Anna membelalak mendengar ucapan Diego dan sontak Anna langsung menoleh menatap pria itu. "Kau bilang apa, Diego?" "Kembalilah padaku, Anna! Aku akan memutuskan Bella agar kita bisa kembali bersama." Anna menggeleng. "Kau gila, Diego! Kau gila! Kau mau menempatkan aku sebagai orang ketiga perusak hubungan kalian, hah?" "Tidak ada hubungan yang dirusak, Anna! Aku dan Bella sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan." "Kau tidak perlu menjelaskan seperti apa hubungan kalian. Yang aku tahu adalah Bella mencintaimu. Kalian sudah bertunangan selama dua tahun, bahkan Bella sudah mempersiapkan dirinya menjadi istri yang baik untukmu. Sudah waktunya kau menjemput bahagiamu dengan menikahi Bella." "Aku sedang menjemput bahagiaku saat ini, Anna. Tapi bahagiaku bukan Bella! Aku tidak pernah mencintai Bella!" Tatapan Anna goyah. "Apa? Bagaimana kau bisa mengatakannya semudah itu, Diego? Kau setuju bertunangan dengannya tapi kau tidak mencintainya, kau pikir perasaan itu main-main, hah?"
Putus?Selama dua tahun bersama dan saat Bella sudah memikirkan tentang pernikahan, mendadak Diego minta putus hanya karena masa lalu yang akhirnya kembali. Air mata Bella mengalir makin deras. Ada rasa sesak karena sedih dan ada rasa marah luar biasa. Padahal sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja. "Kau bicara apa, Diego? Kau bicara apa?" "Maafkan aku, Bella!" "Berhenti minta maaf padaku, Diego!" Nada Bella meninggi. "Aku tidak suka kau meminta maaf padaku, setiap kali kau mengabaikan aku, setiap kali kau melupakan hal penting kita, kau selalu minta maaf. Bahkan, sampai akhirnya seperti ini, kau juga terus meminta maaf." Diego terdiam. Entah bagaimana tepatnya menyebut hubungan pertunangan mereka, tapi begitulah manusia yang melakukan semua tanpa memakai perasaan. Diego sudah berusaha, tapi Diego tidak bisa bersikap lembut seperti kekasih yang lain. Seolah hanya menjalankan kewajibannya, Diego tidak bisa mengingat detail tentang Bella seperti Diego mengingat semua tentang An
Bella terus menangis setelah diputuskan oleh Diego. Bella belum bisa menerimanya sampai ia mengurung diri di kamarnya dan tidak punya gairah untuk pergi bekerja lagi. Sementara Diego malah merasa bebannya langsung terangkat. Tentu saja Diego merasa sangat bersalah pada Bella. Entah bagaimana menebus rasa bersalahnya itu. Luka hati Bella akan terasa sangat menyakitkan, tapi yang bisa menyembuhkannya hanya diri Bella sendiri. Karena itu, Diego pun meninggalkan Bella, membiarkan Bella punya waktu untuk dirinya sendiri. Diego langsung mencari Anna ke rumah Joyce pagi itu, tapi Anna tidak ada. "Darren sudah mulai sekolah dan Anna mengantar Darren ke sekolah," seru Joyce yang menemui Diego pagi itu. "Ah, syukurlah Darren sudah mulai sekolah lagi," seru Diego lega mendengar anaknya mulai menjalani hari normalnya. Diego tidak bicara lagi dan berniat berpamitan, tapi Joyce mendadak bicara lagi. "Aku mendengar pembicaraanmu dengan Anna kemarin. Aku menguping di balik pintu," aku Joyce ju
"Ayo kita pulang, Darren!" ajak Anna setelah Darren puas berpelukan dengan Diego. "Kok pulang, Mama? Darren mau jalan-jalan dulu sama Papa." "Lain kali saja. Mama tidak enak badan." "Mama kok tidak enak badan terus? Ayo kita ke mall, Mama!" Anna melirik Diego sejenak. "Mama tidak mau ke mall, Mama mau pulang saja!" seru Anna yang masih berniat menjaga jarak dengan Diego. "Yah, Darren kan mau jalan-jalan sama Papa dan Mama sama-sama. Mama ikut ya, jangan pulang dulu!" seru Darren sambil menunduk kecewa sampai Diego pun tidak tega melihatnya. "Jangan mengecewakan Darren, Anna! Kau lihat dia begitu senang saat kita menjemputnya sama-sama kan?" Anna mengembuskan napas panjangnya dan kukuh tidak mau ikut. Namun, Darren terus memaksa Anna sampai Darren hampir menangis. Dan Anna akhirnya menyerah. Diego ingin semuanya naik mobilnya, tapi Anna kukuh tidak berani meninggalkan mobil pinjaman. "Kita naik mobil sendiri-sendiri saja!" seru Anna. "Tapi Darren maunya satu mobil sama-sama."
