Diego berdebar. Jantung Diego memacu sangat kencang dan bohong kalau Diego tidak gugup saat ini. Diego sudah berpikir untuk memberitahukan semuanya pada Bella sesegera mungkin. Namun, Diego tidak menyangka Bella harus mengetahuinya dengan cara yang tidak "tenang" seperti ini. Diego takut menyakiti Bella yang sudah begitu baik padanya, tapi tidak akan pernah ada waktu yang tepat kalau waktu yang tepat itu tidak diciptakan sendiri. Seketika suasana kembali hening karena semua orang sudah menahan napasnya sejenak. Anna yang tidak menyangka Diego akan jujur seperti ini dan Bella yang begitu syok dengan kejujuran tunangannya itu. "Apa ... apa kau bilang, Diego? Bu Anna ini ...." "Kau tahu aku pernah menikah kan? Aku seorang duda. Dulu aku pernah menikah dengan Anna selama satu tahun dan aku ... baru tahu kalau Anna melahirkan anakku. Darren adalah anak kandungku, bukan anak Jeremy." Bahkan, Bik Nim pun saat ini ikut menahan napasnya sejenak karena rasanya sangat menegangkan. Bik Nim
Diego seketika terdiam mendengar ucapan Anna. Sederhana, tapi sangat tepat sasaran. Bukan istri. Ya, Anna bukan istri Diego lagi. Itu benar, walaupun entah mengapa Diego tidak peduli. "Memangnya kenapa kalau kau bukan istriku lagi? Nyatanya Darren tetap anakku kan?" ucap Diego tetap kukuh mempertahankan Anna. Anna kembali tertawa nanar. "Lalu aku harus tinggal di sini sebagai apa? Sebagai simpananmu? Atau sebagai pengasuh anakmu?""Aku tidak peduli apa pun statusmu, Anna! Aku hanya mau kau tetap di sini bersamaku dan tidak memutuskan apa pun sendirian seperti dulu! Kau harus tetap bersamaku, Anna!" Air mata Anna akhirnya menetes juga dan tawanya pun makin frustasi. "Nyatanya kita sudah tidak bersama, Diego! Bahkan, dengan kebenaran masa lalu yang akhirnya kau ketahui, itu tidak mengubah apa pun.""Kebenaran itu hanya akan membuatmu berhenti membenciku, kebenaran itu hanya akan membuatmu akhirnya iba padaku dan menolongku dengan lebih ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Tapi itu te
"Anna, apa yang terjadi? Apa yang terjadi padamu?" Anna akhirnya pergi ke rumah Joyce pagi itu setelah ia melihat Jovan di hotel yang sama tempat ia akan menginap tadi. Anna langsung frustasi karena dengan adanya Jovan di sana, maka tidak lama kemudian, Diego pasti akan muncul juga. Karena itu, Anna tidak punya pilihan lain selain menemui Joyce karena Diego tidak akan berani memaksa masuk ke rumah Joyce dengan tidak sopan. "Maafkan aku merepotkanmu lagi, Joyce! Maafkan aku!" Anna masuk ke pelukan Joyce dan menceritakan kegalauan hatinya."Aku sudah bilang aku tidak repot sama sekali, Anna. Pintu rumahku selalu terbuka lebar untukmu, kau bisa tinggal di sini selama apa pun yang kau mau." Untungnya, Joyce sedang tinggal sendiri karena orang tuanya masih di luar negeri. Anna pun jadi tidak terlalu sungkan. Joyce pun langsung memberikan mainan untuk Darren agar Darren bisa bermain bersama Bik Nim, sedangkan Joyce bicara dengan Anna. "Jadi dia memintamu tetap bersamanya?" "Ya, semu
