Cassandra menatap lagi bayangannya dari cermin di hadapannya. Gaun keluaran terbaru Sophie Laurent yang dikenakannya terlihat sangat pas di tubuh rampingnya, seakan gaun itu sengaja diciptakan khusus untuk dirinya. Dirapikannya kembali rambut yang menutup keningnya. Lalu ia memoleskan lipstik berwarna natural di bibirnya. Ia menarik sudut bibirnya, memperlihatkan seulas senyuman bagi dirinya sendiri. “Aku cantik, aku muda. Om Marco tidak mungkin lebih memilih nenek sihir itu ketimbang aku,” ucapnya, berusaha menggugah rasa percaya dirinya. Ia mengambil ponselnya dan menyalakan kameranya. Dimonyongkannya bibirnya dengan centil ke depan kamera untuk melakukan selfie. Ia tersenyum sementara jari tangannya dengan lincah mengirimkan foto itu kepada Marco, dengan sebuah caption ‘menunggu ayang datang buat candle light dinner’.Ia mulai merasa gelisah, dilihatnya jarum jam bergerak begitu lambat. “Apa sebaiknya aku susul saja dia,” batinnya. Sekali lagi ia memutar badannya di depan cer
“Tidak mungkin. Tidak akan ada yang mengenaliku,” sahutnya dengan santai. Lelaki itu tertawa terkekeh melihat siasatnya berhasil bahkan melihat mood keponakannya kembali normal. Ia menggelengkan kepalanya dengan senyum geli. “Kaum hawa tak ada bedanya. Semua pakai magic word ‘terserah’,” batinnya. “Apa mereka tidak tahu kalau jawaban itu sangat ambigu. Untung saja aku punya caraku.”Tak seberapa lama, mereka berdua telah berada di dalam sebuah warung. Cassandra menarik pamannya untuk masuk dan duduk di dalamnya. Meja panjang yang penuh dengan pengunjung, membuat gadis itu merasa kesal. Gadis itu menghela napas. Wajahnya memperlihatkan perasaan kecewanya.“Kita bungkus saja. Kita tidak punya banyak waktu,” bisik Marco. “Aku masih mempunyai sebuah kejutan untukmu.” Cassandra berbalik, menatap wajah pamannya dengan wajah antusiasnya. “Kejutan?” ulangnya dengan wajah membulat. Marco menarik sudut bibirnya dan menganggukkan kepalanya. “Apa itu?” tanyanya tak sabar. “Rahasia,” bisik
Di hadapannya terlihat sebuah pemandangan yang.luar biasa. Gemerlap lampu kota di bawah sana dan gemerlap bintang di atas langit, seolah menyambutnya saat keluar dari dalam lift. Seorang wanita berseragam, dengan riasan bak pramugari menyapa mereka dengan sopan. “Selamat malam, silahkan ikuti saya ke tempat duduk Anda.” Cassandra mencubit lengan Omnya. “Kita tidak bisa makan bebek goreng ini di sini,” bisiknya. Marco membungkukkan tubuhnya dan membalasnya dengan berbisik. “Atau kita langsung ke kamar? Aku sudah nggak sabar pingin cicipin perempuan haid.” Gadis itu langsung melotot sambil mencubit lengan pamannya yang dipenuhi otot. “Nggak lucu ah!”“Emang enggak. Tapi pasti menyenangkan kalau kita melakukannya. Kita tidak perlu ketakutan kamu akan hamil,” bisiknya lagi.“Om!” kesalnya. Saking kerasnya suara Cassandra, membuat wanita yang melangkah anggun di depannya terkejut dan menoleh. Marco langsung memamerkan senyumnya sementara satu tangannya dengan sigap meraih pundak kepon
Marco menopangkan kaki kanannya ke atas kaki kirinya. Lelaki itu duduk dengan perasaan gelisah. Sesekali ia melihat ke jalanan dan mengamati sekelilingnya. Tak seperti biasanya, siang hari ini cafe langganannya terlihat sepi. Ia menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan keras. Lalu diraihnya cangkir americano panasnya dan menyesapnya.Seketika ia berdiri, ketika melihat seorang pria dengan pakaian serba hitamnya. Lelaki itu datang menghampiri Marco dengan sebuah amplop coklat berukuran besar di tangannya. “Maaf, aku terlambat.” Lelaki itu langsung duduk di kursi, tepat di hadapan Marco tanpa menunggu perintah. Ia menopangkan satu kaki ke atas kaki lainnya dengan punggung bersandar dengan nyamannya. Marco kehilangan kata-katanya. Ia tak terbiasa menghadapi makhluk yang seolah tak beradab ini. Ia kembali duduk dan memutuskan untuk langsung membicarakan langsung ke inti masalahnya. “Tentang Mona Salimar, apa kamu sudah mendapatkan titik terang tentang hubungannya dengan Mari
