*Berpuluh-puluh tahun sebelum hati Chandrakanta menghitam.Sebuah kekuatan kegelapan berbentuk kabut tebat tengah mengelilingi seorang pria. Ia berusaha untuk tetap tenang dan mengatur napasnya yang mulai terdengar tak beraturan."Jangan ganggu aku lagi! Aku sudah tidak ingin bersama kalian ..." Degup jantungnya memacu tak beraturan. Pria dengan alis tebal dan mata tajam itu mencoba mengelak saat kekuatan kegelapan mencoba untuk membalut tubuhnya dengan kabut yang lebih besar darinya."Pergilah! Kalian bukan sesuatu yang baik untuk kehidupanku!"kekuatan kegelapan terlihat marah. Ia begitu mengerikan karena mampu memporak-porandakan segala yang ada disekitarnya. Langkah pria itu surut kebelakang.SERAHKAN MESTIKA ITU ATAU KAU DAN ORANG-ORANG DI SEKELILINGMU AKAN MATI!Pria itu merasakan kalau nyawanya sudah di ujung tenggorokan. Semua terasa sesak dan membuatnya tercekik. Kekuatan Kegelapan membuat pria itu tak bernapas."Tidaaak ... Jangan!"Mata cokelatnya membelalak besar. Ia tak
Seorang pria tua berlari kencang. Peluh mengalir deras di sekujur tubuhnya. Kabut-kabut pekat terlihat menyelimuti seluruh kota. Perlahan-lahan kepekatan memudar dan terlihat pemandangan yang membuat Chandrakanta tercengang. Dukuh yang menjadi tempat tinggalnya itu sekarang menjadi tempat asing dihadapan matanya. Sebuah bayangan kegelapan berkelabat di antara dukuh-dukuh yang mulai kosong. Asap-asap mengepul hitam membumbung sampai ke langit tinggi. Ia kembali berlari pada jalan utama. Rambut panjang perak berkibar di belakang bahu kecil.Sebuah telaga dengan air mancur indah nampak menarik perhatian. Pria tua berpakaian serba putih teringat mimpinya beberapa waktu lalu tentang tempat-tempat yang akan menjadi asing, nantinya.Di dobraknya pintu merah yang berada tepat di bawah air mancur utama. Di sana ia melihat beberapa orang anak muda yang tengah di ikat tangan dan kakinya dengan sebuah ikatan berwarna merah. Tubuh mereka sudah nampak lesu dan lunglai. Mungkin karena sudah bebera
"Aku mau tinggal di rumah yang seperti ini. Mewah berkelas. Benar-benar rumah orang kaya. Lihat keramik mahal itu. Elegan. Warnanya hitam dengan sedikit nuansa emas. Dan kaca-kaca tinggi besar itu. Ah ...." gumam seorang wanita muda berusia tiga puluh tahun. Ketakjuban tak hilang bahkan saat anak perempuannya menarik-narik kebaya berbahan ringan yang dikenakannya.Ia lalu menoleh ke arah anak perempuan yang masih mengenakan seragam sekolah."Kenapa sayang?""Bu, ayo pulang!" rengek seorang gadis kecil berkepang dua seraya menyeka keringat."Kamu sudah capek?" tanya si ibu mengelap keringat di wajah anaknya yang bundar."Huu-umph," rajuk gadis kecil berperawakan tambun itu."Ayo pulang!" rengeknya lagi."Iya, baiklah. Ayo!"Keduanya berjalan beriringan. Perlahan. Sesekali melihat mobil dari jalanan yang panas."Bu, Sashi mau beli gulali.""Di sana?" tanya ibunya menunjuk sebuah warung tradisional dengan dinding dari geribik dan atap rumbia, tak jauh dari rumah megah yang menarik perh