Diego tidak tahu apa yang ia lakukan ini benar atau tidak, tapi Diego menolak permintaan Bella untuk bertemu dengan Anna."Mungkin dia masih butuh waktu, Bella. Kau tahu dia punya banyak masalah kan? Aku tidak yakin mencarinya sekarang adalah ide yang bagus. Maafkan aku.""Ah, begitu ya. Baiklah, aku paham," jawab Bella kecewa. Bella kembali terdiam sejenak. Bella menggigit bibirnya dan rasanya ia ingin sekali ia bertanya tentang perasaan Diego yang masih tertinggal untuk Anna, tapi Bella mengurungkan niatnya dan memilih tidak bertanya apa pun. Bella pun mengajak Diego ke kantor hari itu dan Diego menerimanya, memutuskan kembali bekerja untuk menghabiskan waktu agar ia tidak terlalu merindukan Anna dan Darren. Namun, nyatanya Diego tidak bisa fokus sama sekali. Bella sendiri sudah bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Sesekali Bella terdiam melihat Diego yang tidak fokus, tapi Bella tidak mau membahas apa pun. Hingga saat Diego memutuskan pulang lebih cepat hari itu, Bell
Anna seketika terdiam mendengar permintaan Bella, permintaan yang menegaskan bahwa Anna hanya masa lalu dan Bella adalah masa depan Diego. Tentu saja Anna tahu hal itu, bahkan Anna sendiri mengatakan hal yang sama. Namun, tetap hatinya berdenyut saat ini. "Itu ... aku yakin kau bisa melakukannya dengan lebih baik, Bella." Anna canggung, tapi untungnya Darren segera menyelamatkannya dari suasana itu. "Mama, ayo pulang! Darren mau main mainan yang dibelikan Aunty Joyce." Darren mendadak berlari menghampiri Anna. "Ah, iya, Sayang." Bella sendiri langsung tersenyum ramah menatap Darren. "Hai, Darren." "Eh, ada Aunty yang kemarin lagi." "Darren ingat siapa nama Aunty?" Darren menggeleng. "Nama Aunty Bella, Darren harus ingat ya." "Aunty Bella. Darren ingat sekarang." "Haha, Darren lucu sekali. Tapi bagaimana kalau ke depannya Darren memanggil aku Mami? Kau kan dipanggil Mama, sedangkan aku Mami. Bagaimanapun dia anak Diego kan?" ucap Bella sambil tertawa sumringah menatap Anna
Joyce mematung menatap pria yang berdiri depan pintu rumahnya malam itu. Diego. Ya, akhirnya Diego datang juga. Kemarin di acara duka Martha, Joyce belum benar-benar sempat menyapa Diego, Joyce hanya menatapnya seperti orang bodoh melihat betapa Diego sudah berubah 180 derajat. Namun, kini, pria itu berdiri tepat di hadapannya dan Joyce merinding merasakan aura Diego yang memang berbeda dari yang dulu. "Aku tidak terkejut kau ada di sini. Menemukan Anna bukan hal yang sulit bagimu sekarang kan? Tadi kau sudah datang dan sekarang kau mencoba peruntunganmu lagi. Tapi aku harus mengatakan maaf karena Anna tidak mau bertemu denganmu dan aku juga tidak akan mengijinkan kau masuk ke rumahku.""Apa kabar, Joyce? Senang bertemu denganmu lagi dan senang melihatmu tetap bersama Anna setelah sekian lama." "Tentu saja aku teman yang setia, tidak sepertimu yang sudah berpaling pada wanita lain." Diego terdiam sejenak, sebelum ia mengangguk. "Ada banyak kisah di dalamnya yang kau tidak tahu,
Anna membelalak mendengar ucapan Diego dan sontak Anna langsung menoleh menatap pria itu. "Kau bilang apa, Diego?" "Kembalilah padaku, Anna! Aku akan memutuskan Bella agar kita bisa kembali bersama." Anna menggeleng. "Kau gila, Diego! Kau gila! Kau mau menempatkan aku sebagai orang ketiga perusak hubungan kalian, hah?" "Tidak ada hubungan yang dirusak, Anna! Aku dan Bella sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan." "Kau tidak perlu menjelaskan seperti apa hubungan kalian. Yang aku tahu adalah Bella mencintaimu. Kalian sudah bertunangan selama dua tahun, bahkan Bella sudah mempersiapkan dirinya menjadi istri yang baik untukmu. Sudah waktunya kau menjemput bahagiamu dengan menikahi Bella." "Aku sedang menjemput bahagiaku saat ini, Anna. Tapi bahagiaku bukan Bella! Aku tidak pernah mencintai Bella!" Tatapan Anna goyah. "Apa? Bagaimana kau bisa mengatakannya semudah itu, Diego? Kau setuju bertunangan dengannya tapi kau tidak mencintainya, kau pikir perasaan itu main-main, hah?"
