Gadis itu langsung membungkukkan badannya. Ia bersembunyi di balik dinding kamar itu.“Nggak mungkin! Nggak mungkin Om Marco menemukan aku secepat ini.”Cassandra masih membungkuk dan menjauh dari jendela itu. Ia mengambil ponselnya dan melihat jumlah panggilan tak terjawab di atas layarnya. Semuanya dari orang yang sama. Gadis itu segera mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam laci nakas. Rasa penasarannya masih tak juga hilang. Sekali lagi ia mengintip keluar jendela untuk memastikan bahwa penglihatan tidak benar.Kali ini ia melihat hal yang berbeda. Lelaki itu sama sekali bukan Marco. Kulit dan perawakannya memang serupa, sama-sama eksotis dan jangkung. Namun dengan penampilan dan wajah yang sama sekali berbeda. Cassandra bernapas lega. Ia membaringkan tubuhnya ke atas dipan dan mulai memejamkan matanya. Rasa lelah di tubuhnya mulai terasa setelah menempuh perjalanan delapan jam jauhnya dari rumah tinggalnya. “Non, bangun Non.” Suara Bik Sum berhasil membuat Cassandra t
“Ih … dasar anak kota, nggak punya sopan santun.” Kalimat itu masih terdengar di telinga Cassandra. Tapi gadis itu mengabaikannya. Ia sama sekali tidak suka perjodohan. “Ibu sih, pake acara jodoh-jodohan. Gadis modern jarang ada yang mau dijodohkan, Bu. Kalau mereka suka, malah mereka yang nembak duluan.” “Kalau gitu, kamu mending ibu jodohin sama gadis desa sini saja, Le! Ayo pulang.” Bu Marni mulai merasa kesal karena disalahkan di depan Bik Sum oleh putranya sendiri. “Surya nggak mau dijodohkan, Bune! Surya cuma mau nikah sama perempuan yang Surya cintai,” bantah pemuda itu. “Halah Le, masalah cinta, dulu Bune juga nggak cinta sama bapakmu. Tapi pernikahan kita juga langgeng,” debat Bu Marni. “Yo wes, dilanjut di rumah. Jangan debat di sini, kasihan Surya nanti malu kalau kedengaran sama Non Sandra,” ucap Bik Sum, setengah menekan suaranya agar terdengar kedua makhluk ibu dan anak di depannya. “Nanti Non Sandra-nya tambah mikir mau nerima laki-laki yang masih hidup di bawah r
“Apa? Jadi sampai sekarang kamu belum juga berhasil memperoleh petunjuk keberadaannya?” “Seharian ini, komputer tidak mendeteksi ponselnya aktif. Maaf Pak Marco,” ucap Niken dari dalam pesawat teleponnya. Marco meremas gagang kemudinya. Ia merasa kesal karena mendapati jalan buntu. “Terus lacak keberadaannya. Begitu ponselnya aktif, segera laporkan padaku.” “Baik, Pak,” sahut Niken. “Pak Marco, tadi Pak Irfan menanyakan keberadaan Anda.” Marco terdiam. Ia merasa bersalah karena tidak mengatakan niatnya untuk mencari Cassandra. Tapi semua itu dilakukannya karena ia terlanjur kesal pada kakaknya. Ia merasa kecewa karena merasa dibohongi selama dua puluh tahun terakhir.“Saya mengatakan bahwa Anda sedang cuti selama beberapa hari ke depan,” lanjut Niken.Marco bernapas lega. Ia merasa beruntung karena memiliki seorang sekretaris yang bisa diandalkan seperti Niken. “Kerja bagus. Terima kasih Niken.” Marco menutup panggilannya setelah menyampaikan apresiasinya pada sang sekretaris.
“Jangan jatuh cinta sama aku, Sur. Aku sama sekali nggak pantas buat kamu,” sahut Cassandra. Gadis itu tak sanggup menatap wajah lelaki di hadapannya. Lelaki yang menatapnya penuh harapan itu seakan ingin menggoyahkan keputusannya. “Kamu … pasti akan bertemu dengan gadis yang lebih baik dariku,” tolaknya. Surya menelan kasar salivanya. Ia tidak menyangka jika gadis ini akan langsung menolaknya tanpa basa basi. Namun Surya bukan tipe lelaki yang mudah menyerah. Ia meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya dengan erat. “Apapun yang terjadi di masa lalumu, aku tak peduli. Semua orang bahkan aku, juga pernah melakukan kesalahan,” ucapnya. “Tapi Sur, aku cuma tinggal beberapa hari saja di desa ini. Kita nggak mungkin bisa …” “Sehari, dua hari atau pun tiga hari. Berikan aku kesempatan untuk membuktikan perasaanku,” pintanya. Cassandra menghela napas. Dadanya begitu sesak dengan suara gemuruh di dalam dadanya. Ia sadar bahwa Marco menjaganya hanya karena ikatan kekerabatan saja.
