Suara desah lolos dari bibir gadisnya saat Marco menyentuh salah satu titik sensitif di tubuhnya, di bagian lehernya. Marco mengangkat tubuh gadis itu dan meletakkannya ke atas sofa panjangnya. Dirasakannya sepasang tangan itu melingkar di lehernya, mengunci tubuh lelaki itu agar tetap berada dekat dengannya. “Jangan pergi, Om. Aku nggak mau sendirian,” pinta gadis itu. Marco tersenyum. Ia kembali mengecup lembut bibir gadis itu. Cassandra membalasnya dengan penuh gairah. Ia membuka bibirnya, membiarkan lelaki yang dicintainya mengambil bagian dalam permainan hasratnya yang tiba-tiba menyala. Sebagai seorang laki-laki normal, Marco tak sanggup mengendalikan lagi hasratnya. Gadis itu benar-benar menggoda imannya. Bibirnya yang terasa semanis strawberry dan aroma manis vanila yang menguar dari nadinya, membuatnya semakin tak dapat menguasai diri. Napas lelaki itu semakin memburu. Sepasang tangannya bahkan tak sabar untuk membiarkan tubuh molek itu tetap dalam balutan kemeja yang d
Suara notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel Marco, membuat Cassandra merasa penasaran. “Siapa sih yang kirim pesan malam-malam gini? Hmm … itu Bu Zissy, ya? Atau cewek cantik itu lagi?” cecarnya.Marco mencubit hidung keponakannya. “Kenapa? Kamu cemburu?” Gadis itu melancipkan bibirnya. “Siapa juga yang nggak bakal cemburu,” sahutnya. “Ini … ini dan ini,” lanjutnya sembari menunjuk bibir, dada dan bagian intim Marco. “Semua ini punya aku. Nggak boleh ada yang sentuh, selain aku.” Marco tertawa geli melihat tingkah kekanakan Cassandra. Tapi keceriaan dan keluguannya selalu membuat hidup Marco berwarna. “Sebaiknya kamu mandi dulu,” tuturnya. “Aku akan segera menyusulmu. Ada hal penting yang harus aku selesaikan dulu.” Cassandra mendecak kesal. “Tapi kakiku masih sakit, Om,” rengeknya. Diulurkannya kedua tangannya pada Marco, berharap agar lelaki itu menggendongnya. Marco menghela napas. Ia tahu Cassandra tidak suka sebuah penolakan. Ia akan mencari cara agar keinginannya s
“Bukan sesuatu yang penting,” sahut Marco sembari menggaruk puncak hidungnya yang tidak gatal. “Cuma … aku masih mengkhawatirkan kamu setelah adanya insiden tadi. Apa kakimu sudah membaik?” Marco mengulurkan tangannya, hendak menyentuh pergelangan kaki bagian kanan gadisnya yang sempat dioleskan dengan minyak. Tapi Cassandra dengan cepat memegang tangannya. “Jangan Om,” tolaknya. Ia takut jika sentuhan itu akan kembali menyakiti kakinya. “Masih sakit?” tanyanya. Gadis itu menganggukkan kepalanya. “Sedikit,” sahutnya. “Maaf, gara-gara insiden tadi, pekerjaan Om jadi terbengkalai.” Marco menarik sudut bibirnya. “Semua sudah diatasi oleh Niken. Pertemuan-pertemuan itu sudah dijadwalkan ulang olehnya.” “Syukurlah.” Cassandra merasa sangat lega. Setidaknya ia tidak membuat ayahnya marah karena mengganggu pekerjaan Marco. Gadis itu bangkit dari kursinya. Ia melangkah sambil menyeret satu kakinya yang masih terasa sakit. “Kamu mau kemana?” tanya Marco pada keponakannya itu.“Kembali
Reana mengepalkan tangannya dan tanpa disadarinya, tangan itu melayang dan mendarat di pipi lelaki di hadapannya. Belum pernah ia merasa sekesal ini. “Kamu benar-benar pengecut,” ucapnya meluapkan emosinya. “Kenapa kamu harus menjanjikan sesuatu yang tidak bisa kamu tepati? Kenapa kamu memberinya harapan, di saat kamu tak yakin bahkan dapat menjalaninya? Dan setelah itu ….”Reana menghela napas panjang, memperlihatkan perasaan kecewanya yang teramat. “Kamu meninggalkannya tanpa berita,” sambungnya. “Tak bisakah kamu memikirkan sedikit saja perasaannya?” Sensasi panas yang terasa di pipinya, tak membuat emosi Marco meningkat. Ia sadar bahwa semua yang dilakukannya memang sepenuhnya salah. Lelaki itu hanya menggerakkan otot rahangnya untuk meredakan nyeri yang dirasakannya. Lalu ia menarik sudut bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman. “Semua kulakukan karena dia mendesakku. Dia memaksaku menjanjikan semua itu. Dan satu hal yang lagi yang perlu aku sampaikan, kisah sepuluh tahun ya