***Suara panggilan itu begitu membuat Pitaloka ketakutan. Siapa lagi kalau bukan suara mantan suaminya yang biasanya pulang dalam keadaan mabuk. Ia memeluk anak perempuannya yang sudah tertidur lelap."Buka pintunya," teriak suara dari seberang pintu.Pitaloka mendekat. Menempelkan telinganya di lubang kunci sambil sesekali mengintip untuk memastikan bahwa pria yang sudah berpisah dengannya selama dua tahun itu pulang dalam keadaan sadar atau tidak."Buka, Pitaloka! Suami pulang bukan malah disambut," teriaknya lagi kali ini seraya menendang pintu."Ta-tapi, Mas. Mas bukan suami saya lagi!""Cepat buka! Aku hanya ingin memberikan uang untuk Sashi."Mendengar kata uang Pitaloka langsung berbinar matanya. Bergegas ia membuka pintu. Tapi tetap tidak berani menatap Fahri, mantan suaminya. Ia menunduk ketika pintu dibuka. Pria dengan parfum semerbak itu melewati mantan isterinya tanpa ada gerakan atau cacian. Wanita itu bisa bernapas lega."Mas Fahri mau makan?" tanya Pitaloka masih meng
***Sore itu setelah Malini dipaksa pulang dari kediaman Mbok Giyem.Ia bersama anak-anaknya, tengah membersihkan sayur yang ada di kebun kecil samping rumahnya.Prabawa, pria jahat tak bertanggung jawab yang masih menjadi suaminya tengah bersiap-siap. Ia mengenakan pakaian yang paling mahal dan juga wewangian.Ibunya datang ke rumah membawakan beberapa gantungan pakaian yang mewah. Malini tak ingin banyak bicara, tak ingin ikut campur juga. Takutnya malah ia akan menjadi sasaran dan bulan-bulanan ketidakpuasan dari mertua dan suaminya itu."Bapak mau ke mana, Bu?" tanya Suma ketika melihat pria itu berkemas-kemas.Malini tidak menjawab. Mengangkat telunjuk kecilnya ke depan bibir. Meminta Suma untuk tidak banyak bicara. Namun, sebuah teriakan membuat Malini harus bergegas menuju kamar."Malini ... Malini!" Panggil Prabawa.Tergopoh Malini berjalan dari dapur menuju kamar."Di mana kalung emas milikku?""Kalung emas?" tanya Malini"Jangan pura-pura bodoh. Kalung emas yang aku berikan
Tidak perlu waktu yang lama bagi Walimah untuk menyiapkan benda-benda yang ia butuhkan. Di dalam kotak besar dengan pita berwarna maroon, ia meletakkan sebuah kebaya motif bunga berbahan sutera, juga sebuah kain batik dengan warna senada. Tak lupa di beberapa sisi, wanita jahat itu melepaskan jahitannya, agar renggang dan terbuka dengan sendirinya ketika Malini memakainya nanti malam.Bubuk bunga kecubung ia taburkan, diaduk rata lalu dicampur baur dengan bedak beras dan lipstik. Tak puas sampai di situ Walimah juga memberikan pencuci rambut kemiri yang sudah dicampurnya dengan bahan-bahan yang akan membuat kepala Malini gatal-gatal."Semua sudah siap!" ucapnya puas. Melenggang ia melangkah ke rumah Malini saat senja hampir menyapa. Mengetuk pintu dengan pelan lalu dan kemenakannya membukakan pintu dengan wajah yang sumringah."Waalaikumsalam, Wak. Tumben Wak Limah ke sini?" tanya Kanaya tak menyangka."Ibumu ada?" tanya Walimah. Ekspresi wajahnya dibuat sedatar dan senormal mung
Tiba-tiba saja Malini, merasakan sesuatu yang menelusup mulai dari ubun-ubun, hingga menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebuah perasaan dingin dan di sentuh oleh sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan kedatangannya.Sementara di sisi yang berlainan juragan Candrakanta tengah tersenyum lebar. Apalagi ketika binar mata Malini sedikit demi sedikit mulai berbeda dalam cara memandangnya.Ia mendekat ke arah Malini, menyentuh jari jemari wanita yang ia mimpikan siang dan malam. Mencium punggung tangan Malini yang putih dan mulus. Mengalungkan selendang sutera mahal ke arah leher wanita pujaannya itu.Entah apa sebabnya Malini malah tersenyum. Menundukkan sedikit kepalanya kerika Chandrakanta sedang memasangkan selendang. Padahal hatinya sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi. Aroma wewangian yang menguar dari tubuh dan pakaian Chandrakanta membuat Malini tergoda. Ia tak sabar ingin memeluk tubuh pria itu. Langkahnya tertahan karena pertunjukan menarinya bersama juragan Chandrakanta tenga
