0.0 Dominic Grey ... yang berujung bunuh Helen?!
“Kakek … Kakek bilang apa?” Wajah Daniel yang beberapa saat lalu telah kembali cerah langsung berubah pucat saat mendengar berita mengerikan dari Noah.Hari baru dimulai, tapi kenapa dia harus menerima berita mengerikan seperti ini?“Ibu … kenapa …?” tanya Daniel lagi dengan tangan mencengkeram kuat selimutnya.Dengan tangan menggenggam ujung tongkat jalannya, Noah menghela napas dan berkata, “Mobil yang dikendarai Helen terlibat kecelakaan dan meledak.” Pria itu menutup mata saat menyatakan satu kenyataan pahit. “Dia tidak selamat.”Tangan Daniel yang mencengkeram kuat selimut bergetar, begitu pula dengan tubuhnya. “Tidak ….” Tenggorokan pria itu tercekat.Melihat pandangan putranya sedikit tidak fokus, Henry pun berkata, “Daniel, tenang dulu, Nak.” Dia mencoba untuk menghampiri sang putra dengan niatan untuk menenangkan. “Kamu harus—"“Tidak mungkin!” teriak Daniel selagi berusaha untuk turun dari tempat tidur. “Aku ingin melihat Ibu!”Bahkan kalaupun dirinya hampir kehilangan nyawa
“Melapor dari lokasi kejadian, terlihat kepala Keluarga Smith, Tom William Smith, tengah berjuang untuk menembus barikade penjagaan kantor Grup Dean dengan bantuan pengawalnya agar bisa mencapai lift. Hal ini dilakukan guna bertemu dengan ahli waris Keluarga Dean, Adam Dean, untuk meminta pertanggungjawaban atas meninggalnya adik semata wayangnya yang dinyatakan meninggal dalam kecelakaan.” Laporan langsung dari sejumlah wartawan bisa terdengar dari berbagai sisi lobi kantor Grup Dean. Setiap dari mereka mengutarakan hal yang tak jauh berbeda, yakni tindakan Tom yang datang untuk meminta pertanggungjawaban Adam. “Adam Dean! Keluar kamu!” Seorang pria paruh baya terlihat mengepalkan tangan dengan wajah sedih dan marah. “Kamu harus bertanggung jawab atas kematian adikku!” Teriakan pria yang tak lain dan tak bukan adalah Tom Smith tersebut membuat suasana menjadi semakin ricuh. Sejumlah pegawai juga mulai menggosipkan hubungan antaranggota Keluarga Dean. “Ada yang bilang Adam Dea
“Dibandingkan dengan Helen, bukankah Paman, yang telah membunuh istri pertama dan merencanakan kematian adik kandung paman sendiri lebih pantas disebut orang tidak waras?” Detik Evelyn mengatakan hal tersebut, seisi ruangan berubah hening. Sejumlah wanita terkesiap, sedangkan yang pria membelalakkan mata karena bingung bercampur terkejut dengan tuduhan putri Keluarga Grey itu. “Apa maksudmu, hah?!” geram Tom dengan tatapan nyalang, suaranya terdengar begitu tinggi sampai-sampai orang di sekitarnya tersentak. Tom tidak menyangka Evelyn akan datang dan mengatakan hal seperti itu. Dia melirik ke kanan dan ke kiri, memeriksa ekspresi orang-orang ketika menatapnya. Saat menyadari lebih banyak orang terlihat bingung ketimbang terkejut saat mendengar omongan wanita di hadapan, Tom pun menjadi lebih tenang. “Jangan sembarangan berbicara kamu!” bentak Tom dengan jari telunjuk terarah kepada Evelyn. “Bukti apa yang kamu miliki ketika mengatakan hal itu?!” “Sembarangan berbicara?” Evelyn men
“Tidak.” Balasan pria itu membuat Evelyn mengerutkan dahi. “Lalu, kamu masih bisa bersikap tenang?!” desisnya. ‘Apa jangan-jangan dia yang sakit jiwa?!’ maki Evelyn dalam hati. Pertanyaan Evelyn membuat Adam menyunggingkan sebuah senyuman. “Evelyn, aku terlalu paham dirimu,” ujarnya membuat wanita tersebut menaikkan satu alis, terlihat bertanya-tanya. “Kamu tidak mungkin ke sini kalau tidak memiliki rencana, bukan?” Saat itu juga, Evelyn membeku. Namun, detik berikutnya, wanita itu menghela napas. “Kamu membosankan.” “Argh!” Bertepatan dengan akhir ucapan Evelyn, sebuah teriakan keras membuat semua orang menoleh. Terlihat sosok Tom telah jatuh berlutut di lantai dengan satu tangan terpelintir di belakang punggung. Pengawal yang seharusnya bertugas melindungi pria paruh baya itu malah tampak sudah tergeletak tak berdaya di lantai. “Beraninya kamu menggunakan kekerasan seperti ini!? Lepaskan aku!” geram Tom dengan ekspresi kesakitan. Dia mencoba menoleh ke belakang untuk melihat pe