Anna tidak berhenti berdebar sepanjang perjalan pulang kembali ke rumah Joyce. Tadinya Joyce tidak mau memberitahu siapa yang datang, tapi setelah Anna memaksanya, Joyce akhirnya memberitahunya. Begitu juga dengan Anna yang tadinya ingin pulang dan menyelesaikan urusannya sendiri, tapi Diego tidak mengijinkannya. "Jangan ikut campur urusanku, Diego!" "Sudah kubilang urusanmu adalah urusanku juga, Anna! Jadi ayo kita pulang bersama!" Diego kembali menyetir mobil Anna hingga akhirnya mereka tiba di rumah Joyce dan masuk ke sana. "Pelayan meneleponku dan aku segera pulang saat dia datang ke rumah. Hati-hati karena dia datang bukan untuk ramah tamah, Anna!" bisik Joyce, sebelum Anna benar-benar bertemu dengan tamunya. Anna pun langsung melihat seorang wanita paruh baya yang masih cantik di umur tuanya, tapi wajah itu sangat culas dan tidak menyenangkan. Wanita itu adalah Bu Melda, ibu Jeremy yang selama ini tinggal di Singapore bersama ayah Jeremy. "Ibu ...," lirih Anna yang selam
Sejak munculnya ibu Jeremy sampai satu minggu berlalu, kasus Jeremy pun mulai berjalan di tempat. Orang tua Jeremy benar-benar berusaha keras menyelamatkan anaknya dari penjara, tapi Anna juga kukuh memenjarakan Jeremy. Anna ditemani Pak Rusli pun memberikan kesaksian sejujur-jujurnya atas semua kejahatan yang pernah dilakukan Jeremy. Rumah Jeremy sendiri sudah disita, aktivitas perusahaan dihentikan, dan semua yang berhubungan dengan Jeremy dibekukan sementara karena ada dugaan penggelapan dana juga yang akhirnya ikut dilaporkan pihak-pihak yang memang tidak menyukai Jeremy. Mereka menggunakan kesempatan untuk menjatuhkan Jeremy. Namun, dengan semua koneksinya dan pengacara yang lihai, sidang Jeremy bisa terus ditunda dengan banyak alasan. Alasan terbaru adalah karena Jeremy sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Anna yang mendengar berita itu pun begitu geram. "Mereka satu keluarga memang licik. Bahkan, dengan bukti pembunuhan dan KDRT yang sudah begitu jelas saja, sidang masih
"Halo, dengan Anna? Apa kabar, Anna?" Ponsel Anna berbunyi pagi itu setelah Anna mengantar Darren ke sekolah. Anna sempat mengernyit karena ia tidak mengenali nomor peneleponnya, tapi Anna mengenali suara wanita yang meneleponnya itu. "B-Bella?" tanya Anna ragu dan berdebar. Sejak Diego mengatakan akan putus dari Bella sampai hari ini, Anna belum pernah bertemu dengan Bella lagi. "Hmm, ternyata kau mengenali suaraku ya? Ya, aku Bella. Aku mendapatkan nomormu dari Diego," dusta Bella yang mendapatkan nomor Anna dari orang suruhannya. Anna sendiri mengangguk dan tidak masalah dengan itu. "Tentu, tidak masalah. Itu ... apa ada yang bisa kubantu?" "Ya, apa kau ada waktu sekarang? Bukankah kau sudah mengantar Darren ke sekolah?" Anna terdiam sejenak, sebelum ia mengangguk. "Ya, aku baru saja mengantarnya ke sekolah dan aku ada waktu." "Kalau begitu, temui aku, Anna! Kutunggu kau di cafe. Aku akan mengirimkan alamatnya." Anna menatap alamat cafe yang dikirimkan oleh Bella dan ja