Dua jam menjelang subuh.Pertunjukan campursari dan layar tancap hampir saja usai. Malini terlihat tengah mengobrol dengan Chandrakanta di saat beberapa orang lain yang mengurusi panggung dan pertunjukan tengah berkemas. Sementara penduduk desa sudah meninggalkan tempat itu Malini dan Canda nampak mengobrol dengan serius dalam keremangan. Wajah keduanya tidak begitu terlihat jelas. Hanya bagian belakang tubuhnya saja yang bisa dilihat.Tidak ada yang orang lain ketahui apa yang sedang dibicarakan. Ekspresi wajah dari keduanya juga tak bisa diterka. Tapi, jika dilihat dari lamanya mereka berbicara, tentulah orang-orang tahu bahwa keduanya sedang membicarakan sesuatu yang serius yang tidak ingin diketahui orang lain."Bagaimana Malini apa kamu bersedia menerima lamaran saya?" tanya Chandrakanta dengan suara yang lemah lembut."Tentu saja saya senang juragan. Apapun yang menjadi keputusan juragan saya akan mengikutinya," jawabnya datar. Kepalanya sedikit tertunduk malu-malu."Lantas apa
Bertahun-tahun setelahnya***Peluh mengucur deras. Pria berbadan tegap yang mengenakan kemeja rapi dengan parfum aroma maskulin mendadak masam wajahnya ketika petugas bandara menjelaskan kepadanya bahwa ia terlambat beberapa jam untuk tiba di bandara setelah pesawatnya transit."Jangan khawatir, Pak. Beberapa jam selanjutnya akan ada penerbangan ke kota bapak. Silakan meminta bantuan pada beberapa orang petugas yang ada di sana," ucap wanita muda itu tersenyum ramah Si pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah muda itu tersenyum. Tak mengapa pikirnya terlambat beberapa jam asal ia bisa pulang ke rumahnya hari itu juga.Beberapa orang petugas mengenakan seragam yang sama dengan wanita sebelumnya nampak memberikan penjelasan yang lebih terperinci. Pemuda itu mengucap hamdalah di dalam hati.Tepat ketika jam menunjukkan pukul 11.00 siang pria muda berkemeja itu bersiap ketika announcement mengenai keberangkatan ke sebuah kota mengudara.Sementara di bandara dari kota lainny
***Subuh itu adalah subuh yang paling sibuk saat suara kokok ayam belum membangunkan seisi penjuru rumah. Beberapa orang wanita dewasa tengah bersiap di dapur. Walaupun mereka terlihat lelah, tetapi wajah bahagia terpancar jelas. Di antara satu sama lain memberikan semangat penghiburan yang sesekali diiringi guyonan. "Ada berapa banyak tumpeng yang kita buat hari ini?" tanya Malini. Wanita itu mengikat selendang di pinggangnya yang ramping. "Mungkin hampir 100, Nyonya.""Wah, luar biasa. Kalau begini kita bisa membuka catering. Betul, 'kan, Nek Bayan?" tanya Malini pada Nek Bayan yang sibuk dengan kering tempe kesukaan beberapa anak-anak Malini dan Chandrakanta.Beberapa wadah besar sudah tertata di atas amben kayu. Sunyoto dan beberapa sopir Chandrakanta yang lain dengan sigap memasukkan tumpeng-tumpeng untuk dibagikan kepada warga."Apakah bisa selesai tepat waktu, Nyonya?" tanya Gendis dan yang lain. "Tentu saja. Anak-anak setelah selesai salat Subuh mungkin akan bersiap. Saya
***Di sebuah sekolah menengah atas terbaik di kota itu, Leon sibuk dengan buku-buku tebal di tangannya. Sepertinya ia sedang menunggu Kanaya keluar dari kelasnya. Sesekali Leon melambaikan tangan saat