batasan. Role play.” Aura tertawa dengan canggung. “Astaga. Role play? Apa ini semacam permainan?” “Aku menyukaimu, Aura Dinata,” ucap lelaki itu. Perlahan ia mendekatkan wajahnya, mengunci gerakan wanitanya dalam sebuah kecupan. Aura merapatkan bibirnya dengan canggung. Ciuman ini bukan pertama kali baginya. Bahkan ia sudah dua kali mencium Rey dengan sengaja. Tapi … kali ini berbeda. Ada perasaan aneh di dalam sana. Seperti getar-getar yang sedang menggelitik di dalam dadanya. Perasaan asing yang bahkan tak pernah dirasakannya pada Micho, cinta pertamanya. Rey memeluk pinggang gadisnya. Diangkatnya perempuan bertubuh ramping itu ke atas meja kerjanya tanpa menghentikan pagutannya di bibirnya. Rasa manis bibir gadis itu, seperti candu. Sama sekali berbeda dengan gadis-gadis yang pernah disentuhnya. Perlahan tangannya menyelinap di balik kemeja sang gadis untuk merasakan kulit lembutnya. Napasnya semakin memberat, seiring gairahnya yang semakin memuncak. Sepasang tangan itu pun bergerak semakin liar dan menyelinap di balik segitiga yang membungkus sepasang gumpalan lemak di belakang sang gadis. Sesaat ia meremasnya dengan gemas tanpa menghentikan pagutannya. Aura mulai kewalahan. Napasnya semakin berat, ditambah sentuhan liar di punggungnya semakin membuatnya larut dalam pusaran gairah yang diciptakan oleh Rey. Remasan di bokongnya membuatnya tersentak dalam sebuah kenikmatan yang tak pernah dirasakannya. “Kamu menyukainya, Aura?” tanya Rey. “Yah, aku menyukainya.” Lelaki itu menyentuh bagian membuncah di dada gadisnya, meremasnya dan mengecupnya, seolah dengan sengaja meninggalkan bekas di bagian itu. “Kamu hanya perlu menandatanganinya, Aura,” tuturnya, “dan sisanya serahkan padaku. Aku akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia di dunia.” “Bahagia … apa aku bisa bahagia jika hidup hanya sebagai budakmu?”“Bahagia? Apa mungkin aku bisa hidup bahagia kalau hanya menjadi budakmu?” Pikiran itu tiba-tiba saja muncul dan begitu kuat mengusiknya. Kalimat yang diucapkan oleh Rey, seakan sebuah bom yang memicu sebuah pergolakan dalam hatinya. Namun ia tak sanggup mengatakannya. Sepasang tangannya mendorong dada Rey menjauh. Namun lelaki itu justru memperkuat pelukannya dan kembali membakar gairahnya dengan kecupannya di leher jenjangnya. Kegelisahan semakin kuat mengguncang tubuh gadis itu. Tubuhnya menegang saat sentuhan intens berada tepat di titik-titik sensitifnya. Setiap sentuhannya bahkan membuatnya merasa ingin lebih dan lebih lagi. Sepasang tangannya yang semula mendorong, kini justru meremas kemeja Rey seakan keduanya sengaja mengkhianati pikirannya. Gestur tubuh yang dengan mudahnya ditangkap oleh Rey. Umpannya telah disambut! Lelaki itu melepaskan pagutannya. Ia merapikan pakaiannya dan mengatur kembali napasnya. “Aku tidak akan memaksamu, Aura. Aku suka kamu, dan kita akan me
Gadis itu menganggukkan kepalanya, membuat lelaki di hadapannya merasakan kelegaan dalam hatinya. Anggukkan itu seperti secercah harapan baginya untuk kembali memperjuangkan perasaannya. "Bagus kalau gitu," lirihnya sembari melepaskan cengkramannya, "tentang menu baru yang kita bicarakan, bagaimana kalau kita coba membuatnya malam nanti." Aura menatap lelaki itu dengan kesal. Setelah tutup toko, sama artinya dia terpaksa harus lembur malam ini. Dan Bu Natusha tidak menyukai karyawannya lembur. Tapi lagi-lagi ia tidak mungkin menolak perkataan Chef Farrel, atasannya itu. Penilaian kerjanya, tergantung pada kepuasan lelaki bermulut pisau ini. "Baik Chef." *** "Om Rey, ngapain booking tempat dadakan buat tamu yang nggak kira-kira banyaknya?" sambut Aura sesaat setelah melihat wajah Rey Damarta di ruang tertutup resto itu. "Aku cuma mau mempertegas pembicaraan kita pagi tadi. Pembicaraan yang terputus hanya karena kamu harus berangkat kerja." Lelaki itu menarik sudut bibirn