Suasana seketika hening sejenak saat Bella meminta Anna pergi dari hidup Diego. Untuk sesaat, Anna terbawa perasaannya dan merasa Bella benar. Pergi dari hidup Diego mungkin adalah pilihan yang paling benar saat ini. Namun, secepat itu kesadarannya kembali. Sejak terlepas dari Jeremy, Anna sudah bersumpah hanya akan melakukan apa yang ia inginkan dan tidak akan membiarkan dirinya disetir lagi oleh orang lain. Sebuah senyuman getir pun perlahan terbit di wajah Anna dan ia menatap Bella lekat-lekat. "Maafkan aku, Bella. Aku tahu hatimu juga pasti berat, aku juga bisa merasakan seberapa kau mencintai Diego. Aku tulus berharap yang terbaik untuk kalian, entah itu bersama atau tidak." "Kau tahu, aku tidak bisa mengatur tindakan orang lain kan? Aku juga tidak cukup berharga untuk memaksa orang lain melakukan seperti yang aku minta." "Tapi aku bisa mengatur tindakanku sendiri. Hanya saja, aku hanya akan melakukan apa yang ingin kulakukan, bukan atas perintah orang lain ataupun pertimba
"Terima kasih untuk bantuan dan perawatannya selama ini!" Anna benar-benar berterima kasih dari hatinya yang paling dalam untuk dokter dan suster yang merawatnya selama berminggu-minggu ia dan Diego menginap di rumah sakit. "Sama-sama, Bu Anna! Kami senang sekali melihat Bu Anna dan Pak Diego bisa keluar dari rumah sakit dalam kondisi yang stabil." "Aku juga senang, Suster. Aku sudah tidak sabar pulang ke rumah. Istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan." "Tentu saja, Bu! Jangan lupa untuk menjaga kesehatan ya." Hari itu akhirnya Anna dan Diego diijinkan keluar dari rumah sakit. Tentu saja mereka harus tetap kontrol rutin dan membatasi aktivitasnya. Mereka masih belum boleh beraktivitas berat dan terlalu lelah karena tubuh mereka masih adaptasi.Biasanya pasien transplantasi butuh waktu beberapa bulan sampai satu tahun untuk bisa beraktivitas normal, tergantung pemulihan masing-masing. Dokter juga sudah menjelaskan bagaimana Anna dan Diego harus beraktivitas di rumah nanti. Mer
"Apa aku sudah cantik, Joyce? Apa ini tidak terlalu menor?" Anna berdandan hari itu karena setelah beberapa hari dirawat, Diego akhirnya akan keluar dari ruang isolasi dan dipindahkan ke kamar rawat inap biasa. Ini akan menjadi pertemuan pertama antara Anna dan Diego secara langsung tanpa ada batasan kaca dan jantung Anna kembali berdebar kencang. Joyce yang melihatnya sampai terus tertawa sendiri. Di umur Anna yang sudah matang, tidak seharusnya Anna heboh sendiri seperti ini, tapi Joyce paham, sangat paham. Bahkan, Joyce ikut tidak sabar menantikan pertemuan itu. "Sudah cantik, Anna! Sama sekali tidak menor! Aku yakin Diego tidak akan berkedip melihatmu!" Anna tergelak mendengarnya dan mendadak tersipu sendiri. Tidak lama kemudian, Darren pun datang bersama Bik Nim dan Retha. "Mama!" "Darren Sayang!" Anna memeluk anak kesayangannya itu. Anna sendiri sudah mulai belajar berjalan, tapi karena tubuhnya masih adaptasi, Anna masih harus memakai kursi roda untuk berpindah tempat.