“Kenapa? Apa kakimu sakit lagi?” tanya Marco dengan wajah cemasnya. Gadis itu menarik sudut bibirnya sambil menggelengkan kepalanya. Jantung Marco yang seakan mau copot, tiba-tiba terasa lega. “Sepertinya kamu memang perlu dihukum,” bisiknya di telinga gadis itu. “Aku tidak akan mengampunimu, bocah nakal.” Sepasang tangan besar itu pun menggelitik di pinggang Cassandra, membuat gadis itu tertawa sambil menggeliat layaknya cacing kepanasan. Tapi Marco seakan tak ingin berhenti menggelitik. Ia terus menggelitik tanpa mengindahkan keponakannya yang berteriak minta ampun. Tak kehilangan akal, Cassandra melingkarkan kedua tangannya, memeluk leher Marco. Namun karena Marco tetap menggelitik, Cassandra menyerangnya dengan sebuah kecupan. Dan ia berhasil, perhatian Marco teralihkan. Keduanya kembali saling memagut dengan penuh hasrat. Sementara tangan-tangan mereka sibuk membuka pakaian pasangannya, seakan berlomba adu cepat, untuk menikmati sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Marco
“Tolong jangan katakan kalau kakakku adalah pelakunya,” potong Marco. Ia mendadak gugup. Jantungnya berdebar karena tak sanggup menghadapi kenyataan seandainya saja Irfan benar-benar ayah biologis kekasihnya. Suara tawa terdengar dari dalam ponselnya, seolah lelaki itu sedang menikmati rasa penasaran dari orang yang membayar jasanya. “Tidak … tidak. Pada kenyataannya kasus ini tidak pernah tersebar ataupun diberitakan. Semua saksi bungkam karena ayah Marini menginginkannya.”“Mustahil!”“Itu hal biasa yang dilakukan oleh orang-orang kaya pada umumnya. Mereka tidak mau reputasinya hancur hanya karena kesalahan yang dibuat oleh anaknya.” Marco merasa kesal. Lagi-lagi ia tak mendapat informasi yang cukup berarti. Semua penyelidikannya seperti berjalan di tempat. “Menurut kesimpulanmu, apa yang sebenarnya terjadi pada mereka berempat?” tanya Marco saking frustasinya. “Bisa saja setelah semua kejadian itu, Marini mengakui jika ayah dari putrinya adalah Irfan. Sehingga ayahnya memutus
Buk!Kepalan tangan Irfan mendarat begitu saja di wajah Marco. Wajah lelaki lima puluhan itu memerah karena emosinya. “Dasar keparat!” teriak Irfan. Ia mendekati Marco dan kembali menyarangkan tinjunya ke wajahnya. Marco bergeming di tempatnya. Ia sama sekali tak memberikan perlawanan. Ia merasa bagaimanapun juga ini adalah kesalahannya dan dia pantas menerima hukuman itu. “Cassandra … anakku,” ucapnya dengan suara gemetar. “Aku sudah membesarkan dan menjaganya baik. Dan karena kelalaianmu, dia harus menderita seperti ini.” Marco mengeraskan rahangnya. “Maaf.” Hanya kata itu yang terucap dari bibirnya. Ia terduduk dengan lesu di ruang tunggu. Tak dihiraukannya semua ucapan kakaknya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah keadaan gadis itu. Ia hanya dapat menunggu kabar dari dokter yang belum juga selesai memeriksanya. “Marco, jawab aku. Apa sebenarnya yang membuat dia bertindak ceroboh seperti itu?” cecar Irfan. “Ada seseorang yang berusaha menyingkirkan dia,” sahut Marco. Ia menga