Putus?Selama dua tahun bersama dan saat Bella sudah memikirkan tentang pernikahan, mendadak Diego minta putus hanya karena masa lalu yang akhirnya kembali. Air mata Bella mengalir makin deras. Ada rasa sesak karena sedih dan ada rasa marah luar biasa. Padahal sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja. "Kau bicara apa, Diego? Kau bicara apa?" "Maafkan aku, Bella!" "Berhenti minta maaf padaku, Diego!" Nada Bella meninggi. "Aku tidak suka kau meminta maaf padaku, setiap kali kau mengabaikan aku, setiap kali kau melupakan hal penting kita, kau selalu minta maaf. Bahkan, sampai akhirnya seperti ini, kau juga terus meminta maaf." Diego terdiam. Entah bagaimana tepatnya menyebut hubungan pertunangan mereka, tapi begitulah manusia yang melakukan semua tanpa memakai perasaan. Diego sudah berusaha, tapi Diego tidak bisa bersikap lembut seperti kekasih yang lain. Seolah hanya menjalankan kewajibannya, Diego tidak bisa mengingat detail tentang Bella seperti Diego mengingat semua tentang An
"Apa aku sudah cantik, Joyce? Apa ini tidak terlalu menor?" Anna berdandan hari itu karena setelah beberapa hari dirawat, Diego akhirnya akan keluar dari ruang isolasi dan dipindahkan ke kamar rawat inap biasa. Ini akan menjadi pertemuan pertama antara Anna dan Diego secara langsung tanpa ada batasan kaca dan jantung Anna kembali berdebar kencang. Joyce yang melihatnya sampai terus tertawa sendiri. Di umur Anna yang sudah matang, tidak seharusnya Anna heboh sendiri seperti ini, tapi Joyce paham, sangat paham. Bahkan, Joyce ikut tidak sabar menantikan pertemuan itu. "Sudah cantik, Anna! Sama sekali tidak menor! Aku yakin Diego tidak akan berkedip melihatmu!" Anna tergelak mendengarnya dan mendadak tersipu sendiri. Tidak lama kemudian, Darren pun datang bersama Bik Nim dan Retha. "Mama!" "Darren Sayang!" Anna memeluk anak kesayangannya itu. Anna sendiri sudah mulai belajar berjalan, tapi karena tubuhnya masih adaptasi, Anna masih harus memakai kursi roda untuk berpindah tempat.
"Diego sudah sadar, Anna! Diego sudah sadar!"Akhirnya Anna mendengar kabar yang ingin ia dengar. Anna sampai tidak bisa beristirahat sepanjang sisa hari itu karena ia memikirkan Diego-nya. "Kau yakin, Joyce? Kau tidak berbohong kan? Kau sudah melihatnya? Apa itu benar? Diego sudah sadar?" "Diego sudah membuka matanya. Aku bertemu dengan dokter dan suster di bawah." "Ya Tuhan! Syukurlah! Syukurlah Diego sudah membuka matanya." Anna kembali menangis malam itu, tapi tangisan ini tangisan bahagia. "Terima kasih, Tuhan! Terima kasih! Tapi aku mau melihatnya, Joyce! Aku mau melihatnya!" "Sabar dulu, Anna! Kata suster, Diego baru saja membuka matanya malam ini dan dia belum boleh dijenguk oleh siapa pun. Dokter juga harus memastikan Diego stabil setidaknya sampai besok. Besok baru kita bisa melihatnya." "Tapi aku ingin melihatnya sebentar saja." "Sepertinya tidak bisa, Anna. Diego ada di ruang isolasi yang peraturannya sangat ketat. Kita harus bersabar sampai besok. Aku juga akan me