"Diego sudah sadar, Anna! Diego sudah sadar!"Akhirnya Anna mendengar kabar yang ingin ia dengar. Anna sampai tidak bisa beristirahat sepanjang sisa hari itu karena ia memikirkan Diego-nya. "Kau yakin, Joyce? Kau tidak berbohong kan? Kau sudah melihatnya? Apa itu benar? Diego sudah sadar?" "Diego sudah membuka matanya. Aku bertemu dengan dokter dan suster di bawah." "Ya Tuhan! Syukurlah! Syukurlah Diego sudah membuka matanya." Anna kembali menangis malam itu, tapi tangisan ini tangisan bahagia. "Terima kasih, Tuhan! Terima kasih! Tapi aku mau melihatnya, Joyce! Aku mau melihatnya!" "Sabar dulu, Anna! Kata suster, Diego baru saja membuka matanya malam ini dan dia belum boleh dijenguk oleh siapa pun. Dokter juga harus memastikan Diego stabil setidaknya sampai besok. Besok baru kita bisa melihatnya." "Tapi aku ingin melihatnya sebentar saja." "Sepertinya tidak bisa, Anna. Diego ada di ruang isolasi yang peraturannya sangat ketat. Kita harus bersabar sampai besok. Aku juga akan me
"Maaf, Bu. Waktu kunjungan yang diijinkan oleh dokter sudah habis. Anda harus keluar dulu ya." Seorang suster tersenyum ramah pada Anna yang masih menggenggam tangan Diego."Sebentar lagi saja, Suster. Aku masih merindukannya ...." "Maaf, Bu, tapi aturan di ruang isolasi sangat ketat. Makin lama Anda di sini, resiko pasien akan makin besar." Anna tersenyum lirih sambil terus membelai tangan Diego dalam genggamannya. Anna pun mengangguk dan dengan enggan mengucapkan perpisahannya dengan Diego. "Diego, aku harus pergi dulu karena suster tidak mengijinkan aku terlalu lama. Tapi aku menunggumu. Ingatlah kalau aku menunggumu. Kau harus segera sadar. Kau mengerti?" Anna mencium tangan Diego dan menatapnya lekat, sebelum akhirnya Anna mengangguk menatap suster. Suster pun mendorong kursi roda Anna menuju ke pintu keluar. Namun, belum sempat mereka keluar, suara bip yang lebih cepat dari biasanya terdengar dari monitor di ruangan Diego. "Sebentar, Bu!" Suster langsung berhenti mendoro
"Di mana aku?"Diego berjalan sendirian di tengah taman yang luas. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, seolah-olah ia hanya melayang di atas tanah. Di sekelilingnya, pohon-pohon tinggi menjulang, daunnya berwarna keemasan seakan diterpa cahaya matahari senja yang lembut. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga yang bermekaran. Namun, ada sesuatu yang aneh, tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berdesir di antara dedaunan. Hening. Sepi.Diego menunduk, memperhatikan dirinya sendiri. Bajunya putih bersih, kakinya tidak beralas, tapi ia tidak merasakan dingin atau pun panas. Rasanya kosong, seakan-akan tubuhnya bukan lagi miliknya. Ini ... mimpi? Atau ... apakah ia sudah mati?Tiba-tiba, di kejauhan, Diego melihat sesuatu yang begitu indah. Anna-nya berdiri di bawah sebuah pohon sakura yang sedang berbunga, angin menerbangkan kelopak-kelopak merah muda di sekitarnya. Wajah Anna berseri-seri, tubuhnya tampak sehat, tidak lagi pucat dan lemah seperti tera
"Dokter, tolong katakan padaku siapa yang mendonorkan hatinya padaku! Tolong, Dokter!" Dokter visit sore itu ke kamar Anna dan Anna mendesaknya untuk memberitahu identitas pendonornya, tapi sang dokter yang sudah terikat janjinya kukuh tidak memberitahukan apa pun. "Maaf, ini permintaan dari pendonor untuk identitasnya dirahasiakan." "Tapi pendonornya dari keluargaku kan? Mana dia? Aku mau melihatnya, Dokter! Dia keluargaku kan?" Sang dokter nampak salah tingkah dan melirik suster yang sudah keceplosan itu."Maaf lagi, Bu Anna! Tapi Anda baru saja sembuh, Anna harus tenang dulu!" "Aku tenang, Dokter! Aku sangat tenang. Aku hanya mau tahu siapa yang sudah mendonorkan hatinya padaku, aku harus berterima kasih padanya." "Seperti yang sudah kubilang, kami tidak bisa memberitahukan identitas pendonor. Tolong istirahat, Bu Anna!" Dokter dan suster akhirnya berhasil keluar dari kamar itu tanpa memberitahukan apa pun pada Anna, tapi begitu Joyce masuk, Joyce yang menjadi sasaran Anna.