Marco menatap wajah pucat yang terbaring lemah di dekatnya. Digenggamnya tangan gadis yang seolah lelap dalam tidurnya itu. Kepalanya yang terbalut perban dan selang infus yang menempel di pergelangan tangannya, membuat kondisi Cassandra semakin dramatis. Semenjak peristiwa itu, Marco sama sekali tak beranjak dari ruangan itu. Lelaki itu merasa bertanggung jawab atas semua yang dialami oleh Cassandra. Ia merasa bersalah dan juga tak tega untuk meninggalkannya bahkan untuk sekejap saja. Tak ada lagi wajah ceria nan manja yang memanggilnya Om. Tak terdengar lagi suaranya yang merdu merayu saat meminta sesuatu. Marco menundukkan kepalanya. Matanya terasa berat karena tak dapat dipejamkan beberapa hari terakhir. Dengan tangan masih menggenggam erat gadisnya, ia pun berusaha memejamkan mata. Namun seperti sebuah mimpi, jemari yang digenggamnya terasa bergerak. Marco menegakkan kembali kepalanya. Ia menatap wajah pucat gadis yang masih tampak lelap dalam tidurnya itu. Ia merasa kecewa
Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta
Aroma jasmin menguar di ruangan yang terasa hangat itu. Suara air yang mengalir memenuhi bak mandi, menyamarkan debaran jantung keduanya. Marco dapat merasakan betapa lembut dan lembabnya kulit kekasihnya, saat tangannya menyentuh tubuhnya. Ia dapat merasakan hasratnya yang membara saat tubuh mereka bersentuhan. Marco menangkup sepasang tangannya di dada kekasihnya, merasakan sensasi kenyal yang mempermainkan hasratnya. Lelaki itu mendaratkan kecupannya di leher jenjang istrinya, merasakan denyutan nadi yang seolah menjerit saat disentuhnya. Suara desah lolos dari bibir Cassandra. Dengan pasrah, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya dan memberikan keleluasaan baginya untuk menikmati tubuhnya. Ia sungguh menikmati permainan tangan suaminya dan sentuhan basah di lehernya menciptakan percikan-percikan yang membangkitkan hasratnya. Lelaki itu memutar tubuh kekasihnya. Ditatapnya wajah cantik yang tak pernah bosan dilihatnya itu. “Aku mencintaimu Sandra, cuma kamu. Biar apapun ya
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang tersimpan di memorinya. Suara gemericik air, menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendirian. Lelaki itu semakin terkejut ketika melihat beberapa foto yang terpampang di dinding ruangan itu. “Om sudah sadar rupanya.” Suara itu terdengar seiring dengan pintu kamar mandi yang terbuka. “Sher!” Marco menyadari bahwa dirinya berada di dalam apartemen Shereen, seorang model terpilih perusahaannya. Ia masih ingat bagaimana gadis itu menelponnya dengan ketakutan. Gadis itu tersenyum lebar. “Aku tahu Om akan datang. Aku tahu, Om akan meninggalkan istri Om buat aku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. “Persis seperti yang Dave katakan.”“Dan yang lebih penting, alam seakan mendukung niatku. Om pingsan tepat di depan pintu apartemenku.”Marco segera bangkit dari sofa, tempatnya terbaring tadi. Ia menatap gadi
Shereen mengulurkan tangannya. Mendengar tawaran yang menguntungkan seperti ini, tentu saja tidak mungkin disia-siakan olehnya. Bukan karena ia tidak menginginkan kompensasi pembatalan kontrak bernilai ratusan juta itu, tapi ia sadar jika ia membatalkan sebuah kontrak bernilai besar seperti ini akan membuat namanya juga menjadi buruk. Tidak akan ada lagi orang yang berani menawarkan kontrak apapun kepadanya. Selain itu, firasat Shereen mengatakan bahwa Marco akan menuruti apapun keinginannya. Marco sudah berada di dalam genggaman tangannya. “Om yakin?” tanya gadis itu. “Om akan melindungi aku, menjaga aku dalam setiap kegiatan yang akan aku lakukan?” Marco menganggukkan kepala menyetujui ucapan Shereen, walau ia tahu itu tidak mungkin dilakukannya. Pekerjaannya cukup banyak, dan waktu sepanjang dua puluh empat jam bahkan tidak akan cukup jika harus ditambah dengan tugas sebagai seorang bodyguard. Tapi ia tetap menganggukkan kepalanya, yang terpenting gadis di hadapannya tidak mem