Lelaki muda itu melangkah cepat dan mencoba menyarangkan pisau itu ke tubuh Cassandra. Cassandra bahkan tak menyadari bahwa seseorang hendak mencelakainya di belakangnya. Namun dewi fortuna sepertinya sedang menaunginya. Lelaki muda itu terhuyung dan tanpa sengaja menjatuhkan pisaunya saat rombongan turis tanpa diduga berjalan melalui jalan itu. Lelaki muda itu mulai panik. Sepasang matanya mencari pisaunya yang terjatuh di antara kaki-kaki rombongan pejalan kaki. Dan ia semakin panik ketika menyadari bahwa gadis yang menjadi sasarannya telah berjalan semakin jauh darinya. “Sial!” makinya. Beberapa orang menoleh karena suara keras makiannya. Lelaki muda itu menarik penutup di kepalanya dan memilih untuk kembali melangkah mengikuti Cassandra. Ia menghentikan langkahnya dan menatap dari kejauhan tatkala gadis itu tampak melambaikan tangannya pada seseorang. Cassandra tersenyum saat melihat pamannya merapatkan mobilnya ke trotoar. Ia melangkah cepat menghampirinya dan segera masuk k
“Jangan bunuh aku,” pinta Cassandra. Ia sangat ketakutan. “Aku benar-benar nggak tahu siapa orang yang kamu sebutkan.” Lelaki muda itu tidak menampakkan rasa kasih dari sorot matanya. “Heh! Siapa kamu?” Teriakan yang sangat keras itu berhasil membuat lelaki muda yang sedang mengarahkan pisaunya ke batang tenggorok gadis di depannya itu terkejut. Lelaki muda itu menoleh dan dengan cepat ia menarik turun penutup kepalanya untuk menutupi sebagian wajahnya. Sepasang kakinya bergerak mundur dengan pisau terarah di leher Cassandra. “Jangan mendekat!” ancamnya. Cassandra menahan napasnya. Ia merasa pisau itu akan menggores kulitnya jika ia bernapas. Ia merasa tertekan dan ketakutan. “Om, tolong aku,” lirihnya. Tanpa terasa air mata menetes di pipinya. Lelaki muda itu menariknya pergi tanpa bisa dicegah oleh Marco. Mereka masuk ke dalam lift dan menghilang dari pandangan Marco. “Tolong lepaskan aku,” pinta Cassandra dengan suara gemetar. “Sungguh, aku tidak akan mempermasalahkan masa
Suara desah lolos dari bibir gadisnya saat Marco menyentuh salah satu titik sensitif di tubuhnya, di bagian lehernya. Marco mengangkat tubuh gadis itu dan meletakkannya ke atas sofa panjangnya. Dirasakannya sepasang tangan itu melingkar di lehernya, mengunci tubuh lelaki itu agar tetap berada dekat dengannya. “Jangan pergi, Om. Aku nggak mau sendirian,” pinta gadis itu. Marco tersenyum. Ia kembali mengecup lembut bibir gadis itu. Cassandra membalasnya dengan penuh gairah. Ia membuka bibirnya, membiarkan lelaki yang dicintainya mengambil bagian dalam permainan hasratnya yang tiba-tiba menyala. Sebagai seorang laki-laki normal, Marco tak sanggup mengendalikan lagi hasratnya. Gadis itu benar-benar menggoda imannya. Bibirnya yang terasa semanis strawberry dan aroma manis vanila yang menguar dari nadinya, membuatnya semakin tak dapat menguasai diri. Napas lelaki itu semakin memburu. Sepasang tangannya bahkan tak sabar untuk membiarkan tubuh molek itu tetap dalam balutan kemeja yang d