Surya naik ke atas motornya. Ia menoleh ke arah Cassandra yang masih tak habis pikir, apa yang akan mereka lakukan di kebun tebu nantinya. “Naiklah,” pintanya. “Letaknya tak seberapa jauh dari sini.” Tak ada pilihan lain, satu-satunya orang yang bisa mengembalikannya ke rumah Bik Sum hanya lelaki ini. Bahkan jaraknya cukup jauh jika harus ditempuh dengan berjalan kaki.Tanpa diminta untuk yang kedua kalinya, gadis itu pun naik. Dan kendaraan beroda dua itu pun berjalan di atas tanah bebatuan terjal desa itu. “Pegangan!” perintah Surya. “Udah!” sahut Cassandra. Gadis itu memegang pakaian yang melekat di punggung Surya. Ia masih merasa risih dan canggung untuk bertindak lebih dari itu. “Pegangan! Nanti kamu jatuh.” Sekali lagi Surya memperingatkannya. “Jalanan di sini sudah hancur dan berlobang besar.” “Iya. Ini udah pegangan. Bawel amat sih!” sahut Cassandra. “Ya udah, hati-hati.” Pada akhirnya lelaki itu menyerah. Ia memperlambat laju motornya, saat ada lubang besar di hadapan
“Cassandra ada di sini Bik?”Bik Sum menatap wajah pria jangkung yang berdiri di hadapannya. Ia tak menyangka bahwa Marco akan benar-benar muncul di desa itu. “Anu Den, itu …. Non Sandra sudah kembali ke kota,” sahut Bik Sum. “Dia nangis semalaman, katanya kangen sama Den Marco. Katanya juga dia sedih karena Den Marco sudah ndak peduli lagi sama dia sekarang.” “Dia … dia benar-benar bilang gitu, Bik?” tanya Marco dengan kesal. “Iya Den.”“Sudah berapa lama dia pergi?” “Subuh tadi Den.”Marco mengusap rambutnya dengan perasaan frustasi. Ia kembali kehilangan jejak gadis itu. Walau begitu, ia tetap bersyukur karena setidaknya ia mendapatkan petunjuk bahwa gadis itu sudah berada dalam perjalanan pulangnya. Sementara itu di tempat lain ….“Kamu dimana sih?” Suara nyaring terdengar dari dalam ponsel Cassandra. “Gila aja, absen terus. Gimana kalo jumlah kehadiran kamu nggak cukup nantinya?”“Udahlah, sekarang katakan apa ada tugas yang harus aku buat.” “Kamu … besok kuliah lagi?” tany
Marco melangkah perlahan menghampiri ranjangnya. Ia menatap wajah cantik yang terbaring di atas ranjangnya. Wangi vanila manis yang khas, menguar dari tubuhnya yang lagi-lagi terbalut kemeja Marco. Sepasang matanya terpejam, sementara beberapa buku dan pena masih berada di sekitarnya.Lelaki itu tersenyum, melihat wajah lelah gadis yang dicintainya. Perasaan rindunya yang membuncah, tak mampu membuatnya menunda untuk sekedar mengecup kening gadisnya.Kecupan itu tak bisa menyembunyikan kehadirannya dari gadis itu. Sepasang mata cantik itu mengerjap, karena terusik oleh sentuhan lembut jemari Marco. “Maaf, aku jadi membuatmu terbangun,” ucapnya dengan lembut. Gadis itu menarik sudut bibirnya, sebagai tanggapan atas ucapan Marco. “Kenapa Om lama sekali?” lirihnya dalam suara parau khas bangun tidur. Marco meraih buku-buku yang masih tergeletak di atas ranjang dan menumpuknya menjadi satu di atas nakas. Lelaki itu menghela napas dan menatap gadis yang masih terbaring dengan mata sayu