"Aura! Aura Dinata!" Suara desah maskulin itu tiba-tiba saja berubah menjadi suara cempreng yang sangat ia kenal. Dan wajah tampan penguasa D'Amartha Group itu lenyap begitu saja dari pelukannya digantikan wajah gadis berambut keriting yang sangat dikenalinya. Gubrak! Aura meringis kesakitan saat tubuhnya merasakan kerasnya lantai keramik dingin di bawahnya. Dan entah bagaimana caranya, selimutnya pun seolah ingin ikut campur untuk menghukumnya karena mimpi yang sangat aneh itu. Aura melepaskan diri dari lilitan selimutnya. Dihempasnya guling yang ada dipelukannya dengan kesal. Mimpi itu bahkan terasa begitu nyata baginya. Senyata guling yang berada di dalam pelukannya tadi dan rasa sakit di tubuhnya. "Kamu ngapain rebahan sambil selimutan di lantai?" tanya Jessy yang terkejut melihat ulah kawan yang sedari tadi tidak menjawab panggilannya, "kamu lagi cari tokek apa kadal?" "Ya ... gimana lagi. Kasurnya nggak mau aku tidurin. Dia malah lempar aku ke lantai." Gadis ber
"Aku tahu, ini pertama kalinya buat kamu," bisik Rey di telinga gadisnya, "aku akan memperlakukanmu dengan lembut, seperti bola kristal yang rapuh." Aura menghela napas panjang. Kali ini pikirannya kembali tak sejalan dengan hatinya. Setiap sentuhan lelaki itu membuatnya semakin menggila. Ia tak mampu lagi berpikir rasional. Tembok pertahanan yang selama ini dijaganya dengan baik, seakan runtuh begitu saja di tangan seorang Rey Damarta. Rey Damarta benar-benar penuh pesona. Bukan hanya itu, ia tahu bagaimana memperlakukannya dengan lembut. Lelaki itu tahu bagaimana meratukan gadisnya, melambungkan perasaannya dan membuainya dalam setiap sentuhannya. Sentuhan yang membuat Aura tak dapat berkata apapun untuk menolak. Bahkan tubuhnya pun mengkhianati pikirannya dan justru memperlihatkan reaksi sebaliknya. Ia sungguh menikmatinya. Jemari itu mulai menyentuh di bagian paling privacy nya. Bagian yang tak pernah terjamah lelaki manapun selama dua puluh tahun lebih itu, kini meras
Jantung Aura berdebar dengan kencang saat ledakan itu terdengar bersama suara pecahan kaca. Tubuhnya bahkan masih gemetar saat Farrel melepaskan dekapannya. Dekapan hangat yang telah menyelamatkannya dari bencana yang telah diciptakannya malam ini. Ditatapnya ruangan yang kini lebih pantas disebut kapal pecah itu dengan penuh sesal. Pecahan kaca bercampur dengan perlengkapan dapur itu terlihat tak karuan saat air dengan otomatis mengucur dari atas plafon dapur, memercik api yang keluar dari oven hingga ruangan itu mulai dipenuhi asap. "Rara, kamu nggak papa?" Suara lelaki itu sama bergetarnya dengan tubuh gadis di hadapannya. "Aku mengacaukan segalanya," lirih Aura yang masih shock dengan kejadian yang terjadi karena kecerobohannya. "Itulah aku katakan, kamu harus fokus dengan pekerjaanmu. Lupakan pernikahanmu yang gagal. Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dari si brengsek itu." Semua ucapan Farrel seperti sebuah dengungan keras di telinga Aura. Ia benar-benar mera
Dalam handuk berukuran besar, Aura merapatkan tubuhnya. Secangkir susu coklat hangat masih dipegangnya dengan erat. Rasa hangat dari cangkir itu seperti menghibur jari jemarinya dari dingin yang dirasakannya. "Jadi ... apa yang membuatmu kembali?" tanya lelaki itu sembari mengatupkan kedua tangannya, bersedekap di dada. Sesaat Aura merasa ragu. Seandainya saja ia mengatakan kesulitannya dan Rey mau membantunya, bukankah itu akan membuatnya terikat pada lelaki itu? Tapi ... rasanya sungguh tidak adil jika ia menerima kebaikan Farrel, seolah memberikan harapan padanya. Padahal ia tidak mempunyai perasaan apapun terhadapnya. "Apa ini tentang nenekmu?" tebaknya. "Bukan." "Atau ... kamu sudah memikirkan perjanjian itu? Atau justru bocah tengik itu berulah lagi?" Aura menggelengkan kepalanya. "Lalu?" "Aku ...." Aura mendesah dengan frustrasi. Ia kembali menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Jangan katakan kamu rindu sentuhanku," tebaknya lagi. Aura meletakkan
