Coba tebak, apa benar yang Adam lihat adalah ibunya? Kalau dibilang 'Ibu', mungkinkah itu Diandra? Atau jangan-jangan itu orang lain, 'kan Diandra dibunuh? Masa iya dia bangkit dari kematian? Selain itu, apa yang dimaksud Rosa dengan menyelamatkan Henry dari kebodohannya sendiri? Tulis dugaan kalian di kolom komentar guysss!
“Mommy! Mommy! Lihat, gambar Lili bagus, ‘kan?!” Seruan manis itu membuat Evelyn yang sedang menuliskan sesuatu mengalihkan fokusnya. Dia menoleh ke arah sang putri yang menunjukkan sebuah gambar dari krayon warna-warni. Hanya satu kali lihat, Evelyn langsung tahu apa yang telah Lili gambar. “Apa ini pesta pernikahan, Sayang?” tebak Evelyn dengan senyuman manis. Mata bulat Lili berbinar, lalu dia pun mengangguk penuh semangat. “Ini pernikahan Mommy dan Daddy besok! Ini Lili dan Liam, ada Om Julian, Kak Rena, Tante Elena dan Kakek Kusuma ….” Begitu banyak orang gadis kecil itu sebutkan sampai membuat Evelyn tertawa. Namun, tawa wanita itu terhenti kala mendengar putrinya menyatakan hal mengejutkan. “Dan, ada Kakek dan Nenek juga!” Evelyn tersentak, senyumnya sedikit bergetar. Dia pun bertanya, “Lili sedang bicarakan Kakek Henry dan Nenek Rosa, bukan? Lalu, siapa Nenek yang ini?” Jari telunjuk rampingnya menunjuk gambar yang Lili sebutkan sebagai Rosa. “Ih, bukan!” Lili menggeleng
“Apa ada masalah?” Raffaele menyadari bahwa cara Rosa secara khusus menanyakan Daniel terdengar sedikit mencurigakan, jadi dia menjelaskan, “Mengesampingkan apa yang terjadi pada ibunya, tubuhnya juga tidak dalam kondisi terbaik, bukan begitu?” “Oh … ya.” Evelyn baru mengerti. “Adam berangkat pagi tadi untuk menjemputnya. Dia sempat bilang Daniel yang bersikeras pulang untuk menghadiri pernikahan walau tubuhnya masih cukup lemah.” Evelyn berbincang dengan Rosa dan Raffaele untuk setidaknya lima menit sebelum akhirnya sosok Liam turun dari lantai dua bersama Lili. Terlihat bocah itu memasang wajah datar kala menyapa kakek dan neneknya, membuat Rosa dan Raffaele cukup terkejut dengan betapa miripnya Liam dengan sang ayah. Namun, kala Raffaele memberikan Liam sebuah kotak kecil, hadiah perkenalan dirinya dan Rosa untuk bocah tersebut, wajah Liam diselimuti rasa penasaran yang mendalam. Saat netra birunya mendarat pada isi kotak tersebut, dia seketika terpukau. “Aku mendapatkan patung
*Beberapa saat lalu* “Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya sebuah suara dari seorang wanita yang membuat Adam tak mampu mengalihkan pandangannya. Adam yang sekarang terduduk di ruang tamu kediaman megah Diandra hanya bisa menatap ke arah wanita tersebut dengan saksama. Pandangannya menyusuri setiap lekukan wajah wanita itu, mencoba mencari-cari kebenaran mengenai identitas sosok di hadapan. Semuanya sama, tidak ada yang berubah, terkecuali kerutan tipis yang menghiasi beberapa sisi wajah Diandra. Hal itu wajar saja, terutama mengingat kali terakhir Adam melihat wanita itu sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Karena Adam tidak kian menjawab pertanyaannya dan hanya menatapnya dalam diam, Diandra pun menghela napas dan menuangkan teh di cangkir pria tersebut. Dia menyodorkannya ke arah sang putra dan berkata, “Minumlah, teh itu bisa menenangkanmu.” Adam melirik cangkir teh tersebut untuk beberapa saat, tapi dia tetap terdiam. Pandangan matanya menunjukkan kewaspadaan. Diandra t
Sembari berdiri menghadap jendela taman kediaman Diandra, Adam hanya terdiam setelah menelaah penjelasan sang ibu. “Jadi, semua adalah rekayasa Ibu Mertua untuk menyelamatkan Ibu dari Helen dan keluarganya.” Kelopak matanya yang sempat tertutup pun terbuka, memamerkan netra birunya yang sedikit abu. “Dan aku … hanyalah pemeran sampingan yang melengkapi skenarionya. Tokoh yang membuat semua orang, termasuk Helen, percaya bahwa Ibu sungguh telah mati.” Kalaupun cara Adam berbicara terdengar tenang, tapi Diandra tahu ada kekecewaan dan rasa terkhianati dalam kalimat putranya itu. “Aku harap … kamu tidak menyalahkan Rosa, Nak.” Dia menundukkan kepalanya, menampakkan ekspresi malu dan bersalah. “Salahkan ibumu yang tidak berdaya ini karena tidak mampu untuk mempertahankan nyawanya sendiri.” Ucapan sang ibu membuat Adam mengalihkan pandangannya pada sosok Diandra. Tubuh ibunya yang dahulu sempat terlihat kuyu karena depresi terhadap pengkhianatan sang ayah tampak bugar dan bersinar. Hal it