“Kamu yakin buat ngelakuin semua ini?” tanya Reana meyakinkan sahabatnya. Zissy menganggukkan kepalanya. “Sangat yakin,” sahutnya.“Apa kamu sudah memikirkan akibatnya?” cecar Reana masih tak bisa memahami alasan keputusan yang diambil Zissy. “Seandainya pun kalian menikah, pada akhirnya kamu akan menderita. Kamu tidak bisa memaksakan perasaanmu padanya.” Reana mencoba menghalangi niat Zissy. “Tidak. Bahkan orang-orang kuno juga menikah tanpa cinta. Aku yakin, perasaan itu bisa tumbuh perlahan. Asalkan aku berhasil mendapatkannya,” sahutnya. “Kamu hanya akan mendapatkan tubuhnya, Zy,” tentang Reana. “Tapi tidak hatinya. Semua akan percuma.” “Kamu nggak akan tahu sebelum kita mencobanya.” Zissy mengedipkan matanya dengan senyuman yang sedikit menakutkan. Reana menghela napas dengan perasaan kesal. Ia cukup merasa bersalah karena pernah mendukung perasaan sahabatnya itu. Seandainya
Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta
Aroma jasmin menguar di ruangan yang terasa hangat itu. Suara air yang mengalir memenuhi bak mandi, menyamarkan debaran jantung keduanya. Marco dapat merasakan betapa lembut dan lembabnya kulit kekasihnya, saat tangannya menyentuh tubuhnya. Ia dapat merasakan hasratnya yang membara saat tubuh mereka bersentuhan. Marco menangkup sepasang tangannya di dada kekasihnya, merasakan sensasi kenyal yang mempermainkan hasratnya. Lelaki itu mendaratkan kecupannya di leher jenjang istrinya, merasakan denyutan nadi yang seolah menjerit saat disentuhnya. Suara desah lolos dari bibir Cassandra. Dengan pasrah, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya dan memberikan keleluasaan baginya untuk menikmati tubuhnya. Ia sungguh menikmati permainan tangan suaminya dan sentuhan basah di lehernya menciptakan percikan-percikan yang membangkitkan hasratnya. Lelaki itu memutar tubuh kekasihnya. Ditatapnya wajah cantik yang tak pernah bosan dilihatnya itu. “Aku mencintaimu Sandra, cuma kamu. Biar apapun ya
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang tersimpan di memorinya. Suara gemericik air, menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendirian. Lelaki itu semakin terkejut ketika melihat beberapa foto yang terpampang di dinding ruangan itu. “Om sudah sadar rupanya.” Suara itu terdengar seiring dengan pintu kamar mandi yang terbuka. “Sher!” Marco menyadari bahwa dirinya berada di dalam apartemen Shereen, seorang model terpilih perusahaannya. Ia masih ingat bagaimana gadis itu menelponnya dengan ketakutan. Gadis itu tersenyum lebar. “Aku tahu Om akan datang. Aku tahu, Om akan meninggalkan istri Om buat aku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. “Persis seperti yang Dave katakan.”“Dan yang lebih penting, alam seakan mendukung niatku. Om pingsan tepat di depan pintu apartemenku.”Marco segera bangkit dari sofa, tempatnya terbaring tadi. Ia menatap gadi
Shereen mengulurkan tangannya. Mendengar tawaran yang menguntungkan seperti ini, tentu saja tidak mungkin disia-siakan olehnya. Bukan karena ia tidak menginginkan kompensasi pembatalan kontrak bernilai ratusan juta itu, tapi ia sadar jika ia membatalkan sebuah kontrak bernilai besar seperti ini akan membuat namanya juga menjadi buruk. Tidak akan ada lagi orang yang berani menawarkan kontrak apapun kepadanya. Selain itu, firasat Shereen mengatakan bahwa Marco akan menuruti apapun keinginannya. Marco sudah berada di dalam genggaman tangannya. “Om yakin?” tanya gadis itu. “Om akan melindungi aku, menjaga aku dalam setiap kegiatan yang akan aku lakukan?” Marco menganggukkan kepala menyetujui ucapan Shereen, walau ia tahu itu tidak mungkin dilakukannya. Pekerjaannya cukup banyak, dan waktu sepanjang dua puluh empat jam bahkan tidak akan cukup jika harus ditambah dengan tugas sebagai seorang bodyguard. Tapi ia tetap menganggukkan kepalanya, yang terpenting gadis di hadapannya tidak mem