"Om Rey, apa keterlaluan jika aku menginginkan sebuah hubungan yang normal?" tanya Aura, "seperti layaknya sepasang kekasih. Bukan sekedar menghabiskan waktu di atas ranjang, tapi juga melakukan hal lain yang menyenangkan bersama." Rey mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya terlihat serius menanggapi permintaan gadisnya. "Baiklah, aku bisa menambahkan permintaanmu ke dalam surat perjanjian kita," sahutnya, "kita bisa nonton berdua, makan malam atau sekedar berkuda untuk saling mengenal. Aku akan menyisihkan waktuku untuk itu. Apa kamu menyukainya?" Aura menarik sudut bibirnya, memamerkan seuĺas senyumannya yang indah, walau dalam otaknya masih tidak bisa memahami apa yang membuat lelaki yang nyaris sempurna seperti Rey Damarta tidak bisa mempercayai suatu hubungan dengan nama cinta. "Sekarang tidurlah, ada banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu," perintahnya, "sementara orang kepercayaanku menambahkan permintaanmu pada poin tambahan dalam perjanjian itu, kita bisa mulai
Sepasang mata indah itu mengawasi setiap sudut ruangan. Tempat itu benar-benar tertutup, tersembunyi sementara berbagai alat aneh yang membuat siapapun yang melihatnya mengernyitkan keningnya. Gadis itu melangkah mendekati sebuah lemari kaca. Tampak di dalamnya berbagai ukuran borgol dengan beragam warna dan berbagai macam koleksi benda lain yang asing bagi Aura. Rey melangkah mendekati gadisnya. Perlahan ia membuka satu demi satu manik kancing kemejanya, menanggalkan dan menggantungnya di sudut ruangan. "Apa ... ini semua apa, Om?" tanyanya. Gadis itu mulai merinding membayangkan segala hal yang terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan dengan melihat tiang, rantai, cambuk dan beberapa set borgol saja, ia sudah merinding. Semua yang ada dalam pikirannya tidak salah. Rey Damartha -- sang penguasa kerajaan bisnis D'Amartha -- ternyata adalah seorang psikopat! "Koleksi mainanku, yang akan kunikmati bersamamu." Sepasang mata cantik itu membulat. Ia benar-benar tak menyangka ba
Sepasang mata indah itu mengawasi setiap sudut ruangan. Tempat itu benar-benar tertutup, tersembunyi sementara berbagai alat aneh yang membuat siapapun yang melihatnya mengernyitkan keningnya. Gadis itu melangkah mendekati sebuah lemari kaca. Tampak di dalamnya berbagai ukuran borgol dengan beragam warna dan berbagai macam koleksi benda lain yang asing bagi Aura. Rey melangkah mendekati gadisnya. Perlahan ia membuka satu demi satu manik kancing kemejanya, menanggalkan dan menggantungnya di sudut ruangan. "Apa ... ini semua apa, Om?" tanyanya. Gadis itu mulai merinding membayangkan segala hal yang terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan dengan melihat tiang, rantai, cambuk dan beberapa set borgol saja, ia sudah merinding. Semua yang ada dalam pikirannya tidak salah. Rey Damartha -- sang penguasa kerajaan bisnis D'Amartha -- ternyata adalah seorang psikopat! "Koleksi mainanku, yang akan kunikmati bersamamu." Sepasang mata cantik itu membulat. Ia benar-benar tak menyangka ba