"Maaf, Bu. Waktu kunjungan yang diijinkan oleh dokter sudah habis. Anda harus keluar dulu ya." Seorang suster tersenyum ramah pada Anna yang masih menggenggam tangan Diego."Sebentar lagi saja, Suster. Aku masih merindukannya ...." "Maaf, Bu, tapi aturan di ruang isolasi sangat ketat. Makin lama Anda di sini, resiko pasien akan makin besar." Anna tersenyum lirih sambil terus membelai tangan Diego dalam genggamannya. Anna pun mengangguk dan dengan enggan mengucapkan perpisahannya dengan Diego. "Diego, aku harus pergi dulu karena suster tidak mengijinkan aku terlalu lama. Tapi aku menunggumu. Ingatlah kalau aku menunggumu. Kau harus segera sadar. Kau mengerti?" Anna mencium tangan Diego dan menatapnya lekat, sebelum akhirnya Anna mengangguk menatap suster. Suster pun mendorong kursi roda Anna menuju ke pintu keluar. Namun, belum sempat mereka keluar, suara bip yang lebih cepat dari biasanya terdengar dari monitor di ruangan Diego. "Sebentar, Bu!" Suster langsung berhenti mendoro
"Di mana aku?"Diego berjalan sendirian di tengah taman yang luas. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, seolah-olah ia hanya melayang di atas tanah. Di sekelilingnya, pohon-pohon tinggi menjulang, daunnya berwarna keemasan seakan diterpa cahaya matahari senja yang lembut. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga yang bermekaran. Namun, ada sesuatu yang aneh, tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berdesir di antara dedaunan. Hening. Sepi.Diego menunduk, memperhatikan dirinya sendiri. Bajunya putih bersih, kakinya tidak beralas, tapi ia tidak merasakan dingin atau pun panas. Rasanya kosong, seakan-akan tubuhnya bukan lagi miliknya. Ini ... mimpi? Atau ... apakah ia sudah mati?Tiba-tiba, di kejauhan, Diego melihat sesuatu yang begitu indah. Anna-nya berdiri di bawah sebuah pohon sakura yang sedang berbunga, angin menerbangkan kelopak-kelopak merah muda di sekitarnya. Wajah Anna berseri-seri, tubuhnya tampak sehat, tidak lagi pucat dan lemah seperti tera
"Dokter, tolong katakan padaku siapa yang mendonorkan hatinya padaku! Tolong, Dokter!" Dokter visit sore itu ke kamar Anna dan Anna mendesaknya untuk memberitahu identitas pendonornya, tapi sang dokter yang sudah terikat janjinya kukuh tidak memberitahukan apa pun. "Maaf, ini permintaan dari pendonor untuk identitasnya dirahasiakan." "Tapi pendonornya dari keluargaku kan? Mana dia? Aku mau melihatnya, Dokter! Dia keluargaku kan?" Sang dokter nampak salah tingkah dan melirik suster yang sudah keceplosan itu."Maaf lagi, Bu Anna! Tapi Anda baru saja sembuh, Anna harus tenang dulu!" "Aku tenang, Dokter! Aku sangat tenang. Aku hanya mau tahu siapa yang sudah mendonorkan hatinya padaku, aku harus berterima kasih padanya." "Seperti yang sudah kubilang, kami tidak bisa memberitahukan identitas pendonor. Tolong istirahat, Bu Anna!" Dokter dan suster akhirnya berhasil keluar dari kamar itu tanpa memberitahukan apa pun pada Anna, tapi begitu Joyce masuk, Joyce yang menjadi sasaran Anna.