Empat hari berlalu sejak Anna sadar dan kondisi Anna sudah benar-benar stabil, Anna pun akhirnya dipindahkan ke kamar rawat inap biasa dan semua orang pun bernapas lega karenanya. Anna sudah bisa duduk di ranjangnya walaupun belum bisa terlalu lama karena rasanya masih pegal. Terkadang ada rasa aneh di tubuhnya karena menurut dokter, organ-organ Anna masih beradaptasi lagi. Tapi kondisi Anna sudah sangat aman."Pak Rusli, Anda datang!" sapa Anna saat Pak Rusli menjenguknya untuk pertama kalinya sejak Anna sadar. Sebelumnya, Anna ditempatkan di ruang isolasi yang tidak bisa sembarangan dijenguk, sehingga Pak Rusli baru datang sekarang. "Bu Anna, aku senang sekali melihat Anda sudah sadar. Ini benar-benar mukjizat. Aku sedih sekali saat tahu Anda pergi dan menyembunyikan penyakit Anda." "Semua sudah berlalu, Pak Rusli. Tapi Tuhan baik, Tuhan sangat baik. Tuhan mengijinkan kita memenangkan kasus dengan Jeremy dan Tuhan memberiku kesempatan hidup kedua." "Anda benar, Bu Anna. Tuhan s
Cahaya putih yang menyilaukan menusuk kelopak mata Anna saat ia membuka matanya. Ada sensasi berat di tubuhnya, seolah ia baru saja melewati sesuatu yang sangat besar. Dadanya terasa sesak, dan ada selang oksigen yang membantu pernapasannya. Semua terasa asing, tapi juga … ringan.Anna berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan ruangan di sekelilingnya. Dinding putih, bau antiseptik yang menusuk, serta suara monitor jantung yang berdetak pelan di sampingnya. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa melihat bayangan beberapa orang di sekitarnya. "Anna, kau sudah sadar? Anna ...."Anna mengenali suara Joyce yang penuh kecemasan. Perlahan pandangannya mulai jelas dan benar saja, wajah Joyce terlihat di hadapannya. Sahabatnya itu membungkuk sambil tertawa haru. "Anna ... kau lihat aku? Kau kenal aku kan?" "J-Joyce ...."Anna mencoba berbicara, tapi tenggorokannya kering, suaranya hanya keluar sebagai bisikan. Ia mencoba menggerakkan tangannya dan Joyce langsung menggenggamn
"Bu Martha, aku tahu Anda sudah tenang di sana. Aku tidak akan mengganggu Anda. Aku hanya ingin meminta ... kalau Anda dekat dengan Tuhan, tolong minta keselamatan ... bukan untukku, tapi untuk Anna." "Anna akan dioperasi dan restuilah agar operasi ini berjalan lancar. Maaf waktu itu aku terlambat mengetahui semuanya. Maaf aku tidak sempat menyelamatkan Anda. Tapi kali ini ... aku janji akan menyelamatkan anak Anda." "Aku janji akan membuat anak Anda bahagia. Aku janji, Bu Martha. Aku hanya meminta restu Anda ...." Diego menatap langit penuh bintang malam itu dan berharap Martha bisa mendengarnya. Semua pemeriksaan sudah dielesaikan dalam beberapa hari berikutnya dan Diego dinyatakan siap melakukan operasi transplantasi hati itu. Jadwal operasi pun sudah dibuat dan besok, Diego akan memberikan hatinya untuk wanita yang sangat ia cintai itu. Semua orang sudah merestui, entah terpaksa atau tidak, Diego sudah tidak mau memikirkannya lagi. Diego hanya minta doa agar semuanya dilanca