beberapa orang temannya memanggil."Belum dijemput, ya?" tanya salah seorang murid perempuan berkepang dua.Leon mengangguk santai. Lalu, gadis berkepang dua itu berdiri di sebelah Leon. "Kamu belum pulang?" "Belum, lagi nunggu jemputan.""Oh," jawab Leon singkat. Ia tak tertarik dengan gadis cantik yang konon katanya adalah gadis populer di sekolahnya. Mungkin karena tidak berminat atau mungkin hati Leon sudah ditempati oleh seseorang yang lainnya, hanya Leon dan Tuhan saja yang tahu.Leon tersenyum senang saat gemerincing gelang kaki mulai menyapa gendang telinganya. Ia tak sabar menanti sosok itu, lalu menoleh dengan wajah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata."Sudah selesai?" tanya Leon. Gadis berkulit sawo matang dengan rambut legam berkilau itu mengangguk. "Temanmu?" tan
***Malini terpekur di kamarnya, sementara Chandrakanta sepertinya masih menyiapkan paviliun kecil untuk Rohani dan Nek Bayan tinggal. Tepat pukul 01.00 malam, suara pintu kamar berderit. Malini pura-pura tidur. Membawa tubuhnya menghadap dinding, bahkan bernapas pun ia lakukan secara perlahan."Mas sudah menikahimu belasan tahun lebih, Sayang. Mas tahu kalau kau belum tidur. Jika ingin marah dan mengatakan sesuatu, katakan saja. Jangan menyimpannya di dalam hati. Mas rela jika kau ingin menampar atau memukul Mas," ucap Chandrakanta dengan lemah lembut.Bulir-bulir bening mulai menetes di kulit sawo matang Malini. Ia menghela napas. Sebenarnya tak ada yang ingin ia bicarakan bersama suaminya. Namun, kehadiran Nek Bayan dan Rohani yang tiba-tiba saja entah mengapa membuat hati Malini sedikit merasa kecewa."Saya ingin istirahat, Mas. Nanti saja saya bicara jika memang saya ingin bicara," ucap Malini pelan. Kini balik giliran juragan Candrakanta yang menghela napas. Ia paham betul mungk
***Nek bayan berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak keluar. Bagaimana tidak, Camelia berusaha menyembunyikan Mentari karena pamor dan rumor mengenai Chandrankanta. Ia tak ingin putrinya merasa tersiksa karena menikahi pria yang memiliki istri yang banyak.Namun, sosok Camelia yang berada di tengah hutan perbatasan tentu saja membuat Nek Bayan bertanya-tanya. Ada apa gerangan mengapa Camelia berusaha untuk terlihat."Ada apa, Mas? Apakah Mas baik-baik saja? Jika Mas memang tak enak badan, biarkan Sunyoto yang membawa jeepnya," ucap Malini merasa khawatir akan keadaan suaminya."Ah, tidak. Hanya saja Mas terkejut," sahut Chandarakanta berusaha kembali melajukan mobilnya perlahan."Nek, apakah Nenek lihat tadi? Sepertinya Ibu tadi yang sedang melintas," ucap Rohani. Buru-buru Nek Bayan membungkam mulut Rohani. Tentu saja pernyataan itu malah membuat Chandrakanta terkejut. "Apa apa yang kau katakan tadi? Ibu? Maksudmu wanita yang melintas tadi itu ibumu?""Ah, sudahlah, Juragan. T
***"Nek Bayan, kau mau ke mana?""Pulang. Aku mencemaskan Rohani.""Kenapa?""Aah, pokoknya aku mau pulang."Wanita tua yang dipanggil Nek Bayan itu berjalan cepat. Ia tak menghiraukan cuaca yang dingin. Ia tinggal di hutan di sekitar gunung yang memang selalu mendapatkan hawa sejuk. Bahkan, cuaca yang benar-benar dingin terkadang membuat tulang terasa ngilu dan gigi bergemeletuk. "Aku yakin sekali kalau Rohani keluar dari gubuk. Entah mengapa aku benar-benar tak tenang. Apakah ia menemui ayahnya? Tidak, tidak. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika Juragan Chandrakanta dan Malini mengetahui bahwa Rohani adalah anak juragan. Ah, bodohnya aku. Mengapa aku tak membawanya pergi saja. Gadis muda dengan penglihatan- penglihatan itu pasti akan berusaha untuk menyelamatkan ayah dan ibu sambungnya. Padahal ...," ucap Nek Bayan tak menyelesaikan kalimatnya."Ah, aku harus meminjam salah satu kuda dari beberapa orang pengelana yang lewat," kata Nek Bayan lagi.Nek Bayan bercakap-cakap menaw
***Philips datang dengan setelan jas warna hitam. Keadaannya benar-benar sangat mengkhawatirkan. Pitaloka seolah melihat sosok hantu Philips dengan wajah pucat dan senyum menyeringai."Tidak, tidak! Philips sudah mati! Aku sudah membunuhnya," ucap Pitaloka tak sengaja.Astungkara tersenyum menyeringai."Lihatlah, betapa ajaibnya hati wanita ini. Dia benar-benar mengakui bahwa Philips sudah dibuat mati. Kau dengar itu, Philips? Aku tak habis pikir mengapa dulu kau kerap membantu wanita yang tak memiliki hati ini. Ah, sudahlah. Dari pada berlama-lama, lebih baik aku telepon polisi saja," ucap Astungkara geram.Philips menunggu di pojok ruangan sambil memandangi Pitaloka dengan tatapan mata tajam. Jika diizinkan oleh Astungkara, tentu Philips akan lebih menyukai untuk membunuh Pitaloka detik itu juga."Tidak, tidak. Jangan, jangan tangkap aku. Jangan, jangan serahkan aku. Aku mohon ... semua ini aku lakukan karena aku benar-benar ingin memilikimu." Pitaloka benar-benar ketakutan. "Memi
***"Aah .... Ahhh ... Aaah ...."Astungkara mengintip Pitaloka dari sebuah celah. Senyum seringai mewarnai wajahnya yang tegas. Bukannya marah, Astungkara malah tersenyum melihat istri keduanya itu dan apa yang dilakukannya di dalam kamar.Bukannya marah, Astungkara malah mengusap jambang tebalnya dan teringat akan sebuah hal."Hmmm ... Bagus, Pitaloka," gumamnya pelan."Uhhhhhhmmm ... Ahhh ... Ahhh."Erangan itu membawa sebuah senyum di wajah Astungkara. Ia memang sudah lama tak bercinta dengan Pitaloka. Akan tetapi, Astungkara seolah sedang menyiapkan sesuatu bagi istri keduanya. Astungkara berjalan pelan meninggalkan kamarnya. Ia ingin memberikan sebuah jeda bagi Pitaloka menuntaskan apa yang tengah dilakukan di kamar pribadinya dan Astungkara.Gayatri, ibu Astungkara sedang berada di ruang tamu megah dengan ornamen keemasan saat putranya turun. Kudapannya dilempar ke sembarang arah membuat Astungkara menghela napas."Istrimu ke mana, tidur lagi?" "Lagi ada kerjaan di kamar, Bu.
***Juragan menembakkan senapannya ke arah langit, cahaya itu berpendar sangat indah. Malini dan putrinya terkejut. Gadis kecil itu menangis dalam pelukan ibunya padahal ia baru saja akan memejamkan mata."Oh, ada apa itu?" tanya Malini menggendong putrinya yang menangis.Keduanya menuruni anak tangga kayu. Pintu ruang tamu terbuka, angin malam yang dingin dan serpihan hujan nampak masuk."Mas membuat keributan di tengah malam. Tidak tahukah kalau keponakanmu baru saja akan tertidur.""Maaf sayang tapi ada sesuatu di sana," tunjuk Juragan."Sesuatu? Maksudmu apa Mas? Serigala, beruang, atau Yeti? Dia tidak akan mengganggu selama kau menutup pintunya. Sudahlah, Mas!""Tapi aku pikir itu manusia." "Ayolah, Mas ! Manusia mana yang rela mengendap-ngendap ke villa tengah hutan, tengah malam seperti ini!""Tapi, aku benar-benar melihat jubahnya yang berwarna merah.""Sudahlah, Mas? Kita sedang berlibur. Jadi jangan bertingkah yang aneh-aneh. Lusa kita pulang ke kota dan Mas bisa kembali be