“Aku sudah sangat muak.” Mata Henry sekejap membesar, terkejut dengan pernyataan keras sang istri. Namun, dia sungguh tak mengerti mengenai hal apa yang terus dia lakukan sehingga wanita itu menyatakan hal tersebut. “Apa yang kamu—” “Lihat, kamu bahkan tidak tahu kesalahanmu!” bentak Diandra. “Ini alasan aku membiarkanmu tersiksa untuk bertahun-tahun, tapi kamu tidak pernah belajar!” Manik wanita itu memancarkan kesedihan bercampur amarah mendalam. “Diandra, tenanglah, aku mohon. Aku tahu kamu membenciku, aku minta maaf, aku—” “Persetan dengan permintaan maafmu, Henry Dean!” balas Diandra dengan air mata mengaliri wajahnya. “Aku tidak memerlukan hal tersebut!” Air mata yang mengaliri wajah istrinya membuat hati Henry terasa begitu sakit. Dia tak mampu menahan emosi dan berujung meneteskan air mata. “Diandra, aku—” Tepat di waktu omongan Henry terpotong, Julian yang tengah berusaha menangkap bola lemparan Lili tanpa sengaja mendaratkan pandangan pada adegan di balkon lantai dua g
“Apa maksudmu penuh?! Bagaimana mungkin hotel besar seperti ini bisa penuh!?” Suara bentakan terdengar bergema di lobi hotel megah yang berada di tepi Pantai Selatan Capitol. Pemilik suara yang merupakan seorang wanita muda bertubuh ramping dengan dandanan tebal menuding sang resepsionis malang. “Panggil manajer kalian! Aku yakin dia akan tanpa ragu memberikanku satu hari lagi kalau mengetahui identitas kekasihku!” Resepsionis malang itu memasang wajah serba salah dan terus menunduk minta maaf. “Saya mohon maaf, Bu. Akan tetapi, seluruh kamar hotel kelas Permata telah penuh sampai dua malam berikutnya lantaran telah dipesan secara khusus untuk sebuah acara penting malam ini,” jelasnya sembari melirik rekannya yang berusaha menghubungi sang manajer. Namun, rekan tersebut menggelengkan kepala. “Manajer kami saat ini juga tengah sibuk mengurus masalah tersebut.” “Siapa orang yang bisa memesan seluruh kamar Permata hotel ini, hah?! Jangan bercanda!” bentak wanita menor itu dengan wajah
Malam itu, taman belakang Hotel Greymore dihiasi dengan kerlap-kerlip lampu dan lantunan lagu klasik yang menenangkan. Di dalam rumah kaca yang menyajikan pemandangan lautan malam yang indah, terlihat sejumlah tamu tengah menikmati pesta dengan berbincang selagi menunggu acara pernikahan putra pertama Keluarga Dean itu sepenuhnya dimulai. Tentunya, percakapan yang kurang menyenangkan telinga juga bisa terdengar. “Lihat anak kedua Henry, malang sekali dirinya,” ucap salah seorang tamu selagi melirik ke arah Daniel yang terduduk di kursi roda. “Kudengar dia mendapatkan luka itu dari ibunya sendiri, dan wanita itu berakhir masuk ke dalam rumah sakit jiwa,” sahut yang lain, menuang minyak pada api. “Dia dinyatakan gila setelah ditemukan menjadi dalang utama pembunuhan istri pertama Henry!” Gosip yang merambat dan semakin merajalela di antara tamu undangan pernikahan Evelyn-Adam malam itu membuat Rena mengepalkan tangannya. Gadis itu berbalik dan ingin melangkah menghampiri sejumlah tam
“Apa kamu tertarik untuk ditusuk? Dengan begitu, kamu bisa tahu apakah kamu akan membenci penusuknya atau tidak, bukan?”Pertanyaan itu membuat sejumlah orang terkesiap, tapi tidak ada yang berani menggunjing Seraphina mengenai ucapannya. Semua tamu yang hadir masih memiliki hubungan keluarga dengan Keluarga Dean. Demikian, mereka tahu bahwa Seraphina adalah tuan putri di kediaman itu. Bahkan, Noah dan Henry sendiri saja tidak bisa melawan gadis itu!“Maaf, Bibi Sera, aku salah bicara!” ujar salah satu keponakan jauh Seraphina dan Henry itu seraya menutup setengah wajahnya dengan kipas.Seorang wanita menarik gadis itu ke belakangnya dan tersenyum canggung kepada Seraphina. “Sera, putriku masih begitu muda, aku mohon maafkan dia atas kelancangannya,” ujar wanita yang merupakan sepupu jauh Seraphina dan Henry dari keluarga Jenna.Dengan sebuah dengusan, Seraphina melemparkan garpu ke arah nampan seorang pelayan. “Jaga mulut putrimu dengan baik.” Dia menatap wanita itu dengan tatapan di
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p