“Kakak, apa kamu merindukanku?” Kehadiran Helen langsung membuat seisi tempat itu terperangah. Jepretan kamera yang tadi sempat berhenti karena kehadiran Dominic kembali menyala berulang kali tanpa henti. “Bisa dilihat dengan jelas bahwa Helen Smith masih hidup! Saya ulangi, Helen Grace Smith masih hidup!” “Apa ini sebuah mukjizat? Atau ada konspirasi di baliknya?!” Para wartawan kembali bersiaga di hadapan kamera, menyampaikan secara langsung berita mengejutkan itu ke seluruh dunia. Di tengah keributan itu, Tom Smith—yang masih ditahan oleh Dominic—hanya terdiam. Netra cokelatnya menatap lurus sang adik yang entah bagaimana caranya masih bisa berdiri di hadapan. “Terkejut, Kakak?” Sudut bibir kanan Helen terangkat, tersenyum mengejek tampang bodoh saudaranya. Dia pun menghadap salah satu kamera yang menyorot dirinya. “Apa kalian ingin tahu bagaimana aku masih hidup!?” Helen pun menatap Tom dengan ekspresi penuh kemenangan, siap menghancurkan pria di hadapannya itu. “Pria ini,
“Aku mengerti,” ucap Dominic yang sudah berada dalam ruang kerja Adam di puncak menara Grup Dean. Ponselnya menempel di telinga, menandakan dirinya sedang menelepon seseorang. “Pastikan untuk mengawasi wanita itu,” perintahnya tegas.Setelah mengucapkan hal tersebut, Dominic pun mematikan panggilannya. Dia mengangkat pandangan, mendapati sejumlah orang tengah menunggu penjelasannya.Adam yang terduduk di sebelah Evelyn terlihat menatapnya tajam. Di sofa satuan, sosok Henry yang juga telah tiba setelah keributan di Grup Dean mereda tampak memandang kepala Keluarga Grey itu dengan penuh tanya.“Helen diperlukan untuk memberikan pengakuan, orangku akan memastikan wanita itu tidak akan kabur,” ucap Dominic sembari menyandarkan punggungnya ke sofa. Tangannya menyentuh lehernya yang tegang, merasa sangat lelah. Lagi pula, dirinya belum tidur semalaman.Di saat ini, sebuah suara dalam yang tegas terdengar berkata, “Aku rasa kamu berutang penjelasan kepada kami semua.”Ucapan tersebut membuat
“Turun,” titah pria itu. “Kalau kamu tidak ingin terlibat dalam hal ini, maka turun sekarang juga.” Namun, bahkan setelah dirinya menurunkan perintah itu, Dominic tidak melihat Rena bergerak sedikit pun. Kilatan berbahaya terpancar di manik pria tersebut seiring dirinya meraih sesuatu dari sisi kursinya. “Aku ulangi sekali lagi, Rena.” Dengan pistol yang terarah kepada Rena, Dominic menegaskan, “Turun kalau tidak mau mati.” Selama sesaat, Rena terkejut. Ada ekspresi terluka terpancar di maniknya melihat Dominic bersikap begitu kejam kepadanya. Akan tetapi, gadis itu tidak bergeming. “Tembak saja,” ucap Rena membuat mata Dominic membesar. “Kenapa terlihat begitu ragu?” Seisi mobil itu diselimuti ketegangan yang luar biasa. Dengan mulut senjata masih terarah padanya, pandangan Rena tidak sedikit pun terlihat takut. “Sial!” maki Dominic seiring dirinya menurunkan senjata dan langsung menginjak gas. Dia tidak memiliki waktu untuk dibuang, tapi dia juga tidak bisa menyakiti Rena. “Ket
Mendengar ucapan Evelyn, Henry pun menjatuhkan pandangannya ke bawah. Pria itu akhirnya mengerti. ‘Jadi, itu alasan Helen dengan sangat bersedia membongkar semua kebusukan Keluarga Smith,’ batin Henry. Dia pun menatap calon menantunya itu dengan saksama. Evelyn Erlangga, itulah identitas wanita yang akan segera bersanding dengan putranya pertama kali mereka bertemu. Akan tetapi, sekarang, setelah semua hal yang terjadi di Capitol, terbongkar sudah bahwa dirinya merupakan adik kandung Dominic Grey. Demikian, nama yang sekarang diakui oleh kebanyakan orang ialah Evelyn Grey. Mengesampingkan kenyataan Evelyn adalah keturunan Grey, sepertinya masih ada banyak hal yang tidak dia ketahui mengenai wanita itu. Hal tersebut dicerminkan oleh segudang kemampuan yang sedikit demi sedikit terbongkar seiring waktu berjalan. Ingin sekali Henry menanyakan siapa sebenarnya Evelyn, apa saja yang wanita itu mampu lakukan, dan dari mana dia bisa memiliki kemampuan-kemampuan itu. Akan tetapi, melihat b
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p