Empat hari berlalu sejak Anna sadar dan kondisi Anna sudah benar-benar stabil, Anna pun akhirnya dipindahkan ke kamar rawat inap biasa dan semua orang pun bernapas lega karenanya. Anna sudah bisa duduk di ranjangnya walaupun belum bisa terlalu lama karena rasanya masih pegal. Terkadang ada rasa aneh di tubuhnya karena menurut dokter, organ-organ Anna masih beradaptasi lagi. Tapi kondisi Anna sudah sangat aman."Pak Rusli, Anda datang!" sapa Anna saat Pak Rusli menjenguknya untuk pertama kalinya sejak Anna sadar. Sebelumnya, Anna ditempatkan di ruang isolasi yang tidak bisa sembarangan dijenguk, sehingga Pak Rusli baru datang sekarang. "Bu Anna, aku senang sekali melihat Anda sudah sadar. Ini benar-benar mukjizat. Aku sedih sekali saat tahu Anda pergi dan menyembunyikan penyakit Anda." "Semua sudah berlalu, Pak Rusli. Tapi Tuhan baik, Tuhan sangat baik. Tuhan mengijinkan kita memenangkan kasus dengan Jeremy dan Tuhan memberiku kesempatan hidup kedua." "Anda benar, Bu Anna. Tuhan s
Cahaya putih yang menyilaukan menusuk kelopak mata Anna saat ia membuka matanya. Ada sensasi berat di tubuhnya, seolah ia baru saja melewati sesuatu yang sangat besar. Dadanya terasa sesak, dan ada selang oksigen yang membantu pernapasannya. Semua terasa asing, tapi juga … ringan.Anna berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan ruangan di sekelilingnya. Dinding putih, bau antiseptik yang menusuk, serta suara monitor jantung yang berdetak pelan di sampingnya. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa melihat bayangan beberapa orang di sekitarnya. "Anna, kau sudah sadar? Anna ...."Anna mengenali suara Joyce yang penuh kecemasan. Perlahan pandangannya mulai jelas dan benar saja, wajah Joyce terlihat di hadapannya. Sahabatnya itu membungkuk sambil tertawa haru. "Anna ... kau lihat aku? Kau kenal aku kan?" "J-Joyce ...."Anna mencoba berbicara, tapi tenggorokannya kering, suaranya hanya keluar sebagai bisikan. Ia mencoba menggerakkan tangannya dan Joyce langsung menggenggamn
"Bu Martha, aku tahu Anda sudah tenang di sana. Aku tidak akan mengganggu Anda. Aku hanya ingin meminta ... kalau Anda dekat dengan Tuhan, tolong minta keselamatan ... bukan untukku, tapi untuk Anna." "Anna akan dioperasi dan restuilah agar operasi ini berjalan lancar. Maaf waktu itu aku terlambat mengetahui semuanya. Maaf aku tidak sempat menyelamatkan Anda. Tapi kali ini ... aku janji akan menyelamatkan anak Anda." "Aku janji akan membuat anak Anda bahagia. Aku janji, Bu Martha. Aku hanya meminta restu Anda ...." Diego menatap langit penuh bintang malam itu dan berharap Martha bisa mendengarnya. Semua pemeriksaan sudah dielesaikan dalam beberapa hari berikutnya dan Diego dinyatakan siap melakukan operasi transplantasi hati itu. Jadwal operasi pun sudah dibuat dan besok, Diego akan memberikan hatinya untuk wanita yang sangat ia cintai itu. Semua orang sudah merestui, entah terpaksa atau tidak, Diego sudah tidak mau memikirkannya lagi. Diego hanya minta doa agar semuanya dilanca
"Berdasarkan hasil pemeriksaan awal, Pak Diego berpotensi besar menjadi pendonor yang cocok." Setelah beberapa hari melakukan pemeriksaan yang membuat Diego terus berdebar, akhirnya dokter memberikan hasilnya. Ucapan dokter pun langsung membuat Diego bernapas lega. Sungguh, Diego terus memohon pada Tuhan agar ia diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang bisa menyelamatkan Anna dan sekarang Tuhan menjawab doanya. Air mata Diego pun menetes bahagia dan ia terus mengatupkan tangannya. "Kalau begitu, tunggu apa lagi, Dokter? Kapan pun operasinya dilakukan, aku siap, Dokter! Aku siap!" "Masih ada sedikit pemeriksaan lanjutan sebelum operasi itu bisa dilakukan, Pak. Tapi sejauh ini, peluangnya cukup besar." Diego tertawa di dalam tangisnya. "Lakukan semua pemeriksaan itu, Dokter! Lakukan segera karena Anna-ku tidak bisa menunggu lama, Dokter. Tolong!" "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Yang terpenting sekarang adalah jaga kondisi Anda, bukan hanya kondisi fisik, tapi juga