"Om Rey, apa keterlaluan jika aku menginginkan sebuah hubungan yang normal?" tanya Aura, "seperti layaknya sepasang kekasih. Bukan sekedar menghabiskan waktu di atas ranjang, tapi juga melakukan hal lain yang menyenangkan bersama." Rey mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya terlihat serius menanggapi permintaan gadisnya. "Baiklah, aku bisa menambahkan permintaanmu ke dalam surat perjanjian kita," sahutnya, "kita bisa nonton berdua, makan malam atau sekedar berkuda untuk saling mengenal. Aku akan menyisihkan waktuku untuk itu. Apa kamu menyukainya?" Aura menarik sudut bibirnya, memamerkan seuĺas senyumannya yang indah, walau dalam otaknya masih tidak bisa memahami apa yang membuat lelaki yang nyaris sempurna seperti Rey Damarta tidak bisa mempercayai suatu hubungan dengan nama cinta. "Sekarang tidurlah, ada banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu," perintahnya, "sementara orang kepercayaanku menambahkan permintaanmu pada poin tambahan dalam perjanjian itu, kita bisa mulai
Dalam handuk berukuran besar, Aura merapatkan tubuhnya. Secangkir susu coklat hangat masih dipegangnya dengan erat. Rasa hangat dari cangkir itu seperti menghibur jari jemarinya dari dingin yang dirasakannya. "Jadi ... apa yang membuatmu kembali?" tanya lelaki itu sembari mengatupkan kedua tangannya, bersedekap di dada. Sesaat Aura merasa ragu. Seandainya saja ia mengatakan kesulitannya dan Rey mau membantunya, bukankah itu akan membuatnya terikat pada lelaki itu? Tapi ... rasanya sungguh tidak adil jika ia menerima kebaikan Farrel, seolah memberikan harapan padanya. Padahal ia tidak mempunyai perasaan apapun terhadapnya. "Apa ini tentang nenekmu?" tebaknya. "Bukan." "Atau ... kamu sudah memikirkan perjanjian itu? Atau justru bocah tengik itu berulah lagi?" Aura menggelengkan kepalanya. "Lalu?" "Aku ...." Aura mendesah dengan frustrasi. Ia kembali menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Jangan katakan kamu rindu sentuhanku," tebaknya lagi. Aura meletakkan
Jantung Aura berdebar dengan kencang saat ledakan itu terdengar bersama suara pecahan kaca. Tubuhnya bahkan masih gemetar saat Farrel melepaskan dekapannya. Dekapan hangat yang telah menyelamatkannya dari bencana yang telah diciptakannya malam ini. Ditatapnya ruangan yang kini lebih pantas disebut kapal pecah itu dengan penuh sesal. Pecahan kaca bercampur dengan perlengkapan dapur itu terlihat tak karuan saat air dengan otomatis mengucur dari atas plafon dapur, memercik api yang keluar dari oven hingga ruangan itu mulai dipenuhi asap. "Rara, kamu nggak papa?" Suara lelaki itu sama bergetarnya dengan tubuh gadis di hadapannya. "Aku mengacaukan segalanya," lirih Aura yang masih shock dengan kejadian yang terjadi karena kecerobohannya. "Itulah aku katakan, kamu harus fokus dengan pekerjaanmu. Lupakan pernikahanmu yang gagal. Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dari si brengsek itu." Semua ucapan Farrel seperti sebuah dengungan keras di telinga Aura. Ia benar-benar mera
"Aku tahu, ini pertama kalinya buat kamu," bisik Rey di telinga gadisnya, "aku akan memperlakukanmu dengan lembut, seperti bola kristal yang rapuh." Aura menghela napas panjang. Kali ini pikirannya kembali tak sejalan dengan hatinya. Setiap sentuhan lelaki itu membuatnya semakin menggila. Ia tak mampu lagi berpikir rasional. Tembok pertahanan yang selama ini dijaganya dengan baik, seakan runtuh begitu saja di tangan seorang Rey Damarta. Rey Damarta benar-benar penuh pesona. Bukan hanya itu, ia tahu bagaimana memperlakukannya dengan lembut. Lelaki itu tahu bagaimana meratukan gadisnya, melambungkan perasaannya dan membuainya dalam setiap sentuhannya. Sentuhan yang membuat Aura tak dapat berkata apapun untuk menolak. Bahkan tubuhnya pun mengkhianati pikirannya dan justru memperlihatkan reaksi sebaliknya. Ia sungguh menikmatinya. Jemari itu mulai menyentuh di bagian paling privacy nya. Bagian yang tak pernah terjamah lelaki manapun selama dua puluh tahun lebih itu, kini meras