Suara notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel Marco, membuat Cassandra merasa penasaran. “Siapa sih yang kirim pesan malam-malam gini? Hmm … itu Bu Zissy, ya? Atau cewek cantik itu lagi?” cecarnya.Marco mencubit hidung keponakannya. “Kenapa? Kamu cemburu?” Gadis itu melancipkan bibirnya. “Siapa juga yang nggak bakal cemburu,” sahutnya. “Ini … ini dan ini,” lanjutnya sembari menunjuk bibir, dada dan bagian intim Marco. “Semua ini punya aku. Nggak boleh ada yang sentuh, selain aku.” Marco tertawa geli melihat tingkah kekanakan Cassandra. Tapi keceriaan dan keluguannya selalu membuat hidup Marco berwarna. “Sebaiknya kamu mandi dulu,” tuturnya. “Aku akan segera menyusulmu. Ada hal penting yang harus aku selesaikan dulu.” Cassandra mendecak kesal. “Tapi kakiku masih sakit, Om,” rengeknya. Diulurkannya kedua tangannya pada Marco, berharap agar lelaki itu menggendongnya. Marco menghela napas. Ia tahu Cassandra tidak suka sebuah penolakan. Ia akan mencari cara agar keinginannya s
Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta
Aroma jasmin menguar di ruangan yang terasa hangat itu. Suara air yang mengalir memenuhi bak mandi, menyamarkan debaran jantung keduanya. Marco dapat merasakan betapa lembut dan lembabnya kulit kekasihnya, saat tangannya menyentuh tubuhnya. Ia dapat merasakan hasratnya yang membara saat tubuh mereka bersentuhan. Marco menangkup sepasang tangannya di dada kekasihnya, merasakan sensasi kenyal yang mempermainkan hasratnya. Lelaki itu mendaratkan kecupannya di leher jenjang istrinya, merasakan denyutan nadi yang seolah menjerit saat disentuhnya. Suara desah lolos dari bibir Cassandra. Dengan pasrah, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya dan memberikan keleluasaan baginya untuk menikmati tubuhnya. Ia sungguh menikmati permainan tangan suaminya dan sentuhan basah di lehernya menciptakan percikan-percikan yang membangkitkan hasratnya. Lelaki itu memutar tubuh kekasihnya. Ditatapnya wajah cantik yang tak pernah bosan dilihatnya itu. “Aku mencintaimu Sandra, cuma kamu. Biar apapun ya
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang tersimpan di memorinya. Suara gemericik air, menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendirian. Lelaki itu semakin terkejut ketika melihat beberapa foto yang terpampang di dinding ruangan itu. “Om sudah sadar rupanya.” Suara itu terdengar seiring dengan pintu kamar mandi yang terbuka. “Sher!” Marco menyadari bahwa dirinya berada di dalam apartemen Shereen, seorang model terpilih perusahaannya. Ia masih ingat bagaimana gadis itu menelponnya dengan ketakutan. Gadis itu tersenyum lebar. “Aku tahu Om akan datang. Aku tahu, Om akan meninggalkan istri Om buat aku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. “Persis seperti yang Dave katakan.”“Dan yang lebih penting, alam seakan mendukung niatku. Om pingsan tepat di depan pintu apartemenku.”Marco segera bangkit dari sofa, tempatnya terbaring tadi. Ia menatap gadi
Shereen mengulurkan tangannya. Mendengar tawaran yang menguntungkan seperti ini, tentu saja tidak mungkin disia-siakan olehnya. Bukan karena ia tidak menginginkan kompensasi pembatalan kontrak bernilai ratusan juta itu, tapi ia sadar jika ia membatalkan sebuah kontrak bernilai besar seperti ini akan membuat namanya juga menjadi buruk. Tidak akan ada lagi orang yang berani menawarkan kontrak apapun kepadanya. Selain itu, firasat Shereen mengatakan bahwa Marco akan menuruti apapun keinginannya. Marco sudah berada di dalam genggaman tangannya. “Om yakin?” tanya gadis itu. “Om akan melindungi aku, menjaga aku dalam setiap kegiatan yang akan aku lakukan?” Marco menganggukkan kepala menyetujui ucapan Shereen, walau ia tahu itu tidak mungkin dilakukannya. Pekerjaannya cukup banyak, dan waktu sepanjang dua puluh empat jam bahkan tidak akan cukup jika harus ditambah dengan tugas sebagai seorang bodyguard. Tapi ia tetap menganggukkan kepalanya, yang terpenting gadis di hadapannya tidak mem