"Aura! Aura Dinata!" Suara desah maskulin itu tiba-tiba saja berubah menjadi suara cempreng yang sangat ia kenal. Dan wajah tampan penguasa D'Amartha Group itu lenyap begitu saja dari pelukannya digantikan wajah gadis berambut keriting yang sangat dikenalinya. Gubrak! Aura meringis kesakitan saat tubuhnya merasakan kerasnya lantai keramik dingin di bawahnya. Dan entah bagaimana caranya, selimutnya pun seolah ingin ikut campur untuk menghukumnya karena mimpi yang sangat aneh itu. Aura melepaskan diri dari lilitan selimutnya. Dihempasnya guling yang ada dipelukannya dengan kesal. Mimpi itu bahkan terasa begitu nyata baginya. Senyata guling yang berada di dalam pelukannya tadi dan rasa sakit di tubuhnya. "Kamu ngapain rebahan sambil selimutan di lantai?" tanya Jessy yang terkejut melihat ulah kawan yang sedari tadi tidak menjawab panggilannya, "kamu lagi cari tokek apa kadal?" "Ya ... gimana lagi. Kasurnya nggak mau aku tidurin. Dia malah lempar aku ke lantai." Gadis ber
Gadis itu menganggukkan kepalanya, membuat lelaki di hadapannya merasakan kelegaan dalam hatinya. Anggukkan itu seperti secercah harapan baginya untuk kembali memperjuangkan perasaannya. "Bagus kalau gitu," lirihnya sembari melepaskan cengkramannya, "tentang menu baru yang kita bicarakan, bagaimana kalau kita coba membuatnya malam nanti." Aura menatap lelaki itu dengan kesal. Setelah tutup toko, sama artinya dia terpaksa harus lembur malam ini. Dan Bu Natusha tidak menyukai karyawannya lembur. Tapi lagi-lagi ia tidak mungkin menolak perkataan Chef Farrel, atasannya itu. Penilaian kerjanya, tergantung pada kepuasan lelaki bermulut pisau ini. "Baik Chef." *** "Om Rey, ngapain booking tempat dadakan buat tamu yang nggak kira-kira banyaknya?" sambut Aura sesaat setelah melihat wajah Rey Damarta di ruang tertutup resto itu. "Aku cuma mau mempertegas pembicaraan kita pagi tadi. Pembicaraan yang terputus hanya karena kamu harus berangkat kerja." Lelaki itu menarik sudut bibirn
“Bahagia? Apa mungkin aku bisa hidup bahagia kalau hanya menjadi budakmu?” Pikiran itu tiba-tiba saja muncul dan begitu kuat mengusiknya. Kalimat yang diucapkan oleh Rey, seakan sebuah bom yang memicu sebuah pergolakan dalam hatinya. Namun ia tak sanggup mengatakannya. Sepasang tangannya mendorong dada Rey menjauh. Namun lelaki itu justru memperkuat pelukannya dan kembali membakar gairahnya dengan kecupannya di leher jenjangnya. Kegelisahan semakin kuat mengguncang tubuh gadis itu. Tubuhnya menegang saat sentuhan intens berada tepat di titik-titik sensitifnya. Setiap sentuhannya bahkan membuatnya merasa ingin lebih dan lebih lagi. Sepasang tangannya yang semula mendorong, kini justru meremas kemeja Rey seakan keduanya sengaja mengkhianati pikirannya. Gestur tubuh yang dengan mudahnya ditangkap oleh Rey. Umpannya telah disambut! Lelaki itu melepaskan pagutannya. Ia merapikan pakaiannya dan mengatur kembali napasnya. “Aku tidak akan memaksamu, Aura. Aku suka kamu, dan kita akan me
“Tapi aku belum pernah melakukan itu. Aku belum pernah berhubungan dengan lelaki manapun. Mana mungkin aku tahu apa yang kusuka dan tidak.” Rey menatap gadis di hadapannya dengan rasa tak percaya. Tentu saja, di jaman yang semakin gila seperti sekarang, ia tak percaya masih ada gadis yang mempertahankan kesuciannya seperti Aura. “Maksudmu … kamu belum pernah berhubungan dengan keponakanku?” Sekali lagi Aura menggigit bibir bawahnya dengan gelisah sebelum akhirnya menundukkan kepalanya. Tatapan mata itu seperti hendak menelanjanginya. Lelaki itu seperti mempunyai kemampuan untuk membaca semua yang ada di dalam pikirannya. “Si bodoh itu belum pernah menyentuhmu? Maksudku … katakan padaku sejauh apa dia sudah menyentuhmu selama ini,” tanyanya lagi. Aura terdiam. Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya merasa tak nyaman, bahkan terlalu privacy untuk dibicarakan dengan orang yang masih termasuk asing baginya. “Aku tahu, hari ini cukup berat buat kamu. Istirahatlah, dan pikirkan tawara